Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Fardhu ‘Ain atau Fardhu Kifayah?


Apa hukum amar ma’ruf nahi munkar, fardhu ‘ain atau fardhu kifayah?

Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi 2 golongan.

Golongan pertama:

Pendapat jumhur ulama, mereka berpendapat bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah, dengan dalil adanya kata (( مِن )) dalam dalam firman Allah subhanahu wata’ala yang berbunyi:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran : 104)

Ma’ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah, sedangkan;

Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

Ayat ini menunjukkan bahwasanya kewajibannya bukan menyeluruh, tetapi jika sebagian telah melaksanakannya maka yang lainnya sudah tidak berdosa, Imam Ghozali berkata :

إن العلماء اتفقوا عى أن الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر من فروض الكفاية، ولم يخالف ذلك إلا النزر اليسير

“Sesungguhnya para ulama telah sepakat bahwasanya Amar Ma’ruf Nahi mungkar termasuk fardhu kifayah, dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali sebagian kelompok kecil.”[1]

Beliau juga berkata dalam menjelaskan firman Allah subhanahu wata’ala yang berbunyi :  (…الآية وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ) “Dan hendaklah ada di antara kamu….”:

“Dan dalam ayat ini penjelasan الإيجاب yaitu kewajiban lalu الفلاح kemenangan, dan juga menunjukkan bahwasanya kewajiban tersebut dalam bentuk fardhu kifayah bukan fardhu ‘ain. Dalam artian jika kewajiban tersebut telah dilaksanakan oleh sebagian ummat maka jatuhlah kewajiban tersebut dari sebagian yang lain dimana Dia tidak mengatakan : كونوا كلكم آمرين بالمعروف (Jadilah kamu semua orang-orang yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).”

Golongan kedua:

mereka adalah sebagian kecil ulama berpendapat bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu ‘ain, dan kata ( مِن ) dalam ayat diatas sebagai bentuk penjelasan bukan bermaksud ‘sebagian,’ dan mereka menyebutkan persaksian dalam bahasa arab misalnya dalam firman Allah subhanahu wata’ala yang berbunyi:

فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ

Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu.” (QS. Al-Hajj : 30)

Disini walaupun disebutkan kata ( مِن ) namun tidak berarti kita diperintahkan untuk menjauhi sebagian berhala, tetapi kita tetap diwajibkan menjauhi seluruh berhala begitu juga dengan kata ( مِن ) dalam surat Ali Imran diatas tidak menunjukkan sebagian.

Ulama di golongan kedua ini juga berpendapat; keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kepada wajibnya amar ma’ruf nahi munkar menunjukkan bahwasanya ia merupakan fardhu ‘ain karena tidak mengkhususkan sebagian orang tertentu melainkan umum bagi siapa saja yang menemui atau melihat kemungkaran, misalnya seperti sabda Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

(مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ… الحديث)

Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran hendaknya ia merubahnya dengan tangannya…”

Pendapat yang kuat:

Untuk menengahi kedua pendapat yang ada, disini kami menukilkan perkataan Ibnu Katsir –rahimahullah– beliau berkata: “Dan yang dimaksud dari ayat ini adalah seyogyanya sekelompok dari ummat ini melawan kemungkaran, dan perkara tersebut adalah wajib bagi setiap individu dalam ummat ini semampunya, sebagaimana dalam hadits :

(مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ… الحديث)

“Yang dimaksud adalah; kapan amar ma’ruf nahi munkar dilakukan oleh sebagian dari kita, maka sudah tidak ada lagi kesempatan bagi sebagian yang lain sehingga gugurlah kewajiban mereka”.[2]

Dari sini kita simpulkan bahwa perkataan yang rajih bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah’, wallahu a’lam, namun bisa menjadi fardhu ‘ain dalam keadaan-keadaan berikut:

 

  • Mengingkari dengan hati, maka wajib bagi setiap muslim ketika menyaksian kemungkaran untuk mengingkari dengan hatinya, yaitu dengan membenci perbuatan maksiat tersebut dan meninggalkan tempat terjadinya maksiat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

(…فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ)

“…dan jika tidak mampu maka hendaknya ia mengingkari dengan hatinya, dan yang demikian adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)

  • Ketika menjadi orang satu-satunya yang mengetahui terjadinya suatu kemungkaran, maka ketika hal tersebut terjadi maka mengingkari kemungkaran tersebut menjadi fardhu ‘ain
  • Ketika ia ditugas oleh pemimpin negara, maka ketika pemimpin negara menunjuk seseorang dan menugasnya untuk melaksanakan kewajiban ini maka amar ma’ruf nahi munkar baginya dan bagi orang-orang yang berprofesi sepertinya menjadi fardhu ‘ain (sebagian negara seperti Arab Saudi menugas beberapa orang tertentu untuk mengontrol ke setiap wilayah dan memantau terjadinya kemungkaran).
  • Ketika hanya bisa dilakukan oleh sebagian orang, maka ketika amar ma’ruf nahi munkar hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu, maka bagi mereka amar ma’ruf nahi munkar menjadi fardhu ‘ain.[3]

Penyusun : Arinal Haq

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet

Footnote:

[1] Ruuhul Ma’aani, 4/21.

[2] Dipetik dan diterjemahkan secara bebas dari kitab ‘Al-Amru Bil Ma’ruf wan Nahyu ‘Anil Munkar wa Waqi’ul muslimin Al-Yaum’ karya Syaikh Shaleh Ad-Darwisy (Hal. 60-62)

[3] Masail wa Qawaid Fi Al-Ihtisab, karya DR. Abdullah Al-Wathban (Hal. 14-15).

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *