Fiqih Hisbah
Seorang yang Mengajarkan Ilmu Seperti Tanah yang Subur
Ilmu adalah amanah dan rezeki maknawi yang Allah berikan kepada hamba-hambanya yang dikehendakinya, oleh karena itu orang yang berilmu patut bersyukur atas ilmu yang dimilikinya karena ia adalah rezeki yang tidak semua orang memilikinya.
Namun rezeki yang lebih dari sekedar memiliki ilmu adalah mengamalkan ilmu tersebut dan mengajarkannya kepada orang lain, dan hal tersebut tidak mungkin dilakukan kecuali oleh orang-orang yang diberi taufik oleh Allah subahanahu wa ta’ala. Oleh karena itu Agama islam mengajarkan umatnya untuk selalu berbagi ilmu yang bermanfaat dan tidak membiarkannya berhenti pada diri sendiri tanpa menyampaikannya kepada orang lain.
Dalam suatu hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa salam mengumpamakan seseorang yang menuntut ilmu lalu mengajarkannya kepada orang lain seperti tanah subur yang mengambil manfaat dari air hujan lalu memberikan manfaat kepada makhluk-makhluk sekitarnya dengan menumbuhkan beraneka ragam tumbuhan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ مِنَ الْـهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيْرِ أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْـمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيْرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْـمَاءَ فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوْا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا وَأَصَابَ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيْعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِيْ دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَـمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَـمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ.
Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya laksana hujan deras yang menimpa tanah. Di antara tanah itu ada yang subur. Ia menerima air lalu menumbuhkan tanaman dan rerumputan yang banyak.
Di antaranya juga ada tanah kering yang menyimpan air. Lalu Allah memberi manusia manfaat darinya sehingga mereka meminumnya, mengairi tanaman, dan berladang dengannya. Hujan itu juga mengenai jenis (tanah yang) lain yaitu yang tandus, yang tidak menyimpan air, tidak pula menumbuhkan tanaman. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah, lalu ia mendapat manfaat dari apa yang Allah mengutus aku dengannya. Juga perumpamaan atas orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya. Ia tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus.” [HR. Bukhari & Muslim]
Dalam menjelaskan hadits ini Imam Ibnu Hajar menukil dari Imam Al-Qurthubi beliau berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengumpamakan agama islam yang dibawanya seperti hujan yang mengenai semua makhluk dan sampai kepada seluruh manusia dikala mereka memerlukannya, kemudian mengumpamakan orang-orang yang mendengar seruan agama islam seperti tanah yang bermacam-macam ketika menerima siraman air hujan, diantara orang-orang tersebut adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya lalu mengajarkannya kepada orang lain, orang yang seperti ini kedudukannya sama seperti tanah yang subur, ia menerima manfaat air hujan untuk dirinya dan menumbuhkan berbagai tumbuhan sehingga ia juga memberi manfaat kepada makhluq lainnya.” (Fathul Bari 1/177)
Hadits ini juga dijadikan dalil Oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam menyebutkan kemuliaan orang-orang yang menggabung antara menuntut, mengamalkan, dan mengajarkan ilmu atau berdakwah. Beliau berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam membagi manusia menurut hidayah dan ilmu mereka menjadi tiga tingkatan, tingkatan pertama adalah pewaris-pewaris para rasul dan penerus para nabi alaihimussholatu was salam, dan mereka adalah orang-orang yang beriman terhadap agama islam secara ilmu, amal dan dakwah.
Merekalah pengikut para rasul yang sebenarnya, dan mereka kedudukannya sama dengan kelompok yang baik, mereka bagaikan tanah yang menerima air sehingga menumbuhkan tanaman dan dan rumput yang banyak sehingga ia suci dalam dirinya dan menyucikan orang lain dengan ilmu tersebut. Merekalah orang-orang yang menggabung antara pengetahuan yang dalam terhadap agama dan kekuatan dalam berdakwah, dengan demikian maka pantaslah mereka menjadi pewaris para nabi yang Allah firmankan:
وَٱذكُر عِبَٰدَنَا إِبرَٰهِيمَ وَإِسحَٰقَ وَيَعقُوبَ أُوْلِي ٱلأَيدِي وَٱلأَبصَٰرِ
Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya´qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (QS. Shad: 45).
Ibnul Qayyim berkata, “maksudnya adalah ilmu yang tinggi dalam hal agama, yang dengan ilmu tersebut seseorang dapat mengetahui yang haq, dan dengan kekuatan seseorang dapat mengamalkan dan mengajarkan ilmu agama yang ia miliki.” (Al-Wabillus Shoyb hal. 73)
Wallahu a’lam bisshowab
Diterjemahkan oleh Arinal haq dari kitab ‘Fadhludda’wati Ilallah’ karya DR. Fadhl Ilahi Dzahir hal. 25-27
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,
About Author
baru
Jangan Hanya Menjadi Jembatan Kebaikan
Berdakwah adalah kewajiban kedua setelah berilmu, sedangkan kewajiban pertamanya adalah mengamalkan ilmu tersebut.
Sehingga, pihak pertama yang seharusnya mendapatkan manfaat dari ilmu itu adalah diri sendiri sebelum orang lain.
Namun, ketika seseorang mendakwah suatu ilmu kepada orang lain, tentang perintah ibadah atau larangan dari suatu maksiat, namun ternyata orang yang mendakwahi itu melupakan dirinya sehingga melakukan apa yang bertentangan dari yang disampaikannya, maka sungguh dia berada di atas bahaya yang besar.
Allah Ta’ala berfirman:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Maka tidaklah kamu berpikir? (QS Al Baqarah: 44)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَافُلَانُ مَالَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُوْلُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَلاَ آتِيْهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيْهِ
Seorang laki-laki didatangkan pada hari kiamat lalu dilemparkan ke dalam neraka, sehingga isi perutnya terurai, lalu ia berputar-putar seperti keledai berputar-putar mengelilingi alat giling (tepung). Para penghuni neraka mengerumuninya seraya bertanya, ‘Wahai Fulan! Ada apa denganmu? Bukankah engkau dahulu menyuruh orang melakukan perbuatan ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar?’ Ia menjawab, ‘Benar. Aku dahulu biasa menyuruh orang melakukan perbuatan ma’ruf tapi aku tidak melakukannya. Aku mencegah kemunkaran, tetapi justru aku melakukannya. (HR Bukhari dan Muslim)
Maka, hendaklah setiap orang yang menyebarkan kebaikan juga melaksanakan kebaikan itu, jangan sampai dia menjadi layaknya lilin yang menyinari sekitarnya namun dirinya sendiri terbakar tak tersisa, atau sekedar menjadi jembatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Fudhail bin Iyadh –Rahimahullah- berikut:
إياك أن تدل الناس على الله ثم تفقد أنت الطريق، واستعذ بالله دائما أن تكون جسرا يعبر عليه إلى الجنة، ثم يرمي في النار
(سير أعلام النبلاء 291/6)
“Jangan sampai engkau menuntun manusia kepada Allah Ta’ala kemudian engkau sendiri malah kehilangan jalan itu.
Maka teruslah meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala agar engkau tidak menjadi layaknya sekedar jembatan yang mengantarkan orang-orang menuju surga, namun engkau sendiri kemudian terlempar ke neraka”.
(Siyar A’lam Annubalaa’ hlm 291/6)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita semua dan menjauhkan kita dari ilmu yang tidak bermanfaat.
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
About Author
baru
Kufur dan Besarnya Dosa Sihir
Sihir adalah salah satu alat syaitan yang digunakan oleh pengikutnya untuk menghancurkan kehidupan orang lain,seperti dengan mengirim sihir penyakit, pemisah, pencelaka, dan lain sebagainya.
Maka pertama, mempelajarinya adalah haram karena mengantarkan kepada kekufuran. Sebagaimana di dalam firman Allah Ta’ala:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ [البقرة: 102
Artinya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” [QS. al-Baqarah (2): 102]
Dan yang dimaksud dari ayat di atas, bahwa kedua malaikat (Harut dan Marut) itu mengajarkan kepada manusia tentang peringatan terhadap sihir dan cara melawan ilmu sihir syaitan bukan mengajarkan untuk mengajak mereka melakukan sihir. (al–Jami’ li Ahkamil–Qur’an, Juz II, hal. 472).
Dan begitu juga, peringatan tersebut juga berlaku kepada mereka yang minta pertolongan dukun untuk menyihir orang lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
عن عمران بن الحصين رضي الله عنه قال: قال رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ وَمَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رواه البزّار بإسناد جيد
Dari Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” bukan dari golongan kami orang yang menentukan nasib sial dan untung berdasarkan burung dan lainnya, yang bertanya dan yang menyampaikannya, atau yang melakukan praktek perdukunan dan yang meminta untuk didukuni atau yang menyihir atau yang meminta dibuatkan sihir, dan barang siapa yang mendatangi dukun dan membenarkan apa yang ia katakan, maka sesungguhnya ia telah kafir pada apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam “. [HR Bazzar dengan sanad Jayyid].
Oleh karenanya, maka sihir adalah salah satu dosa besar dan bahkan urutan kedua setelah kesyirikan, sehingga termasuk yang paling mencelakakan nasib seorang hamba di dunia apalagi di akhirat. Maka harus dijauhi sejauh mungkin.
Nabi bersabda:
اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ اَلشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِىْ حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاٰكِلُ الرِّبَا وَاٰكِلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: “Jauhilah tujuh perkara yang merusak (dosa besar). Para shahabat bertanya, “Apa saja ketujuh perkara itu wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Syirik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, sihir, membunuh seseorang yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kecuali dengan jalan yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh zina terhadap perempuan-perempuan mukmin.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Maka, selayaknya dan sepatutnya seorang muslim tidak dekat-dekat meski sejengkalpun dari sihir dan semua yang berkaitan dengannya, karena Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk mengesakannya saja dalam ibadah dan aqidah, bukan meminta pertolongan ke selain-Nya.
Dan semoga Allah Ta’ala menjaga kita dan kaum muslimin dari kejahatan sihir dan pelakunya.
Ustadz Muhammad Hadromi, Lc Hafizhahullahu Ta’ala
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
About Author
baru
Seorang Da’i Pasti Diuji
Berdakwah di jalan Allah Ta’ala adalah jalan para Nabi dan Rasul ‘Alaihimussalaam. Jalan terbaik yang akan mengantarkan seorang hamba kepada surga Allah Ta’ala, karena dengannya seseorang akan mendapatkan pahala berkali lipat.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” )QS Fussilat: 33)
Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR Muslim)
Namun perlu disadari, bahwa jalan para Nabi ini bukan berjalan di atas karpet merah para raja, namun dipenuhi dengan ujian dan cobaan sebab menghadapi manusia yang berpaling dari jalan Allah Ta’ala.
Rasulullah bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنِبْيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلٰى حَسًبِ ( وَفِي رِوَايَةٍ قَدْرِ ) دِيْنُهُ فَإِنْ كَانَ دِيْنُهُ صَلَبًا اِشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِ رِقَةٌ اُبْتُلِيُ عَلٰى حَسَبِ دِيْنُهِ فَمَا يَبْرَحُ اْلبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتىٰ يَتْرُكَهُ يَمْشِيْ عَلَى اْلأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةُ .
“Manusia yang paling dashyat cobaannya adalah para anbiya’ kemudian orang-orang serupa lalu orang-orang yang serupa. Seseorang itu diuji menurut ukuran (dalam suatu riwayat ‘kadar’) agamanya. Jika agama kuat, maka cobaannya pun dashyat. Dan jika agamanya lemah, maka ia diuji menurut agamanya. Maka cobaan akan selalu menimpa seseroang sehingga membiarkannya berjalan di muka bumi, tanpa tertimpa kesalahan lagi.”
(HR Tirmidzi)
Dan sebagaimana firman-Nya:
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَىٰ مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّىٰ أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ
Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian dari berita rasul-rasul itu. )QS Al An’am: 34)
Maka, dengan menyadari realita ini, seorang dai akan dapat menerima keadaan yang menerpanya, sembari selalu bertawakkal dan mengharapkan balasan yang terbaik dari Allah Ta’ala semata, bukan kepada manusia.
Imam Ibnu Katsir mengatakan:
“كل من قام بحق أو أمر بمعروف أو نهى عن منكر فلا بد أن يؤذى، فما له دواء إلا الصبر في الله والاستعانة بالله والرجوع إلى الله”
-تفسير ابن كثير 2/180
“Siapa saja yang menegakkan kebenaran, atau menyeru kepada yang makruf, atau melarang dari yang munkar, pasti dia akan disakiti. maka tidak ada obat baginya melainkan bersabar karena Allah, meminta tolong kepada Allah dan kembali kepada Allah Ta’ala”. (Tafsir Ibnu Katsir 180/2)
Jadi, hanya kesabaranlah yang menjadi penawar dan solusinya.
Sebagaimana para Nabi yang sabar mendakwahi kaum-kaum mereka bertahun-tahun.
Dan yang terakhir untuk disadari, hidayah dari Allah Ta’ala, tidak bisa dipaksakan orang lain untuk segera menerima dakwah dan berubah. Karena kewajiban da’i hanyalah menyampaikan dakwah dengan sebaik-baiknya. Dan baginya balasan terbaik dari Allah Ta’ala.
Semoga Allah Ta’ala menguatkan para da’i di atas jalannya dan memberikan hidayah kepada umat mereka.
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
About Author
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Fatwa8 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Fatwa11 tahun ago
Hukum Membuka Jilbab Untuk Ktp
-
Fiqih Hisbah7 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
Akhlak6 tahun ago
Riya & Sum’ah: Pamer Ibadah