Aqidah
Ancaman Keras Pergi Ke Dukun atau Tukang Ramal

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam berbagai haditsnya sebagai berikut :
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
« مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً »
“Barangsiapa yang mendatangi para peramal, lalu menanyakan sesuatu kepadanya, maka tidak diterima baginya shalat empat puluh malam.” (HR. Muslim di dalam Shohihnya).
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa yang mendatangi para peramal atau dukun, lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka ia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. al-Hakim di dalam al-Mustadrok, Hadits Shahih).
Beliau shallallohu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ ، أَوْ تُطِيَّرَ لَهُ أَوْ تَكَهَّنَ ، أَوْ تُكِهِّنَ لَهُ أَوْ سَحَرَ ، أَوْ سُحِرَ لَهُ وَمَنْ عَقَدَ عُقْدَةً أَوْ قَالَ : مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً ، وَمَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ – صلى الله عليه وسلم
“Bukan termasuk golongan kami yang melakukan atau meminta tathayyur (menentukan nasib sial berdasarkan tanda-tanda benda,burung dan lain-lain),yang meramal atau yang meminta diramalkan, yang menyihir atau meminta disihirkan dan barangsiapa mendatangi peramal dan membenarkan apa yang ia katakan, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al-Bazzaar di dalam Musnadnya).
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet
About Author
Aqidah
Membunuh Orang Lain Dosa Besar Kedua

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا [النساء : 93
“Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. an-Nisa : 93)
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلَّا مَنْ تَابَ [الفرقان : 68 – 70]
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina ; dan barang siapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat, (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat ..”
(Qs. al-Furqan : 68-70)
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا [المائدة : 32]
“Bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. “(Qs. al-Maidah : 32)
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (9) [التكوير : 8 ، 9]
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa dia dibunuh ?
(Qs. at-takwir : 8-9)
Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda, “Jauhilah oleh kalian tujuh dosa-dosa besar.” kemudian beliau menyebutkan di antaranya yaitu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh.
Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –pernah ditanya,
أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ ؟ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قَالَ : قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قَالَ : قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ أَنْ تَزْنِيَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ
“Dosa apakah yang paling besar ? Maka beliau menjawab, ‘kamu menyekutukan Allah, padahal Allah –lah yang telah menciptakanmu.’ Kemudian si penanya berkata kembali, ‘Kemudian dosa apa lagi ?’ Beliau menjawab, ‘kamu membunuh anakmu karena takut anakmu akan makan bersamamu’ Si penanya kembali bertanya, ‘Kemudian dosa apa lagi ?’ Beliau menjawab, ‘kamu berzina dengan istri tetanggamu.’ [1]
Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
إِذَا اِلْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفِهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُوْلُ فِي النَّارِ . قِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُوْلُ ؟ قَالَ ( إِنَّهُ كَانَ حَرِيْصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ )
Apabila dua orang muslim saling berhadapan dengan (menghunus) pedang mereka, maka yang membunuh dan yang terbunuh (keduanya) akan masuk neraka.’ Beliau ditanya, ‘Wahai Rasulullah, hukuman ini (layaknya) untuk yang membunuh. Bagaimana halnya bagi korban yang terbunuh ?’ Maka beliau menjawab, ‘Sesungguhnya ia pun berniat ingin membunuh lawannya.’ [2]
Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
لَا يَزَالُ الْمَرْءُ فِي فُسْحَةٍ مِنْ دِيْنِهِ مَا لَمْ يَتَنَدَّ بِدَمٍ حَرَامٍ
“Seseorang akan selalu berada dalam kelapangan dalam agamanya selama tidak menumpahkan darah yang diharamkan (tidak pernah membunuh orang lain”
Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
“Janganlah kalian kembali kufur (murtad) sepeninggalku yaitu sebagian kalian menebas leher-leher sebagian yang lain (saling membunuh)” [3]
Dari Bisyr bin Muhajir dari Ibnu Buraidah dari bapaknya bahwasanya Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
لَقَتْلُ مُؤْمِنٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا
“Membunuh seorang mukmin di sisi Allah dosanya lebih besar daripada musnahnya dunia ini” [4]
Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
لَنْ يَزَالَ الْمُؤْمِنُ فِي فُسْحَةٍ مِنْ دِينِهِ مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا
“Seorang mukmin akan selalu berada dalam kelapangan dalam agamanya selama ia tidak pernah menumpahkan darah yang diharamkan (membunuh orang lain)” [5] (teks imam al-Bukhari)
Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِي الدِّمَاءِ
“(perkara) yang pertama kali disidangkan di antara manusia (di hari Kiamat kelak) adalah mengenai darah (pembunuhan)” [6]
Berkata Quraisy dari Asy-Sya’bi dari Abdullah bin Amr, ia berkata bahwa Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
“Dosa-dosa besar yang paling besar adalah menyekutukan Allah, membunuh jiwa dan durhaka kepada kedua orang tua” [7]
Dari Humaid bin Hilal telah meriwayatkan kepada kami, Bisyir bin Ashis telah meriwayatkan kepada kami ‘Uqbah bin Malik dari Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – beliau bersabda,
إِنَّ اللهَ أَبَى عَلَي مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا
“Sesungguhnya Allah sangat marah terhadap orang yang memnbunuh seorang mukmin [8] Beliau menyatakannnya sampai tiga kali.” (Riwayat ini berdasarkan riwayat imam Muslim)
Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
لَيْسَ مِنْ نَفْسٍ تُقْتَلُ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْهَا لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ
“Tidak satu jiwa pun yang dibunuh secara zhalim melainkan darahnya akan ditanggung oleh anak Adam yang pertama (Qobil), karena dialah orang yang pertama kali melakukan pembunuhan” [9] (Muttafaq ‘Alaih)
Ibnu Umar berkata, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barang siapa yang telah membunuh orang kafir mu’ahad (orang kafir yang ada perjanjian damai dengan umat Islam), maka ia tidak akan mencium wangi surga dan wangi surga bisa tercium sejauh perjalanan empat puluh tahun” [10] (HR. al-Bukhari dan an-Nasai)
Abu Hurairah berkata, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
أَلَا مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهِدَةً لَهُ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ رَسُوْلِهِ فَقَدْ أَخْفَرَ بِذِمَّةِ اللهِ فلَا يُرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا
“Barang siapa yang telah membunuh orang kafir yang ada dalam naungan perjanjian (perjanjian damai dengan umat Islam) dan berada di bawah perlindungan Allah dan Rasul-Nya, berarti ia telah merusak perlindungan Allah (atas jiwa tersebut) dan (di akhirat kelak) ia tidak akan bisa mencium wangi surga. Padahal wangi surga sudah bisa dicium dari jarak empat puluh tahun perjalanan” [11] (Dishahihkan oleh imam at-Tirmidzi)
Abu Hurairah berkata bahwa Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
مَنْ أَعَانَ عَلَى قَتْلِ مُسْلِمٍ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ لَقِىَ اللَّهَ مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْنِه آيِسٌ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ
“Barang siapa yang ikut membantu terbunuhnya seorang muslim dengan satu baris kalimat, maka kelak ia akan bertemu dengan Allah dan di antara kedua matanya tertulis kalimat, ‘orang yang berputus asa dari rahmat Allah.” [12] (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah. Di dalam sanad ini ada perbincangan (diperdebatkan keshahihannya)
Mu’awiyah berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
كُلُّ ذَنْبٍ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَغْفِرَهُ إِلَّا الرَّجُلُ يَمُوتُ كَافِرًا أَوْ الرَّجُلُ يَقْتُلُ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا
“Semua dosa masih ada harapan untuk diampuni oleh Allah, kecuali orang yang mati dalam keadaan kafir atau orang yang telah membunuh seorang mukmin dengan sengaja” [13] (HR. an-Nasai) [14] (Kita memohon keselamatan dan afiyah kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-)
Penjelasan :
Syaikh Utsaimin-رَحِمَهُ اللهُ –berkata [15] “Penulis-رَحِمَهُ اللهُ – (Imam an-Nawawi; penulis kitab Riyadhus Shalihin) berkata mengenai riwayat yang dinukilnya dari Abdullah bin Umar-رَضِيَ اللهُ عنهما-bahwa Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda, “ Seorang mukmin akan selalu dalam kelapangan dalam agamanya selama tidak menumpahkan darah yang diharamkan.”
“Seorang mukmin akan selalu dalam kelapangan…”, maksudnya dalam kelonggaran dalam agamanya, “…selama tidak menumpahkan darah yang diharamkan.” Yakni selama tidak pernah membunuh seorang mukmin atau seorang kafir dzimmi atau orang kafir yang terkait di bawah naungan perjanjian atau orang yang mendapat jaminan keamanan. Semua itu adalah darah-darah yang haram (untuk ditumpahkan) yang terdiri dari empat macam. Yaitu darah seorang muslim, darah seorang kafir dzimmi, darah seorang yang terkait di bawah naungan perjanjian, dan darah seorang yang mendapat jaminan keamanan. Sedangkan yang paling berat dan paling besarnya adalah darah seorang mukmin. Adapun darahnya seorang kafir harbi (orang kafir yang melakukan perlawanan dengan umat Islam) tidak termasuk darah yang diharamkan (jadi, kafir harbi boleh dibunuh).
Apabila seseorang telah menumpahkan darah yang diharamkan, maka agamanya akan terasa sempit baginya. Maksudnya bahwa dadanya akan terasa sempit dikarenakan dosa tersebut sehingga akhirnya ia akan keluar dari agama Islam (murtad), dan ia akan mati dalam keadaan kafir. Inilah inti sari dari firman Allah ta’ala,
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا [النساء : 93]
“Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. an-Nisa : 93)
Inilah lima jenis balasannya (terancam di dalam ayat ini). Yaitu pelakunya akan kekal di neraka jahannam, akan mendapatkan murka dan laknat Allah, serta dijanjikan akan merenima azab yang sangat pedih bagi siapa saja yang telah membunuh seorang mukmin dengan sengaja. Karena apabila telah membunuh seorang mukmin, berarti ia telah menumpahkan darah yang diharamkan. Kemudian agamanya akan terasa sempit dan dadanya pun akan terasa sempit sehingga ia akan dicap murtad dari agamanya. Kemudian ia akan menjadi penduduk neraka dan akan kekal di dalamnya.
Ayat inilah yang menjadi dalil bahwa menumpahkan darah yang diharamkan (membunuh orang tanpa hak) termasuk di antara (deretan) dosa-dosa besar.
Akan tetapi, jika si pelaku bertaubat dari pembunuhan tersebut, apakah sah taubatnya ?
Mayoritas para ulama mengatakan bahwa hukum taubatnya sah menurut keumuman firman Allah ta’ala,
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلَّا مَنْ تَابَ [الفرقان : 68 – 70]
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina ; dan barang siapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat, (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat ..” (Qs. al-Furqan : 68-70)
Inilah dalil yang menunjukkan bahwa siapapun yang bertaubat dari dosa pembunuhan (membunuh jiwa tanpa hak), kemudian ia beramal shalih, maka Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-akan menerima taubatnya.
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ [الزمر : 53]
Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri ! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Qs. az-Zumar : 53)
Akan tetapi, bagaimana bentuk taubatnya itu ? Karena membunuh seorang mukmin berkaitan dengan tiga macam hak. Pertama adalah hak Allah, kedua adalah hak yang terbunuh, dan yang ketiga adalah hak wali si korban.
Apabila seseorang bertaubat dari hak Allah, maka Allah akan mengampuninya. Si korban memiliki hak dari diri si pelaku. Akan tetapi, si korban telah terbunuh, tentu ia tidak bisa membalasnya di dunia ini. Apakah taubat si pelaku akan mendatangkan ampunan dari Allah bagi si pelaku ataukah hukum qishash (hukum balas) harus ditegakkan (terhadap si pelaku) pada hari Kiamat kelak ?
Hal inilah yang menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hak si korban tidak akan gugur karena si pelaku telah bertaubat. Karena di antara syarat-syarat taubat adalah harus mengembalikan suatu yang pernah dizhaliminya kepada si pemiliknya. Sedangkan si korban tidak bisa menerima tebusan dari si pelaku atas kezhalimannya. Karena korban tersebut (sekarang) telah meninggal dunia. Sehingga hukum qishash harus ditegakkan terhadap si pelaku di hari Kiamat nanti. Akan tetapi, zhahir dari ayat-ayat yang telah kita bahas di dalam surat al-Furqan di atas menunjukkan bahwa Allah akan mengampuninya dengan ampunan yang sempurna. Apabila Allah mengetahui kejujuran taubat seorang hamba, maka Dia akan memberikan ampunanNya kepadanya atas hak saudaranya yang telah dibunuhnya.
Sedangkan hak yang ketiga yaitu hak wali (keluarga) si korban. Hal ini menyangkut kerelaan dari wali korban. Setiap orang sangat dimungkinkan untuk mendapat kerelaan dari mereka (keluarga si korban). Yang itu dengan menyerahkan diri kepada mereka sambil mengatakan, “Aku telah membunuh saudara kalian. Maka berbuatlah sekehendak kalian (terhadap diriku) !” Maka pada saat itu, mereka (keluarga si korban) bebas memilih empat perkara, di antaranya memaafkan begitu saja, membunuhnya sebagai bentuk qishash, meminta diyat atau yang setara dengan diyat. Semua ini dibolehkan menurut kesepakatan para ulama.
Sedangkan apabila hak keluarga (wali korban) tidak bisa ditebus, kecuali dengan sejumlah uang yang nilainya lebih besar dari diyat, maka di dalam masalah ini terdapat perbedaan di antara para ulama. Sebagian para ulama mengatakan bahwa diperkenankan untuk berdamai dengan sesuatu yang nilainya lebih besar daripada diyat. Dikarenakan hal ini merupakan hak keluarga si korban. Sehingga jika mereka berkehendak, maka mereka bisa mengatakan, “Kami akan membunuhmu!” Mereka juga bisa mengatakan, “Kami tidak akan memaafkanmu, kecuali dengan membayar sejumlah uang yang nilainya sepuluh kali lipat dari nilai diyat.” Pendapat inilah yang masyhur dari kalangan madzhab imam Ahmad-رَحِمَهُ اللهُ –karena beliau membolehkan berdamai dengan sejumlah uang yang nilainya lebih besar daripada diyat.
Yang jelas, sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa hal ini menjadi hak mereka. Maksudnya keluarga si korban berhak menentukan hak mereka. Misalnya mereka menuntut sejumlah uang lebih besar dari diyat (denda yang ditentukan pemerintah) yang bisa menghibur duka mereka.
Sehingga kita katakan bahwa taubatnya si pelaku pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja adalah sah berdasarkan ayat-ayat yang telah kami sebutkan dari surat al-Furqan. Yaitu khusus untuk kasus pembunuhan. Sedangkan ayat yang kedua lebih umum “ … sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosanya seluruhnya.” (Qs. az-Zumar : 53)
Hadis hadis di atas menunjukkan bahwa dosa membunuh jiwa (seorang mukmin) adalah sangat berat dan sesungguhnya perbuatan tersebut termasuk di antara jajaran dosa-dosa besar. Sesungguhnya orang yang membunuh dengan sengaja dikhawatirkan dirinya akan terlepas dari agamanya (murtad).
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
1-Al-Kabair, Muhammad bin Utsman adz-Dzahabiy
2-Syarh Riyadhish Shalihin, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Catatan :
[1] HR. al-Bukhari, hadis no 4477, HR. Muslim, hadis no 86. HR. at-Tirmidzi, hadis no 3181 dan HR. an-Nasai juz 7 hal.89
[2] HR. al-Bukhari, hadis no 31 dan HR. Muslim, hadis no. 2888
[3] HR. al-Bukhari, hadis no 121 dan HR. Muslim, hadis no. 65
[4] HR. an-Nasai juz 7 hal. 83, 84.
[5] HR. al-Bukhari, hadis no 6862 dan HR. Ahmad juz 2 hal.94
[6] HR. al-Bukhari, hadis no. 6864 dan Muslim, hadis no 1678
[7] HR. al-Bukhari, hadis no 6675 dan HR. Ahmad juz 2 hal.201
[8] HR. Ahmad juz 5 hal. 689
[9] HR. al-Bukhari, hadis no. 3335 dan Muslim, hadis no 1677
[10] HR. al-Bukhari, hadis no. 3166 dan an-Nasai, hadis no 2686
[11] HR.at Tirmidzi, hadis no 1403
[12] HR. Ibnu Majah, hadis no. 2620
[13] HR. Abu Dawud, hadis no 4270 dan HR. Ahmad juz 3 hal.99.
[14] al-Kabair, 1/12
[15] Syarhu Riyadhis Shaalihin, hal.26, baabun Tahriimizh Zhulmi wal Amri Biradddil Mazhaalimi, hadis nomor 220.
About Author
Aqidah
Batasan Toleransi Muslim Terhadap Perayaan Agama Lain

Kita hidup saling berdampingan antar suku dan agama di negeri yang besar ini, dan sejak awal kemerdekaannya semua umat saling menghormati dan menghargai satu sama lain dengan batasan-batasannya.
Negara sendiri memiliki Kementerian Agama, yang mengurus hal-hal yang terkait setiap agama dan pemeluknya, semua mendapatkan hak yang adil.
Dan khususnya Islam sebagai agama terbesar di Indonesia, memiliki Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai panutan dalam beragama, maka umat Islam selayaknya mendengarkan fatwa-fatwa Ulama yang berkaitan dengan cara berkehidupan dan beragama mereka.
Di antara permasalahan yang terus berulang setiap tahunnya adalah pertanyaan mengenai cara bersikap yang benar secara Islam terhadap perayaan agama selain Islam di Indonesia.
Dan untuk permasalahan ini terdapat dua kubu yang berlebihan dan bertolak belakangan:
Pertama: Mereka yang ekstrim sehingga melakukan perusakan dan kerusuhan bahkan pembunuhan terhadap umat lain pada perayaan mereka, dan Islam berlepas diri dari tindakan terorisme mereka tersebut.
Kedua: Golongan yang liberalis, yang mencampur-adukkan masalah akidah sehingga mereka membolehkan bahkan menyeru agar umat Islam ikut merayakan perayaan umat lain, dalam rangka toleransi menurut mereka, dan ini juga sebuah kekeliruan.
Jadi, bagaimana sikap yang benar dalam bertoleransi? MUI telah mengeluarkan fatwa terkait permasalahan ini, yaitu FATWA MUI TAHUN 1981 TENTANG PERAYAAN NATAL BERSAMA. yang mana, di antara isinya:
“Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, setelah:
Memperhatikan:
- Perayaan Natal Bersama pada akhir-akhir ini disalahartikan oleh sebagian umat Islam dan disangka dengan umat Islam merayakan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW.
- Karena salah pengertian tersebut ada sebagian orang Islam yang ikut dalam perayaan Natal dan duduk dalam kepanitiaan natal.
- Perayaan Natal bagi orang-orang kristen merupakan ibadah.
Menimbang:
- Umat Islam perlu mendapat petunjuk yang jelas tentang Perayaan Natal Bersama.
- Umat Islam agar tidak mencampuradukkan aqidah dan ibadahnya dengan aqidah dan ibadah agama lain.
- Umat Islam harus berusaha untuk menambah Iman dan Taqwanya kepada Allah Swt.
- Tanpa mengurangi usaha umat Islam dalam Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia.
MEMUTUSKAN
Memfatwakan:
- Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
- Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram.
- Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Swt dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Dan di antara dalil MUI bahwa umat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqidah dan peribadatan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain berdasarkan Al-Quran surat al-Kafirun ayat 1-6 :
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al-Kafirun [109] : 1-6)
Dan Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah Ta’ala serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan, berdasarkan atas Kaidah Ushul Fikih:
“Menolak kerusakan-kerusakan itu di dahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahatan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya (kerusakan) yang diperoleh, sedangkan masholihnya (kebaikan) tidak dihasilkan).”
Demikian isi fatwa MUI terkait permasalahan di atas.
Maka, toleransi sudah cukup terlaksana karena ibadah mereka sudah dijamin keamanannya oleh Negara dan diijinkan, serta sudah sangat dihormati tanpa perlu umat Islam ikut serta dalam upacara perayaannya.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga negeri ini dan memberkahinya serta menaunginya dengan taufik dan hidayah-Nya.
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
About Author
Aqidah
Pelajarilah Dosa-Dosa Besar !

Pelajarilah Dosa-Dosa Besar !
**
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا [النساء : 31]
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang kalian dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (Surga) (an-Nisa : 31)
***
Dengan ayat ini, Allah–سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-menjamin Surga kepada siapa saja yang menjauhi dosa-dosa besar.
Kemudian, Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ [الشورى : 37]
“Dan juga (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah segera memberi maaf.” (Qs. Asy-Syuura : 37)
Allah–سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-juga berfirman,
الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ [النجم : 32]
(Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbutan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil. Sungguh, Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya (Qs. an-Najm : 32)
Nabi-صًلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Shalat wajib yang lima, dari Jum’at ke Jum’at (berikutnya) merupakan kafarat (penghapus) dosa-dosa yang ada di antara waktu-waktu tersebut selama tidak melakukan dosa-dosa besar (HR. Muslim, hadis nomor 233 dan Tirmidzi, hadis nomor 214)
Oleh karena itu, kita wajib untuk mempelajari dosa-dosa besar agar seorang muslim bisa menjauhinya.
Kita mengetahui bahwa para ulama berbeda pendapat di dalam hal ini. Ada sebagian yang mengatakan bahwa jumlahnya adalah tujuh. Mereka berhujjah (berargumentasi) dengan sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -,
[ اِجْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ ]
Jauhilah oleh kalian tujuh dosa-dosa besar yang membinasakan … (HR. al-Bukhari, hadis nomer 2766 dan Muslim, hadis nomor 89)
Di dalam sabda beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ini, beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – menyebutkan dosa syirik (menyekutukan Allah), sihir, membunuh orang lain (tanpa alasan yang dibenarkan Islam), memakan harta anak Yatim, memakan riba, melarikan diri di hari peperangan, dan menuduh wanita Muslimah (baik-baik) yang telah menikah (dengan tuduhan berzina). Muttafaq Alaih.
Ada riwayat dari Ibnu Abbas –رَضِيَ اللهُ عَنْهُما – bahwa ia berkata,
هِيَ إِلَى السَّبْعِيْنَ أَقْرَبُ مِنْهَا إِلَى السَّبْعِ
“Dosa-dosa besar tersebut lebih dekat kepada jumlah tujuh puluh daripada tujuh.”
Demi Allah, Ibnu Abbas –رَضِيَ اللهُ عَنْهُما –telah berkata benar. Sedangkan hadis di atas hanya membicarakan mengenai batasan jumlah dosa-dosa besar saja. Namun, yang menjadi arahan hadis tersebut bahwa barang siapa yang melakukan perbuatan dosa di antara dosa-dosa besar tersebut, yaitu perbuatan dosa yang memiliki hukuman (had) di dunia, seperti membunuh, berzina, dan mencuri atau melakukan perbuatan yang diancam dengan azab di akhirat atau akan dimurkai, dicela, dan dilaknat melalui lisan Nabi kita, Muhammad-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- , maka sesungguhnya perkara tersebut merupakan dosa besar.
Terlepas dari itu semua bahwa sebagian dosa-dosa besar tingkatannya ada yang lebih besar daripada sebagian dosa yang lainnya. Apakah Anda tidak melihat ketika Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memasukkan perbuatan syirik kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-termasuk di antara jajaran dosa-dosa besar. Pelakunya akan kekal di dalam Neraka dan tidak ada ampunan baginya untuk selama-lamanya.
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) (an-Nisa : 48)
Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ [المائدة : 72]
Sesungguhnya barang siapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan Surga baginya (Qs. Al-Maidah : 72)
Dalil-dalil yang ada harus digabungkan. Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ
Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar ?” Beliau mengulanginya sampai tiga kali. Maka para sahabat pun menjawab, “Tentu saja wahai Rasulullah !” Maka beliau pun bersabda, ‘Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” Pada saat itu beliau sedang bersandar kemudian beliau duduk dan melanjutkan perkataannya, “Dan berkata dusta.” Beliau terus-menerus mengulanginya sampai kami berkata, “Mudah-mudahan beliau diam.” (Muttafaq ‘Alaih)
Beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjelaskan bahwa ucapan dusta termasuk di antara dosa besar yang paling besar. Namun, tidak disebutkan di dalam tujuh rangkaian dosa-dosa besar, demikian pula dengan durhaka kepada kedua orang tua.
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Al-Kabair, Muhammad bin Utsman adz-Dzahabiy, 1/7
About Author
-
Fatwa8 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Akhlak3 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
safinatun najah5 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Nasihat8 tahun ago
Ayat yang Mengandung Pokok-pokok Akhlaqul Karimah
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
Fatwa10 tahun ago
Hukum Membuka Jilbab Untuk Ktp
-
Akhlak6 tahun ago
Riya & Sum’ah: Pamer Ibadah
-
Fiqih Hisbah7 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam