Connect with us

Aqidah

Ramalan Bintang dan Hukum Membacanya

Published

on

Kehidupan cinta Anda tidak terlalu menyenangkan tahun ini.
Akan sulit sekali berkomunikasi dengan si dia…

“tapi Anda harus berusaha keras jika ada sesuatu yang ingin Anda luruskan…

“Hubungan Anda mungkin juga akan mengalami perubahan, namun ke arah yang lebih baik…

“Untuk yang single, pertemuan dengan pria baru akan mengubah hidup Anda…

Ini adalah salah satu contoh ramalan salah satu zodiak.

Dan ramalan seperti ini dan sejenisnya bukan hanya datang dari tukang ramal dengan bertanya langsung, namun saat ini bisa masuk ke rumah-rumah kaum muslimin dengan begitu mudah, baik lewat media cetak, TV, atau pun internet.

Pembaca yang budiman…
Apabila kita perhatikan ramalan di atas, akan terlihat bahwa si peramal mencoba atau seolah-olah mengetahui hal-hal ghaib.
Seakan ia mampu membaca dan menentukan nasib seseorang. Dengan dasar ini ia memerintah sesuatu.

Bahkan ia sering menakut-nakutinya meskipun akhirnya memberi kabar gembira atau hiburan dengan kata-kata manis.

Ketahuilah bahwa sesungguhnya perkara-perkara ghaib hanyalah Allah yang mengetahui. Allah berfirman, yang artinya,

“(Dia adalah Rabb) Yang mengetahui yang ghaib.
Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seseorang pun tentang yang ghaib itu kecuali kepada Rasul yang diridlai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (Malaikat) di muka bumi dan di belakangnya.”
(QS. Al Jin : 26-27)

Ketua Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah) di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya mengenai hukum membaca ramalan bintang, zodiak dan semisalnya. Beliau –rahimahullah- menjawab,

“Yang disebut ilmu bintang, horoskop, zodiak dan rasi bintang termasuk amalan jahiliyah. Ketahuilah bahwa Islam datang untuk menghapus ajaran tersebut dan menjelaskan akan kesyirikannya. Karena di dalam ajaran tersebut terdapat ketergantungan pada selain Allah, ada keyakinan bahwa bahaya dan manfaat itu datang dari selain Allah, juga terdapat pembenaran terhadap pernyataan tukang ramal yang mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib dengan penuh kedustaan, inilah mengapa disebut syirik.

Tukang ramal benar-benar telah menempuh cara untuk merampas harta orang lain dengan jalan yang batil dan mereka pun ingin merusak akidah kaum muslimin. Dalil yang menunjukkan perihal tadi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab sunannya dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ

“Barangsiapa mengambil ilmu perbintangan, maka ia berarti telah mengambil salah satu cabang sihir,akan bertambah dan terus bertambah.”(HR. Abu Daud no. 3905, Ibnu Majah no. 3726 dan Ahmad 1: 311 ).

Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang jayyid (bagus) dari ‘Imron bin Hushoin, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ أَوْ سَحَّرَ أَوْ سُحِّرَ لَهُ

“Bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang beranggapan sial atau membenarkan orang yang beranggapan sial, atau siapa saja yang mendatangi tukang ramal atau membenarkan ucapannya, atau siapa saja yang melakukan perbuatan sihir atau membenarkannya.

Siapa saja yang mengklaim mengetahui perkara ghaib, maka ia termasuk dalam golongan kaahin (tukang ramal) atau orang yang berserikat di dalamnya.
Karena ilmu ghaib hanya menjadi hak prerogatif Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah” (QS. An Naml: 65).


Nasehatku bagi siapa saja yang menggantungkan diri pada berbagai ramalan bintang,
hendaklah ia bertaubat dan banyak memohon ampun pada Allah (banyak beristighfar).
Hendaklah yang jadi sandaran hatinya dalam segala urusan adalah Allah semata,
ditambah dengan melakukan sebab-sebab yang dibolehkan secara syar’i.

Hendaklah ia tinggalkan ramalan-ramalan bintang yang termasuk perkara jahiliyah,
jauhilah dan berhati-hatilah dengan bertanya pada tukang ramal atau membenarkan perkataan mereka.

Lakukan hal ini dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam rangka menjaga agama dan akidah. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 2: 123)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Para dukun dan yang sejenis dengan mereka sebenarnya mempunyai pembantu atau pendamping (qarin) dari kalangan syaithan yang mengabarkan perkara-perkara ghaib yang dicuri dari langit.

Kemudian para dukun itu menyampaikan berita tersebut dengan tambahan kedustaan.
Di antara mereka ada yang mendatangi syaithan dengan membawa makanan, buah-buahan, dan lain-lain (untuk dipersembahkan) … .
Dengan bantuan jin, mereka ada yang dapat terbang ke Makkah atau Baitul Maqdis atau tempat lainnya. ” (Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan halaman 25)

Seorang dukun atau paranormal yang memberitakan perkara-perkara ghaib sebenarnya menerima kabar dari syaithan dengan jalan melihat letak bintang untuk menentukan atau mengetahui peristiwa-peristiwa di bumi, seperti letak benda yang hilang, nasib seseorang, perubahan musim, dan lain-lain.

Inilah yang biasa disebut ilmu perbintangan atau tanjim.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

” … Kemudian melemparkan benda itu kepada orang yang di bawahnya sampai akhirnya kepada dukun atau tukang sihir. Terkadang setan itu terkena panah bintang sebelum menyerahkan berita dan terkadang berhasil. Lalu setan itu menambah berita itu dengan seratus kedustaan.”(HR. Bukhari dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu)

Syaikh Sholih Alu Syaikh -hafizhahullah- mengatakan,
“Jika seseorang membaca halaman suatu koran yang berisi zodiak yang sesuai dengan tanggal kelahirannya atau zodiak yang ia cocoki, maka ini layaknya seperti mendatangi dukun. Akibatnya cuma sekedar membaca semacam ini adalah tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. Sedangkan apabila seseorang sampai membenarkan ramalan dalam zodiak tersebut, maka ia berarti telah kufur terhadap Al Qur’an yang telah diturunkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat At Tamhid Lisyarh Kitabit Tauhid oleh Syaikh Sholih Alu Syaikh pada Bab “Maa Jaa-a fii Tanjim”, hal. 349)

Intinya, ada dua rincian hukum dalam masalah ini.
Pertama: Apabila cuma sekedar membaca zodiak atau ramalan bintang, walaupun tidak mempercayai ramalan tersebut atau tidak membenarkannya, maka itu tetap haram. Akibat perbuatan ini, shalatnya tidak diterima selama 40 hari. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” (HR. Muslim no. 2230).

An Nawawi berkata :
“Adapun maksud tidak diterima shalatnya adalah orang tersebut tidak mendapatkan pahala. Namun shalat yang ia lakukan tetap dianggap dapat menggugurkan kewajiban shalatnya dan ia tidak butuh untuk mengulangi shalatnya.” (Syarh Muslim, 14: 227)

Kedua: Apabila sampai membenarkan atau meyakini ramalan tersebut,
maka dianggap telah mengkufuri Al Qur’an yang menyatakan hanya di sisi Allah pengetahuan ilmu ghoib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkannya,
maka ia berarti telah kufur pada Al Qur’an yang telah diturunkan pada Muhammad.”
(HR. Ahmad no. 9532)

Namun jika seseorang membaca ramalan tadi untuk membantah dan membongkar kedustaannya, semacam ini termasuk yang diperintahkan bahkan dapat dinilai wajib.
(Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1: 330)


Syaikh Sholih Alu Syaikh memberi nasehat,  
“Kita wajib mengingkari setiap orang yang membaca ramalan bintang semacam itu dan kita nasehati agar jangan ia sampai terjerumus dalam dosa.

Hendaklah kita melarangnya untuk memasukkan majalah-majalah yang berisi ramalan bintang ke dalam rumah, karena ini sama saja memasukkan tukang ramal ke dalam rumah. Perbuatan semacam ini termasuk dosa besar (al kabair) –wal ‘iyadzu billah-.…(At Tamhid Lisyarh Kitabit Tauhid, hal. 349)

Dari sini, sudah sepatutnya seorang muslim tidak menyibukkan dirinya dengan membaca ramalan-ramalan bintang melalui majalah, koran, televisi atau lewat pesan singkat via sms dan media lainnya, kecuali bermaksud untuk membantah ramalan tadi.
Wallohu a’lam (Abu Umair bin Syakir)
Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Aqidah

Berhati-hati Pahala Hangus Karena Syirik Kecil!

Published

on

Dalam kehidupan di dunia ini, cara agar kita dapat kembali ke surga kelak adalah dengan beribadah kepada Allah Ta’ala semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, sebagaimana firman-Nya:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (QS An-nisaa: 36)

Namun pada perjalanannya, seorang mukmin terkadang terjerumus pada bisikan syaitan ketika beramal, sehingga keikhlasannya terpengaruh dengan tujuan yang lain, seperti seseorang yang gemar bersedekah agar dipandang dermawan, suka menolong agar dipandang berjasa atau bahkan memperbanyak puasa dan shalat agar dianggap sebagai alim nan salih. Itu semua adalah hal yang memang sangat ditakutkan terjadi pada kebanyakan muslim oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana sabda beliau:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ : وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ؟ قَالَ :الرِّيَاء . إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ يَوْمَ تُجَازَى الْعِبَادُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ بِأَعْمَالِكُمْ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاء
(صححه الألباني في السلسلة الصحيحة، رقم 951)

“Sungguh yang paling aku takutkan dari kalian adalah syirik kecil” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil?” Beliau bersabda: ‘Riya, sungguh Allah tabaraka wa ta’ala berfirman pada hari di mana seorang hamba diberi balasan dari amal mereka, pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan amal kalian kepada mereka di dunia, lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka”.

(Telah dinyatakan shahih oleh Syeikh Albani di dalam Silsilah Shahihah: 951)

Riya dan Sum’ah adalah dua pembatal keikhlasan, yaitu seseorang beramal agar dilihat atau didengar oleh orang lain, bukan semata-mata murni karena mengharapkan ridho Allah Ta’ala dan pahala-Nya.

Hal demikian, sangatlah fatal, mengapa?

Karena amalan yang telah dikerjakan menjadi sia-sia nan hangus pahalanya tak bersisa, dan Allah Ta’ala telah mengabarkan hal tersebut pada firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

(QS Al Baqarah: 264)

 

Maka, hendaklah kita beramal ikhlas hanya karena Allah Ta’ala bukan yang lainnya. Karena barangsiapa yang beramal karena Allah, maka Allah Ta’ala akan berikan pahala dan ganjaran karena amalan tersebut, seperti orang ikhlas menolong orang lain, maka Allah Ta’ala pun akan mudahkan hidupnya.

Dan janganlah beramal dengan tujuan Riya dan Sum’ah, demikian pahala tidak ada didapat padahal waktu, tenaga dan bisa jadi uang sudah habis karenanya, dan Allah Ta’ala pun tidak akan memperbaiki hidupnya.

 

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menaungi kita dengan taufik dan hidayah-Nya.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Aqidah

Sistem Perlindungan yang Sangat Kuat dari Dosa Besar Sihir

Published

on

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ (( الشِّرْكُ باللهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالحَقِّ ، وأكْلُ الرِّبَا ، وأكْلُ مَالِ اليَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ ؛ وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ ))

Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-meriwayatkan dari  Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, beliau bersabda, “ Jauhilah oleh kalian tujuh dosa-dosa besar yang membinasakan.” Mereka (Para sahabat) bertanya, ‘Apa sajakah dosa-dosa  itu, wahai Rasulullah ? “

Beliau menjawab :

Syirik (menyekutukan) Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan cara yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan pertempuran, dan menuduh wanita baik-baik yang telah menikah dengan tuduhan zina. (Muttafaq ‘Alaihi)

**

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin-رَحِمَهُ اللهُ-berkata, “Sihir adalah suatu perbuatan yang dilakukan tukang sihir dengan menggunakan tali-tali, jampi-jampi, dan tiupan untuk menimpakan kecelakaan kepada orang yang disihirnya. Di antaranya ada yang bisa membunuhnya, membuatnya sakit, membuat gila, bisa menimbulkan keterikatan yaitu ketergantungan yang sangat kuat (cinta yang tidak wajar), ada pula yang bisa menimbulkan penolakan yaitu berpalingnya seseorang dari yang lainnya dengan kebencian yang sangat (benci tidak wajar).

Akan tetapi, semua itu hukumnya adalah haram. Sesungguhnya Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – berlepas diri dari orang yang melakukan sihir dan yang meminta bantuan sihir kepada orang lain (tukang sihir).

Di antara bentuk sihir tersebut ada yang bisa sampai kepada kekafiran. Apabila tukang sihir tersebut menjadikan setan sebagai perantara sihirnya, mendekatkan diri, dan menghambakan diri kepada setan sehingga ia sangat menaatinya, maka hal ini tidak akan diragukan lagi kekafirannya. Adapun jika tidak sampai kepada taraf seperti ini (taraf kekufuran), maka sesungguhnya sihir tersebut merupakan sesuatu yang akan merugikan, diharamkan, dan termasuk di antara jajaran dosa-dosa besar. Para penguasa wajib untuk membunuh para tukang sihir tanpa dimintai taubatnya (terlebih dahulu). Maksudnya para tukang sihir harus dibunuh meskipun mereka sudah bertaubat. Karena jika ia telah bertaubat, maka urusannya diserahkan kepada Allah. Demikian pula jika ia tidak bertaubat. Akan tetapi, kita membunuhnya untuk menolak kerugian dan kerusakan yang akan ditimbulkannya (di kemudian hari).

Meskipun (apabila) ia tidak bertaubat, maka ia akan termasuk ke dalam penghuni Neraka apabila sihirnya tersebut adalah jenis sihir yang mengkafirkan. Praktek sihir termasuk di antara penyebab kerusakan di atas muka bumi dan termasuk jajaran kejahatan besar. Karena sihir dilakukan terhadap orang lain ketika seseorang tersebut sedang lengah (tidak dilindungi).

Akan tetapi, terdapat sesuatu yang akan melindungimu dari kejahatannya (dengan izin Allah) yaitu bacaan-bacaan (wirid yang syar’i), seperti membaca ayat Kursi, al-Ikhlash, al-Falaq, An-Naas, dan ayat-ayat al-Qur’an lainnya atau dari hadis-hadis Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. Karena semuanya itu merupakan sistem perlindungan yang sangat kuat, yang bisa melindungi seorang manusia dari kejahatan sihir.

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Syarhu Riyaadhis Shaalihiin, Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, hal. 362. Babut Taghliizhi fii Tahriimis Sihri.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Aqidah

Membunuh Orang Lain Dosa Besar Kedua

Published

on

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا  [النساء : 93

 

“Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. an-Nisa : 93)

 

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلَّا مَنْ تَابَ [الفرقان : 68 – 70]

 

“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina ; dan barang siapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat, (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat ..”

(Qs. al-Furqan : 68-70)

 

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا  [المائدة : 32]

 

“Bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. “(Qs. al-Maidah : 32)

 

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (9) [التكوير : 8 ، 9]

 

Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa dia dibunuh ?

(Qs. at-takwir : 8-9)

 

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda, “Jauhilah oleh kalian tujuh dosa-dosa besar.” kemudian beliau menyebutkan di antaranya yaitu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh.

 

Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –pernah ditanya,

أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ ؟ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قَالَ : قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ  أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قَالَ : قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ أَنْ تَزْنِيَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ

 

“Dosa apakah yang paling besar ? Maka beliau menjawab, ‘kamu menyekutukan Allah, padahal Allah –lah yang telah menciptakanmu.’ Kemudian si penanya berkata kembali, ‘Kemudian dosa apa lagi ?’ Beliau menjawab, ‘kamu membunuh anakmu karena takut anakmu akan makan bersamamu’ Si penanya kembali bertanya, ‘Kemudian dosa apa lagi ?’ Beliau menjawab, ‘kamu berzina dengan istri tetanggamu.’ [1]

 

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

إِذَا اِلْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفِهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُوْلُ فِي النَّارِ  . قِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُوْلُ ؟ قَالَ ( إِنَّهُ كَانَ حَرِيْصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ )

 

Apabila dua orang muslim saling berhadapan dengan (menghunus) pedang mereka, maka yang membunuh dan yang terbunuh (keduanya) akan masuk neraka.’ Beliau ditanya, ‘Wahai Rasulullah, hukuman ini (layaknya) untuk yang membunuh. Bagaimana halnya bagi korban yang terbunuh ?’ Maka beliau menjawab, ‘Sesungguhnya ia pun berniat ingin membunuh lawannya.’ [2]

 

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

لَا يَزَالُ الْمَرْءُ فِي فُسْحَةٍ مِنْ دِيْنِهِ مَا لَمْ يَتَنَدَّ بِدَمٍ حَرَامٍ

 

“Seseorang akan selalu berada dalam kelapangan dalam agamanya selama tidak menumpahkan darah yang diharamkan (tidak pernah membunuh orang lain”

 

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

 

“Janganlah kalian kembali kufur (murtad) sepeninggalku yaitu sebagian kalian menebas leher-leher sebagian yang lain (saling membunuh)” [3]

 

Dari Bisyr bin Muhajir dari Ibnu Buraidah dari bapaknya bahwasanya Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

 

لَقَتْلُ مُؤْمِنٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا

 

“Membunuh seorang mukmin di sisi Allah dosanya lebih besar daripada musnahnya dunia ini” [4]

 

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

لَنْ يَزَالَ الْمُؤْمِنُ فِي فُسْحَةٍ مِنْ دِينِهِ مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا

 

“Seorang mukmin akan selalu berada dalam kelapangan dalam agamanya selama ia tidak pernah menumpahkan darah yang diharamkan (membunuh orang lain)” [5] (teks imam al-Bukhari)

 

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِي الدِّمَاءِ

 

“(perkara) yang pertama kali disidangkan di antara manusia (di hari Kiamat kelak) adalah mengenai darah (pembunuhan)” [6]

Berkata Quraisy dari Asy-Sya’bi dari Abdullah bin Amr, ia berkata bahwa Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

 

أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ

 

“Dosa-dosa besar yang paling besar adalah menyekutukan Allah, membunuh jiwa dan durhaka kepada kedua orang tua” [7]

 

Dari Humaid bin Hilal telah meriwayatkan kepada kami, Bisyir bin Ashis telah meriwayatkan kepada kami ‘Uqbah bin Malik dari Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – beliau bersabda,

إِنَّ اللهَ أَبَى عَلَي مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا

 

“Sesungguhnya Allah sangat marah terhadap orang yang memnbunuh seorang mukmin [8] Beliau menyatakannnya sampai tiga kali.” (Riwayat ini berdasarkan riwayat imam Muslim)

 

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

لَيْسَ مِنْ نَفْسٍ تُقْتَلُ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْهَا لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ

 

“Tidak satu jiwa pun yang dibunuh secara zhalim melainkan darahnya akan ditanggung oleh anak Adam yang pertama (Qobil), karena dialah orang yang pertama  kali melakukan pembunuhan” [9] (Muttafaq ‘Alaih)

 

Ibnu Umar berkata, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

 

“Barang siapa yang telah membunuh orang kafir mu’ahad (orang kafir yang ada perjanjian damai dengan umat Islam), maka ia tidak akan mencium wangi surga dan wangi surga bisa tercium sejauh perjalanan empat puluh tahun” [10] (HR. al-Bukhari dan an-Nasai)

 

Abu Hurairah berkata, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

 

أَلَا مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهِدَةً لَهُ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ رَسُوْلِهِ فَقَدْ أَخْفَرَ بِذِمَّةِ اللهِ فلَا يُرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا

 

“Barang siapa yang telah membunuh orang kafir yang ada dalam naungan perjanjian (perjanjian damai dengan umat Islam) dan berada di bawah perlindungan Allah dan Rasul-Nya, berarti ia telah merusak perlindungan Allah (atas jiwa tersebut) dan (di akhirat kelak) ia tidak akan bisa mencium wangi surga. Padahal wangi surga sudah bisa dicium dari jarak empat puluh tahun perjalanan” [11] (Dishahihkan oleh imam at-Tirmidzi)

 

Abu Hurairah berkata bahwa Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

 

مَنْ أَعَانَ عَلَى قَتْلِ مُسْلِمٍ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ لَقِىَ اللَّهَ مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْنِه آيِسٌ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ

“Barang siapa yang ikut membantu terbunuhnya seorang muslim dengan satu baris kalimat, maka kelak ia akan bertemu dengan Allah dan di antara kedua matanya tertulis kalimat, ‘orang yang berputus asa dari rahmat Allah.” [12] (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah. Di dalam sanad ini ada perbincangan (diperdebatkan keshahihannya)

 

Mu’awiyah berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

 

كُلُّ ذَنْبٍ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَغْفِرَهُ إِلَّا الرَّجُلُ يَمُوتُ كَافِرًا أَوْ الرَّجُلُ يَقْتُلُ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا

 

“Semua dosa masih ada harapan untuk diampuni oleh Allah, kecuali orang yang mati dalam keadaan kafir atau orang yang telah membunuh seorang mukmin dengan sengaja” [13] (HR. an-Nasai) [14] (Kita memohon keselamatan dan afiyah kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-)

 

Penjelasan :

Syaikh Utsaimin-رَحِمَهُ اللهُ –berkata [15] “Penulis-رَحِمَهُ اللهُ – (Imam an-Nawawi; penulis kitab Riyadhus Shalihin) berkata mengenai riwayat yang dinukilnya dari Abdullah bin Umar-رَضِيَ اللهُ عنهما-bahwa Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda, “ Seorang mukmin akan selalu dalam kelapangan dalam agamanya selama tidak menumpahkan darah yang diharamkan.”

 

Seorang mukmin akan selalu dalam kelapangan…”, maksudnya dalam kelonggaran dalam agamanya, “…selama tidak menumpahkan darah yang diharamkan.” Yakni selama tidak pernah membunuh seorang  mukmin atau seorang kafir dzimmi atau orang kafir yang terkait di bawah naungan perjanjian atau orang yang mendapat jaminan keamanan. Semua itu adalah darah-darah yang haram (untuk ditumpahkan) yang terdiri dari empat macam. Yaitu darah seorang muslim, darah seorang kafir dzimmi, darah seorang yang terkait di bawah naungan perjanjian, dan darah seorang yang mendapat jaminan keamanan. Sedangkan yang paling berat dan paling besarnya adalah darah seorang mukmin. Adapun darahnya seorang kafir harbi (orang kafir yang melakukan perlawanan dengan umat Islam) tidak termasuk darah yang diharamkan (jadi, kafir harbi boleh dibunuh).

 

Apabila seseorang telah menumpahkan darah yang diharamkan, maka agamanya akan terasa sempit baginya. Maksudnya bahwa dadanya akan terasa sempit dikarenakan dosa tersebut sehingga akhirnya ia akan keluar dari agama Islam (murtad), dan ia akan mati dalam keadaan kafir. Inilah inti sari dari firman Allah ta’ala,

 

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا  [النساء : 93]

 

“Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. an-Nisa : 93)

 

Inilah lima jenis balasannya (terancam di dalam ayat ini). Yaitu pelakunya akan kekal di neraka jahannam, akan mendapatkan murka dan laknat Allah, serta dijanjikan akan merenima azab yang sangat pedih bagi siapa saja yang telah membunuh seorang mukmin dengan sengaja. Karena apabila telah membunuh seorang mukmin, berarti ia telah menumpahkan darah yang diharamkan. Kemudian agamanya akan terasa sempit dan dadanya pun akan terasa sempit sehingga ia akan dicap murtad dari agamanya. Kemudian ia akan menjadi penduduk neraka dan akan kekal di dalamnya.

 

Ayat inilah yang menjadi dalil bahwa menumpahkan darah yang diharamkan (membunuh orang tanpa hak) termasuk di antara (deretan) dosa-dosa besar.

Akan tetapi, jika si pelaku bertaubat dari pembunuhan tersebut, apakah sah taubatnya ?

 

Mayoritas para ulama mengatakan bahwa hukum taubatnya sah menurut keumuman firman Allah ta’ala,

 

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلَّا مَنْ تَابَ [الفرقان : 68 – 70]

 

“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina ; dan barang siapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat, (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat ..” (Qs. al-Furqan : 68-70)

 

Inilah dalil yang menunjukkan bahwa siapapun yang bertaubat dari dosa pembunuhan (membunuh jiwa tanpa hak), kemudian ia beramal shalih, maka Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-akan menerima taubatnya.

 

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  [الزمر : 53]

 

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri ! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Qs. az-Zumar : 53)

 

Akan tetapi, bagaimana bentuk taubatnya itu ? Karena membunuh seorang mukmin berkaitan dengan tiga macam hak. Pertama adalah hak Allah, kedua adalah hak yang terbunuh, dan yang ketiga adalah hak wali si korban.

 

Apabila seseorang bertaubat dari hak Allah, maka Allah akan mengampuninya. Si korban memiliki hak dari diri si pelaku. Akan tetapi, si korban telah terbunuh, tentu ia tidak bisa membalasnya di dunia ini. Apakah taubat si pelaku akan mendatangkan ampunan dari Allah bagi si pelaku ataukah hukum qishash (hukum balas) harus ditegakkan (terhadap si pelaku) pada hari Kiamat kelak ?

 

Hal inilah yang menjadi perdebatan di kalangan ulama.

Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hak si korban tidak akan gugur karena si pelaku telah bertaubat. Karena di antara syarat-syarat taubat adalah harus mengembalikan suatu yang pernah dizhaliminya kepada si pemiliknya. Sedangkan si korban tidak bisa menerima tebusan dari si pelaku atas kezhalimannya. Karena korban tersebut (sekarang) telah meninggal dunia. Sehingga hukum qishash harus ditegakkan terhadap si pelaku di hari Kiamat nanti. Akan tetapi, zhahir dari ayat-ayat yang telah kita bahas di dalam surat al-Furqan di atas menunjukkan bahwa Allah akan mengampuninya dengan ampunan yang sempurna. Apabila Allah mengetahui kejujuran taubat seorang hamba, maka Dia akan memberikan ampunanNya kepadanya atas hak saudaranya yang telah dibunuhnya.

 

Sedangkan hak yang ketiga yaitu hak wali (keluarga) si korban. Hal ini menyangkut kerelaan dari wali korban. Setiap orang sangat dimungkinkan untuk mendapat kerelaan dari mereka (keluarga si korban). Yang itu dengan menyerahkan diri kepada mereka sambil mengatakan, “Aku telah membunuh saudara kalian. Maka berbuatlah sekehendak kalian (terhadap diriku) !” Maka pada saat itu, mereka (keluarga si korban) bebas memilih empat perkara, di antaranya memaafkan begitu saja, membunuhnya sebagai bentuk qishash, meminta diyat atau yang setara dengan diyat. Semua ini dibolehkan menurut kesepakatan para ulama.

 

Sedangkan apabila hak keluarga (wali korban) tidak bisa ditebus, kecuali dengan sejumlah uang yang nilainya lebih besar dari diyat, maka di dalam masalah ini terdapat perbedaan di antara para ulama. Sebagian para ulama mengatakan bahwa diperkenankan untuk berdamai dengan sesuatu yang nilainya lebih besar daripada diyat. Dikarenakan hal ini merupakan hak keluarga si korban. Sehingga jika mereka berkehendak, maka mereka bisa mengatakan, “Kami akan membunuhmu!” Mereka juga bisa mengatakan, “Kami tidak akan memaafkanmu, kecuali dengan membayar sejumlah uang yang nilainya sepuluh kali lipat dari nilai diyat.” Pendapat inilah yang masyhur dari kalangan madzhab imam Ahmad-رَحِمَهُ اللهُ –karena beliau membolehkan berdamai dengan sejumlah uang yang nilainya lebih besar daripada diyat.

 

Yang jelas, sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa hal ini menjadi hak mereka. Maksudnya keluarga si korban berhak menentukan hak mereka. Misalnya mereka menuntut sejumlah uang lebih besar dari diyat (denda yang ditentukan pemerintah) yang bisa menghibur duka mereka.

 

Sehingga kita katakan bahwa taubatnya si pelaku pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja adalah sah berdasarkan ayat-ayat yang telah kami sebutkan dari surat al-Furqan. Yaitu khusus untuk kasus pembunuhan. Sedangkan ayat yang kedua lebih umum “ … sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosanya seluruhnya.” (Qs. az-Zumar : 53)

 

Hadis hadis di atas menunjukkan bahwa dosa membunuh jiwa (seorang mukmin) adalah sangat berat dan sesungguhnya perbuatan tersebut termasuk di antara jajaran dosa-dosa besar. Sesungguhnya orang yang membunuh dengan sengaja dikhawatirkan dirinya akan terlepas dari agamanya (murtad).

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

1-Al-Kabair, Muhammad bin Utsman adz-Dzahabiy

2-Syarh Riyadhish Shalihin, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

 

Catatan :

[1] HR. al-Bukhari, hadis no 4477, HR. Muslim, hadis no 86. HR. at-Tirmidzi, hadis no 3181 dan HR. an-Nasai juz 7 hal.89

[2] HR. al-Bukhari, hadis no 31 dan HR. Muslim, hadis no. 2888

[3] HR. al-Bukhari, hadis no 121 dan HR. Muslim, hadis no. 65

[4] HR. an-Nasai juz 7 hal. 83, 84.

[5] HR. al-Bukhari, hadis no 6862 dan HR. Ahmad juz 2 hal.94

[6] HR. al-Bukhari, hadis no. 6864 dan Muslim, hadis no 1678

[7] HR. al-Bukhari, hadis no 6675 dan HR. Ahmad juz 2 hal.201

[8] HR. Ahmad juz 5 hal. 689

[9] HR. al-Bukhari, hadis no. 3335 dan Muslim, hadis no 1677

[10] HR. al-Bukhari, hadis no. 3166 dan an-Nasai, hadis no 2686

[11] HR.at Tirmidzi, hadis no 1403

[12] HR. Ibnu Majah, hadis no. 2620

[13] HR. Abu Dawud, hadis no 4270 dan HR. Ahmad juz 3 hal.99.

[14] al-Kabair, 1/12

[15] Syarhu Riyadhis Shaalihin, hal.26, baabun Tahriimizh Zhulmi wal Amri Biradddil Mazhaalimi, hadis nomor 220.

About Author

Continue Reading

Trending