Aqidah
Ada Apa dengan Valentine Day ?
Pada bulan Februari, kita selalu menyaksikan media massa, mal-mal, pusat-pusat hiburan bersibukria berlomba menarik perhatian para remaja dengan menggelar pesta perayaan yang tak jarang berlangsung hingga larut malam bahkan hingga dini hari. Semua pesta tersebut bermuara pada satu hal yaitu Valentine’s Day. Biasanya mereka saling mengucapkan “Selamat hari Valentine”, berkirim kartu dan bunga, saling bertukar pasangan, saling curhat, menyatakan sayang atau cinta karena anggapan saat itu adalah “Hari Kasih Sayang”. Benarkah demikian?
Valentine’s Day yang sebenarnya, tidak lain bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor. Bahkan tak ada kaitannya dengan “kasih sayang”, lalu kenapa kita masih juga menyambut Hari Valentine? Adakah ia merupakan hari yang istimewa? Adat? Atau hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal-muasalnya?. Bila demikian, sangat disayangkan banyak teman-teman kita -remaja putra-putri Islam- yang terkena penyakit ikut-ikutan mengekor budaya Barat dan acara ritual agama lain. Padahal Allah ta’ala berfirman,“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawabnya.” (QS. al-Isra’: 36).
Keinginan untuk ikut-ikutan memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dengan kita dari sisi keyakinan dan pemikirannya. Apalagi bila mengikuti dalam perkara akidah, ibadah, syi’ar dan kebiasaan. Padahal Rasul sahallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam,“Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. at-Tirmidzi).
Bila dalam merayakannya bermaksud untuk mengenang kembali St. Valentine maka tidak disangsikan lagi bahwa ia telah kafir. Adapun bila ia tidak bermaksud demikian maka ia telah melakukan suatu kemungkaran yang besar. Ibnul Qayyim al-Jauziyah berkata, “Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, “Selamat hari raya bagimu!” dan sejenisnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang telah bersujud kepada Salib. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh.” (Ahkam Ahli adz-Dzimmah, juz. 1, hal. 441)
Abu Waqid meriwayatkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat keluar menuju perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath, biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, ‘Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.’ Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian.” (HR. at-Tirmidzi).
Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ (loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi (membedakan diri dengan) orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku.
Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah terhapusnya nilai-nilai Islam. Dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah dukungan dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca,“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. al-Fatihah: 6-7)
Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah ta’ala agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela.
Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati. Allah ta’ala telah berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. al-Maidah: 51)
Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda. Semoga Allah ta’ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah ta’ala menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan dalam hadits qudsi: Allah ta’ala berfirman, artinya, “Kecintaan-Ku adalah bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, yang saling berkorban karena Aku dan yang saling mengunjungi karena Aku.” (HR. Ahmad). Wallohu a’lam
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet
Aqidah
Bimbinglah keluargamu
Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman :
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ [الذاريات : 55]
Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman (Adz-Dzariyat (51) : 55)
Putra-putri kita mengerjakan shalat, menjaganya dan mengingat Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Mereka-insya Allah- termasuk kaum mukminin yang mau kembali pada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ketika diperingatkan, menetapi perjanjian dan janji mereka ketika diingatkan. Sungguh saya sangat salut pada ayah yang tidak henti-hentinya melafalkan dzikir pada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Bila mendengar kebaikan ia ingat Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan bertasbih. Bila mendengar keburukan atau sesuatu yang tidak disukainya ia ber-istirja’ (mengucapkan kalimat : إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ-ed) dan memuji Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى di setiap kondisi.
Sebagaimana saya juga salut pada seorang ibu yang menyambut anaknya dengan doa dan memohon berkah Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Demikian pula ketika melepasnya pergi.
Jadi tugas orangtua adalah mengajari anak-anak dengan ucapan-ucapan dzikir harian, agar mereka termasuk orang-orang yang berdzikir di pagi dan sore hari ; ketika masuk dan keluar rumah, saat masuk kamar kecil dan selainnya. Rotasi malam dan siang menjadikan si anak selalu berdzikir kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Disamping itu, kedua orang tua wajib mengingatkan anak akan urusan-urusan pribadi mereka berupa janji-janji dan tugas-tugas. Juga jadwal pelajaran dan waktu ujian.
Tidak kalah penting juga jadwal kunjungan keluarga dan berkomunikasi. Demikian pula, waktu-waktu pergi ke dokter, berobat dan melakukan check-up kesehatan. Khususnya waktu-waktu yang rutin.
Dan yang terakhir adalah daftar perilaku positif yang disiapkan orangtua bersama anak-anak. Kemudian ditempelkan di rumah atau kamar anak. Dan peran oragtua di sini adalah secara rutin mengingatkannya dan motivasi-motivasinya agar anak selalu memelihara perilaku baik. Hal ini pasti bisa memperdalam cinta anak kepada orang tua lantaran telah memantau dan bergadang demi kenyamanan mereka serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.
Dialog Penuh Cinta
Ayah, ingatkan aku !
“Insya Allah, semoga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengingatkanmu pada kesyahidan…”
Ibu, ingatkan aku !
“Hanya itu, engkau tidak meminta sesuatu ? Mintalah mataku pasti aku berikan…”
Ayah, jangan lupa membangunkanku…
“Aku tidak akan tidur demi dirimu…”
Ibu, jangan lupa waktuku minum obat…
“Aku bisa lupa pada diriku, tapi tidak pada dirimu…sayangku…”
Ayah jangan lupa, hari ini waktu mendaftarkanku di lembaga …
“Insya Allah, setelah aku menyelesaikan beberapa tugas mendesak…”
***
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Kaifa Takuna Abawaini Mahbubain ?, Dr. Muhamad Fahd ats-Tsuwaini, ei, hal. 29-31.
Aqidah
Mengucapkan Kalimat Tauhid Tanpa Keikhlasan
Pertanyaan :
Seorang penanya mengatakan,
“Apakah orang yang mengucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ tanpa melakukan amal apapun, ia akan masuk Surga ? yakni, orang tersebut mengucapkan kalimat tersebut dengan lisannya (saja), karena ada hadis (qudsi) yang maknanya, Dia berfirman, ‘Demi kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, sungguh Aku akan mengeluarkan dari Neraka setiap orang yang mengatakan, لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ .” Wallahu A’lam
Terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Anda.
Jawaban :
Syaikh –رَحِمَهُ اللهُ-menjawab,
“Kalimat لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ merupakan kalimat yang agung, andai kata kalimat tersebut ditimbang dengan langit dan bumi niscaya kalimat tersebut lebih berat.
Adapun makna kalimat tersebut adalah ‘tidak ada sesembahan yang hak selain Allah’ maka, segala sesuatu yang disembah selain Allah maka sesuatu tersebut adalah batil. Berdasarkan firman Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى -,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ [الحج : 62]
Hal itu (kekuasaan Allah berlaku) karena Allah, Dialah (Tuhan) Yang Mahabenar dan apa saja yang mereka seru selain Dia itulah yang batil. Sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar. (al-Hajj : 62)
Dan, ibadah itu tidaklah khusus dilakukan dengan rukuk atau sujud, yakni, bahwa seseorang boleh jadi beribadah kepada selain Allah tanpa melakukan rukuk dan sujud kepadanya, tetapi ia lebih mengedepankan kecintaan kepadanya atas kecintaan kepada Allah, mengagungkannya di atas pengagungan kepada Allah, perkataanya lebih agung di dalam hatinya daripada perkataan Allah. Oleh karena itu, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah…” (HR. al-Bukhari)
Beliau menyebut ‘hamba’ bagi dinar, ‘hamba’ bagi dirham, ‘hamba’ bagi khamishah. Khamishah yaitu pakaian. Padahal mereka ini tidak menyembah dirham dan dinar. Mereka tidak rukuk dan tidak pula sujud kepadanya. Akan tetapi, mereka mengagungkannya lebih banyak daripada mengagungkan Allah-عَزَّ وَجَلَّ-, dan kepada hal ini firman-Nya mengisyaratkan,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ [البقرة : 165]
Di antara manusia ada yang menjadikan (sesuatu) selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi-Nya) yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat kuat cinta mereka kepada Allah. (al-Baqarah : 165)
Maka, kalimat ini merupakan kalimat yang agung, di dalam kalimat ini terkandung unsur berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan dan pemurnian sifat keilahiyahan dan peribadatan kepada Allah-عَزَّ وَجَلَّ-. Maka, kalau seseorang mengucapkan kalimat tersebut dengan lisannnya dan hatinya, maka dialah orang yang mengucapkannya dengan sebenar-benarnya. Oleh karena itu, Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – mengatakan (kepada Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-)
مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapakah orang yang paling berbahagia dengan mendapatkan syafaatmu pada hari Kiamat ? …beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjawab,
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
Barang siapa mengucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ dengan ikhlas dari hatinya..(HR. al-Bukhari)
Di dalam hadis ‘Itban bin Malik, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang yang mengatakan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ di mana ia mencari wajah Allah dengan hal itu. (HR. al-Bukhari)
Karena itu, haruslah disertai dengan keikhlasan.
Adapun orang yang mengucapkan kalimat tersebut dengan lisannya tanpa meyakininya di dalam hatinya, maka sesungguhnya kalimat tersebut tidak bermanfaat baginya, karena orang-orang munafik saja mereka mengingat Allah dan mengucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ , seperti firman Allah,
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا [النساء : 142]
Apabila berdiri untuk salat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali. (an-Nisa : 142)
Dan, mereka pun bersaksi akan kerasulan Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sebagaimana firman Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ [المنافقون : 1]
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Nabi Muhammad), mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau adalah benar-benar utusan Allah.” Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar utusan-Nya. Allah pun bersaksi bahwa orang-orang munafik itu benar-benar para pendusta. (al-Munafiqun : 1)
Namun, persaksian mereka bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah tidak akan sama sekali memberikan manfaat kepada mereka. Hal demikian itu karena mereka mengatakan hal itu tidak dari hati dan keiskhlasan. Maka, barang siapa mengucapkan kalimat ini tanpa keiskhlasan, niscaya kalimat tersebut tidak akan memberikan kemanfaatan kepadanya, dan tidak pula menambah dirinya melainkan semakin jauh dari Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,.
Kita memohon kepada Allah -untuk diri kita sendiri dan untuk saudara-saudara kita kaum Muslimin- keyakinan terhadap kalimat tersebut, dan mengamalkan apa yang menjadi konsekwensinya. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Wallahu A’lam
Sumber :
(Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Fatawa Nur ‘Ala ad-Darb, 1/76-77 (Soal No. 42)
Amar Abdullah bin Syakir
Aqidah
Menghindari Kemungkaran yang Lebih Besar
(اجتناب المفسدة العظمى)
قال الشيخ محمد الأمين الشنقيطي رحمه الله:
“يشترط في جواز الأمر بالمعروف ألا يؤدي إلى مفسدة أعظم من ذلك المنكر؛ لإجماع المسلمين على ارتكاب أخف الضررين”. (أضواء البيان ص ٤٦٤)
(Menghindari Kemungkaran yang Lebih Besar)
Berkata Syaikh Muhammad Al Amin Al Syinqithy -Rahimahullah-:
“Amar Makruf dibolehkan dengan syarat tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dari kemungkaran sebelumnya, demikian berdasarkan Ijma’ Kaum Muslimin bahwasanya diperkenankan (dalam keadaan terpaksa) memilih hal yang lebih ringan mafsadatnya”. (Adwaul Bayan Hlm 464)
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Khutbah9 tahun ago
Waspadailah Sarana yang Mendekatkan pada Zina
-
Fatwa9 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Fiqih Hisbah8 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Akhlak7 tahun ago
Riya & Sum’ah: Pamer Ibadah