Connect with us

Muslimah Muhtasibah

5 Hal Yang Yang Tidak Boleh Dilakukan Seorang Muslimah Dalam Berhias Diri

Published

on


Agama Islam yang lurus datang dengan memenuhi panggilan naluri kewanitaan yang berkaitan dengan kecintaan wanita terhadap perhiasan sejak masa kanak-kanaknya. Allah ta’ala  berfirman :

أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ (١٨)

“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” (QS. Az-Zukhruf: 18)

Maka Allah membolehkan bagi wanita sebagian dari perhiasan-perhiasan yang dapat memenuhi hasratnya dan melarang atasnya berbagai bentuk perhiasan yang lain.

Dan sebagai bentuk pertimbangan dari tersebarnya pelanggaran-pelanggaran dalam hal ini, sepatutnya ada dari kalangan kaum hawa yang melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar terhadap wanita yang melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut,

Maka diantara hal-hal yang dilarang dalam berhias :

1. Tabbarruj

Tabarruj adalah menampakkan perhiasan kepada orang yang tidak diperbolehkan untuk melihat perhiasan tersebut. Dan sikap wanita ketika memamerkan kecantikannya kepada para laki-laki (yang tidak halal baginya pent.)

Jika seorang wanita –yang hatinya terikat dengan bakti kepada agamanya dan menghidupkan syi’ar amar ma’ruf nahi munkar demi mencari keridhaan Allah-  melihat seorang wanita yang melakukan tabarruj maka akan menjelaskan kepada wanita tersebut hukum syar’i tentang perbuatan yang serupa di dalam firman Allah ta’ala.

Allah  ta’ala berfirman :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (٣٣)

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzaab : 33)

Tingkah laku orang jahiliyah yang dahulu adalah perbuatan yang terlarang. Dan maksudnya adalah apa yang dahulu dilakukan para wanita seperti berlemah lembut dalam gerakan dan berlenggak-lenggok dalam berjalan, dan menampakkan perhiasan dari bagian tubuh dan menampakkan apa yang dipakai di tubuh, dan perbuatan yang merangsang birahi para lelaki.[1]

Dan berhias di hadapan para laki-laki bukan mahram sebagaimana hal tersebut terlarang secara syar’i. Maka sudah semestinya wanita yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar menjelaskan bahaya perbuatan tersebut bagi psikologis dan fisik.

Dan hal itu hanyalah sikap membuat-buat kecantikan yang palsu. Kecantikan yang ditampakkan wanita dalam ketertipuan dan kesombongan yang keluar dari norma yang benar.

2. Menyambung Rambut

Adapun perhiasan yang terlarang yang seharusnya seorang wanita yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar melarangnya di antaranya adalah :

Yang behubungan dengan rambut wanita seperti perihal menyambung rambut, baik dengan rambut yang lain atau dengan kain.

Dan hukum perbuatan ini seperti yang ada dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda :

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ

“Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang meminta disambung rambutnya dan wanita yang mentato dan meminta ditato.”[2]

Maka hendaknya seorang wanita yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar menjelaskan terhadap wanita yang melakukan pelanggaran tersebut bahwasanya makna laknat adalah dijauhkan dari rahmat Allah, yang berusaha untuk meraihnya setiap muslimah agar jera dari perbuatan mungkar tersebut.

Dan yang lebih menekankan kepada engkau wahai saudariku yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar  apa yang diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyib rahimahullah berkata :

قدم معاوية رضي الله عنه المدينة فخطبنا وأخرج كبة من شعر فقال ما كنت أرى أن أحدا يفعله إلا اليهود إن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – بلغه فسماه الزور

“Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu datang ke Madinah kemudian berkhutbah dan mengeluarkan segulung rambut kemudian berkata : Tidak pernah aku melihat seorangpun melakukannya kecuali orang-orang yahudi. Sesungguhnya hal itu sampai kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam  maka beliau menamainya az zuur kebathilan.”[3]

Dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu  ketika datang ke Madinah untuk berhaji meingkari para penduduknya dan para ulamanya atas perbuatan mereka yang tidak mengingkari menyambung rambut dan ia berkata seraya mengangkat segulung rambut –yakni yang disambung- : aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang dari perbuatan seperti ini dan bersabda :

إِنَّمَا هَلَكَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ حِيْنَ اتَّخَذَ هَذِهِ نِسَاؤُهُمْ

“Sesungguhnya celakanya Bani Israail ketika wanita-wanitanya melakukan perbuatan ini.”[4]

Maka inginkah engkau wahai yang terjatuh ke dalam kemunkaran ini untuk berbuat kebathilan dan menjadi sebab celakanya dirimu dan menjadikannya sasaran azab?!

Dan yang dimaksud dengan al-washl adalah tambahan pada rambut dari selainnya, baik dengan rambut atau selainnya.

Dan yang dimaksud dengan al-waashilah adalah wanita yang menyambung rambut baik untuk dirinya sendiri atau orang lain.

Dan yang dimaksud dengan al-mustaushilah adalah wanita yang meminta disambung rambutnya dan melakukannya.

Dan mayoritas ulama berpendapat tentang haramnya menyambung rambut dengan rambut, atau dengan kain, atau dengan sesuatu yang lain. Dan yang menguatkan pendapat mayoritas ulama adalah keumuman hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata :

زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ تَصِلَ الْمَرْأَةُ بِرَأْسِهَا شَيْئًا

“Nabi shallallhu ‘alaihi wasallam melarang wanita untuk menyambung sesuatu dengan kepalanya.”[5]

Dan ini larangan yang umum dari setiap perbuatan menyambung rambut, baik dengan rambut atau selainnya.

Dan wara’ (sikap kehati-hatian dalam beragama) adalah dengan menjauhi itu semua.

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang seorang wanita Anshar untuk menyambung rambut kepala milik anaknya yang menunjukkan bahwasanya menyambung rambut haram hukumnya, walaupun karena kebutuhan wanita terhadap hal itu.

Maka di dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya seorang gadis dari Anshar menikah kemudian sakit dan rontok rambutnya. Maka orang-orang ingin menyambungnya, maka mereka bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ

“Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang meminta disambung rambutnya”[6]

Dan suaminya menginginkannya dan rambutnya yang telah hilang banyak darinya dan menjadi berubah menjadi jelek disebabkan penyakit. Jika saja ada rukhshah (keringanan) maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentu akan mengizinkannya untuk menyambung rambutnya walaupun dengan sesuatu selain jenis rambut, apalagi menyambung rambut tersebut untuk suami bukan untuk yang lainnya. Akan tetapi datang jawaban dengan tegas dengan laknat terhadap wanita yang menyambung rambutnya dan yang meminta disambung rambutnya.

Dan pabrik-pabrik kosmetik telah membuat berbagai macam rambut palsu sesuai dengan keinginan manusia. Hal itu yang lebih dikenal dengan Al-Baaruukah , yang diletakkan di atas seluruh bagian kepala pada umumnya. Dan ia haram secara pasti, karena termasuk al-washl.

Dan lebih utama dihukumi dengan keharaman karena di dalamnya terdapat pengelabuan, sifat kekanak-kanakan, dan pebuatan meniru orang-orang kafir [7]

3. Al-Wasym (Tato)

Dan termasuk perhiasan yang dilarang  adalah tato. Dan inilah wahai muslimah -yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar- yang menunjukkan akan haramnya tato. Agar engkau dapat berdalil dengannya di hadapan yang melakukan pelanggaran tersebut. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata :

لعن الله الواشمات والمستوشمات، والمتنمصات، والمتفلجات للحسن، المغيرات خلق الله، مالي لا ألعن من لعنه رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، وهو في كتاب الله؟ ويريد بذلك قوله – تعالى -:(وَمَا آتَاكُمْ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا)

“Semoga Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dan minta ditato, dan yang mencabut rambut yang ada di wajah, dan yang merenggangkan  gigi untuk kecantikan, yang merubah ciptaan Allah. Mengapa aku tidak melaknat orang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam laknat dan ia ada dalam Al-Qur’an? Yang dimaksud adalah firman Allah ta’ala : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr : 6)[8]

Maka laknat merupakan dalil terlarangnya. Karena Allah Yang Maha Bijaksana tidak melaknat kecuali atas sesuatu yang haram.

Dan maksud dari Al-Wasym adalah menusukkan jarum ke dalam tubuh hingga darah mengalir, kemudian diisi tempat tersebut dengan celak atau nuurah atau bahan yang dikenal dengan nalj. Maka bagian tersebut menjadi berwarna hijau. Dan meniggalkan tanda yang jelas.[9]

Biasanya hal itu dilakukan di wajah atau tangan. Dan terkadang para wanita melakukannya di kaki.

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata setelah mendefinisikan al-wasym (tato) : “Terkadang hal itu (tato) dilakukan dengan cara diukir, dan terkadang dibuat dalam bentuk lingkaran, dan terkadang ditulisi nama kekasih. Dan melakukan perbuatan  tersebut haram dengan dalil adanya laknat. Dan bagian tubuh yang ditato berubah menjadi najis, karena darah di dalamnya ternajisi. Maka wajib dihilangkan jika memungkinkan walaupun dengan dilukai, kecuali jika dikhawatirkanakan terjadinya kerusakan atau kecacatan atau hilangnya fungsi anggota tubuh tersebut, maka boleh untuk dibiarkan. Dan taubat dari hal itu sudah mencukupi untuk gugurnya dosa. Dan hal itu sama hukumnya pada laki-laki dan perempuan.”[10]

Adapun Al-Waasyimah, maka Imam Abu Dawud rahimahullah mendefinisakannya dengan perkataannya :

“Dia adalah wanita yang menjadikan khayalan-khayalan pada wajahnya dengan celak atau tinta”[11]

Dan Al-Mustausyimah adalah wanita yang meminta untuk ditato.[12]

4. An-Namash (Mencabut Rambut Pada Wajah)

Dan termasuk perhiasan yang dilarang adalah An-Namash. dan telah disebutkan dalan hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang terdahulu bahwa ia adalah mencabut rambut yang ada di wajah seperti yang disebutkan Imam Ibnul Atsir rahimahullah.[13].

Dan Imam Abu Dawud rahimahullah menjadikannya lebih khusus dari itu. Maka beliau berkata :

وَالنَّامِصَةُ الَّتِى تَنْقُشُ الْحَاجِبَ حَتَّى تَرِقَّهُ

“Dan An-Naamishah adalah wanita yang mencabut alis untuk menipiskannya.”[14]

Dan berkata Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ; “Dan An-Nammaash adalah menghilangakan rambut pada wajah dengan alat pencabut, dan dinamakan alat pencabut bulu karenanya.”[17]

Dan An-Naamishah adalah wanita penghias wanita dengan mencabut rambut pada wajah.

Dan Al-Mutanammishah adalah wanita yang dihias dengan dicabut rambut wajahnya.

Dan An-Namash adalah lembut dan tipisnya rambut sampai-sampai Anda melihatnya seperti bulu halus.[16]

Dan perkara ini referensinya adalah bahasa Arab. Maka yang tampak bahwasanya An-Namash adalah mencabut rambut yang ada pada wajah, seperti yang dikatakan Al Farraa’.[17]

Maka An-Namash (mencabut bulu pada wajah) dengan makna ini kami nilai haram; berdasarkan teks dalil. Karena laknat tidak jatuh kecuali pada hal yang diharamkan. Dan Allah telah melaknat orang yang mencabut rambut pada wajah dan yang meminta dicabut rambut pada wajahnya.

Dan sebagian ulama telah mengkhususkan keharamannya jika dilakukan dengan tujuan untuk mengelabui. Atau perkara tersebut dibawa atas para wanita yang mengelabui dan mereka adalah wanita-wanita fajir.

Adapaun untuk suami maka larangan bersifat tanziih (menjauhkan dari apa yang menodai). Menukilkan hal itu Imam Ibnu Hajar dari sebagian ulama hanbali.[18]

Dan yang nampak bahwasanya : An-Namash (mencabut rambut pada wajah) haram hukumnya, baik untuk wanita yang bersuami ataupun bukan. Dari keumuman dalil yang tidak membedakan antara wanita bersuami atau yang lainnya.

Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menukilkan perkataan Imam Ath-Thabari rahimahullah :

“لا يجوز للمرأة تغيير شيء من خلقتها التي خلقها الله عليها، بزيادة أو نقص التماس الحسن، لا للزوج ولا لغيره كمن تكون مقرونة الحاجبين فتزيل ما بينهما، توهم البلج، وعكسه”

“Tidak boleh bagi wanita untuk merubah sesuatupun dari bentuk ciptaanya yang Allah ciptakan dalam bentuk tersebut, baik dengan menambah atau mengurangi agar memperoleh keindahan, tidak untuk suami tidak untuk yang lainnya. Seperti menghilangkan apa yang ada di antara dua alis sehingga terlihat jauh antara keduanya ataupun sebaliknya.”

Dan di sinilah persoalan yang berkaitan dengan An-Namash (mencabut rambut alis) yakni yang dikenal dengan tasyqiirul hawaajib. Dan itu adalah penggunaan cat berwarna serupa dengan wajah pada suatu bagian dari alis agar tampak tipis dan transparaan.

Dan menurut pendapat saya bahwasanya hal itu bukan termasuk An-Namash, karena An-Namash adalah mencabut. Dan ini bukanlah mencabut. Maka siapa yang mengqiyaskannya (menganalogikannya) dengan An-Namash maka qiyasnya tidak sesuai. Maka tidak dilarang melakukannya.[20]

5. Menghaluskan dan Merenggangkan Gigi

Dan diantara perhiasan yang dilarang adalah menghaluskan dan merenggangkan gigi dan adalah ketergila-gilaan para wanita dalam mencari senyuman yang menyihir dan menampakkan usia belia.

Dan Al-Wasyr  perbuatan wanita meruncingkan giginya dan menipiskannya untuk keindahan, dan melakukannya wanita tua agar tampak bahwa di umur gadis.  Dan ini termasuk ke dalam pengelabuan.

Telah ada di dalam hadits Abu Raihanah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Diharamkan menghaluskan, mewarnai, dan mencabut.[21]. Maka hadits ini menunjukkan akan keharaman perbuatan semacam ini.

Adapun Al-Falaj berarti menjauhkan jarak antar gigi. Dan Al-Mutafallijah adalah wanita yang menjauhkan jarak antara gigi-giginya, dan menjadikan celah antara gigi seri depan dan gigi seri belakang memisahkan di antara gigi demi kecantikan.[22]

Dan hukum merenggangkan gigi telah disebutkan dakam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang terdahulu yakni laknat yang menunjukkan keharaman.

Dan larangan ini khusus bagi yang melakukannya demi keindahan dan kecantikan sebagamaina yang tentukan Allah, atau demi mengelabui.

Adapun jika giginya sakit atau tidak lurus serta butuh kepada perenggangan dan penyamaan dan pengembaliannnya ke bentuk aslinya, maka tidak masuk ke dalam larangan.[23]

Maka semua yang telah terdahulu dari kemungkaran-kemungkaran dalil tentang keharamnnya adalah laknat.

Dan yang menjerumuskan wanita ke dalam hal tersebut adalah pemahaman yang salah tentang kecantikan dan keindahan.

Dan tanggung jawab ada di pundak yang mengabdikan dirinya untuk mengingkari kemungkaran pada kaum wanita.

Hal itu karena  kemungkaran-kemungkaran ini pada umumnya tidak nampak pada kaum laki-laki.

Dan wajib baginya untuk menjelaskan terhadap mereka makna kecantikan yang hakiki yang tidak dibangun di atas apa yang Allah ta’ala larang seperti mengubah cipataan-Nya.

Footnote :

[1] Tafsiir Ath Thabari jilid. 20 hlm 260.

[2] Shahiih Al Bukhari, Kitab Al Libaas, Bab Washlu Asy-Sya’r, hadits no. 5933.

[3] Shahiih Muslim, Kitab Al Libaas Waa Az Ziinah, Bab Tahriimu Fi’li Al-Waashilah, hadits no. 123

[4] Shahiih Al Bukhari, Kitab Al Libaas, Bab Washlu Asy-Sya’r, hadits no. 5932 dan Shahiih Muslim, Kitab Al Libaas Wa Az Ziinah, Bab Tahriimu Fi’li Al-Waashilah, hadits no. 2127.

[5] Shahiih Muslim, Kitab Al Libaas Waa Az Ziinah, Bab Tahriimu Fi’li Al-Waashilah, hadits no. 121

[6] Shaihih Al Bukhari, Kitab Al Libaas, Bab Washlu Asy-Sya’r, hadits no. 5934

[7] Daliilu Al-Mar’ah hlm. 97

[8] Shahiih Al Bukhari, Bab Al Mutafallijaat Lil Husn no. 5587.

[9] An Nihaayah Fii Ghariibil Hadiits, jilid. 5 hlm. 189, Syarh Shahiih Muslim jilid. 12 hlm. 106.

[10] Fathul Baarii jilid. 10 hlm. 372.

[11] Sunan Abi Daawud jilid. 4 hlm. 399.

[12] An Nihaayah Fii Ghariibil Atsar jilid. 5  hlm 416.

[13] An Nihaayah Fii Ghariibil Hadiits, jilid. 5 hlm. 119.

[14] Sunan Abi Daawud jilid. 4 hlm. 399.

[15] Fathul Baarii jilid. 10 hlm. 377.

[16] Al Qamuus Al Muhiith jilid. 1 hlm. 817.

[17] Taajul ‘Aruus min Jawaahiril Qaamuus jilid. 18 hlm. 191.

[18] Fathul Baarii jilid. 10 hlm. 378.

[19] Fathul Baarii jilid. 10 hlm. 377.

[20] Daliil Al Mar’ah Al Muslimah jilid. 6 hlm. 99.

[21] Sunan An Nasaa-i, Kitaab Az Ziinah, Bab Tahriim Al Wasyr hadits no. 5110, Musnad Ahmad jilid. 4 hlm. 134. Berkata Al Arna-uth : Shahiih lighairih.

[22] An Nihaayah Fii Ghariibil Atsar jilid. 3  hlm 912.

[23] Daliil Al Mar’ah Al Muslimah jilid. 6 hlm. 100.


Penerjemah : Triadi Wicaksono dari http://islamselect.net/mat/91272


Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Pacaran yang Dilarang

Published

on

Pacaran yang dilarang ialah apabila hubungan khusus cinta dan kasih sayang tidak terikat oleh akad pernikahan.
Hal ini dikarenakan banyaknya unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Misalnya memandang pasangan yang bukan mahrom, ikhtilat (bercampur baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom),
khalwat (menyendiri dengan pasangannya di tempat yang sepi), mencium atau berciuman, bergandengan tangan, meraba atau memegang lawan jenisnya, dan perkara-perkara lain yang dilarang oleh syariat Islam.


Mengapa Islam melarang pacaran semacam ini ? Tidak lain kecuali untuk menjaga kemaslahatan ummat manusia itu sendiri. Karena islam adalah agama fithrah yang senantiasa menjaga dan memellihara kemaslahatan manusia sesuai dengan aturan Allah. Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ


Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (Qs. al-Anbiya : 107)


Demikianlah bahwa Islam hendak menjaga manusia tetap di atas kebaikan dan lurus di atas fithrahnya serta melindungi mereka dari kehinaan dan kehancuran. Islam pun telah menyediakan model dan bentuk jalinan asmara yang jauh lebih indah dan menyenangkan dibandingkan jenis pacaran yang hina.


Maka barang siapa yang mengindahkan nilai-nilai Islam dan batasan-batasan syariat yang telah dijelaskan oleh Rasulullah, niscaya ia akan mendapatkan keindahan dan kebahagiaan yang diidamkannya.
Rasulullah-صلى الله عليه وسلم- bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ


“Ada tiga perkara yang apabila dilakukan oleh seseorang ia akan merasakan lezatnya iman ; seseorang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan seorang yang mencintai orang lain karena Allah, dan seseorang yang benci untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah darinya sebagaimana ia benci untuk dilempar ke dalam api neraka”. (HR. al-Bukhari (21), an-Nasai (4988), Ahmad (13617), dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya (237)


Wallahu A’lam

Sumber:

Dosa-dosa Pacaran yang Dianggap Biasa, Saed As-Saedy, hal.15-16

Amar Abdullah bin Syakir

Untuk Pacaran yang Dibolehkan, baca disini :

Pacaran yang Dibolehkan

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Youtube HisbahTv,
Follow Instagram Kami Hisbahnet dan alhisbahbogor

About Author

Continue Reading

Akhlak

Pacaran yang Dibolehkan

Published

on

Adapun pacaran yang dibolehkan yaitu apabila hubungan khusus dua insan berlainan jenis yang bukan mahram yang terjalin atas dasar cinta dan kasih sayang telah diikat dengan akad pernikahan. Inilah hakekat pacaran dalam Islam. Jadi pacaran islami, atau pacaran ala islam ialah hubungan setelah terjadinya akad ijab qabul.

Dalam arti kemesraan dan keterikatan batin terhadap pasangannya berjalan di atas rel yang lurus dan jalur yang dibenarkan oleh syariat serta telah dihalalkan oleh syariat lewat akad suci pernikahan.

Dengan ikatan inilah perkara-perkara yang sebelumnya haram menjadi halal. Bahkan keduanya lebih leluasa dan bebas untuk melakukan apa saja dari apa yang sekedar dilakukan oleh mereka yang tenggelam dalam kubangan pacaran terlarang.

Namun, apabila istilah ‘pacaran islami’ sebagaimana yang dipahami oleh sebagian pemuda pemudi yang katanya hendak tampil beda dengan pacaran orang-orang awam bahwa pacaran yang islami adalah pacaran sebelum pernikahan yang tidak disertai bersentuhan, tidak berciuman dan yang lainnya. Intinya tidak ada kontak fisik antara dua pasangan. Masing-masing saling menjaga diri. Kalaupun harus bertemu dan berbincang, yang menjadi pembicaraan hanyalah tentang tema-tema Islami, tentang dakwah, saling mengingatkan untuk beramal, dan berdzikir kepada Allah serta saling mengingatkan tentang akhirat, Surga dan Neraka.

Pacaran yang diembel-embeli Islam ala mereka tak ubahnya omong kosong belaka. Itu hanyalah makar tipuan setan untuk menjebak agar mangsanya jatuh ke dalam dosa.
Adakah mereka dapat menjaga pandangan mata dari melihat yang haram, yakni memandang wanita atau laki-laki yang bukan mahramnya ? Siapakah yang bisa menjamin bahwa mereka akan selamat dari godaan setan ketika menjalin komunikasi dengan sang pacar yang notabene adalah lawan jenis yang tidak halal baginya ?

Jika mereka mengatakan hal itu adalah pacaran Islami, namun intensitas hubungan mereka dengan lawan jenisnya sangat sering baik melalui telepon, sms, chatting, twitter, facebook, line, whatsapp, email dan lain sebagainya yang demikian itu sama saja dengan pacaran orang-orang awam. Hanya saja dikemas dalam bentuk yang berbeda, lebih halus, dan sepintas lebih Islami.

Secara pribadi penulis tidaklah setuju mengenai kesimpulan penggunaan istilah pacaran yang halal atau dibolehkan, meskipun ia dimaksudkan untuk mereka yang telah mengikat cinta kasihnya dengan tali suci pernikahan.
Atau pacaran yang halal ialah hakekat dari pernikahan itu sendiri. Demikian juga penggunaan istilah pacaran islami yang dimaksudkan sebagai model pacaran yang tidak mengandung unsur-unsur keharaman di dalamnya, seperti khalwat, bergandengan tangan, atau yang semisalnya.
Penggunaan kata pacaran itu sendiri sudah identik dengan aktivitas yang mengandung perkara-perkara haram dan terlarang dalam Islam. Pacaran juga merupakan istilah yang sedari awalnya terbentuk untuk menggambarkan hubungan cinta kasih antara dua lawan jenis sebelum pernikahan. Lihatlah definisi kata pacaran dalam beberapa Kamus Besar Bahasa Indonesia, semuanya dimaksudkan sebagai hubungan cinta kasih antara dua lawan jenis sebelum pernikahan.

Jadi, dari mana kesimpulan bahwa pacaran ialah hakikat dari pernikahan itu sendiri. Ini adalah kesimpulan yang tidak berdasar sama sekali, baik secara bahasa maupun syariat. Demikian juga, Islam tidak pernah mengatakan bahwa pacaran adalah hakikat dari sebuah pernikahan. Bahkan, kalau kita telisik lebih mendalam, dalam Islam tidaklah pernah mengenal istilah kata pacaran. Padahal syariat Islam telah sempurna semenjak wafatnya Rasulullah yang tidak butuh tambahan maupun pengurangan di dalamnya. Oleh karena itu, istilah pacaran bukanlah bersumber dari Islam.

Demikian pula istilah pacaran Islami, dari mana mereka bisa menyimpulkan istilah ini dan menisbatkannya sebagai bagian dari Islam. Membuat konsep tersendiri yang sejatinya masih banyak hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Bahkan menghukumi sebagai sesuatu yang halal. Kalau demikian berarti mereka telah membuat syariat baru dalam Islam, padahal Allah telah berfirman,

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung (Qs. An-Nahl : 116)

Itulah posisi ‘pacaran islami’ dalam Islam. Semua itu dimaksudkan agar tidak tercampur antara kebaikan dan keburukan, atau yang hak dan yang batil akibat penggunaan istilah yang kurang tepat. Juga agar tidak menjadi hujjah maupun tameng bagi sebagian orang untuk menghalalkan pacaran atau berlindung dibalik istilah ‘pacaran islami’ agar tetap bisa melakukan pacaran dengan lawan jenis yang disukainya.

Demikian juga, dikhawatirkan akan bermunculan istilah-istilah yang kurang tepat yang semula istilah-istilah itu identik dengan keburukan maupun perbuatan haram, seperti munculnya istilah musik islami, joged islami, nasyid islami, khamr islami, lagu islami, atau istilah-istilah lain yang sejenisnya yang dinisbatkan pada Islam yang akhirnya akan membuat kerancuan di tengah-tengah umat islam dan menjadi sebab tercampurnya antara yang hak dengan yang batil.

Kalau diperhatikan lebih mendalam, mereka yang terjerumus dalam apa yang disebut ‘pacaran islami’ belum sepenuhnya mengindahkan batasan-batasan syar’i yang telah ditetapkan syariat Islam. Seperti hubungan yang akrab dan dekat di antara mereka yang sejatinya bukanlah mahramnya, kerap melakukan komunikasi walaupun tanpa adanya kontak fisik di dalamnya. Kasus ini tetap tidak dibenarkan dalam syariat karena mereka belum terikat oleh tali suci pernikahan dan mereka masih berstatus orang asing antara yang satu dengan yang lainnya.

Islam juga tidak pernah mengakui pacaran sebagai tahapan yang sah/halal untuk menuju jenjang pernikahan. Karena Islam telah memiliki konsep sendiri yang suci untuk memandu dan mengantarkan asmara mereka ke jenjang tali suci pernikahan. Di mana konsep itu adalah aturan yang selaras dengan fithrah manusia itu sendiri.

Islam tidaklah pernah melegalkan semua jenis hubungan cinta kasih antara dua insan berlainan jenis yang bukan mahramnya yang dikemas dalam kata pacaran ataupun istilah lain yang substansinya sama dengan pacaran, kecuali sekedar mencintai mereka atas dasar saudara seiman dan seislam yang terikat oleh kecintaan karena Allah dengan tetap mengindahkan pilar-pilar syariat yang mulia tersebut.
Rasulullah-صلى الله عليه وسلم- bersabda,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ …وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ

Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah pada hari di mana tidak ada naungan melainkan naungan dari-Nya…dua orang yang saling mencintai karena Allah. Keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah … (HR. Al-Bukhari (660), Muslim, (2427), at-Tirmidzi, (2391), an-Nasai (5380) dan Ahmad (9663).

Adapun dilarangnya pacaran sebelum pernikahan, dikarenakan pacaran yang bertentangan dengan syariat Islam, dan banyaknya mudharat yang bisa merusak kehidupan dan masa depan remaja, keluarga, lingkungan, umat, bangsa dan agama. Semua ini tidak sejalan dengan prinsip dasar islam di mana ia datang demi mewujudkan kemaslahatan umat manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Oleh karena itu, ajaran Islam bersifat universal (menyeluruh) dan konprehensip (utuh) agar pilar-pilar kehidupan tetap tegak dan kokoh demi terwujudnya kebaikan yang semuanya kembali kepada kepentingan umat manusia itu sendiri, baik di dunia maupun akhirat.

Wallahu A’lam

Sumber :
Dosa-dosa Pacaran yang Dianggap Biasa, Saed As-Saedy, hal.17-21

Amar Abdullah bin Syakir

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Youtube HisbahTv,
Follow Instagram Kami Hisbahnet dan alhisbahbogor

About Author

Continue Reading

baru

Hukuman Pezina Di Awal Islam

Published

on

Hukuman Pezina Di Awal Islam

Allah azza wa jalla berfirman,

وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا

“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah member persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah member jalan lain kepadanya”. (Qs. an-Nisa : 15).

Firman-Nya, الْفَاحِشَةَ perbuatan keji.

Menurut jumhur mufassirin (mayoritas kalangan ahli tafsir) yang dimaksud perbuatan keji ialah perbuatan zina, sedang menurut pendapat yang lain ialah segala perbuatan mesum seperti : zina, homoseks dan sejenisnya.

Maka, menurut pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud perbuatan keji dalam ayat ini adalah ‘perbuatan zina’, maka makna ayat ini, yakni,

“Wanita-wanita yang berzina dari istri-istri kalian, tetapkanlah wahai para hakim dan pemimpin dengan empat orang saksi laki-laki yang adil dari kaum muslimin. Bila para saksi menetapkannya atas mereka, maka tahanlah mereka di dalam rumah sampai kehidupan mereka selesai dengan kematian, atau Allah akan meletakkan jalan keluar dalam hal ini.” (at-Tafsir al-Muyassar,2/15)

Kemudian, Allah –سبحانه وتعالى- berfirman,

وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا

“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Qs. an-Nisa : 16)

Yakni, dua orang yang terjatuh ke dalam perbuatan buruk zina, hukumlah mereka berdua dengan pukulan dan pengucilan. Bila keduanya bertaubat dari perbuatan tersebut dan melakukan perbaikan dengan amal-amal shaleh maka hentikanlah hukuman dari mereka.

Dari ayat ini dan sebelumnya bisa disimpulkan bahwa bila kaum laki-laki berzina, maka mereka dihukum yang berakhir dengan taubat dan perbaikan pelaku. Sedangkan kaum wanita dihukum dan dipenjara yang berakhir sampai dengan kematian.

Hal ini berlaku di awal Islam kemudian dinasakh (dihapus) dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya syariatkan, yaitu rajam bagi pezina Muhshon baik laki-laki maupun wanita.

Muhshon adalah laki-laki atau wanita dewasa, merdeka, berakal dan pernah melakukan hubungan suami istri dalam pernikahan yang sah. Dan dicambuk seratus kali plus pengasingan selama satu tahun bagi yang belum muhshon. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dari hamba-hamba-Nya dan Maha Penyayang kepada mereka. (at-Tafsir al-Muyassar, 2/16)

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Youtube HisbahTv,
Follow Instagram Kami Hisbahnet dan alhisbahbogor

Klik iklan yang ada di website.
Dengan mengklik iklan yang ada diwebsite, berarti anda telah membantu oprasional dakwah kami. Jazakallahukhoiron.

About Author

Continue Reading

Trending