Connect with us

Ramadhan

Awalnya Rahmat, Pertengahannya Ampunan dan Akhirnya Pembebasan dari Neraka

Published

on

Pembaca yang  budiman…

Barangkali kita sering mendengar sebuah pernyataan ini, yang disampaikan oleh para pencerarmah dalam cermah mereka seputar bulan Ramadhan :

أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari Neraka

Pernyataan ini disandarkan kepada Rasulullah sebagaimana diriwayatkan dari dua Shahabat ; Abu Hurairah dan Salman al-Farisi.

  1. Jalan pertama dari Abu Hurairah

Riwayat Abu Hurairah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Fadhail Ramadhan, al-‘Uqaili dalam adh-Dhu’afa al-Kabir (2/162), Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil Fi Dhu’afa (3/1157), al-Khatib dalam Muwaddih al-Auham 2/147, ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus no. 79 (1/38) dan Ibnu Asakir (1/506/8) dari jalan Hisyam bin Ammar dari Sallam bin Sawwaar, dari Maslamah bin Ash-Shalt dari az Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah.

Para ulama melemahkan hadis ini karena ada dua perowi yang lemah, yaitu :

  1. Sallam bin Sawwaar

Ibnu ‘Adi –semoga Allah merahmatinya- berkata, ini juga diriwayatkan oleh Sallam bin Sawwaar dari Maslamah bin ash-Shalt dan Sallaam bin Sawwaar adalah mungkar al-hadits dan Maslamah  tidak dikenal.

Al-‘Uqaili berkata, Sallam bin Sawwaar dari Maslamah bin ash-Shalt dari az-Zuhri, ia berasal dari Syam dan hadisnya munkar dan tidak ada asalnya dari hadis az-Zuhri dan selainnya (adh-Dhu’afaa, no. 671 (2/162)

Al-Khathab setelah menyampaikan kelemahan hadis ini, beliau menyatakan bahwa di antara kelemahannya adalah perbedaan riwayat hadis ini.

  1. Maslamah bin Shalt

Abu Hatim ar-Razi menghukuminya sebagai matrukul hadis. Sedangkan al-Azdi menyatakan bahwa Maslamah adalah perowi lemah tidak bisa dijadikan hujjah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab ats-Tsiqat dan berkata bahwa Ahmad bin Hanbal meriwayatkan darinya dan aku melihat ia memiliki hadits mungkar (Lisaanul Mizaan, Ibnu Hajar 6/33).

Ibnu ‘Adi menghukumi Maslamah ini dengan pernyataan bahwa dia tidak dikenal.

Syaikh al-Albani menghukumi hadis ini dengan hadis Munkar dalam Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah no. 1569 (4/70) dan Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini menghukuminya dengan hadis batil. (lihat http://alheweniy.org/aws/play.php?catsmktba=1062)

  1. b. Jalan Kedua dari Salman al-Farisi

Riwayat Salman al-Farisi ini dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaemah dalam shahihnya no.1887 (3/192), al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 3336 (3/306) dari jalan Ibnu Khuzaemah, al-Baghawi dalam tafsirnya 1/198 dari ‘Ali bin Hujr as-Sa’di dari Yusuf bin Ziyad dari Hammam bin Yahya dari Ali bin Zaed bin Jud’an dari Sa’id bin al-Musayyib dari Salman dari Nabi dalam hadis yang panjang dan ada di dalamnya sabda beliau :

وَهُوَ شَهْرٌ  أَوَّلُهُ  رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ, وَمَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوْكِهِ غَفَرَ اللهُ لَهُ وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ

Dia adalah bulan yang awalnya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari Neraka. Siapa yang meringankan beban dari budaknya, maka Allah akan mengampuni dosanya dan dibebaskan dari Neraka.

Setelah menyampaikan riwayat ini, Ibnu Khuzaemah mengatakan, hadistnya shahih.

Riwayat ini lemah karena ada dua perowi lemah yaitu Yusuf bin Ziyad dan Ali bin Zaed bin Jud’an.

  1. Yusuf bin Ziyad an-Nahdi Abu Abu Abdillah al-Bashri

Dia pernah tinggal di Baghdad. Abu Hatim berkata bahwa ia seorang  perawi munkarul hadits (Lihat, Mizan al-‘itidal 4/465 dan Tarikh Baghdad 14/296-296). Imam al-Bukhari menyatakan ia seorang munkarul hadits (Lihat, at-Tarikh al-Kabir 4/2/388). Sedangkan ad-Daaquthni menyatakan ia terkenal dengan hadis-hadis yang batil. (lihat lebih jauh Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah 1/204)

  1. Ali bin Zaed bin Jud’an

Imam Yahya bin Ma’in ditanya tentangnya dan berkata, Laisa Bi Dzakal Qawi (istilah beliau untuk perowi yang lemah) (Lihat, Tarikh Ibni Ma’in 1/141). Sedangkan al-‘ijli menyatakan bahwa Ali bin Zaid bin Jud’an seorang dari Bashrah ditulis haditsnya dan tak kuat (lemah) dan dulu tasyayyu’ (ats-Tsiqaat no.1186)

Ibnu Hajar berkata : Ali bin Zaid bin Abdullah bin Zubair bin Abdillah bin Jud’an at-Taimi perawi yang lemah (lihat, Tahdzib at-Tahdzib 7/322)

Dengan demikian jelaslah riwayat ini adalah riwayat yang lemah sekali. Oleh karena itu Syaikh al-Albani berkata : “hadits munkar “, lalu memberikan alasannya dengan pernyataan : “Demikianlah dalam shahih Ibnu Khuzaemah  (3/192) dan dari jalan beliau dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab (3/306). Ibnu Khuzaemah melemahkan hadits ini karena dari Riwayat Yusuf bin Ziyad Abu Abdillah al-Bashri seorang “munkarul hadits” sebagaimana pendapat al-Bukhari dan Abu Hatim. Ad-Daruquthni berkata, ‘Masyhur dengan hadits-hadits batil’. Di atasnya Yusuf ini ada ‘Ali bin Zaid bin Jud’an seorang yang lemah. Tetapi sumbernya adalah dari awal (Yufus al-Bashri (pen)”. (dha’if at-Targhib Wat Tarhib, 1/148)

Kesimpulan

Dari keterangan di atas maka hadis ini adalah hadits yang lemah sekali tidak bisa dijadikan pegangan. Apalagi Ramadhan seluruhnya dari awal hingga akhir bulan adalah rahmat, maghfirah dan pembebasan dari Neraka, berdasarkan hadits yang shahih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

Apabila masuk awal malam dari bulan Ramadhan, maka para setan dan jin jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup sehingga tidak ada satu pintu pun yang terbuka dan dibukakan pintu-pintu Surga sehingga tidak ada satu pintu pun yang tertutup. Ada yang memanggil, ‘Wahai pencari kebaikan datanglah ! wahai pencari keburukan hentikanlah ! dan Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka dan itu di semua malam (HR. at-Tirmidzi dalam sunannya no. 682 dan dishahihkan al-Albani)

Marilah bersemangat memperoleh keutamaan Ramadhan yang telah dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahih saja dan tinggalkan hadist-hadits lemah.

Sumber :

Dinukil dari, Majalah as-Sunnah Edisi (Khusus) No. 01-02/THN.XXII/Ramadhan-Syawwal 1439H/Mei-Juni 2018), hal. 26-27

Amar Abdullah bin Syakir

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Bagaimana Cara Puasa Mewujudkan Takwa?

Published

on

By

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  [البقرة : 183]

 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

(al-Baqarah : 183)

**

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-memerintahkan dan mendorong berpuasa karena puasa menjadikan kita menjaga diri. Pertanyaannya, menjaga diri dari apa ?

 

Sebelum menjawab pertanyaan ini, tentu akan bermanfaat apabila kita merujuk kepada asal-usul kata takwa itu sendiri, karena takwa itu berasal dari kata ittiqa, yang berarti menangkal gangguan dari diri. Kita menemukan, bahwa makna kata ini berporos pada perilaku yang didorong oleh rasa takut. Dan, perilaku ini akan melindungi seseorang dari apa yang ia takuti.

 

Dengan demikian, makna takwa adalah menjadikan pelindung antara diri Anda dan sesuatu yang Anda takutkan. Anda takut kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-karena Anda beriman kepada-Nya, dan beriman kepada keluhuran dan kuasa-Nya. Dan dengan berpuasa, Anda menjadikan suatu perlindungan antara diri Anda dan siksa Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Selain itu, Anda takut kepada neraka, karena neraka itu benar adanya. Dan dengan berpuasa, Anda menjadikan suatu perlindungan antara diri Anda dan adzab neraka.

 

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ سَلَّمَ-bersabda,

 

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

 

“Siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, Allah menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh (perjalanan) tujuh puluh tahun.” (Muttafaqun ‘Alaih)

 

“Takwa adalah asas keselamatan dan penjaga yang tidak pernah tidur, yang meraih tangan seseorang ketika terjatuh.” (Ibnul Jauzi)

 

Bagaimana Cara Puasa Mewujudkan Takwa ?

 

Salah satu tuntutan puasa dalam Islam adalah seorang muslim yang berpuasa menahan diri dari keinginan-keinginan tubuh yang mendesak dan juga kebutuhan-kebutuhan utamanya, serta mencegah jiwa dari apa yang diinginkannya, bukannya demi meraih manfaat materi di baliknya. Akan tetapi, seorang muslim berpuasa karena menjalankan perintah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, dan demi mendekatkan diri kepada-Nya. Ini termasuk salah satu manfaat takwa, yaitu kita mengerjakan apa yang Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-perintahkan kepada kita, baik akal bisa menerimanya atau pun tidak, baik jiwa mengetahui rahasia pemberlakuan syariat puasa atau pun tidak.

 

Betapa banyaknya orang yang terhalang dari kebaikan, mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram disebabkan karena menggunakan akal terlalu berlebihan, dan menyatakan bahwa perintah-perintah ilahi tidak sesuai dengan akal mereka yang tidak laku dan rusak, selain juga mereka tidak bisa membedakan antara alasan dan hikmah pemberlakuan syariat.

 

“Tetaplah bertakwa dalam segala kondisi, karena di dalam kesempitan, yang engkau lihat hanyalah kelapangan ; dan ketika sakit, yang engkau lihat adalah kesehatan.” (Ibnul Jauzi)

 

**

Ibadah adalah Jalan Kita Menuju Takwa

 

Seorang hamba tidaklah meraih takwa, kecuali dengan konsisten menjalankan ketaatan, melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan berbekal diri dengan amalan-amalan nafilah (sunnah), karena keinginan untuk mencapai takwa dan mencapai derajat orang-orang yang bertakwa itu mendorong seorang muslim untuk mencurahkan tenaganya secara lebih dan menjalankan berbagai macam ibadah agar jiwa tidak  bosan dan jemu. Selain juga akan mendorongnya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah-ibadah sesuai dengan aturan-aturan syar’inya.

 

Inilah yang kita temukan di bulan Ramadhan, bulan puasa, karena banyak di antara kaum Muslimin yang mungkin hanya melaksanakan qiyamullail di bulan Ramadhan saja. Dan di bulan Ramadhan pula, ia bersungguh-sungguh mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak sekali atau berkali-kali, mengulurkan tangan untuk bersedekah, dan amalan-amal ibadah lainnya.

 

Seperti itulah ibadah demi ibadah dilakukan secara berturut-turut, di mana seorang muslim bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan waktu dan tenaganya, sesuai dengan tingkat ekonominya ; kaya atau miskinnya, dan sesuai dengan kondisi sehat atau sakitnya, demi mengharap menjadi orang yang bertakwa, karena takwa itu mendorong untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah, serta melaksanakan ragam ibadah.

**

“Ketika jiwamu condong kepada syahwat, maka kekanglah ia dengan tali kekang takwa.” (Ibnul Jauzi)

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.33, 34 dan 36.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Puasa, Agar Kamu Bersyukur

Published

on

“Apabila nikmat-nikmat berdatangan kepadamu, janganlah engkau mengusirnya dengan kurang bersyukur.” (Ats-Tsa’labi)

 

**

Bersyukur kepada Allah ta’ala merupakan salah satu tujuan puasa dan rahasia pemberlakuan syariat puasa yang dituturkan oleh ayat-ayat puasa :

 

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ  [البقرة : 185]

 

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur

(al-Baqarah : 185)

 

Syukur itu dipanjatkan karena adanya nikmat. Orang seringkali terbiasa dengan adanya nikmat. Karena sudah terbiasa, mereka lupa untuk memanjatkan syukur kepada Allah ta’ala, karena orang umumnya hanya merasakan adanya nikmat dan nilainya, ketika nikmat tersebut sudah tidak ada lagi.

 

Karenanya, puasa datang untuk kembali mengingatkan orang akan adanya nikmat-nikmat pada dirinya, dan mengajak bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat-nikmat itu. Firman Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – :

 

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ  [النحل : 18]

 

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (An-Nahl : 18)

 

Puasa datang untuk mengingatkan kembali nikmat suap makan dan tegukan minum kepada seseorang, mengingatkan pentingnya kenyang dan puas minum, sehingga hal itu mendorongnya untuk bersyukur kepada Sang pemberi nikmat, dan tidak berlebihan dalam makan dan minum, juga tidak boros.

 

Di antara perilaku Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-adalah ketika beliau merebah ke tempat tidur, beliau bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat makanan yang beliau makan hingga kenyang, nikmat air minum yang membuatnya puas serta menghilangkan dahaga, nikmat tempat bernaung yang memberikan naungan dan hunian bagi beliau. Karenanya beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-berdoa :

 

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَكَفَانَا وَآوَانَا فَكَمْ مِمَّنْ لاَ كَافِىَ لَهُ وَلاَ مُئْوِىَ

 

“Segala puji bagi Allah yang memberi kami makan, minum, mencukupi kami dan memberi kami tempat berteduh. Berapa banyak orang yang tidak mendapatkan siapa yang memberi kecukupan dan tempat berteduh untuknya.” (HR. Muslim)

 

Pada suatu hari, beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-makan kurma muda bersama Abu Bakar dan Umar –رَضِيَ اللهُ عَنْهُما-, serta minum air. Seusai makan, beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berkata :

هَذَا مِنَ النِّعَمِ الَّذِي تُسْأَلُوْنَ عَنْهُ

 

“Ini termasuk di antara nikmat yang kalian kelak akan ditanya tentangnya.” (HR. Ahmad)

 

Lapar mengingatkan Anda pada nikmat suap makanan, dan dahaga membuat Anda merasakan nikmat air minum. Dengan bersyukur, nikmat-nikmat tersebut akan tetap langgeng bertahan.

 

“Siapa dikaruniai syukur, ia tidak terhalang dari tambahan nikmat.”

 

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.37-38.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Jangan Sampai Puasa Tidak Berpahala Karena Lidah Masih Terus Bermaksiat

Published

on

Ibadah Puasa memiliki pahala yang sangat besar di sisi Allah Ta’ala, terlebih Puasa Ramadhan, karena hukumnya wajib, dan amalan wajib lebih berpahala daripada yang sunnah, dan yang wajib tidak boleh ditinggalkan, jika tertinggal maka harus diganti (qadha).

Namun dalam pelaksanaannya, menunaikan ibadah puasa ramadhan bukan hanya dengan tidak melakukan pembatalnya, seperti makan/minum dan berhubungan badan, dll.

Namun dalam berpuasa, seseorang juga harus menahan dirinya dari maksiat-maksiat lainnya meski itu tidak membatalkan dan puasanya tetap sah.

Dan diantara maksiat-maksiat itu adalah dosa-dosa lisan, seperti berbohong, menghina, menghibah dan lain sebagainya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

 

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan dari mengerjakannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari)

 

Dan beliau bersabda:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

 

“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia  dan perkataan tidak sopan. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau mengganggumu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim)

 

Jadi, tujuan dari puasa itu adalah mendidik seseorang untuk menjadi lebih baik dengan mampu menahan seluruh hawa nafsunya, bukan hanya sekedar kuat tidak makan dan minum seharian.

 

Maka, raihlah di bulan ramadhan ini pahala sebanyak-banyaknya dan raihlah ampunan Allah Ta’ala.

Dan jadikan ramadhan ini momen untuk berubah, karena mungkin berubah menjadi baik pada bulan-bulan sebelumnya sulit, sedangkan pada bulan ini lebih mudah karena kondisi yang mendukung, yaitu ketika semua orang berusaha menahan dirinya dan memperbanyak ibadahnya serentak dalam satu waktu.

 

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menaungi kita semua dengan taufik dan hidayah-Nya.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending