Connect with us

Bid'ah

Bid’ah-Bid’ah di Bulan Muharram (2): Nawashib

Published

on

Pembaca yang budiman…

Pada edisi yang lalu, telah kita sebutkan salah satu bentuk bid’ah yang terjadi pada bulan muharrom yang mulia, yaitu, “Bid’ah Kesedihan Pada Rofidhah (Syi’ah)“di hari Asyuro. Nah, pada pembahasan ini (dengan izin Allah) kita akan membahas mereka yang berseberangan dengan Rafidhah/Syia’ah, yang menjadikan hari Asyuro sebagai musim (moment) kebahagiaan. Mereka adalah Nawashib yang ekstrim membenci al-Husain dan ahlulbait Nabi. Orang-orang bodoh yang menghadapi kerusakan dengan kerusakan, kedustaan dengan kedustaan, kejelekan dengan kejelekan dan bid’ah dengan bid’ah. Mereka membuat-buat keterangan palsu mengenai syi’ar kebahagiaan dan kegembiraan di hari Asyuro; seperti bercelak, mengecat kuku, melebihkan uang belanja keluarga, memasak masakan diluar kebiasaan dan lain sebagainya yang biasa dilakukan pada hari-hari perayaan. Yang akhirnya mereka menjadikannya musim (hari besar) seperti hari-hari besar perayaan dan kebahagiaan.

Mereka ini pertama kali muncul pada zaman Nabi Muhammad Shallallohu ‘Alaihi Wasallam. Abu Sa’id al-Khudri ra berkata, “Ali diutus kepada Nabi Muhammad Shallallohu ‘Alaihi Wasallam dengan membawa emas. Maka Nabi membagikannya kepada empat kelompok: kepada al-Aqro bin Habis al-Handzoli, al-Mujasyi, Uyainah bin Badar al-Fazari, Zaid at-Tho’i, kepada salah seorang dari Bani Nabhan dan al-Qomah bin ‘Alatsah al-Aamiri dari bani Kilab.

Para sahabat Quraisy dan Anshar tidak terima dengan pembagian itu dan berkata: “Beliau membagi pembesar-pembesar Najed dan mengabaikan kami.” Nabi menjawab, “Aku memberikannya untuk meluluhkan hati mereka.” Maka majulah seorang lelaki yang cekung kedua matanya, tebal pipinya, menonjol keningnya, lebat jenggotnya dan botak kepalanya. Dia berkata, “Takutlah kepada Allah, wahai Muhammad!” Nabi menjawab, “Siapa yang akan mentaati Allah jika aku bermaksiat kepada-Nya? Bagaimana Allah memberi kepercayaan kepadaku atas penduduk bumi, tetapi kalian tidak?!” Maka salah seorang sahabat meminta izin untuk membunuh (memenggal leher lelaki itu) (saya kira Khalid bin al-Walid Rodiyallohu ‘Anhu ) tetapi Nabi  melarangnya. Setelah lelaki itu berlalu kemudian Nabi bersabda, “Sesungguhnya dari keturunan orang itu (dibelakang orang itu) akan ada kaum yang membaca al-Quran tetapi tidak melebihi tenggorokannya. Mereka keluar dari agama seperti tembusnya anak panah dari buruannya. Mereka memerangi pemeluk Islam tetapi membiarkan penyembah berhala. Jika aku sempat menjumpai mereka, niscaya aku akan memerangi mereka seperti memerangi kaum ‘Aad.”

Dalam riwayat Muslim: “Ketika kami bersama Rasulullah Shallallohu ‘Alaihi Wasallam dan beliau tengah membagikan harta rampasan perang. Datang kepada beliau Zul Khuwaisiroh (yang berasal dari Bani Tamim). Dia berkata, “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” Rasulullah  menjawab, “Celaka kamu, siapa yang akan berbuat adil jika aku tidak adil. Sungguh tertipu dan merugilah aku jika tidak berbuat adil.” Umar Ibnu al-Khatthab Rodiyallohu ‘Anhu berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku memenggal kepalanya!” Rasulullah Shallallohu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Biarkan dia, sesungguhnya dia memiliki teman-teman yang sebagian kalian akan merasa shalatnya dan puasanya lebih rendah dibanding shalat dan puasa mereka, mereka membaca al-Quran tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka, mereka keluar dari Islam seperti tembusnya anak panah dari objek buruannya. Ia (berusaha) melihat pada kait panahnya tetapi tidak didapati bekasnya, kemudian melihat ke sambungan batang panahnya tetapi tidak didapati bekasnya, kemudian melihat kepada mata panahnya tetapi tidak didapati bekasnya, kemudian melihat ke bulu yang terpasang di pangkal anak panah tetapi tidak mendapati bekasnya, karena cepatnya panah tersebut sehingga tidak ada bekas kotoran maupun darahnya. Ciri atau tandanya diantara mereka ada seorang lelaki hitam yang salah satu buah dadanya seperti perempuan atau seperti daging tumbuh yang menggelayut, mereka keluar ketika terjadi perpecahan di tengah manusia.

Abu Sa’id berkata, “Aku bersaksi bahwa aku mendengar berita itu dari Rasulullah Shallallohu ‘Alaihi Wasallam, dan (setelah Nabi wafat) aku menyaksikan Ali bin Abi Thalib ra memerangi mereka dan akupun berperang bersamanya. Ali minta orang yang disebutkan cirinya oleh Nabi dihadirkan, sehingga dicarilah orang itu dan ditemukan. Ketika didatangkan kepadanya aku melihatnya sebagaimana ciri-ciri yang disebutkan Nabi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kala itu di Kuffah terdapat kaum Syi’ah yang memperjuangkan al-Husain, dipimpin oleh al-Mukhtar bin Ubaid al-Kadzaab. Sedangkan kelompok an-Nashibah membenci Ali dan keturunannya. Diantara mereka yang membenci Ali adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi. Telah falid dalam hadits shahih dari Nabi Shallallohu ‘Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda, “Akan ada di daerah Tsaqif pendusta lagi pembinasa “ dan kala itu dialah pendusta itu, dan pembenci Ali inilah yang binasa.

Kelompok pertama membuat-buat kesedihan. Sedangkan kelompok yang satunya lagi membuat-buat kebahagiaan. Bid’ah yang pertama berasal dari fanatik berlebihan kepada al-Husain ra, sedangkan asal bid’ah yang satunya lagi yaitu fanatik bathil dalam membenci al-Husain, kedua bid’ah ini sesat. Tidak ada seorangpun dari Imam yang empat atau selain mereka yang membenarkan kedua kelompok tersebut. Mereka yang menganggap baik perbuatan tersebut tidaklah memiliki hujjah yang syar’i (dalil dari syari’at).

Tidak diragukan bahwa kelompok Nawashib (yang berlebihan dalam membenci ahlulbait) demikian pula Rafidhah/syi’ah (yang berlebihan dalam mencintai ahlulbait) telah berbuat bid’ah dan kesalahan dalam amalan mereka, menyimpang dari sunnah Nabi. Karena Rasulullah Shallallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ بَعْدِي تَمَسَّكُوا بِهَا وَعُضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Atas kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rashidin (pengganti yang mendapat petunjuk) setelahku. Berpegangalah dengan petunjuk itu dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu. Dan atas kalian meninggalkan amalan yang diada-adakan, karena setiap amalan yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Rasulullah Shallallohu ‘Alaihi Wasallam dan Khulafa ar-Rasyidin tidak menyunnahkan (mengajarkan) sesuatupun dari hal-hal yang mereka perbuat pada hari Asyuro; tidak bersedih dan berkabung tidak pula bergembira dan berbahagia. Ketika Nabi tiba di kota Madinah, beliau mendapatkan kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyuro, lalu beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa (alaihi salam) dari tenggelam di lautan, karenanya kami memuasainya. Maka Nabi Muhammad Shallallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Kami lebih berhak (meneladani) Musa daripada kalian.” Maka beliaupun berpuasa pada pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk berpuasa pada hari itu juga.

Bangsa Quraisy jahiliah dahulu juga mengagungkannya (berpuasa pada hari Asyuro).

Hari yang diperintahkan untuk dipuasai adalah satu hari Asyuro itu saja. Nabi tiba di Madinah pada bulan Rabiulawal. Di tahun berikutnya beliau baru memuasainya dan memerintahkan ummatnya untuk memuasainya juga. Kemudian turun perintah wajibnya puasa Ramadhan pada tahun yang sama, sehingga dihapuslah puasa Asyuro –maksudnya tidak lagi diwajibkan-.

Ulama telah berbeda pendapat apakah puasa Asyuro wajib atau mustahab (disukai) menjadi dua pendapat. Yang paling benar adalah bahwa pada mulanya diwajibkan tetapi kemudian menjadi istihbab (disukai).

Nabi Muhammad Shallallohu ‘Alaihi Wasallam tidak (lagi) memerintahkan seluruh ummatnya untuk memuasainya, beliau hanya bersabda,

هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ، وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ، وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ

“Sekarang adalah hari Asyuro, Allah tidak mewajibkan atas kalian memuasainya, sedangkan aku memuasainya, siapa yang berkehendak silahkan memuasainya dan siapa yang berkehendak silahkan berbuka (tidak puasa).” [Mutafak alaih]

Dan sabdanya pula,

إِنَّ صَوْم عَاشُورَاء يُكَفِّر سَنَةً ، وَإِنَّ صِيَام يَوْم عَرَفَة يُكَفِّر سَنَتَيْنِ

“Puasa Asyuro menghapus dosa (kecil) selama setahun dan puasa Arafah menghapus dosa (kecil) selama dua tahun.”

Diakhir hayat Nabi, sampai berita kepadanya bahwa kaum Yahudi menjadikan Asyuro sebagai hari ‘Id (raya), sehingga Nabi bersabda,

لَئِنْ عِشْت إِلَى قَابِل لَأَصُومَن التَّاسِعَ

“Jika aku masih hidup sampai tahun depan, sunnguh aku akan memuasai (juga) hari kesembilan.” Untuk menyelisihi kaum Yahudi dan tidak menyerupai mereka menjadikannya sebagai hari raya.

Diantara sahabat Nabi dan ulama ada yang tidak memuasainya juga tidak menyukai memuasainya. Bahkan memakruhkan (membenci) jika memuasai hari Asyuro saja, sebagaimana yang dinukil dari sebagian ulama. Sedangkan sebagian lagi menjadikannya istihbab (disukai).

Yang shahih adalah istihbab (disukai) memuasainya. Dipuasai bersamaan dengan hari kesembilan karena itu adalah akhir perintah Rasulullah Shallallohu ‘Alaihi Wasallam: ‘Jika aku hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan memuasainya, (juga) hari kesembilan‘.

Itulah yang disunnahkan oleh Rasulullah Shallallohu ‘Alaihi Wasallam. Adapun hal-hal lain seperti: menyediakan makanan diluar adat kebiasaan, baik makanan dari kacang-kacangan atau lainnya, membeli pakaian baru, melebihkan nafkah harian, berbelanja kebutuhan umum di hari itu, melakukan ibadah khusus seperti shalat tertentu, menyembelih sembelihan, menyimpan daging kurban sampai tiba hari Asyuro untuk dimasak bersama kacang-kacangan, bercelak, mencat (mencutek) kuku, mandi, bersalam-salaman, saling mengunjungi, menziarahi masjid atau tempat-tempat tertentu dan lain sebagainya merupakan bid’ah yang mungkar, yang tidak disunnahkan oleh Rasulullah Shallallohu ‘Alaihi Wasallam tidak pula Khulafa as-Rasyidin, bahkan tidak pula dianggap mustahab (kebaikan) oleh seorangpun Imam kaum muslimin yang masyhur.

Yang wajib adalah mentaati Allah dan Rasulnya Shallallohu ‘Alaihi Wasallam. Mengikuti agama dan jalan yang telah ditentukan. Mencukupi diri dengan petunjuk dan apa yang telah diajarkan. Hendaklah bersyukur atas besarnya nikmat yang telah diberikan.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,yang artinya,

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS.Ali Imraan:164)

Nabi bersabda,

إِنَّ خَيْرَ الْكَلاَمِ كَلاَمُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَي هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah (yang diada-adakan) adalah sesat.”

Sumber : Al-Bid’ah al-Hauliah,  Abdullah at-Tuwaijri.

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Akhlak

Kemungkaran Dalam Qurban – Bagian 3

Published

on

Pada bagian pertama dan kedua dari tulisan ini, telah disebutkan beberapa kesalahan atau kemungkaran kaitannya dengan bentuk ibadah qurban. Dan, berikut ini adalah bentuk kesalahan dan kemungkaran yang lainnya.

 

Sebagian orang ada yang meyakinkan sahnya bersedekah dengan harga hewan kurban sebagai ganti dari menyembelihnya, dan bahwa hal tersebut adalah lebih utama.

Hal ini merupakan kesalahan. Imam Ibnul Qayyim –semoga Allah merahmatinya- mengatakan, ‘Menyembelih (hewan kurban) pada tempatnya adalah lebih utama dari pada bersedekah dengan harganya. Oleh karenanya, andai kata seseorang bersedekah sebagai ganti dari menyembelih hadyu haji tamattu’ dan qiran dengan nilai hewan yang harusnya disebelih yang jauh lebih banyak, bahkan berkali-kali lipat misalnya, maka hal tersebut tidak dapat mengunggulinya, dan demikian pula halnya dalam kasus kurban. (Min Ahkami al-‘Idain Wa ‘Asyri Dzil Hijjah, Abdullah ath-Thayyar, hal. 75-89. Dengan sedikit gubahan)

Dan, hal ini menyelisihi sunnah Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Tidak ada keterangan yang valid dari beliau dan tidak pula dari kalangan para sahabatnya –semoga Allah meridhai mereka- bahwa mereka mengeluarkan harga hewan ternak sebagai ganti dari menyembelih hewan kurban.

 

Sebagian orang ada yang sengaja mengambil rambut kepalanya dan badannya atau memotong kuku-kukunya baik kuku tangannya maupun kuku kakinya dengan alasan bahwasanya membiarkannya bagi orang yang ingin berkurban hanya merupakan perkara sunnah saja, ia tidak berdosa kala tidak melakukannya. Ini merupakan kesalahan. Pelakunya wajib beristighfar memohon ampunan kepada Allah, bila mana ia secara sengaja mengam rambutnya.

Ada juga orang yang keadaanya berkebalikan dengan kondisi mereka, di mana ketika ia dibolehkan untuk mengambil rambutnya karena suatu kondisi darurat yang mengaruskannya, namun ia tidak mengambil rambutnya. Atau, ia membutuhkan untuk memotong kuku karena mengalami keretakan atau sobek, misalnya, namun ia tidak memotong kukunya tersebut. Ini merupakan kesalahan.

 

Ada juga sebagian orang yang mewajibkan membayar fidyah atas orang yang ingin berkurban bila ia tidak memotong kukunya atau rambutnya. Ini merupakan kesalahan. Hal ini tidak memiliki dalil, baik dari kitab ataupun dari sunnah. Yang wajib dilakukannya adalah bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah.

 

Banyak kalangan wanita-kecuali yang dirahmati Allah-yang menganggap remeh urusan kurban, mereka enggan berkurban dengan alasan bahwasanya ia tidak akan mampu untuk menjaga dirinya saat menyisir rambutnya, di mana akan ada rambut kepalanya yang terpotong atau tercabut karena tindakannya tersebut. Maka, kita katakan kepadanya, ‘tidak ada hal yang menghalangi dari tindakan kurban dan menyisir rambut kepala, meskipun ada sebagian rambut kepala yang jatuh tanpa sengaja.

 

Sebagian kalangan lelaki boleh jadi ada yang tidak berkenan untuk berkurban dengan alasan ia khawatir akan berdosa terhadap dirinya sendiri karena ketidakmampuannya untuk membiarkan rambut jenggotnya atau kumisnya.

 

Bersambung …

 

Wallahu A’lam

 

Sumber :

Al-Akhtaa-u Wa al-Mukhalafat al-Muta’alliqah Bi al-Udhiyah (https://e7saan.com/article/details/1014)

 

Amar Abdullah bin Syakir

About Author

Continue Reading

Bid'ah

Merayakan Maulid Nabi, Benarkah Bukti Rasa Cinta?

Published

on

Sungguh, nikmat yang teragung dan terbesar adalah Allah mengutus Rasul-Nya Muhammad  kepada ummat ini dengan membawa kebenaran dan petunjuk yang dengan itu ia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya; ia mewajibkan kepada mereka untuk mencintainya dengan kecintaaan yang mengungguli kecintaan kepada seluruh makhluk, sebagaimana sabda beliau :

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

Tidak beriman salah seorang di antara kalian sebelum aku dicintainya melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Kecintaan kepada Nabi adalah dengan mengikuti beliau dan berjalan di atas jejaknya. Bukan dengan mengadakan perkara baru yang tidak disyariatkan. Allah  berfirman, artinya, Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Qs. Ali Imran : 31)

Di antara bentuk perkara baru adalah apa yang diada-adakan oleh sebagian orang di bulan Rabi’ul Awwal, yaitu : merayakan Maulid Nabi; di mana mereka berkumpul pada malam tanggal 12, mereka beramai-ramai bershalawat kepada Nabi dengan bentuk shalawat yang dibuat-buat, membaca sanjungan dan pujian-pujian kepada Nabi yang berlebih-lebihan yang dilarang oleh Nabi. Beliau e bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ

Wahai sekalian manusia! jauhilah oleh kalian sikap/tindakan ghuluw (berlebihan) di dalam agama ini, karena ghuluw dalam perkara agama telah menyebabkan orang-orang sebelum kalian binasa. (HR. Ibnu Majah dan an-Nasai)

Perkara bid’ah ini pertama kalinya dilakukan oleh kalangan al-Ubadiyyun pada abad ke-4 Hijriyah. Mereka itu dari kalangan Rafidhah Bathiniyyah yang dikatakan oleh al-Baqilaniy, “mereka kaum yang menampakkan fanatisme dan menyembunyikan pengingkaran”.

Berkata Ibnu Katsir,  “al-Qadhi al-Baqilaniy telah mengarang kitab untuk membantah mereka kaum yang menisbatkan dirinya kepada kalangan Fathimiyyun, beliau menamai kitabnya dengan, “ Kasyfu al-Asrar Wa Hatku al-Astar”, di dalamnya beliau menguraikan secara panjang lebar tentang borok dan kejelekan mereka, menjelaskan hakekat ajaran mereka kepada setiap orang sehingga faham akan kecongkakan dan kesombongan perbuatan dan perkataan mereka, beliau mengatakan dalam salah satu ungkapannya, “mereka itu adalah sekelompok kaum yang menampakkan fanatisme dan menyembunyikan pengingkaran” (al-Bidayah wa an-Nihayah, 15/539-540)

Tidak sedikit kalangan yang merayakan maulid Nabi beranggapan bahwa hal tersebut merupakan bentuk kesempurnakan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkannya dan menghormatinya. Sejatinya, ini tidaklah benar. Karena, mencintai beliau, mengagungkan dan menghormatinya tidaklah terwujud dengan menyelisihi petunjuknya dan membuat-buat hal baru dalam agama yang telah disempurnakan oleh Allah untuknya dan ummatnya. Mewujudkan rasa cinta kepada beliau, mengagungkan dan menghormatinya adalah dengan senantiasa mentaatinya, mengikuti perintahnya, dan mengambil petunjuknya, menggigit sunnahnya dengan gigi geraham, dan menghidupkan sunnahnya dengan perkataan dan perbuatan, serta menjauhkan diri dari segala bentuk perkara baru yang telah diwanti-wantinya dan telah diberitakan olehnya bahwa hal-hal tersebut merupakan keburukan dan kesesatan. Nabi bersabda,

لَا يٌؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ

Tidak beriman seorang di antara kalian sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim di dalam as-Sunnah, no. 15 dari Abdullah bin Umar. Syaikh al-Albani melemahkan sanandnya di dalam Zhilalu al-Jannah (1/12). Akan tetapi maknanya shahih dan didukung dengan firman Allah, yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Qs. An-Nisa : 65))

Jalan inilah yang ditempuh oleh orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik.

Sungguh, para sahabat adalah orang-orang yang sangat mencintai Nabi, paling mengagungkan dan menghormati beliau, dan mereka juga orang-orang yang paling bersemangat melakukan kebaikan dibanding orang-orang yang datang setelah mereka; namun begitu mereka tidak memperingati kelahiran beliau dan tidak pula menjadikannya sebagai sebuah perayaan, kalaulah saja melakukan perayaan maulid merupakan bagian dari rasa cinta kepada Nabi yang paling rendah tingkatannya niscaya mereka akan sedemikian bersemangat melakukan hal tersebut dan telah menjadi orang-orang pertama yang melakukannya.

Maka, cukuplah bagi kita jalan yang pertama, Ibnu Umar berkata, “Barangsiapa ingin mengambil teladan maka hendaklah mengambil teladan orang-orang yang telah meninggal dunia, mereka itulah para sahabat Nabi Muhammad, mereka adalah orang-orang terbaik ummat ini, yang berhati paling bagus, paling mendalam ilmunya, paling sedikit membebani diri, sekelompok orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi shabat Nabi; oleh karenanya, hendaklah kalian berusaha meniru akhlak mereka dan cara beragama mereka, karena mereka para sahabat Muhammad Sallallahu alaihi wa sallam  berada di atas petunjuk yang lurus, demi Allah Rabb pemilik Ka’bah. (HR. Abu Nu’aim di dalam Hilyatu al-Auliya 1/305). Berkata Ibnu Mas’ud, “hendaknya kalian mengambil petunjuk yang pertama (as-Sunnah, 80, al-Marwaziy), beliau juga berkata, “ ikutilah, janganlah membuat-buat perkara baru, sungguh telah cukup bagi kalian, dan setiap perkara bid’ah adalah sesat (HR. ad-Darimiy, no. 211)

Mareka adalah para sahabat yang Allah berfirman tentang mereka,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ

Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia (Qs. Ali Imran : 110)

Nabi bersabda tentang mereka,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي

Sebaik-baik generasi adalah yang hidup di masaku (yakni, para sahabat) (HR. al-Bukhari, no. 3651 dan Muslim, no. 2533).

Sementara mereka tidak mengadakan peringatan atau perayaan maulid Nabi, tidak pula generasi yang mengikuti mereka dengan baik, padahal mereka orang-orang yang paling mencintai Nabi dan paling bersemangat di dalam menerapkan sunnahnya, paling jauh dari melakukan perkara bid’ah dan kemungkaran. Imam Malik  berkata, “tidak akan menjadi baik akhir ummat ini kecuali dengan melakukan perkara yang telah menjadikan baik generasi ummat yang pertama (Dinukil oleh al-Qadhi ‘Iyadh di dalam kitabnya, “asy-Syifa bi ta’riifi Huquqi al-mushthafa (2/205).

Baleh jadi ada yang berkata : sesungguhnya orang-orang yang melakukan perayaan atau peringatan maulid tujuannya baik, mereka tidak menginginkan kecuali ridha Allah, menampakkan rasa cinta kepada Nabi dengan melakukan perayaan tersebut.
Kita katakan : bahwa tujuan yang baik harus selaras dengan sunnah Nabi, sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam sebuah riwayat bahwa salah seorang sahabat pernah menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat ied karena ia suka untuk memberi makan Nabi dari sebagian daging kurbannya tersebut seusai beliau melaksankan shalat ied, namun kala Nabi mengetahui hal tersebut, beliau berkata kepadanya,

شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ

kambing yang kamu sembelih adalah kambing daging biasa” (yakni, kambing yang kamu sembelih tersebut bukan merupakan kurban, kamu tidak mendapatkan pahala kurban, bahkan kambing yang kamu sembelih tersebut sama halnya dengan kambing yang dipotong hanya sekedar untuk dimakan) (HR. al-Bukahri, no. 955 dan Muslim, no. 1961)

Yakni, sembelihannya tersebut bukan sebagai kurban karena ia menyembelihnya diluar waktu yang telah ditentukan untuk menyembelih kurban, maka yang demikian itu menyelisihi sunnah, kebaikan tujuannya tidak memberikan faedah kepadanya karena tindakannya yang menyelisihi sunnah.

Sebagian orang yang membolehkan melakukan bid’ah maulid ini berdalih, “ bila mana ahlu salib (kalangan Nasrani) menjadikan malam kelahiran Nabi mereka sebagai perayaan yang paling besar, maka ahlu islam (ummat Islam) lebih utama dan lebih layak tentunya untuk memuliakan (Nabinya) (Dikatakan oleh as-Sakhawiy di dalam kitabnya, at-Tibr al-Masbuk Fii Dzaili as-Suluk, hal. 14). Ini adalah pengakuannya bahwa dilakukannya perayaan Maulid Nabi untuk menyerupai kalangan Nasrani yang menjadikan kelahiran al-Masih sebagai hari perayaan.  Maka, benar sekali apa yang dikatakan oleh Nabi,

لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوْهُمْ قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللَّهِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

Sungguh kalian akan mengikuti cara, jalan dan tradisi/kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga pun kalau mereka masuk ke dalam lobang Dhabb(binatang sejenis biawak) niscaya kalian akan mengikuti mereka. Kami (para sahabat) berkata : wahai Rasulullah, apakah mereka Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab, “siapa lagi kalau bukan mereka”. (HR. al-Bukhari, no. 3456 dan Muslim, no. 2669)

Dengan demikian, tindakan merayakan atau memperingati Maulid Nabi menyerupai tindakan kalangan Nasrani atas kesaksian sebagian kalangan yang menganggap hal tersebut baik. Padahal, Nabi telah bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa menyerupai (tindakan) suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (HR. Abu Dawud, no. 4031)

Maka dari itu, berhati-hatilah Anda dari tertipu oleh semisal  ini sehingga Anda tidak terjatuh ke dalamnya. Allah berfirman, yang artinya, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (Qs. An-Nuur : 63)

 

Penulis :

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Disarikan dari “ Hukmu al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawiy”, Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-Badr.

About Author

Continue Reading

Bid'ah

Asyuro dalam Tradisi dan Kultur Kejawen

Published

on

Bulan Suro banyak diwarnai oleh orang Jawa dengan berbagai mitos dan khurafat, antara lain :

Keyakinan bahwa bulan Suro adalah bulan keramat yang tidak boleh dibuat main-main dan bersenang-senang seperti hajatan pernikahan dan lain-lain yang ada hanya ritual.

Ternyata kalau kita renungkan dengan cermat apa yang dilakukan oleh orang Jawa di dalam bulan Suro adalah merupakan akulturasi Syi’ah dan animisme, dinamisme dan Arab jahiliyah. Dulu, orang Quraisy jahiliyah pada setiap ‘Asyura selalu mengganti Kiswah Ka’bah (kain pembungkus Ka’bah), (Fathul Bari, 4/246). Kini, orang Jawa mengganti kelambu makam Sunan Kudus. Alangkah miripnya hari ini dan kemarin.

Di dalam Islam, ‘Asyura tidak diisi dengan kesedihan dan penyiksaan diri (Syi’ah), tidak diisi dengan pesta dan berhias diri (Jahalatu Ahlissunnah) dan tidak diisi dengan ritual di tempat-tempat keramat atau yang dianggap suci untuk tolak bala’ (Kejawen) bahkan tidak diisi dengan berkumpul-kumpul. Namun yang ada hanyalah puasa Asyura’ dengan satu hari sebelumnya atau juga dengan sehari sesudahnya. Wallohu a’lam.

Artikel  : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet

About Author

Continue Reading

Trending