Connect with us

baru

Aku Telah Berzina, Tegakkan Hukum Kitab Allah Kepadaku ! (Kisah Pengakuan Ma’iz al-Aslami dan Pertobatannya)

Published

on

Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari jalur periwayatan Nu’aim bin Hazzal, ia berkata :

Ma’iz bin Malik dahulu adalah anak yatim yang berada dalam pemeliharaan ayahku, lalu ia menyetubuhi salah seorang perempuan dari komplek tempat tinggalnya, maka ayahku berkata kepadanya, ‘Datanglah kepada Rasulullah kepada Rasulullah, lalu beritahulah beliau tentang apa yang telah engkau lakukan, mudah-mudahan beliau memohonkan ampunan untukmu dan mudah-mudahan akan ada jalan keluar bagimu.’ Lalu Ma’iz pun mendatangi beliau , dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina, maka silakan tegakkan hukum kitab Allah kepadaku’.”

 

Dalam redaksi al-Bukhari dari hadis Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- disebutkan,

Lalu dia memanggil beliau, ‘Wahai Rasulullah ! sesungguhnya aku telah berzina. Dia menyebutkan kisah dirinya sendiri. Maka, Nabi berpaling darinya, lalu dia beralih ke arah beliau berpaling kepadanya, maka dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesugguhnya aku telah berzina , maka beliau berpaling darinya, lalu dia beralih ke arah beliau berpaling kepadanya, ketika ia telah bersaksi terhadap dirinya sebanyak empat kali, maka Nabi memanggilnya, lalu beliau bersabda, ‘Apakah engkau gila ? dia menjawab,’tidak wahai Rasulullah’, beliau bertanya, ‘engkau telah menikah ? Dia menjawab, ‘Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda, ‘Pergilah kalian, lalu rajamlah dia.’

 

Dalam hadis Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya- yang juga diriwayatkan oleh al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepadanya “Mungkin engkau hanya mencium, menyentuh, atau memandang?

 

Di dalam riwayat Abu Hurairah di atas disebutkan bahwa Nabi bertanya kepadanya dengan lafaz yang jelas yang maknanya adalah ‘jima’ (senggama), maka dia menjawab, “ya,” beliau bertanya, “Hingga punyamu masuk semua ke dalam punyanya ? Dia menjawab,’”Ya”, Beliau bertanya,”Sebagaimana masuknya batang celak ke dalam botol celak dan tali timba ke dalam sumur ? Dia menjawab,”Ya”, Beliau bertanya,”apakah engkau mengetahui apa itu zina ? Dia menjawab,”Ya, aku melakukan dengannya perbuatan haram, sebagai mana yang biasa dilakukan suami kepada istrinya secara halal.” Beliau bertanya, “Lalu apa yang engkau inginkan dengan perkataanmu ini ? Dia menjawab,”Aku ingin engkau menyucikanku.” Maka Nabi memerintahkan agar dia dirajam.

 

Di dalam riwayat Abu Dawud dari hadis Jabir bin Abdillah, dia berkata, “Aku termasuk di antara orang-orang yang merajam laki-laki itu. Manakala kami membawanya keluar lalu kami merajamnya dan dia merasakan sakitnya lemparan batu terhadapnya, maka ia berteriak kepada kami, ‘Wahai orang-orang ! Kembalikan aku kepada Rasulullah, karena sesungguhnya kaumku ingin membunuhku dan telah menipuku, mereka memberitahuku bahwa Rasulullah tidak akan membunuhku’. Namun kami tidak menghentikan lemparan batu darinya sehingga kami membunuhnya, lalu ketika kami telah kembali kepada Rasulullah dan kami kabarkan hal itu kepada beliau, beliau bersabda,’Mengapa kalian tidak membiarkannya  dan membawanya kepadaku? Beliau ingin mencari kejelasan darinya, adapun untuk meninggalkan hukuman had, maka tidak.

 

Dalam salah satu riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah, ia berkata, “Maka Nabi memerintahkannya agar dia dirajam, lalu Nabi mendengar dua orang dari para sahabat beliau, salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lain, ‘Lihatlah orang yang telah Allah tutupi aibnya, namun nafsunya tidak membiarkannya sehingga dia dirajam sebagaimana anjing dirajam. Maka, Nabi mendiamkan keduanya, kemudian beliau berjalan sejenak sehingga beliau melewati sebuah bangkai keledai yang kakinya terangkat, maka beliau bersabda,’Mana si fulan dan si fulan ? kedua orang yang dimaksud menjawab,”kami di sini wahai Rasulullah. Maka beliau bersabda, Turunlah lalu makanlah bangkai keledai ini! Keduanya berkata, ‘Wahai nabi Allah, memangnya siapa yang mau memakan ini ? Beliau bersabda, ‘Perbuatan kalian berdua yang membicarakan kehormatan saudara kalian berdua tadi lebih buruk daripada memakan bangkai ini. Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sesungguhnya dia sekarang berada di sungai-sungai Surga, dia berenang padanya’”

 

Allahu Akbar ! Alangkah indahnya tobat yang murni, meskipun harganya adalah dibunuhnya jiwa karena itu hanya sebentar saja, kemudian dia berenang di dalam sungai-sungai Surga. Memang benar bahwa rajam adalah siksaan, namun ia adalah penyuci dosa sebagaimana yang dikatakan oleh Ma’iz kepada Nabi, “Aku ingin engakau menyucikanku.”

Dan penyucian dosa di dunia menjaga diri dari azab akhirat.

وَلَعَذَابُ الْاٰخِرَةِ اَكْبَرُۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ

Dan sungguh, azab akhirat lebih besar sekiranya mereka mengetahui.(Qs. Al-Qalam : 33)

Kemudian apakah dia tahu apabila dia mati dan belum sempat dijatuhi hukuman had, kepada kehendak Allah yang manakah dia akan berpulang ?!   

 

Wallahu A’lam

Sumber :

Wa Laa Taq-rabuu al-fawaahisya, Jamal Abdurrahman Ismail (ei, hal.41-74)

Amar Abdullah bin Syakir

 

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Berbagai Kesalahan Orang Berpuasa Bagian – 2

Published

on

By

Alhamdulillah. Pada bagian pertama tulisan ini, telah disebutkan beberapa kesalahan orang yang berpusa, yaitu,

 

1-Tetap Makan Sahur Sampai Mendengar Lafazh Adzan : Hayya ‘Alash Shalah

2-Makan Sahur Lebih Awal

3-Sengaja Minum Saat Adzan Subuh

 

Berikut ini adalah beberapa kesalahan yang lainnya, yaitu,

 

4-Memajukan Waktu Adzan Subuh

 

Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah adzan Subuh beberapa saat sebelum waktunya yang dilakukan sebagian muadzin. Mereka menganggap bahwa itu merupakan bentuk kehati-hatian dalam beribadah. Perbuatan mereka ini sangat buruk. Mereka tidak berhak mendapatkan citra baik yang diberikan oleh Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kepada muadzin, dengan sabda beliau,

اَلْمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ

“Muadzin itu dipercaya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-)

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar-رَحِمَهُ اللهُ-mengatakan, “Di antara bid’ah munkar yang diada-adakan pada zaman sekarang adalah mengumandangkan adzan kedua sebelum terbit fajar sekitar 1/3 jam dalam bulan Ramadhan. Demikian juga, mematikan lampu-lampu sebagai tanda larangan makan dan minum bagi siapa saja yang ingin berpuasa. Orang yang mengadakan bid’ah itu mengklaim bahwa itu untuk kehati-hatian dalam beribadah, dan hanya segelintir orang yang tahu hal itu. Perbuatan itu telah menyeret mereka untuk tidak mengumandangkan adzan kecuali beberapa menit setelah matahari terbenam untuk memantapkan waktu. Dengan keyakinan itu, mereka telah mengakhirkan buka puasa dan menyegerakan makan sahur. Mereka telah menyelisihi sunnah. Karena itu, kebaikan mereka hanya sedikit, sedangkan keburukan mereka bertambah banyak. Hanya kepada Allah kita meminta pertolongan.’ [1]

 

Disamping menyelisihi sunnah, memajukan waktu adzan juga menyebabkan seorang muslim terhalang untuk makan yang pada dasarnya itu masih dibolehkan oleh Allah baginya. Akibatnya, shalat sunnah qabliyah dikerjakan sebelum waktunya.

 

5- Merasa berdosa karena lupa Makan dan Minum Saat Berpuasa

 

Sebagian orang terkadang merasa berdosa sekali bila mengingat dirinya telah makan atau minum saat puasa karena faktor lupa. Ia bahkan merasa ragu terhadap keabsahan puasanya. Untuk masalah seperti ini dan semisalnya, perlu dikatakan, bahwa tidak ada dosa seberat biji sawi pun, dan puasa tersebut tetap sah, insya Allah. Hendaklah puasa tersebut tetap disempurnakan. Inilah perdapat yang benar. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وسَقَاهُ

 

“Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. al-Bukhari) [2]   

 

Dalam hal ini, tidak ada bedanya apakah makanan dan minuman itu sedikit atau banyak.

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar-رَحِمَهُ اللهُ-mengatakan, “Hadis tersebut mengandung makna kelembutan Allah kepada para hamba-Nya dan bentuk kemudahan bagi mereka, serta diangkatnya kesukaran dan kesempitan dari mereka.” [3]

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin -رَحِمَهُ اللهُ-ketika menjawab pertanyaan terkait masalah ini mengatakan, ‘Siapa saja yang makan atau minum saat berpuasa karena lupa, maka puasanya tetap sah. Akan tetapi, bila ia teringat, maka ia harus berhenti dan mengeluarkan makanan atau minuman yang ada di mulutnya.

 

Adapun, dalil sempurnanya puasa tapi sudah terlanjur makan karena lupa adalah hadis shahih yang disabakan oleh Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan diriwayatkan Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- :  “Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. Muslim)

 

Karena, lupa itu tidak menyebabkan seseorang dihukum karena mengerjakan perbuatan terlarang. Ini berdasarkan firman Allah yang menyebutkan orang yang meminta ampun akibat lupa,

 

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا [البقرة : 286]

 

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami khilaf.” (al-Baqarah : 286)

Allah pun menjawab, ‘Telah Aku ampuni.”

 

6-Tidak mengingatkan Orang lain yang Makan dan Minum karena lupa

 

Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah sebagian orang membiarkan orang lain makan dan minum karena lupa hingga ia menyelesaikannya. Orang yang mengetahui hal itu beranggapan bila orang yang lupa itu diingatkan, maka ia akan terhalang mendapatkan rezeki dari Allah. Orang tersebut tidak sadar kalau sikapnya itu merupakan sebuah kemunkaran dan menyetujui kemungkaran dengan kebodohannya itu.

 

Di sini, kami akan menyampaikan fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz yang berkaitan dengan permasalahan ini. Ada orang yang bertanya, “Sebagian orang mengatakan, ‘Bila Anda melihat seorang muslim berpuasa, lalu makan atau minum pada siang hari bulan Ramadhan karena lupa, maka Anda tidak semestinya mengingatkannya. Sebab, Allah telah memberinya makan dan minum sebagaimana disebutkan dalam hadis. Apakah tindakan ini benar ? Berilah kami fatwa, semoga Anda dibalas pahala.”

 

Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Siapa pun yang melihat orang berpuasa yang minum atau makan, atau menelan apa saja pada siang hari bulan Ramadhan, maka ia wajib mengingkarinya. Sebab, memperlihatkan makan dan minum pada siang hari bulan puasa adalah bentuk kemungkaran, meskipun pelakunya mempunyai alasan dalam perkara itu. Tujuannya, agar orang-orang tidak akan berani terang-terangan melanggar larangan Allah, dengan makan dan minum pada siang hari bulan puasa dengan alasan lupa.

Bila pelakunya memang jujur dalam hal klaim kelupaannya itu, maka ia tidak mengganti (mengqodha’) puasanya itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi –ضَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -, “Bila salah seorang dari kalian lupa, sehigga ia pun makan dan minum, maka hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (Muttafaq ‘Alaih)   

 

Pun demikian dengan musafir (orang yang tengah dalam perjalanan jauh), ia tidak boleh menampakkan makan dan minumnya di hadapan orang-orang yang tidak bepergian karena mereka tidak mengetahui statusnya. Ia harus mencari tempat tertutup supaya tidak dituduh melanggar larangan Allah, juga agar orang lain tidak berani berbuat serupa.

 

Orang-orang kafir juga sama, mereka dilarang memperlihatkan makan, minum dan semisalnya di hadapan kaum muslimin. Celah penyepelean ini harus ditutup rapat. Sebab, mereka dilarang menampakkan syi’ar agama mereka yang batil di hadapan kaum Muslimin. Hanya Allah sebagai pelindung dan pemberi taufiq. [4]

 

Kami sampaikan juga fatwa Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin terkait masalah ini. Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang hukum makan dan minum karena lupa, apakah orang yang melihat pelakunya wajib mengingatkan puasanya ?

 

Beliau menjawab, “Siapa saja yang makan atau minum saat berpuasa karena lupa, maka puasanya tetap sah. Akan tetapi, bila ia teringat, maka ia harus berhenti dan mengeluarkan makanan atau minuman yang ada di mulutnya. Adapun dalil yang menunjukkan kesempurnaan puasa karena lupa makan adalah hadis shahih yang disabdakan Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-dan diriwayatkan Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ‘Barangsiapa terlupa sedang ia berpuasa sehingga terlanjur makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnkan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.’ (HR. Muslim)

 

Karena, lupa itu tidak menyebabkan seseorang dihukum karena mengerjakan perbuatan terlarang. Ini berdasarkan firman Allah yang menyebutkan orang yang meminta ampun akibat lupa, ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami khilaf.” (al-Baqarah : 286). Allah pun menjawab, ‘Telah Aku ampuni.’

 

Adapun orang yang melihat orang makan dan minum saat berpuasa karena lupa, maka ia wajib mengingatkannya. Karena, ini termasuk mengubah kemungkaran. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

 

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ

 

Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka hendaklah ia  mengubah dengan tangannya. Bila tidak mampu, maka hendaklah mengubah dengan lisannya. Bila tidak mampu, maka dengan hatinya.” (HR. Muslim)

 

Tidak diragukan lagi bahwa tindakan makan dan minum yang dilakukan oleh orang yang berpuasa adalah bentuk kemunkaran. Akan tetapi, pelakunya dimaafkan bila dalam kondisi lupa karena memang tidak ada sangsi hukuman baginya. Adapun, orang yang melihat perbuatan itu, maka tidak ada alasan baginya untuk tidak mengingkarinya.’ [5]

 

Berkaitan dengan masalah ini, Syaikh Ibnu Jibrin mengatakan, ‘Ada sebagian orang yang mengatakan, ‘Kami tidak akan mengingatkan orang yang lupa. Kami tidak akan menghentikan rezeki makanan dan minuman yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya.’ Yang benar, orang yang melihat hendaknya mengingatkannya, karena itu wajib hukumnya dan termasuk bentuk amar makruf nahi munkar. Hal yang sama juga berlaku, ketika seseorang melakukan sesuatu yang bisa membatalkan puasa selain makan dan minum karena dianalogikan dengan kedua hal tersebut.” [6]

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Mukhalafat Ramadhan, Abdul Aziz bin Muhammad As-Sadhan, ei, hal. 47-52

 

Catatan :

[1] Fathul Bari, 4/199.

[2] Ibid, 4/155

[3] Ibid, 4/158

[4] Majalah Ad-Da’wah. Edisi : 1186, 30 Sya’ban 1409 H.

[5] Fatawash Shiyam, karya Syaikh Ibnu Jibrin dan Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 27-28

[6] Dinukil dari penjelasan Syaikh Jibrin dalam ulasan singkat tentang buku Manarus Sabil pada 10 Rabi’ul Awal 1406 H.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Bagaimana Cara Puasa Mewujudkan Takwa?

Published

on

By

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  [البقرة : 183]

 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

(al-Baqarah : 183)

**

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-memerintahkan dan mendorong berpuasa karena puasa menjadikan kita menjaga diri. Pertanyaannya, menjaga diri dari apa ?

 

Sebelum menjawab pertanyaan ini, tentu akan bermanfaat apabila kita merujuk kepada asal-usul kata takwa itu sendiri, karena takwa itu berasal dari kata ittiqa, yang berarti menangkal gangguan dari diri. Kita menemukan, bahwa makna kata ini berporos pada perilaku yang didorong oleh rasa takut. Dan, perilaku ini akan melindungi seseorang dari apa yang ia takuti.

 

Dengan demikian, makna takwa adalah menjadikan pelindung antara diri Anda dan sesuatu yang Anda takutkan. Anda takut kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-karena Anda beriman kepada-Nya, dan beriman kepada keluhuran dan kuasa-Nya. Dan dengan berpuasa, Anda menjadikan suatu perlindungan antara diri Anda dan siksa Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Selain itu, Anda takut kepada neraka, karena neraka itu benar adanya. Dan dengan berpuasa, Anda menjadikan suatu perlindungan antara diri Anda dan adzab neraka.

 

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ سَلَّمَ-bersabda,

 

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

 

“Siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, Allah menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh (perjalanan) tujuh puluh tahun.” (Muttafaqun ‘Alaih)

 

“Takwa adalah asas keselamatan dan penjaga yang tidak pernah tidur, yang meraih tangan seseorang ketika terjatuh.” (Ibnul Jauzi)

 

Bagaimana Cara Puasa Mewujudkan Takwa ?

 

Salah satu tuntutan puasa dalam Islam adalah seorang muslim yang berpuasa menahan diri dari keinginan-keinginan tubuh yang mendesak dan juga kebutuhan-kebutuhan utamanya, serta mencegah jiwa dari apa yang diinginkannya, bukannya demi meraih manfaat materi di baliknya. Akan tetapi, seorang muslim berpuasa karena menjalankan perintah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, dan demi mendekatkan diri kepada-Nya. Ini termasuk salah satu manfaat takwa, yaitu kita mengerjakan apa yang Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-perintahkan kepada kita, baik akal bisa menerimanya atau pun tidak, baik jiwa mengetahui rahasia pemberlakuan syariat puasa atau pun tidak.

 

Betapa banyaknya orang yang terhalang dari kebaikan, mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram disebabkan karena menggunakan akal terlalu berlebihan, dan menyatakan bahwa perintah-perintah ilahi tidak sesuai dengan akal mereka yang tidak laku dan rusak, selain juga mereka tidak bisa membedakan antara alasan dan hikmah pemberlakuan syariat.

 

“Tetaplah bertakwa dalam segala kondisi, karena di dalam kesempitan, yang engkau lihat hanyalah kelapangan ; dan ketika sakit, yang engkau lihat adalah kesehatan.” (Ibnul Jauzi)

 

**

Ibadah adalah Jalan Kita Menuju Takwa

 

Seorang hamba tidaklah meraih takwa, kecuali dengan konsisten menjalankan ketaatan, melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan berbekal diri dengan amalan-amalan nafilah (sunnah), karena keinginan untuk mencapai takwa dan mencapai derajat orang-orang yang bertakwa itu mendorong seorang muslim untuk mencurahkan tenaganya secara lebih dan menjalankan berbagai macam ibadah agar jiwa tidak  bosan dan jemu. Selain juga akan mendorongnya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah-ibadah sesuai dengan aturan-aturan syar’inya.

 

Inilah yang kita temukan di bulan Ramadhan, bulan puasa, karena banyak di antara kaum Muslimin yang mungkin hanya melaksanakan qiyamullail di bulan Ramadhan saja. Dan di bulan Ramadhan pula, ia bersungguh-sungguh mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak sekali atau berkali-kali, mengulurkan tangan untuk bersedekah, dan amalan-amal ibadah lainnya.

 

Seperti itulah ibadah demi ibadah dilakukan secara berturut-turut, di mana seorang muslim bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan waktu dan tenaganya, sesuai dengan tingkat ekonominya ; kaya atau miskinnya, dan sesuai dengan kondisi sehat atau sakitnya, demi mengharap menjadi orang yang bertakwa, karena takwa itu mendorong untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah, serta melaksanakan ragam ibadah.

**

“Ketika jiwamu condong kepada syahwat, maka kekanglah ia dengan tali kekang takwa.” (Ibnul Jauzi)

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.33, 34 dan 36.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Puasa, Agar Kamu Bersyukur

Published

on

“Apabila nikmat-nikmat berdatangan kepadamu, janganlah engkau mengusirnya dengan kurang bersyukur.” (Ats-Tsa’labi)

 

**

Bersyukur kepada Allah ta’ala merupakan salah satu tujuan puasa dan rahasia pemberlakuan syariat puasa yang dituturkan oleh ayat-ayat puasa :

 

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ  [البقرة : 185]

 

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur

(al-Baqarah : 185)

 

Syukur itu dipanjatkan karena adanya nikmat. Orang seringkali terbiasa dengan adanya nikmat. Karena sudah terbiasa, mereka lupa untuk memanjatkan syukur kepada Allah ta’ala, karena orang umumnya hanya merasakan adanya nikmat dan nilainya, ketika nikmat tersebut sudah tidak ada lagi.

 

Karenanya, puasa datang untuk kembali mengingatkan orang akan adanya nikmat-nikmat pada dirinya, dan mengajak bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat-nikmat itu. Firman Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – :

 

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ  [النحل : 18]

 

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (An-Nahl : 18)

 

Puasa datang untuk mengingatkan kembali nikmat suap makan dan tegukan minum kepada seseorang, mengingatkan pentingnya kenyang dan puas minum, sehingga hal itu mendorongnya untuk bersyukur kepada Sang pemberi nikmat, dan tidak berlebihan dalam makan dan minum, juga tidak boros.

 

Di antara perilaku Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-adalah ketika beliau merebah ke tempat tidur, beliau bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat makanan yang beliau makan hingga kenyang, nikmat air minum yang membuatnya puas serta menghilangkan dahaga, nikmat tempat bernaung yang memberikan naungan dan hunian bagi beliau. Karenanya beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-berdoa :

 

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَكَفَانَا وَآوَانَا فَكَمْ مِمَّنْ لاَ كَافِىَ لَهُ وَلاَ مُئْوِىَ

 

“Segala puji bagi Allah yang memberi kami makan, minum, mencukupi kami dan memberi kami tempat berteduh. Berapa banyak orang yang tidak mendapatkan siapa yang memberi kecukupan dan tempat berteduh untuknya.” (HR. Muslim)

 

Pada suatu hari, beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-makan kurma muda bersama Abu Bakar dan Umar –رَضِيَ اللهُ عَنْهُما-, serta minum air. Seusai makan, beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berkata :

هَذَا مِنَ النِّعَمِ الَّذِي تُسْأَلُوْنَ عَنْهُ

 

“Ini termasuk di antara nikmat yang kalian kelak akan ditanya tentangnya.” (HR. Ahmad)

 

Lapar mengingatkan Anda pada nikmat suap makanan, dan dahaga membuat Anda merasakan nikmat air minum. Dengan bersyukur, nikmat-nikmat tersebut akan tetap langgeng bertahan.

 

“Siapa dikaruniai syukur, ia tidak terhalang dari tambahan nikmat.”

 

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.37-38.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending