Connect with us

Kisah

6 Pelajaran dari Kisah Nabi Yusuf

Published

on

Kawula muda, adalah penurus kita, harapan yang kita damba. Namun, banyak kita saksikan betapa banyak problematika hidup yang mereka hadapi, yang sering kali mengantarkan mereka kepada frustasi sehingga mereka berusaha melampiaskannya dengan berbagai macam jalan dan cara mulai dari mencari teman yang senasib, minum-minuman keras dan bahkan pergaulan bebas, yang mana kesemuanya itu justru menodai kesucian diri mereka.

Jatuhnya para kawula muda ke dalam penistaan diri tak lepas dari banyak faktor. Satu di antara faktor yang utama adalah media. Sebut saja misalnya, media komunikasi sosial seperti Facebook, Twiter, dll, yang dapat diakses sedemikian mudahnya dan sedemikian bebasnya. Maka, tidak jarang kita mendengar atau membaca adanya kasus penyimpangan seksual kawula muda berawal dari penggunaan media-media tersebut. Kondisi ini tentu menjadikan kita para orangtua miris dibuatnya. Meski demikian, kondisi ini hendaknya tidak menjadikan kita berputus asa untuk mengentaskan dan menyelamatkan mereka dari kubangan penghancur kesucian diri mereka ini.

Tentu harapan kita, kawula muda penerus kita memiliki ketahanan mental dan keteguhan jiwa dan keyakinan seperti halnya Nabiyullah Yusuf ‘alaihissalam. Dialah cerminan pemuda yang sedemikian luar biasa dapat mempertahanan kesucian dirinya dalam kondisi yang sangat memungkinkan dirinya terjerumus dalam kubangan kenistaan yaitu perzinaan. Maka, marilah kita mengambil pelajaran dari kisahnya yang Allah sebutkan di dalam kitabNya. Anda bias menyimaknya di dalam Surat Yusuf : 23-34.

Pembaca yang budiman, Adapun sebagian pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah tersebut adalah bahwa beberapa perkara yang dengan izin Allah akan memberikan faedah berupa terselamatkannya kesucian seseorang dari terjatuh ke dalam lembah kekejian perzinaan yaitu,

Pertama, Rasa takut kepada Allah dan senantiasa merasa diawasi olehNya.

Sungguh, Yusuf tengah berada dalam kondisi menyendiri dengan wanita itu, tak seorang pun melihatnya, sementara dorongan-dorongan setan sedemikian dahsyat lagi sedemikian banyak. Namun demikian Yusuf tidak menyerah dengan serang-serangan setan tersebut, ia pun dapat menepisnya dengan rasa takutnya kepada Allah azza wajalla dan rasa dirinya berada dalam pengawasannya, ia sangat mngagungkan hakNya, maka terlontarlah melalui lisannya, “Aku memohon perlindungan kepada Allah, sesungguhnya tidak akan beruntung orang-orang yang berbuat kezhliman.

Sungguh, alangkah indahnya rasa takutnya ini dan betapa indahnya akibat tindakannya ini sebagaimana yang dihabarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadisnya yang menyebutkan 7 golongan orang yang akan mendapat naungan Allah di hari di mana tidak ada naungan selain naunganNya, salah satunya yaitu, “Seorang lelaki yang diminta oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan lagi cantik untuk melakukan zina, lalu ia mengatakan, “Sungguh aku takut kepada Allah”.

Kedua, Taufiq Allah dan PenjagaanNya terhadap hambaNya.

Tatkala Allah melihat kejujuran sikapnya dan kesabaran hatinya, maka Allah memalingkan dirinya dari keburukan sebagai bentuk penjagaan dirinya dan untuk memuliakannya pula sebagai balasan baik atas sikap memelihara kehormatan dirinya. Allah ta’ala berfirman,

كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS. Yusuf : 24)

Ketiga, Lari dari sebab yang berpotensi menjatuhkan diri ke lembah kemaksiatan.

Tatkala Yusuf melihat pada diri Zulaikha apa yang telah ia lihat dan Yusuf khawatir atas dirinya, maka Yusuf pun lari (menjauhkan diri) dari Zulaekha, ia menuju ke pintu kamar dengan maksud untuk keluar dari kamar yang tertutup itu. Sementara Zulaekha memegang erat baju Yusuf, Yusuf pun tak kalah meronta untuk melepaskan dirinya, hingga akhirnya baju bagian belakang Yusuf pun sobek karena saking kuatnya pegangan Zulaikha dan saking kuatnya upaya Yusuf untuk melepaskan dirinya.

Pembaca yang budiman, upaya melarikan diri dari kemaksiatan adalah seagung-agung sebab yang akan mengantarkan seseorang pada keselamatan diri. Upaya melarikan diri dari kemaksiatan itu beragam bentuknya. Apa yang dilakukan oleh Yusuf tadi hanya merupakan contoh saja. Bentuk yang lainnya semisal; tidak mendatangi tempat-tempat yang berisi kemaksiatan, lari dari tindakan berdua-duaan dengan lawan jenis, menjaga pandangan dari melihat perkara yang haram untuk dilihat, menjauhkan diri dari mengunjungi situs-situs internet atau jejaring sosial atau chanel-chanel televisi yang dapat membangkitkan syahwat. Kesemuanya ini termasuk bentuk melarikan diri dari fitnah.

Dan, termasuk bentuk benarnya sikap melarikan diri dari kemaksiatan agar kesucian diri terpelihara adalah dengan seseorang menjauhkan diri dari teman yang buruk yang akan selalu mengingatkannya untuk melakukan kemaksiatan, mengajaknya bercakap-cakap seputar kemasiatan, cara-caranya dan sarana-sarana untuk melakukannya, bagaimana cara untuk dapat melakukannya. Bahkan, ia akan mengulurkan tangannya untuk memberikan kemudahan kepadanya untuk melakukan kemaksiatan yang diinginkannya. Maka dari itu, siapa yang menginginkan keselamatan, hendaknya ia berkawan dengan orang-orang yang bertakwa, menempati lingkungan yang baik sebagaimana dikatakan oleh seorang yang alim terhadap seorang yang telah membunuh 100 orang,

ودع أرضك هذه فإنها أرض سوء واذهب إلى أرض كذا فإن فيها قوما يعبدون الله تعالى فاعبد الله معهم

“Dan tinggalkan daerahmu ini, karena ia adalah daerah yang buruk. Pergilah ke daerah demikian, kerena di sana terdapat sekelompok orang yang menyembah Allah ta’ala, sehingga engkau bisa melakukan ibadah kepada Allah bersama dengan mereka.”

Keempat, Doa dan bersandar kepada Allah.

Sungguh, hati seorang hamba berada di antara jari-jemari Ar-Rahman (Allah subhanahu wata’ala), Dia membolak-balikkannya sekehendakNya. Dia mampu untuk memberikan ketetapan dalam hati Anda dan mampu pula untuk memalingkan keinginan orang-orang jahat dari melakukan kejahatannya kepada Anda. Taufiq, semuanya berada di dalam genggaman tanganNya. Sementara sebab kehinaan terdapat pada seseorang hamba bersandar hanya kepada dirinya semata. Sungguh, Yusuf mengetahui dan memahami hal ini, maka ia pun segera bersandar ke benteng pertahanan yang kokoh, yaitu Allah ta’ala.

وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ (33) فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (34)

“(Yusuf berkata) dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” Maka Tuhannya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Yusuf : 33-34)

Oleh karena itu, jika Anda menginginkan terjaga dari dosa dan kemaksiatan serta keburukan, hendaklah Anda berpegang teguh dengan rabb Anda.

وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, Maka Sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran : 101)

Kelima, Tidak menyepelekan bahaya sebuah kemaksiatan

Sungguh, seorang yang mulia tatkala memandang bahwa “perbuatan keji” merupakan perkara yang besar lagi membahayakan, ia juga berfikir tentang betapa besarnya siksa di akhirat niscaya akan terasa ringan akibat di dunia. Oleh karenanya, Yusuf memilih (dimasukkan ke dalam) penjara beserta kegetiran kehidupan di dalamnya ketimbang ia mengoyak kehormatan sesuatu yang tidak halal baginya, atau melampiaskan hasrat biologis bukan pada tempatnya. Ia menegaskan,

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ

“Yusuf berkata : “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku”.” (QS. Yusuf : 33)

Keenam, Berpegang teguh dengan keimanan.

Sungguh keimanan akan memelihara dan menjaga pemiliknya. Di antara bentuk penjagaan Allah adalah penjagaannya terhadap agama seseorang, urusan dunianya, keluarganya serta urusan akhiratnya. Tidaklah Yusuf terpelihara kesucian dirinya melainkan karena keimanannya yang benar kepada rabbnya, serta kejujurannya terhadapNya. Allah menginformasikan hal tersebut,

إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS. Yusuf : 24)

Wallahu a’lam.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.


Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet

About Author

Continue Reading
3 Comments

3 Comments

  1. chelsea

    25/09/2017 at 10:18

    maksudnya gak ada kristiani nya itu apa? ini penulis artikelnya mikir cuman agama islam aja yang ads nabi yusufnya? HELLO gak usah mikirin diri sendiri gitu y

    • Ilhm

      25/11/2018 at 21:03

      Pripon

  2. Pingback: 6 Pesan Penting Nabiullah Yusuf A.S – Kabar Baik Online

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Lilin dan Seorang Pemuda Suci

Published

on

(Kisah Seorang Pemuda Selamat dari Dosa Zina Lantaran Panasnya Api Lilin yang Dinyalakannya)

***

Ada tujuh kelompok manusia, yang Allah menaungi mereka di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya … (salah satunya) Anak muda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah. [Muttafaq ‘Alaih]

Ini adalah sabda Nabi-صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, yang cocok untuk anak muda pahlawan kisah ini, anak muda bersih yang merupakan tokoh dalam riwayat kita ini.

Anak muda ini terdidik di atas keshalihan dan kelurusan sejak kecil, pertama karena karunia Allah, kemudian karena bapak ibunya mendidiknya dengan pendidikan yang baik. Anak muda ini tumbuh dalam ibadah kepada Allah. Menginjak usia dewasa, keadaannya membuatnya harus meninggalkan rumahnya yang baik demi melanjutkan sekolahnya. Anak muda ini pergi jauh dari kedua bapak ibunya tinggal di sebuah tempat yang kecil.

Orang-orang di komplek anak muda itu tinggal mencintainya, mereka merasa bahagia dengan keberadaannya di tengah-tengah mereka. Anak muda ini adalah teladan dalam kemuliaan akhlak, dan ini yang semakin membuat mereka mencintainya. Anak muda ini gemar membantu mereka dan bergaul dengan mereka dengan baik. Sepertinya anak muda ini mengejar kebaikan yang tersebut dalam sabda Nabi-صلى الله عليه وسلم-,

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia

Banyak kalangan membicarakannya, menyanjung, dan memuji akhlaknya yang luhur dan sifatnya yang mulia.

Di komplek tersebut ada seorang gadis belia yang cantik; dia mendengar sanjungan orang-orang kepada pemuda itu, maka dia mengagumi anak muda tersebut, dia selalu mencuri-curi pandang kepadanya, menunggu kesempatan untuk melihatnya, berangan-angan duduk bersamanya, berbincang dengannya dan memandanginya dari dekat.

Gadis ini mulai menyusun rencana untuk bisa memandang anak muda tersebut, dia ingin membuka apa yang terpendam dalam dadanya.

Pada suatu hari, saat pemuda ini berjalan di dekat rumah si gadis, gadis itu memanggilnya, si pemuda melihat kepadanya lalu buru-buru menundukkan pandangannya, kemudian si gadis mengajaknya masuk ke rumahnya dengan berkata, “Ada barang-barang yang kami tidak kuat membawanya. Apakah kamu bersedia membantu kami ? “ Karena pemuda itu dikenal suka berbuat baik dan membantu orang-orang, maka dia tidak menolak. Akan tetapi anak muda itu berkata kepadanya, “Katakan kepada orang-orang di rumah, aku datang.” Dia mundur sedikit.

Pemuda itu membawa apa yang gadis itu tunjuk, kemudian dia keluar dengan segera. Gadis itu menyesalkan mengapa anak muda itu tidak berlama-lama di sisinya. Pandangan sesaat belum memuaskan hasrat gadis ini, dia ingin lebih.

Di sore yang dingin, hujan turun dengan derasnya, pemuda itu duduk di rumahnya sambil mengulang-ulang,

اَللَّهُمَّ غَيْثًا مُغِيْثًا

Ya Allah, jadikanlah hujan ini hujan yang berkah

Di dekatnya ada lilin, dia membuka-buka sebuah buku. Tiba-tiba pintu rumah diketuk dengan keras. Pemuda tersebut memasang telinganya. Ketukan bertambah keras.  Pemuda ini mendekati pintu dengan heran, siapa yang datang malam-malam begini dalam keadaan hujan deras pula ?

Dia membuka pintu, dan ternyata di depan pintu, gadis itu jatuh luruh ke tanah di bawah kaki pemuda yang tak tahu apa yang terjadi. Beberapa saat kemudian, gadis itu berbicara, “Aku mengetuk pintu rumahku, namun keluargaku tidak membukanya. Aku datang kepadamu untuk berlindung dari dingin dan hujan.”



Gadis ini masih bersimpuh di tanah. Pemuda ini terpesona dengan kecantikan gadis yang dilihatnya, yang sekarang tergeletak di tanah. Namun dia langsung teringat akan bahaya situasi dan musibah besar yang sedang dialaminya ini. Detak jantungnya bertambah cepat, nafasnya keluar masuk memburu.

Anak muda ini menoleh ke lilin yang dia gunakan untuk menerangi ruangannya. Ia bergegas ke sana, menjulurkan salah satu jarinya ke api, namun dia tidak merasakan apa-apa, tetapi bau daging yang terbakar tercium di ruangan. Gadis itu melihat dengan keadaan sangat cemas dengan apa yang dilihatnya. Setelah beberapa saat, pemuda ini berteriak karena panasnya api lilin. Dia berlari keluar rumah dan meninggalkan si gadis di dalam rumahnya.

Setelah malam beranjak naik hingga berlalu mayoritas waktunya, di mana pemuda ini menghabiskannya di luar rumah, dia kembali ke rumahnya dan tidak melihat gadis tersebut. Pemuda ini mengucapkan hamdalah atas keselamatannya dari situasi dosa tersebut. Dia berkata dalam dirinya, “Bila aku tidak kuat menahan panas api lilin kecil itu, mana mungkin aku kuat menahan api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu?  Tidak, aku tidak akan kuat. Tidak.”

Ketika gadis itu pulang ke rumahnya, dia semakin mencintai pemuda tersebut. Gadis itu sadar bahwa pemuda itu tidak menginginkan dirinya lewat jalan haram. Gadis itu merenungkan bagaimana jalan untuk mendapatkan pemuda itu ? Akhirnya dia berkata, “Aku harus menikah dengannya. Harus!”



Gadis itu berbicara kepada ayahnya tentang pemuda itu dan bahwa dia ingin menikah dengannya. Ayahnya yang memang tidak memiliki harapan yang lebih besar daripada menikahkan putrinya dengan pemuda yang baik dan shalih itu, langsung menemuinya esok paginya. Dia berkata, “Putraku, aku ingin menikahkanmu dengan putriku.” Pemuda itu setuju. Saat itu sang pemuda teringat bahwa barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Saat dia meninggalkan sesuatu yang haram karena takut kepada Allah, maka Allah memberinya sesuatu itu dari jalan yang halal.

Sumber :

Dinukil dari, “Shuwarun Min al-‘Iffah”, Muhammad bin Abdurrahman al-Ajmi, ei, hal. 21-27

Amar Abdullah bin Syakir

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Ketika Dua Kelompok Saling Bunuh

Published

on

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين [الحجرات : 9]

Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya ! Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah. Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (al-Hujurat : 9)

**

(Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman) baik jumlahnya sedikit atau pun banyak, (berperang), baik yang sedang berperang atau akan berperang, (maka damaikan oleh kalian antara keduanya!) dengan membuat perjanjian kesepakatan. (Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain), dengan menolak perjanjian tersebut atau tidak ridha dengan hukum Allah (maka perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah,) yaitu sampai mereka kembali kepada kebenaran.

(Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil)[1]   

Syaikh as-Sa’di-رَحِمَهُ اللهُ-berkata, “Peperangan merusak hubungan persaudaraan seiman. Oleh karenanya hal itu termasuk dosa besar yang paling besar. Sesungguhnya iman dan persaudaraan seiman tidak lenyap dengan adanya peperangan (antara sesama orang yang beriman), sebagaimana dosa-dosa besar lain yang berada di bawah syirik (tidak melenyapkan iman). Dan inilah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, begitu pula dalam permasalahan : wajibnya mengadakan perdamaian di antara orang-orang yang beriman dengan adil, wajibnya memerangi orang-orang yang melanggar perjanjian atau pemberontak sampai mereka kembali kepada perintah Allah. Dan (setelah memerangi mereka), harta mereka dilindungi (atau tidak menjadi ghanimah/rampasan perang), yang dibolehkan hanyalah membunuh mereka ketika mereka terus melakukannya, tetapi tidak dibolehkan mengambil harta-harta mereka[2]

Sebab Turunnya Ayat

Para ulama berbeda pendapat tentang sebab turunnya ayat ini. Sebab turun yang shahih tercantum dalam hadis berikut :

Diriwayatkan dari Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-bahwasanya dia berkata, ‘disarankan kepada Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, ‘Sebaiknya Anda menemui Abdullah bin Ubaiy.’ Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-pun pergi dan diikuti oleh kaum Muslimin menuju tanah yang tandus. Ketika Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-menemuinya, berkatalah Abdullah bin Ubaiy, ‘Menjauhlah dariku ! Demi Allah ! Bau keledaimu telah menggangguku.’ Maka berkatalah seorang laki-laki dari Anshar ,’ Demi Allah ! Keledai Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-lebih harum daripada dirimu.’ Kemudian marahlah seorang laki-laki dari kaumnya karena Abdullah diejek. Mereka berdua pun saling mengejek, kemudian teman laki-laki itu marah karena membela kawannya, dan terjadilah pemukulan dengan pelepah kurma, tangan dan sandal-sandal. Dan kami diberitahukan bahwa karena hal itulah diturunkan ayat,

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya ! [3]

Firman-Nya,

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya !

Dalam ayat ini Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-masih menamai kedua kelompok tersebut sebagai kaum yang beriman, meskipun sekelompok orang Mukmin yang satu memerangi dan membunuh sekelompok orang Mukmin lainnya. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-juga tidak mengatakan bahwa orang atau kelompok yang membunuh sebagai orang kafir.

Imam al-Bukhari mengatakan, ‘Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-menamai mereka sebagai orang-orang yang beriman.’ Ini menunjukkan bahwa imam al-Bukhari memahami bahwa hal tersebut tidak menyebabkan salah satu dari dua kelompok tersebut keluar dari agama Islam.

Begitu pula jika kita perhatikan ayat yang membicarakan tentang qishash. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ [البقرة : 178]

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, maka hendaklah (yang dimaafkan) mengitu dengan cara yang baik…(Qs. al-Baqarah : 178)

Pada ayat ini Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menyebut orang yang membunuh sebagai seorang yang beriman dan tidak menghilangkan keimanan dan persaudaraan seiman  pada dirinya dengan firman-Nya,

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ

Barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya

Dalam ayat ini, Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-masih menyebut orang yang membunuh sebagai saudara yang lain.

Begitu pula sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

Jangan kalian setelahku menjadi orang-orang kafir, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain[4]

Pada hadis ini, meskipun Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-menyebut mereka sebagai orang kafir, tetapi Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-menganggap sebagian mereka sebagai bagian yang lain. Ini menunjukkan bahwa kekafiran yang dimaksud bukanlah kekafiran yang menyebabkan mereka keluar dari agama Islam.

Begitu pula dengan sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-ketika beliau menyebutkan tentang peperangan yang akan terjadi di antara para sahabat :

تَمْرُقُ مَارِقَةٌ عِنْدَ فُرْقَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَقْتُلُهَا أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ

Dan akan ada kelompok yang keluar ketika terjadi perpecahan di antara kaum Muslimin. Kemudian kelompok yang lebih utama memerangi mereka dengan haq (kebenaran) [5]

Dan kita ketahui dalam sejarah Islam, bahwa setelah ‘Utsman bin Affan-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-wafat, maka terjadilah perselisihan antara pendukung pemerintahan Ali bin Abi Thalib-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-dengan pendukung Mu’awiyah bin Abi Sufyan -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, sehingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar kaum Muslimin.

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-telah mengabarkan hal ini sebelumnya, yaitu tentang cucu beliau yang bernama al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-,

إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

Sesungguhnya anakku ini (yaitu, cucu beliau Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-) adalah sayyid (pemimpin). Mudah-mudahan Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimin dengan sebabnya [6]

Dengan demikian, kita mengetahui bahwa peperangan dan bunuh-bunuhan yang terjadi antara dua kelompok besar tersebut tidak menyebabkan salah satu kelompok menjadi orang kafir, keluar dari Islam.

Wallahu A’lam

Sumber :

Majalah as-Sunnah, Edisi : Muharram 1436 H/November 2014 M, hal. 9-11. Dengan sedikit gubahan.

Amar Abdullah bin Syakir

[1] Lihat, Aisarut Tafasir IV/122 dan Tafsir as-Sa’di hal. 800

[2] Tafsir as-Sa’di, hal. 800

[3]  HR. al-Bukhari, no. 2691

[4]  HR. al-Bukhari no. 121 dan Muslim no. 65/223

[5]  HR. Muslim no. 1065/2458

[6]  HR. al-Bukhari, no. 2704

About Author

Continue Reading

baru

Terbunuhnya ‘Utsman bin Affan –radhiyallahu anhu-

Published

on

Munculnya fitnah pada zaman Sahabat terjadi setelah terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab–رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-; masa sebelum wafat beliau ibarat sebuah pintu yang terkunci dari berbagai fitnah. Ketika beliau terbunuh, muncullah berbagai fitnah yang besar, dan muncullah orang-orang yang berseru kepadanya (fitnah) dari kalangan orang yang belum tertanam keimanan dalam hatinya, dan dari kalangan orang-orang Munafik yang sebelumnya menampakkan kebaikan di hadapan manusia, padahal mereka menyembunyikan kejelekan dan makar terhadap agama ini.

Dijelaskan dalam ash-shahihain dari Hudzaifah –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwasanya Umar –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata,

“Siapakah di antara kalian yang hafal sabda Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tentang fitnah ?” Lalu Hudzaefah berkata, “Aku hafal seperti yang beliau sabdakan ?.” (Umar) berkata,”Kemarilah, engkau memang berani.” Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda, “Fitnah seorang laki-laki (yang ada) pada keluarganya, hartanya, dan tetangganya, bisa dihapus dengan shalat, shadaqah, dan amar ma’ruf nahi munkar.” Beliau (‘Umar) berkata, “Bukan yang ini, akan tetapi yang bergelombang seperti gelombang ombak di lautan.” Dia (Hudzaefah) berkata, “Wahai Amirul Mukminin ! Hal itu tidak jadi masalah bagimu, sesungguhnya di antara engkau dengannya ada pintu yang tertutup.” Beliau (‘Umar) bertanya, “Pintu itu dibuka atau dirusak?” Dia menjawab, “Tidak, bahkan dirusak.” Beliau berkata, “Pintu itu pantas untuk tidak ditutup.” Kami (Syaqiq) bertanya, ‘Apakah beliau tahu apakah pintu itu ?’ Dia menjawab, “Betul, sebagaimana (dia tahu) bahwa setelah esok hari ada malam, sesungguhnya aku meriwayatkan hadis dan bukan cerita bohong.’ Lalu kami sungkan untuk bertanya kepadanya, dan kami memerintahkan Masruq agar ia bertanya kepada beliau, lalu dia berkata, “Siapakah pintu itu ?” Dia (Hudzaefah) menjawab, “Umar.” [1]

Itulah yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. ‘Umar telah terbunuh, pintu telah dirusak, muncullah berbagai fitnah dan terjadilah banyak musibah. Fitnah yang pertama kali muncul adalah terbunuhnya Khalifatur Rasyid, Dzun Nuraini,, ‘Utsman bin ‘Affan oleh para penyeru kejelekan, yang berkumpul untuk menghadapinya dari Irak dan Mesir. Mereka memasuki Madinah dan membunuhnya sementara beliau berada di rumahnya [2]

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-menjelaskan kepada ‘Utsman bahwa musibah akan menimpanya, karena itulah beliau bersabar dan melarang para sahabat agar tidak memerangi orang-orang yang membangkang kepadanya, sehingga tidak ada pertumpahan darah karenanya [3]

Dijelaskan dalam hadis Abu Musa al-Asy’ariy, ia berkata,

“Pada suatu hari Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-masuk ke sebuah kebun dari kebun-kebun Madinah…lalu datang ‘Utsman, aku berkata, ‘Tunggu dulu ! Sehingga aku memohon izin (kepada Rasulullah) untukmu,’ kemudian Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – berkata, ‘Izinkanlah ia, berilah kabar kepadanya dengan Surga, bersamanya ada musibah yang menimpanya. ” [4]

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –mengkhususkan ‘Utsman dengan menyebutkan musibah yang akan menimpanya, padahal Umar pun meninggal dengan terbunuh. Hal itu karena ‘Umar tidak mendapatkan cobaan sebesar yang didapatkan oleh ‘Utsman ; berupa sikap kaumnya yang lancang dan memaksanya untuk melepaskan jabatan kepemimpinan atas tuduhan kezhaliman dan ketidakadilan yang dinisbatkan kepadanya, dan ‘Utsman memberikan penjelasan yang lugas serta bantahan atas pernyataan-pernyataan mereka.[5]

Dengan terbunuhnya Utsman kaum Muslimin menjadi berkelompok-kelompok, terjadilah peperangan antara para sahabat, berbagai fitnah dan hawa nafsu menyebar, banyaknya pertikaian, pendapat menjadi berbeda-beda, dan terjadilah berbagai pertempuran yang membinasakan pada zaman sahabat. Sebelumnya, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-sudah mengetahui fitnah yang akan terjadi pada zaman mereka. Dijelaskan dalam sebuah hadis :

عَنْ أُسَامَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَشْرَفَ عَلَى أُطُمٍ مِنْ آطَامِ الْمَدِينَةِ ثُمَّ قَالَ « هَلْ تَرَوْنَ مَا أَرَى إِنِّى لأَرَى مَوَاقِعَ الْفِتَنِ خِلاَلَ بُيُوتِكُمْ كَمَوَاقِعِ الْقَطْرِ »

Dari Usamah bahwa Nabi pernah memperhatikan sebuah bangunan tinggi dari beberapa bangunan tinggi di Madinah, lalu beliau berkata, ‘Apakah kalian melihat fitnah yang aku lihat ? ‘ Para sahabat menjawab, ‘Tidak.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya aku melihat fitnah-fitnah terjadi di antara rumah-rumah kalian bagaikan kucuran air hujan.’ [6]

An-Nawawi berkata, “Penyerupaan dengan kucuran air hujan terjadi pada sesuatu yang banyak dengan cakupannya yang umum, artinya fitnah tersebut banyak dan tidak khusus menimpa satu kelompok. Ini merupakan isyarat adanya peperangan yang terjadi antara mereka, seperti perang jamal, Shiffin, Hurrah (daerah berbatu), pembunuhan ‘Utsman dan al-Husain…dan yang lainnya. Hadis tersebut juga menunjukkan adanya mukizat Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-yang nampak.[7]

 

Wallahu A’lam

 

Sumber :

Asyraatus saa’ah, Yusuf bin ‘Abdillah bin Yusuf al-Wabil

 

Amar Abdullah bin Syakir  

 

[1]  Shahih al-Bukhari, kitab al-Manaqib, bab ‘Alaamatun Nubuwwah (VI/603-604,al-Fath), dan shahih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyratus Saa’ah (XVIII/16-17, Syarh an-Nawawi).

[2]  Lihat perincian itu peristiwa itu dalam kitab al-Bidayah wan Nihaayah (VII/170-191)

[3]  Lihat, al-‘Awashim minal Qawashim (hal.132-137) tahqiq dan ta’liq Muhibbudin al-Khathib

[4]  Shahih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab al-Fitnah allati Tamuuju ka Maujil Bahri (VIII/48, al-Fath)

[5]  Lihat Fathul Baariy (XIII/51)

[6]  Shahih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyratussa’ah

[7]  Syarh Muslim, karya an-Nawawiy (XVIII/8)

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending