Connect with us

Ramadhan

Hadits-hadits Tentang Puasa 1

Published

on

Para pembaca yang budiman.

عن أبي هريرة – رضي الله عنه – عن النبي r قال: “لا تقدّموا رمضان بصوم يوم ولا يومين، إلا رجل كان يصوم صوماً فليصمه” [رواه : البخاري ومسلم].

Dari Abu Huroiroh – semoga Alloh meridhoinya- dari nabi shallallohu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “ janganlah kalian mendahului romadhan dengan berpuasa sehari jangan pula dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa, maka silakan ia berpuasa (HR. al-Bukhori dan Muslim) (HR. al-Bukhori, 4/127 Fath, Muslim, no.1082, dan lafazh hadis ini adalah miliknya)

Hadis ini menunjukkan larangan berpuasa sebelum validnya waktu masuk bulan romadhan, dengan berpuasa sehari atau dua hari sementara orang tersebut tidak biasa berpuasa dan ia memaksudkan puasanya tersebut sebagai bentuk kehati-hatian untuk romadhan. Hal ini karena, puasa merupakan ibadah yang telah dibatas waktu tertentu yaitu terlihatnya hilal (bulan baru), maka berpuasa sebelum terlihatnya bulan baru ( yang menandakan masuknya bulan romadhan-ed) termasuk bentuk melanggar batasan-batasn Alloh ta’ala. Dan hal tersebut memungkinkan akan terjadi penambahan dalam ibadah.

Imam at Tirmidzi setelah menyebutkan hadis ini mengatakan : inilah yang dipraktekkan oleh para ahli ilmu, mereka tidak menyukai bila seseorang bersegera berpuasa sebelum masuknya bulan romadhan dengan dugaan bahwa romadhan telah masuk(Tuhfatul Ahwadzi, 3/364).

Dari hadis juga diabil faedah adanya larangan berpuasa pada hari yang diragukan (yaumu syak) karena larangan mendahului romadhan dengan berpuasa merupakan larangan berpuasa sebelum validnya waktu masuk bulan romadhan, akan datang penjelasannya insyaa Alloh.

Adapun barangsiapa mempunyai kebiasaan puasa pada hari tertentu seperti senin – kamism atau berpuasa sehari berbuka sehari, lalu bertepatan waktunya dengan sehari atau dua hari sebelum romadhan, maka tidaklah mengapa hal itu karena telah hilangnya larangan. Begitu pula halnya bagi orang yang berpuasa wajib seperti puasa karena nazar atau karena kafarat atau mengqodho puasa romadhan sebelumnya, semua ini adalah boleh. Karena hal itu tidak termasuk menyambut bulan romadhan.

Jika ditanya, apa jawaban terhadap hadis ‘Imron bin Hushoin-semoga Alloh meridhoi keduanya- bahwa nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada seseorang apakah engkau berpuasa dari sarori bulan ini, yakni : sya’ban ? orang tersebut menjawab : tidak. Maka Rosululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, ”

فإذا أفطرت من رمضان فصم ” ( kalau begitu, engkau tidak berpuasa dari bulan romadhan. Oleh karena itu, berpuasalah dua hari sebagai penggantinya(HR. al-Bukhori, 3/230, Muslim, no. 1161, dan lafazh ini adalah miliknya)  , yang mana ini menunjukkan disyariatkannya puasa pada akhir hari bulan sya’ban ; karena yang dimaksud dengan sarori bulan, yakni : akhirnya.

Maka, jawabannya : bahwa sanya tak ada pertentangan antara hadis ini dengan hadis Abu Huroiroh yang disebutkan diatas. Karena hadis Imron dibawa kepada orang ini bahwa ia biasa berpuasa pada akhir bulan. Ia meninggalkannya karena khawatir masuk dalam larangan mendahului romadhan dengan puasa sementara belum samapai kepadanya adaanya pengecualian. Oleh kerena itu, nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa puasa yang biasa dilakukan tidak termasuk dalam larangan. Dan beliau memerintahkan orang tersebut untuk menggantinya agar terjadi keberlangsungan dirinya dalam memelihara puasa yang merupakan ibadah yang biasa ia lakukan   kerena amal yang paling dicintai oleh Alloh adalah yang berkesinambungan(Silakan lihat : Tahdziib as Sunan, Ibnu al-Qoyyim(3/221)

Adapun hadis Abu Huroiroh –semoga Alloh meridhoinya- bahwa rosululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,

“إذا انتصف شعبان فلا تصوموا”

Bila bulan sya’ban sudah masuk pertengahannya, maka janganlah kalian berpuasa. Dalam sebuah riwayat,

“إذا كان النصف من شعبان فأمسكوا عن الصيام حتى يكون رمضان”.

Bila sudah pertengan sya’ban, maka hendaklah kalian menahan diri dari puasa hingga tiba bulan ramadhan.

Maka, hal ini dapat dijawab dengan dua jawaban :

Pertama, bahwa hadis tersebut diperselisihkan (oleh para ulama ) tentang kedudukannya apakah shohih ataukah dho’if(Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud, 6/460, at Tirmidzi, 3/437, Ahmad, 2/442, imam Ahmad berkomentar tentang hadis tersebut : ini hadis munkar, dan Abdurrohman bin Mahdiy, Abu Zur’ah ar Roziy dan al-Atsrom menganggapnya munkar, sementara at Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim dan yang lainnya menshohihkannya. Silakan lihat : ‘Aunul Ma’buud, 6/460, Mukhtashor Sunan Abu Dawud beserta Ma’alimu as Sunan, dan Tamhiid karya Ibnu al-Qoyyim, 3/223-225)

Kedua, menurut pendapat bahwa hadis tersebut shohih maka hadis tersebut dibawa kepada orang yang berpuasa sunnah secara mutlaq yang dimulai sejak pertengahan bulan sya’ban, adapun orang yang bisanya berpuasa senin kamis, atau puasa sehari berbuka sehari, atau ia melanjutkan puasanya yang telah dilakukannya pada pertengahan yang peratma ke pertengahan yang kedua, atau orang tersebut berpuasa karena ia berkewajiban mengqodho puasa yang pernah ia tinggalkan pada romadhan sebelumnya, maka tidaklah masuk dalam larangan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Dan, telah valid bahwa nabi shallallohu ‘alaihi wasallam berpuasa pada bulan sya’ban. ‘aisyah pernah ditanya tentang puasa Rosululloh shallallohu ‘alaihi wasallam, ia pun menjawab,

“كان يصوم شعبان حتى يصله برمضان”

Biasanya beliau berpuasa pada bulan sya’ban hingga beliau melanjutkannya dengan puasa di bulan romadhan.

Ia juga berkata,

وكان يتحرى صيام الاثنين والخميس

Dan beliau biasa melakukan puasa hari senin dan hari kamis.

Hal ini tidak bertentangan dengan hadis Abu Huroiroh, karena puasa beliau shallallohu ‘alaihi wasallam pada bulan sya’ban merupakan kebiasaan yang beliau lakukan, sehingga hal tersbut termasuk dalam pengecualian dalam hadis Abu Huroiroh, “ إلا رجل كان يصوم صوماً فليصمه ” ( kecuali seseorang yang bisa berpuasa dengan suatu puasa, maka silahkan ia berpuasa). Wallohu a’lam

Ya Alloh, sesungguhnya kami memohon kepadamu kunci-kunci kebaikan dan وخواتمه وجوامعه , dan kami memohon kepada-Mu derajat yang tinggi di Surga. Ya Alloh sesungguhnya kami memohon kepadaMu keimanan yang dengannya kami mengambilnya sebagai petunjuk, cahaya yang dengannya kami menjadikannya sebagai penerang, rizki yang halal yang dengannya kami mencukupkan diri, serta berikanlah ampunan ya Alloh kepada kami dan kepada kedua orang tua kami serta kepada seluruh kaum muslimin. Semoga sholawat dan salam dicurahkan kepada nabi kita Muhammad.

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Bagaimana Cara Puasa Mewujudkan Takwa?

Published

on

By

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  [البقرة : 183]

 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

(al-Baqarah : 183)

**

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-memerintahkan dan mendorong berpuasa karena puasa menjadikan kita menjaga diri. Pertanyaannya, menjaga diri dari apa ?

 

Sebelum menjawab pertanyaan ini, tentu akan bermanfaat apabila kita merujuk kepada asal-usul kata takwa itu sendiri, karena takwa itu berasal dari kata ittiqa, yang berarti menangkal gangguan dari diri. Kita menemukan, bahwa makna kata ini berporos pada perilaku yang didorong oleh rasa takut. Dan, perilaku ini akan melindungi seseorang dari apa yang ia takuti.

 

Dengan demikian, makna takwa adalah menjadikan pelindung antara diri Anda dan sesuatu yang Anda takutkan. Anda takut kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-karena Anda beriman kepada-Nya, dan beriman kepada keluhuran dan kuasa-Nya. Dan dengan berpuasa, Anda menjadikan suatu perlindungan antara diri Anda dan siksa Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Selain itu, Anda takut kepada neraka, karena neraka itu benar adanya. Dan dengan berpuasa, Anda menjadikan suatu perlindungan antara diri Anda dan adzab neraka.

 

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ سَلَّمَ-bersabda,

 

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

 

“Siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, Allah menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh (perjalanan) tujuh puluh tahun.” (Muttafaqun ‘Alaih)

 

“Takwa adalah asas keselamatan dan penjaga yang tidak pernah tidur, yang meraih tangan seseorang ketika terjatuh.” (Ibnul Jauzi)

 

Bagaimana Cara Puasa Mewujudkan Takwa ?

 

Salah satu tuntutan puasa dalam Islam adalah seorang muslim yang berpuasa menahan diri dari keinginan-keinginan tubuh yang mendesak dan juga kebutuhan-kebutuhan utamanya, serta mencegah jiwa dari apa yang diinginkannya, bukannya demi meraih manfaat materi di baliknya. Akan tetapi, seorang muslim berpuasa karena menjalankan perintah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, dan demi mendekatkan diri kepada-Nya. Ini termasuk salah satu manfaat takwa, yaitu kita mengerjakan apa yang Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-perintahkan kepada kita, baik akal bisa menerimanya atau pun tidak, baik jiwa mengetahui rahasia pemberlakuan syariat puasa atau pun tidak.

 

Betapa banyaknya orang yang terhalang dari kebaikan, mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram disebabkan karena menggunakan akal terlalu berlebihan, dan menyatakan bahwa perintah-perintah ilahi tidak sesuai dengan akal mereka yang tidak laku dan rusak, selain juga mereka tidak bisa membedakan antara alasan dan hikmah pemberlakuan syariat.

 

“Tetaplah bertakwa dalam segala kondisi, karena di dalam kesempitan, yang engkau lihat hanyalah kelapangan ; dan ketika sakit, yang engkau lihat adalah kesehatan.” (Ibnul Jauzi)

 

**

Ibadah adalah Jalan Kita Menuju Takwa

 

Seorang hamba tidaklah meraih takwa, kecuali dengan konsisten menjalankan ketaatan, melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan berbekal diri dengan amalan-amalan nafilah (sunnah), karena keinginan untuk mencapai takwa dan mencapai derajat orang-orang yang bertakwa itu mendorong seorang muslim untuk mencurahkan tenaganya secara lebih dan menjalankan berbagai macam ibadah agar jiwa tidak  bosan dan jemu. Selain juga akan mendorongnya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah-ibadah sesuai dengan aturan-aturan syar’inya.

 

Inilah yang kita temukan di bulan Ramadhan, bulan puasa, karena banyak di antara kaum Muslimin yang mungkin hanya melaksanakan qiyamullail di bulan Ramadhan saja. Dan di bulan Ramadhan pula, ia bersungguh-sungguh mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak sekali atau berkali-kali, mengulurkan tangan untuk bersedekah, dan amalan-amal ibadah lainnya.

 

Seperti itulah ibadah demi ibadah dilakukan secara berturut-turut, di mana seorang muslim bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan waktu dan tenaganya, sesuai dengan tingkat ekonominya ; kaya atau miskinnya, dan sesuai dengan kondisi sehat atau sakitnya, demi mengharap menjadi orang yang bertakwa, karena takwa itu mendorong untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah, serta melaksanakan ragam ibadah.

**

“Ketika jiwamu condong kepada syahwat, maka kekanglah ia dengan tali kekang takwa.” (Ibnul Jauzi)

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.33, 34 dan 36.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Puasa, Agar Kamu Bersyukur

Published

on

“Apabila nikmat-nikmat berdatangan kepadamu, janganlah engkau mengusirnya dengan kurang bersyukur.” (Ats-Tsa’labi)

 

**

Bersyukur kepada Allah ta’ala merupakan salah satu tujuan puasa dan rahasia pemberlakuan syariat puasa yang dituturkan oleh ayat-ayat puasa :

 

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ  [البقرة : 185]

 

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur

(al-Baqarah : 185)

 

Syukur itu dipanjatkan karena adanya nikmat. Orang seringkali terbiasa dengan adanya nikmat. Karena sudah terbiasa, mereka lupa untuk memanjatkan syukur kepada Allah ta’ala, karena orang umumnya hanya merasakan adanya nikmat dan nilainya, ketika nikmat tersebut sudah tidak ada lagi.

 

Karenanya, puasa datang untuk kembali mengingatkan orang akan adanya nikmat-nikmat pada dirinya, dan mengajak bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat-nikmat itu. Firman Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – :

 

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ  [النحل : 18]

 

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (An-Nahl : 18)

 

Puasa datang untuk mengingatkan kembali nikmat suap makan dan tegukan minum kepada seseorang, mengingatkan pentingnya kenyang dan puas minum, sehingga hal itu mendorongnya untuk bersyukur kepada Sang pemberi nikmat, dan tidak berlebihan dalam makan dan minum, juga tidak boros.

 

Di antara perilaku Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-adalah ketika beliau merebah ke tempat tidur, beliau bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat makanan yang beliau makan hingga kenyang, nikmat air minum yang membuatnya puas serta menghilangkan dahaga, nikmat tempat bernaung yang memberikan naungan dan hunian bagi beliau. Karenanya beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-berdoa :

 

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَكَفَانَا وَآوَانَا فَكَمْ مِمَّنْ لاَ كَافِىَ لَهُ وَلاَ مُئْوِىَ

 

“Segala puji bagi Allah yang memberi kami makan, minum, mencukupi kami dan memberi kami tempat berteduh. Berapa banyak orang yang tidak mendapatkan siapa yang memberi kecukupan dan tempat berteduh untuknya.” (HR. Muslim)

 

Pada suatu hari, beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-makan kurma muda bersama Abu Bakar dan Umar –رَضِيَ اللهُ عَنْهُما-, serta minum air. Seusai makan, beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berkata :

هَذَا مِنَ النِّعَمِ الَّذِي تُسْأَلُوْنَ عَنْهُ

 

“Ini termasuk di antara nikmat yang kalian kelak akan ditanya tentangnya.” (HR. Ahmad)

 

Lapar mengingatkan Anda pada nikmat suap makanan, dan dahaga membuat Anda merasakan nikmat air minum. Dengan bersyukur, nikmat-nikmat tersebut akan tetap langgeng bertahan.

 

“Siapa dikaruniai syukur, ia tidak terhalang dari tambahan nikmat.”

 

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.37-38.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Jangan Sampai Puasa Tidak Berpahala Karena Lidah Masih Terus Bermaksiat

Published

on

Ibadah Puasa memiliki pahala yang sangat besar di sisi Allah Ta’ala, terlebih Puasa Ramadhan, karena hukumnya wajib, dan amalan wajib lebih berpahala daripada yang sunnah, dan yang wajib tidak boleh ditinggalkan, jika tertinggal maka harus diganti (qadha).

Namun dalam pelaksanaannya, menunaikan ibadah puasa ramadhan bukan hanya dengan tidak melakukan pembatalnya, seperti makan/minum dan berhubungan badan, dll.

Namun dalam berpuasa, seseorang juga harus menahan dirinya dari maksiat-maksiat lainnya meski itu tidak membatalkan dan puasanya tetap sah.

Dan diantara maksiat-maksiat itu adalah dosa-dosa lisan, seperti berbohong, menghina, menghibah dan lain sebagainya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

 

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan dari mengerjakannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari)

 

Dan beliau bersabda:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

 

“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia  dan perkataan tidak sopan. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau mengganggumu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim)

 

Jadi, tujuan dari puasa itu adalah mendidik seseorang untuk menjadi lebih baik dengan mampu menahan seluruh hawa nafsunya, bukan hanya sekedar kuat tidak makan dan minum seharian.

 

Maka, raihlah di bulan ramadhan ini pahala sebanyak-banyaknya dan raihlah ampunan Allah Ta’ala.

Dan jadikan ramadhan ini momen untuk berubah, karena mungkin berubah menjadi baik pada bulan-bulan sebelumnya sulit, sedangkan pada bulan ini lebih mudah karena kondisi yang mendukung, yaitu ketika semua orang berusaha menahan dirinya dan memperbanyak ibadahnya serentak dalam satu waktu.

 

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menaungi kita semua dengan taufik dan hidayah-Nya.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending