Pembaca yang budiman…
Pada edisi sebelumnya, kita telah sebutkan firman Alloh ta’ala yang berbicara seputar maslah hijab yaitu surat al-Ahzab ayat 32-33. Berikut ini adalah firman Alloh dalam surat yang sama-yakni: al-Ahzab, adapun ayatnya adalah 53 sampai dengan 55.
Allah Ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلآَّ أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانتَشِرُوا وَلاَمُسْتَئْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِ مِنكُمْ وَاللهُ لاَيَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَاكَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللهِ وَلآَأَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِندَ اللهِ عَظِيمًا . إِن تُبْدُوا شَيْئًا أَوْ تُخْفُوهُ فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا . لاَّجُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي ءَابَآئِهِنَّ وَلآأَبْنَآئِهِنَّ وَلآإِخْوَانِهِنَّ وَلآأَبْنَآءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلآأَبْنَآءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلاَنِسَآئِهِنَّ وَلاَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللهَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu ke luar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu. Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.”(QS. al-Ahzâb: 53-55)
Ayat yang pertama dikenal dengan nama “ayat hijab”, karena merupakan ayat pertama yang diturunkan tentang kewajiban memakai hijab bagi istri-istri Rasulullah dan para wanita kaum mukminin. Ayat tersebut turun pada bulan Dzul Qa’dah tahun ke-5 H.
Adapun sebab turunnya ayat tersebut, adalah sebagaimana dijelaskan hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu bertanya, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berkunjung kepadamu orang baik dan orang jahat, maka seandainya engkau memerintahkan kepada istri-istrimu untuk mengenakan hijab? Lalu, Allah pun menurunkan ayat tentang perintah memakai hijab. (HR. Imam Ahmad dan Bukhari dalam kitab Shahîh-nya).
Ini adalah salah satu ucapan Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu, yang akhirnya dibenarkan oleh wahyu Allah Ta’ala dan termasuk keistimewaan agung yang dimilikinya.
Pada saat ayat ini turun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam segera menutupi istri-istrinya agar terhindar dari pandangan laki-laki yang bukan mahromnya. Begitu pula, kaum muslimin serentak menutupi istri-istri mereka dari penglihatan laki-laki lain, yaitu: dengan menutupi tubuh istri mereka mulai dari kepala hingga kedua telapak kaki, dan menutupi semua perhiasan yang dikenakannya (maksudnya: zînah muktasabah). Dengan demikian, hijab adalah kewajiban yang berlaku bagi semua wanita yang beriman selamanya sampai hari kiamat. Adapun konotasi ayat tersebut terhadap kewajiban berhijab terdiri dari berbagai aspek, antara lain:
Aspek pertama, pada saat ayat ini diturunkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta sahabatnya radhiallahu ‘anhum seketika menutupi semua istri mereka. Mereka menutupi muka, seluruh anggota tubuh dan perhiasan yang dipakai oleh istri mereka. Tindakan semacam ini terus berlanjut bagi istri orang-orang yang beriman, dan bahkan merupakan ijma’ amali yang menunjukkan umumnya hukum ayat ini bagi semua wanita yang beriman. Oleh karena itu, Ibnu Jarir rahimahullah ketika menafsirkan ayat :
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ
Beliau berkata, “Dan jika kalian meminta sesuatu keperluan kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan istri orang-orang beriman yang bukan istri kalian, maka mintalah dari balik tabir. Maksudnya, dari belakang tabir yang menutupi antara kalian dan mereka.”
Aspek kedua, di dalam firman Allah atau ayat hijab ini terdapat pernyataan:
ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka”
Ini merupakan ‘illah (alasan) terhadap kewajiban memakai hijab yang ada dalam firman Allah:
فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ
”maka mintalah dari belakang tabir”, yaitu: melalui pendekatan isyarat dan peringatan. Adapun hukum ‘illah di sini bersifat umum terhadap hal yang di-‘illah-kan, karena kesucian hati laki-laki dan perempuan serta keselamatannya dari kecurigaan, adalah suatu yang dituntut dari semua orang Islam. Maka, kewajiban mengenakan hijab bagi istri kaum mukminin, tentunya menjadi suatu yang lebih diutamakan daripada kewajiban berhijab bagi istri-istri Rasulullah, dikarenakan istri-istri Rasulullah itu tanpa diragukan lagi- adalah wanita yang suci dan bersih dari semua cela dan kekurangan. Maka menjadi jelaslah, bahwa hukum kewajiban hijab di sini berlaku umum bagi semua wanita, tidak khusus untuk istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena, keumuman ‘illah yang ada pada hukum ini, merupakan bukti nyata yang menunjukkan keumuman hukum ini. Apakah mungkin seorang muslim mengatakan, bahwa illah ini, yaitu: ayat yang berbunyi:
ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka”, tidak dimaksudkan seorang pun dari kaum mukminin? Sungguh, ini merupakan illah yang lengkap dan sempurna, di mana tidak ada sedikit pun tujuan dari perintah diwajibkannya hijab ini, melainkan semuanya telah tercakup di dalamnya.
Aspek ketiga, kaidah yang mengatakan, bahwa dasar pertimbangan hukum adalah keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab, kecuali bila ada dalil yang menyatakan kekhususannya. Memang, kebanyakan ayat al-Qur’an pada dasarnya memiliki sebab diturunkannya. Namun, membatasi hukum ayat-ayat itu hanya sebatas pada sebab-sebabnya saja, tanpa suatu dalil, merupakan upaya mematikan syariat. Jika seperti itu yang terjadi, lalu di mana lagi bagian orang-orang yang beriman? Alhamdulillah, di sini semuanya menjadi jelas. Kemudian itu diperjelas lagi oleh kaidah pengarahan khithâb (perintah) Allah Ta’ala dalam konteks syariat; yaitu: bahwa khithâb yang ditujukan kepada satu orang, hukumnya berlaku umum bagi seluruh umat, karena adanya kesamaan dalam hukum-hukum taklîf (pembebanan);dan itu selama tidak ada dalil rujukan yang menyatakan kekhususannya. Padahal dalam ayat hijab ini, tidak ditemukan satu pun dalil yang menjadi pengkhusus baginya.
Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika memba’iat kaum wanita pernah bersabda:
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسآءَ, وَمَا قَوْلِيْ لاِمْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ إِلاَّ كَقَوْلِيْ لمِاِئَةِ امْرَأَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan para wanita, dan tiadalah ucapanku kepada seorang wanita melainkan itu seperti ucapanku kepada seratus orang wanita”.
Aspek keempat, istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ibu bagi seluruh kaum mukminin, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.”(QS. al-Ahzâb:6), dan hukum menikahi mereka sampai kapan pun diharamkan bagi kaum muslimin, karena hal itu seperti menikahi ibu kandung sendiri. Firman Allah Ta’ala:
وَلآَأَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَدًا
“Dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat.” (QS. al-Ahzâb: 53). jika memang istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti demikian adanya, maka tentunya pembatasan perintah untuk memakai hijab hanya kepada mereka saja, bukan untuk wanita lainnya, menjadi tidak ada artinya sama sekali. Oleh sebab itulah, maka pemberlakuan hukum memakai hijab ini menjadi umum bagi semua wanita yang beriman, hingga datang hari kiamat nanti. Hal inilah yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang telah dipaparkan pada pembahasan terdahulu, di mana mereka serentak menutupi istri-istri mereka dari penglihatan laki-laki lain, begitu diturunkannya ayat perintah hijab ini.
Aspek kelima, di antara beberapa petunjuk yang menyatakan keumuman hukum kewajiban memakai hijab bagi semua wanita yang beriman adalah, bahwa Allah Ta’ala telah membuka ayat hijab ini dengan firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلآَّ أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan” (QS. al-Ahzâb : 53).
Artinya, permohonan izin ini sebagai tata krama umum yang berlaku untuk semua rumah orang-orang yang beriman. Dan tak ada satu pun orang yang mengatakan, bahwa hukum ini hanya berlaku untuk rumah yang dimiliki Rasululllah semata, dan bukan semua rumah orang-orang yang beriman. Oleh karena itu, Ibnu Katsir rahimahullah di dalam kitabnya Tafsîr al-Qurân al-‘Adhîm berkata, “Orang-orang yang beriman dilarang masuk tempat tinggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa meminta izin terlebih dahulu, sebagaimana hal itu telah mereka lakukan di dalam rumah mereka pada masa Jahiliyah dan masa permulaan Islam. Sehingga, Allah pun cemburu kepada mereka dengan memberlakukan syariat yang sama. Semua itu sebagai penghormatan Allah Ta’ala kepada mereka. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسآءِ …… الحديث
“Janganlah kalian memasuki rumah yang terdapat para wanita.” (Lihat Tafsîr al-Qurân al-‘Adhîm 3/505). Barangsiapa yang mengkhususkan kewajiban memakai hijab hanya berlaku bagi istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semata, maka sebagai konsekwensinya, ia harus membatasi pula hukum isti’dzân (meminta izin ketika ingin masuk ke dalam rumah orang lain) di sini, juga hanya berlaku untuk rumah-rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Sayangnya, tidak ada satu pun orang yang mengatakan atau berpendapat seperti itu.
Aspek keenam, di antara yang menyatakan umumnya ayat hijab di atas adalah, bahwa ayat setelahnya berbunyi:
لاَّجُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي ءَابَآئِهِنَّ
“Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka “. (QS. al-Ahzâb: 55).
Dari sini disimpulkan, bahwa menafikan atau meniadakan “dosa” yang ada dalam ayat ini, sebagai pengecualian dari landasan umum, yaitu: kewajiban berhijab.
Sedangkan klaim yang menyatakan, bahwa pengkhususan terhadap landasan pertama (al-‘ashl) mengharuskan pengkhususan terhadap cabangnya (al-far’), adalah klaim yang menurut ijma’ atau kesepakatan ulama tidak bisa diterima. Hal itu, sebagaimana diketahui dari umumnya bentuk peniadaan “dosa”, yang ada pada masalah keluarnya wanita di depan mahram-mahromnya, semisal: bapaknya; dengan muka dan kedua telapak tangannya terbuka, tanpa memakai penutup. Adapun terhadap orang-orang yang bukan mahromnya, maka diwajibkan baginya untuk menutup tubuhnya dari penglihatan mereka.
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsiri ayat ini berkata, “Manakala Allah Ta’ala memerintahkan para wanita untuk berhijab dari laki-laki yang bukan muhrim mereka, maka Allah Ta’ala pun menjelaskan, bahwa mereka tidak diwajibkan untuk berhijab terhadap kerabat dekat mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala telah memberi pengecualian bagi para kerabat dekat tersebut dalam surat an-Nûr, yaitu: dalam firman-Nya:
وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka.” (QS. an Nûr: 31) (Lihat Tafsîr al-Qurân al-‘Adhîm 3/506).
Ayat ini insya Allah akan ditulis secara lengkap pada dalil keempat nanti. Sementara, Ibnu al-Arabi rahimahullah menyebut ayat ini dengan istilah “âyat ad-dhamâir” (ayat kata ganti), mengingat ayat ini merupakan ayat dalam al-Qur’an, yang di dalamnya paling banyak terdapat dhamîr (kata ganti).
Aspek ketujuh, di antara hal yang menyatakan keumuman ayat hijab dan membatalkan pengkhususannya, adalah firman Allah subahnahu wata’ala yang menyebutkan:
وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan istri-istri orang mukmin”, yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala:
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“.(QS.al-Ahzâb: 59)
Dengan demikian, maka jelaslah keumuman tentang kewajiban memakai hijab yang berlaku sampai kapan pun (untuk selamanya) bagi para wanita yang beriman. Wallohu a’lam
Sumber : حراسة الفضيلة, syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaed , semoga Alloh merahmatinya. (Abu Umair)
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet