Tafsir
Ayat Al-Qur’an Seputar Hijab (2)
Pembaca yang budiman…
Pada edisi sebelumnya, kita telah sebutkan firman Alloh ta’ala yang berbicara seputar maslah hijab yaitu surat al-Ahzab ayat 32-33. Berikut ini adalah firman Alloh dalam surat yang sama-yakni: al-Ahzab, adapun ayatnya adalah 53 sampai dengan 55.
Allah Ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلآَّ أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانتَشِرُوا وَلاَمُسْتَئْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِ مِنكُمْ وَاللهُ لاَيَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَاكَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللهِ وَلآَأَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِندَ اللهِ عَظِيمًا . إِن تُبْدُوا شَيْئًا أَوْ تُخْفُوهُ فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا . لاَّجُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي ءَابَآئِهِنَّ وَلآأَبْنَآئِهِنَّ وَلآإِخْوَانِهِنَّ وَلآأَبْنَآءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلآأَبْنَآءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلاَنِسَآئِهِنَّ وَلاَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللهَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu ke luar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu. Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.”(QS. al-Ahzâb: 53-55)
Ayat yang pertama dikenal dengan nama “ayat hijab”, karena merupakan ayat pertama yang diturunkan tentang kewajiban memakai hijab bagi istri-istri Rasulullah dan para wanita kaum mukminin. Ayat tersebut turun pada bulan Dzul Qa’dah tahun ke-5 H.
Adapun sebab turunnya ayat tersebut, adalah sebagaimana dijelaskan hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu bertanya, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berkunjung kepadamu orang baik dan orang jahat, maka seandainya engkau memerintahkan kepada istri-istrimu untuk mengenakan hijab? Lalu, Allah pun menurunkan ayat tentang perintah memakai hijab. (HR. Imam Ahmad dan Bukhari dalam kitab Shahîh-nya).
Ini adalah salah satu ucapan Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu, yang akhirnya dibenarkan oleh wahyu Allah Ta’ala dan termasuk keistimewaan agung yang dimilikinya.
Pada saat ayat ini turun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam segera menutupi istri-istrinya agar terhindar dari pandangan laki-laki yang bukan mahromnya. Begitu pula, kaum muslimin serentak menutupi istri-istri mereka dari penglihatan laki-laki lain, yaitu: dengan menutupi tubuh istri mereka mulai dari kepala hingga kedua telapak kaki, dan menutupi semua perhiasan yang dikenakannya (maksudnya: zînah muktasabah). Dengan demikian, hijab adalah kewajiban yang berlaku bagi semua wanita yang beriman selamanya sampai hari kiamat. Adapun konotasi ayat tersebut terhadap kewajiban berhijab terdiri dari berbagai aspek, antara lain:
Aspek pertama, pada saat ayat ini diturunkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta sahabatnya radhiallahu ‘anhum seketika menutupi semua istri mereka. Mereka menutupi muka, seluruh anggota tubuh dan perhiasan yang dipakai oleh istri mereka. Tindakan semacam ini terus berlanjut bagi istri orang-orang yang beriman, dan bahkan merupakan ijma’ amali yang menunjukkan umumnya hukum ayat ini bagi semua wanita yang beriman. Oleh karena itu, Ibnu Jarir rahimahullah ketika menafsirkan ayat :
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ
Beliau berkata, “Dan jika kalian meminta sesuatu keperluan kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan istri orang-orang beriman yang bukan istri kalian, maka mintalah dari balik tabir. Maksudnya, dari belakang tabir yang menutupi antara kalian dan mereka.”
Aspek kedua, di dalam firman Allah atau ayat hijab ini terdapat pernyataan:
ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka”
Ini merupakan ‘illah (alasan) terhadap kewajiban memakai hijab yang ada dalam firman Allah:
فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ
”maka mintalah dari belakang tabir”, yaitu: melalui pendekatan isyarat dan peringatan. Adapun hukum ‘illah di sini bersifat umum terhadap hal yang di-‘illah-kan, karena kesucian hati laki-laki dan perempuan serta keselamatannya dari kecurigaan, adalah suatu yang dituntut dari semua orang Islam. Maka, kewajiban mengenakan hijab bagi istri kaum mukminin, tentunya menjadi suatu yang lebih diutamakan daripada kewajiban berhijab bagi istri-istri Rasulullah, dikarenakan istri-istri Rasulullah itu tanpa diragukan lagi- adalah wanita yang suci dan bersih dari semua cela dan kekurangan. Maka menjadi jelaslah, bahwa hukum kewajiban hijab di sini berlaku umum bagi semua wanita, tidak khusus untuk istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena, keumuman ‘illah yang ada pada hukum ini, merupakan bukti nyata yang menunjukkan keumuman hukum ini. Apakah mungkin seorang muslim mengatakan, bahwa illah ini, yaitu: ayat yang berbunyi:
ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka”, tidak dimaksudkan seorang pun dari kaum mukminin? Sungguh, ini merupakan illah yang lengkap dan sempurna, di mana tidak ada sedikit pun tujuan dari perintah diwajibkannya hijab ini, melainkan semuanya telah tercakup di dalamnya.
Aspek ketiga, kaidah yang mengatakan, bahwa dasar pertimbangan hukum adalah keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab, kecuali bila ada dalil yang menyatakan kekhususannya. Memang, kebanyakan ayat al-Qur’an pada dasarnya memiliki sebab diturunkannya. Namun, membatasi hukum ayat-ayat itu hanya sebatas pada sebab-sebabnya saja, tanpa suatu dalil, merupakan upaya mematikan syariat. Jika seperti itu yang terjadi, lalu di mana lagi bagian orang-orang yang beriman? Alhamdulillah, di sini semuanya menjadi jelas. Kemudian itu diperjelas lagi oleh kaidah pengarahan khithâb (perintah) Allah Ta’ala dalam konteks syariat; yaitu: bahwa khithâb yang ditujukan kepada satu orang, hukumnya berlaku umum bagi seluruh umat, karena adanya kesamaan dalam hukum-hukum taklîf (pembebanan);dan itu selama tidak ada dalil rujukan yang menyatakan kekhususannya. Padahal dalam ayat hijab ini, tidak ditemukan satu pun dalil yang menjadi pengkhusus baginya.
Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika memba’iat kaum wanita pernah bersabda:
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسآءَ, وَمَا قَوْلِيْ لاِمْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ إِلاَّ كَقَوْلِيْ لمِاِئَةِ امْرَأَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan para wanita, dan tiadalah ucapanku kepada seorang wanita melainkan itu seperti ucapanku kepada seratus orang wanita”.
Aspek keempat, istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ibu bagi seluruh kaum mukminin, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.”(QS. al-Ahzâb:6), dan hukum menikahi mereka sampai kapan pun diharamkan bagi kaum muslimin, karena hal itu seperti menikahi ibu kandung sendiri. Firman Allah Ta’ala:
وَلآَأَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَدًا
“Dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat.” (QS. al-Ahzâb: 53). jika memang istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti demikian adanya, maka tentunya pembatasan perintah untuk memakai hijab hanya kepada mereka saja, bukan untuk wanita lainnya, menjadi tidak ada artinya sama sekali. Oleh sebab itulah, maka pemberlakuan hukum memakai hijab ini menjadi umum bagi semua wanita yang beriman, hingga datang hari kiamat nanti. Hal inilah yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang telah dipaparkan pada pembahasan terdahulu, di mana mereka serentak menutupi istri-istri mereka dari penglihatan laki-laki lain, begitu diturunkannya ayat perintah hijab ini.
Aspek kelima, di antara beberapa petunjuk yang menyatakan keumuman hukum kewajiban memakai hijab bagi semua wanita yang beriman adalah, bahwa Allah Ta’ala telah membuka ayat hijab ini dengan firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلآَّ أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan” (QS. al-Ahzâb : 53).
Artinya, permohonan izin ini sebagai tata krama umum yang berlaku untuk semua rumah orang-orang yang beriman. Dan tak ada satu pun orang yang mengatakan, bahwa hukum ini hanya berlaku untuk rumah yang dimiliki Rasululllah semata, dan bukan semua rumah orang-orang yang beriman. Oleh karena itu, Ibnu Katsir rahimahullah di dalam kitabnya Tafsîr al-Qurân al-‘Adhîm berkata, “Orang-orang yang beriman dilarang masuk tempat tinggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa meminta izin terlebih dahulu, sebagaimana hal itu telah mereka lakukan di dalam rumah mereka pada masa Jahiliyah dan masa permulaan Islam. Sehingga, Allah pun cemburu kepada mereka dengan memberlakukan syariat yang sama. Semua itu sebagai penghormatan Allah Ta’ala kepada mereka. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسآءِ …… الحديث
“Janganlah kalian memasuki rumah yang terdapat para wanita.” (Lihat Tafsîr al-Qurân al-‘Adhîm 3/505). Barangsiapa yang mengkhususkan kewajiban memakai hijab hanya berlaku bagi istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semata, maka sebagai konsekwensinya, ia harus membatasi pula hukum isti’dzân (meminta izin ketika ingin masuk ke dalam rumah orang lain) di sini, juga hanya berlaku untuk rumah-rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Sayangnya, tidak ada satu pun orang yang mengatakan atau berpendapat seperti itu.
Aspek keenam, di antara yang menyatakan umumnya ayat hijab di atas adalah, bahwa ayat setelahnya berbunyi:
لاَّجُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي ءَابَآئِهِنَّ
“Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka “. (QS. al-Ahzâb: 55).
Dari sini disimpulkan, bahwa menafikan atau meniadakan “dosa” yang ada dalam ayat ini, sebagai pengecualian dari landasan umum, yaitu: kewajiban berhijab.
Sedangkan klaim yang menyatakan, bahwa pengkhususan terhadap landasan pertama (al-‘ashl) mengharuskan pengkhususan terhadap cabangnya (al-far’), adalah klaim yang menurut ijma’ atau kesepakatan ulama tidak bisa diterima. Hal itu, sebagaimana diketahui dari umumnya bentuk peniadaan “dosa”, yang ada pada masalah keluarnya wanita di depan mahram-mahromnya, semisal: bapaknya; dengan muka dan kedua telapak tangannya terbuka, tanpa memakai penutup. Adapun terhadap orang-orang yang bukan mahromnya, maka diwajibkan baginya untuk menutup tubuhnya dari penglihatan mereka.
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsiri ayat ini berkata, “Manakala Allah Ta’ala memerintahkan para wanita untuk berhijab dari laki-laki yang bukan muhrim mereka, maka Allah Ta’ala pun menjelaskan, bahwa mereka tidak diwajibkan untuk berhijab terhadap kerabat dekat mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala telah memberi pengecualian bagi para kerabat dekat tersebut dalam surat an-Nûr, yaitu: dalam firman-Nya:
وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka.” (QS. an Nûr: 31) (Lihat Tafsîr al-Qurân al-‘Adhîm 3/506).
Ayat ini insya Allah akan ditulis secara lengkap pada dalil keempat nanti. Sementara, Ibnu al-Arabi rahimahullah menyebut ayat ini dengan istilah “âyat ad-dhamâir” (ayat kata ganti), mengingat ayat ini merupakan ayat dalam al-Qur’an, yang di dalamnya paling banyak terdapat dhamîr (kata ganti).
Aspek ketujuh, di antara hal yang menyatakan keumuman ayat hijab dan membatalkan pengkhususannya, adalah firman Allah subahnahu wata’ala yang menyebutkan:
وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan istri-istri orang mukmin”, yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala:
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“.(QS.al-Ahzâb: 59)
Dengan demikian, maka jelaslah keumuman tentang kewajiban memakai hijab yang berlaku sampai kapan pun (untuk selamanya) bagi para wanita yang beriman. Wallohu a’lam
Sumber : حراسة الفضيلة, syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaed , semoga Alloh merahmatinya. (Abu Umair)
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet
Tafsir
Untuk Mereka yang Beriman Kemudian Istiqamah
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَـٰمُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَـٰئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ (٣٠)نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْأخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِى أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ (٣١)نُزُلًا مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيمٍ (٣٢)
Sesungguhnya orang-orang yang berkata.’Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati ; dan bergembiralah kamu dengan memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.”
Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat ; di dalamnya (Surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu minta.
Sebagai penghormatan (bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang (Fushshilat : 30-32)
**
Faedah :
Di antara faedah yang dapat diambil dari ayat yang mulia ini adalah :
- Bahwa sekedar keyakinan dalam hati tidaklah mencukupi sedikitpun hingga amal menyertainya. Apa yang dikatakan oleh banyak orang ‘Kita di atas aqidah (keyakinan)’, ini benar dan tidak diragukan, dan mereka dipuji karenanya. Akan tetapi, haruslah dikatakan, ‘Kami berada di atas aqidah (keyakinan) ini dan amal shaleh. Karena, amal merupakan keharusan.
- Anjuran untuk beristiqamah, istiqamah di atas agama Allah, yaitu, tetap dan tegak berada di atasnya, tidak berubah.
- Ayat ini, juga menetapkan adanya para malaikat.
- Bahwa Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-mengatur dan menundukkan para malaikat untuk bani Adam (manusia) di banyak tempat, seperti di dalam ayat ini, dan seperti dalam ayat 23-24 dari surat ar-Ra’d, seperti juga Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengatur mereka duduk di pintu-pintu masjid pada hari Jum’at mencatat orang-orang yang hadir pertama dan seterusnya. Dan di tempat-tempat lainnya, sebagaimana yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Bahwa para malaikat yang turun kepada mereka orang-orang yang beriman yang istiqamah memberikan kabar gembira kepada mereka tiga hal ; (1) bahwa tidak ada ketakutan pada mereka, (2) bahwa mereka tidak bersedih, dan (3) Bahwa Surga itu adalah tempat tinggal mereka.
- Bahwa kabar kembira tersebut benar-banar bakal terwujud karena adanya penegasan terhadap hal tersebut. Hal ini diambil dari firman-Nya,
ٱلَّتِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ
yang telah dijanjikan kepadamu
di mana mereka tahu bahwa janji Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- itu tidak akan dipungkiri.
ﵟوَعۡدَ ٱللَّهِ لَا يُخۡلِفُ ٱللَّهُ ٱلۡمِيعَادَﵞ
(Itulah) janji Allah. Allah tidak akan memungkiri janji(Nya) (Az-Zumar : 20)
- Bahwa para malaikat adalah wali (pelindung dan penjaga) bagi orang yang beriman dan beristiqamah di kehidupan dunia dan di kehidupan akhirat.
Di kehidupan dunia, yaitu, mereka menjaga orang yang beriman dan beristiqamah dari berbagai bentuk kemaksiatan, ketergelinciran, mendorong mereka untuk beramal shaleh, membantu mereka untuk itu, dan mengokohkan mereka di atas hal tersebut.
Di kehidupan akhirat, para malaikat menyambut mereka, begitu juga para malaikat masuk kepada mereka dari setiap pintu di dalam Surga. Dan, hal-hal lainnya yang Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-sebutkan.
- Bahwa orang-orang beriman kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan istiqamah, meneguhkan pendirian mereka, di dalam Surga mereka memperoleh apa yang diinginkan dan apa yang diminta. Dan, dalam ayat lain, Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
ﵟوَفِيهَا مَا تَشۡتَهِيهِ ٱلۡأَنفُسُ وَتَلَذُّ ٱلۡأَعۡيُنُۖ ﵞ
Dan di dalam Surga itu terdapat apa yang diingini oleh hati dan segala yang sedap (dipandang) mata…(Az-Zukhruf : 71).
- Bahwa segala sesuatu yang seseorang pinta ada di dalam Surga. Berdasarkan firman-Nya,
وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ
dan memperoleh apa yang kamu minta
maka, segala sesuatu yang mereka (penduduk Surga) pinta maka hal itu ada di dalam Surga. Kita mohon kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-semoga menjadikan saya dan Anda sekalian termasuk penduduk Surga.
- Bahwa mereka (penduduk Surga) diberikan karunia ini di dalam Surga, hal tersebut merupakan bentuk penghormatan bagi mereka dari Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Berdasarkan firman-Nya,
نُزُلٗا مِّنۡ غَفُورٖ رَّحِيمٖ
Sebagai penghormatan (bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.
- Bahwa mereka sampai kepada hal tersebut hanyalah karena ampunan dan rahmat Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Kalaulah bukan karena itu, niscaya mereka tidak akan sampai kepada yang mereka telah sampai kepadanya. Oleh karena ini, Nabi-صَلَّى اللَّه ُعَلَيْهِ وَسَلَّم-mengabarkan,
فَإِنَّهُ لا يُدْخِلُ أَحَدًا الجَنَّةَ عَمَلُهُ» قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «وَلا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِمَغْفِرَةٍ وَرَحْمَةٍ»
sesungguhnya seseorang tidak akan masuk surga karena amalannya.” Para sahabat bertanya, “Begitu juga dengan engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Begitu juga denganku, kecuali bila Allah melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya kepadaku,”(HR. Al-Bukhari)
- Ayat ini juga menetapkan dua nama di antara nama-nama Allah, yaitu, اَلْغَفُوْرُ dan اَلرَّحِيْمُ
Wallahu ‘Alam
Sumber :
Tafsir al-Qur’an al-Karim, Surat Fushsilat, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, hal. 171-174. Dengan ringkasan
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
Tafsir
Bulan dalam Setahun
( Tafsir Surat at Taubah ayat 36 )
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Artinya : Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan-bulan itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.(Qs. at Taubah : 36)
Pembaca yang budiman …
Alloh tabaroka wata’ala menghabarkan bahwa bilangan bulan pada hokum Alloh dan tercatat di lauhul mahfuzh adalah 12 bulan di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Diantara bulan-bulan tersebut terdapat 4 bulan haram ; Alloh mengharamkan melakukan peperangan pada waktu itu ( keempat bulan haram tersebut yaitu ; Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, Muharrom dan Rojab). Itu adalah agama yang lurus. Oleh karena itu, janganlah kalian menganiaya diri kalian pada bulan-bulan tersebut, karena bertambahnya pengharamannya, perbuatan zholim pada waktu itu lebih dahsyat daripada bulan-bulan lainnya, bukan berari kezhaliman boleh dilakukan di luar bulan-bulan tersebut. Dan, perangilah perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwa Alloh berserta orang-orang yang bertaqwa dengan penguatan dan pertolongannya. (Tafsir al Muyassar, Sejumlah Profesor bidang tafsir di bawah bimbingan Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at Turki)
Pembaca yang budiman…
Alloh ta’ala mengawali ayat yang mulia ini dengan huruf “ ” إن yang berarti ‘ sesungguhnya’. Dalam Ilmu Bahasa Arab huruf ini digolongan sebagai salah satu huruf yang berfungsi untuk menegaskan sebuh pernyataan ( Harfu Littaukiid ). Muhammad ath Thohir bin Muhammad bin Muhammad ath Thohir bin Asyur at Tunisiy (Wafat : 1393 H) di dalam tafsirnya, التحرير والتنوير من التفسير (at Tahriir wa at Tanwiir min at Tafsiir) mengatakan, pembukaan ungkapan dengan menggunakan huruf taukiid untuk menunjukkan pentingnya isi ungkapan yang hendak disampaikan supaya pendengaran dan hati orang yang mendengarnya akan benar-benar memperhatikannya. (at Tahriir wa at Tanwiir min at Tafsiir, Ibnu Asyur)
Alloh ta’ala berfirman, إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah yang dimaksud dengan bulan di sini yaitu : Bulan Qomariyah, karena ada indikasi yang menunjukkan demikian, yaitu di antaranya sabda nabi shallallohu ‘alaihi wasallam yang nanti akan disebutkan secara sempurna insyaa Allohu ta’ala tatkala membahas firman Alloh ta’ala, “مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ “di antaranya empat bulan haram. Namun, tidak mengapa sekarang saya sebutkan sisi pengambilan sabda beliau sebagai indikasi bahwa bulan yang dimaksud adalah bulan qomariyah, bukan syamsyiyyah. Dalam sabda beliau , beliau menyebutkan bulan “ DzulQo’dah, Dzulhijjah, Muharrom, dan Rojab “. Keempat bulan ini semunya adalah “ bulan Qomariyah”. Dengan demikian, diduga kuat bahwa yang dimaksud dengan bulan dalam firman Alloh, إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah “bulan Qomariyah”. Wallohu a’lam. Di samping karena bulan qomariyah adalah bulan yang masyhur di kalangan orang arab yang mana alQur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa mereka… ( Lihat, at Tahriir wa at Tanwiir min at Tafsiir, Ibnu Asyur ).
Firman Alloh, “ عِنْدَ اللَّهِ “ (pada sisi Allah), ini menunjukkan bahwa bulan-bulan dalam setahun tersebut merupakan ketetapan Alloh ta’ala. Adapun jumlah bulan-bulan tersebut adalah 12 bulan.Dalam ayat ini, Alloh tidak menyebutkan secara terperinci mengenai nama masing-masing bulan. Nama-nama bulan tersebut yaitu ; المحرم (Muharrom), صفر (Shofar), ربيع أول (Robi’ul Awwal), ربيع الآخر (Robi’ul Akhir), جمادى الأولى (jumadal Ula), جمادى الآخر الآخرة (jumadal Akhiroh), رجب (rojab), شعبان (sya’ban), رمضان (Ramadhan), شوال (syawwal), القعدة (Dzul Qo’dah ), الحجة (Dzuhijjah) ( Lihat المشهور في أسماء الأيام والشهور , al-Masyhuuru Fii Asmaai al Ayyaam wa asy Syuhuur, Syaikh Ilmuddin as Sakhowi) .
Kemudian, Alloh berfirman, مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ, di antaranya(yakni : di antara keduabelas bulan yang telah kita sebutkan tadi) ada empat bulan haram. Apa sajakah keempat bulan tersebut ? Rosululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,
السنة اثنا عشر شهرا منها أربعة حرم ثلاث متواليات ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان
Di dalam satu tahun ada dua belas bulan dan di antaranya terdapat empat bulan haram, tiga di antaranya berturut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, dan Rajab yang berada di antara bulan Jumada dan Sya’ban.” (HR. al-Bukhari, no.4385).
Jadi, keempat bulan tersbut adalah : Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Inilah yang difahami oleh Abdullah bin Abbas saat menafsirkan ayat tersebut di atas seperti dinukil oleh al-Hafizh ibnu Kasir di dalam kitabnya, “ Tafsir al Qur’an al Azhim “.
Kemudia, mengapa bulan-bulan tersebut dinamakan bulan haram ?
Syaikh Abdurrohman bin Nashir as Sa’diy di dalam kitab tafsirnya “تيسير الكريم الرحمن في تفسير كلام المنان “Taisiir al kariimi ar Rohmaan Fii Tafsiiri Kalaami al Mannaan “ mengatakan, dinamakan dengan “ harom “, karena bertambnya kehormatannya dan haramnya melakukan peperangan pada bulan-bulan tersebut. Wallohu a’lam
Selanjutnya, Alloh berfirman, ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Gholib al Amaliy, Abu Ja’far ath Thobariy(224-310H H) di dalam kitab tafsirnya “ Jami’ al Bayan Fii Ta’wiili al Qur’an “ mengatakan, adapun firman Alloh ta’ala,
, ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka maknanya ; ini yang Aku kabarkan kepadamu, berupa bahwa bilangan bulan di sisi Alloh 12 bulan di sisi Alloh, bahwa di antara bulan-bulan tersebut ada 4 bulan haram, adalah agama yang lurus, sebagaimana yang dikatakan as Sudiiy saat memaknai firmanNya ini.
Selanjutnya, Alloh ta’ala berfirman, فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan-bulan itu.
Alloh tabaroka wata’ala melarang agar kita tidak melakukan kezholiman kepada diri kita sendiri dengan segala macam bentuknya ( berupa kemaksiatan dan lain sebagainya ) pada bulan-bulan tersebut. Namun, ayat ini tidak berarti dipahami bahwa melakukan kezholiman pada bulan-bulan lainnya dibolehkan. Karena, kezhaliman kapanpun adalah terlarang. Hal ini seperti di isyaratkan dalam hadis Qudsi, yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam Shohihnya, bersumber dari Abu Dzar dari nabi shallallohu ‘alaihi wasallam yang ia riwayatkan dari Alloh tabaroka wata’ala, bahwa Alloh berfirman,
« يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا
Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezhaliman atas diriKu sendiri dan Aku telah menjadikannya haram diantara kalian. Oleh karena itu, janganlah kalian saling menzholimi… (HR. Muslim, no.6737).
Bulan-bulan apakah yang dimaksud, di mana kita tidak dibolehkan menganiaya diri kita sendiri ?
Syaikh Abdurrohman bin Nashir as Sa’di di dalam kitab tafsirnya mengatakan, ada kemungkinan zhomir (kata ganti) هُنَّ dalam firman Nya, فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ , kembali kepada 12 bulan dan ada kemungkinan pula zhomir dalam firman Alloh tersebut kembali kepada 4 bulan haram.Wallohu a’lam. Nampaknya, perkataan al Hafizh ibnu Katsir dalam tafsirnya condong kepada kemungkinan yang kedua, yaitu bahwa zhomir dalam firman Alloh tersebut kembali kepada 4 bulan haram. Wallohu a’lam. Beliau mengatakan, ( setelah menyebutkan ayat, فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ ) yaitu : pada bulan-bulan haram ini ; karena hal itu lebih besar dosanya daripada dilakukan pada bulan-bulan lainnya, seperti halnya kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukan di negeri harom dilipatgandakan (dosanya). Berdasarkan firman Alloh ta’ala,
{ وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ } [الحج: 25]
dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih(Qs.al-Hajj:25). Dan, demikian pula halnya bulan-bulan harom dosa-dosa yang dilakukan pada bulan-bulan tersebut diperberat. Dan oleh karena itu, pada mazhab asy Sayafi’I dan banyak ulama menetapkan , Diayat pada bulan tersebut diperberat. Dan begitu juga dalam kasus bagi orang yang melakukan pembunuhan di haram atau pembunuhan orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan.
Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhu saat mengomentari firman Alloh ta’ala tersebut mengatakan, “ pada bulan-bulan semuanya. Kemudian, Alloh mengkhususkan 4 bulan dari kedua belas bulan tersebut, maka Alloh menjadikannya haram, dan mengagungkan kemulyaan-kemulyaannya, menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan tersebut lebih besar dan begitu pula halnya dengan amal sholeh dan pahalanya. (Tafsir al Qur’an al ‘Azhim, Ibnu Katsir).
Hal senada juga disampaikan oleh Qotadah-segaimana dinukil oleh al Hafizh ibnu Katsir-semoga Alloh merahmatinya. Qotadah berkata, sesungguhnya kezhaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada kezholiman yang dilakukan diluar bulan-bulan haram tersebut meskipun kezholiman pada setiap kondisi adalah perkara yang besar. akan tetapi, Alloh ta’ala menjadikan sebagian dari perkara menjadi agung semaunya.
Selanjutnya, Alloh berfirman,
{ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً }
dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya.
Yakni : perangilah semua ragam orang-orang musrik dan orang-orang kafir terhadap Robb semesta alam. Janganlah kalian mengkhususkan sekelompok orangpun dari kalangan mereka untuk diperangi sementara yang lain tidak. Tapi, jadikanlah mereka semuanya musuh bagi kalian sebagaimana mereka menjadikan kalian sebagai musuh mereka. Mereka benar-benar telah menjadikan orang-orang yang beriman sebagai musuh bagi mereka. Mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) keburukan sedikit pun bagi orang-orang yang beriman. (Taisiir al Kariim ar Rohman fii Tafsiiri Kalaami al-Mannaan, Ibnu Sya’di)
Selanjutnya, Alloh tabaroka wata’ala menutup firmannya, وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. Yaitu dengan memberikan pertolongan dan penguatanNya. Oleh karena itu, hendaklah kalian tamak mengimplementasikan taqwa kepada Alloh pada kondisi rahasia (tak ada seorang pun yang melihatnya) dan kondisi sebaliknya. Hendaknya juga engkau melakukan ketaatan kepadaNya khususnya tatkala kalian memerangi orang-orang kafir. Karena, pada kondisi ini bisa jadi seorang mukmin meninggalkan perlakukan yang dilandaskan pada ketakwaa data melakukan interaksi dengan orang-orang kafis musuh yang tengah mereka perangi. (Taisiir al Kariim ar Rohman fii Tafsiiri Kalaami al-Mannaan, Ibnu Sya’di) Wallohu a’lam
Pembaca yang budiman …
Dari ayat yang mulia ini, kita dapat mengambil beberapa pelajaran, di antara yaitu ;
- Penegasan Alloh tabaroka wata’ala tentang bilangan bulan
- Alloh ta’ala menetapkan sesuatu sesuai kehendaknya
- Alloh melarang hambanya menzholimi dirinya sendiri setiap saat. Terlebih pada bulan-bulan haram karena suatu hikmah.
- Syariat Alloh adalah syariat yang lurus tidak terdapat kebengkokan sedikitpun
- Kebersamaan Alloh ta’ala dengan orang-orang yang bertaqwa (Abu Umair)
Sumber :
- al-Masyhuuru Fii Asmaai al Ayyaam wa asy Syuhuur, Syaikh Ilmuddin as Sakhowi
- 2. at Tahriir wa at Tanwiir min at Tafsiir, Muhammad ath Thohir bin Muhammad bin Muhammad ath Thohir bin Asyur at Tunisiy (Wafat : 1393 H)
- Jami’ al Bayan Fii Ta’wiili al Qur’an, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Gholib al Amaliy, Abu Ja’far ath Thobariy(224-310H H)
- Shohih al Bukhori, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al Bukhori al Ju’fiy.
- Shohih Muslim, Abu al Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim al Qusyairiy an Naisaabuuriy
- Tafsir al Muyassar, Sejumlah Profesor bidang tafsir di bawah bimbingan Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at Turkiy.
- Tafsir al Qur’an al ‘Azhim, Abu al Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurosyi ad-Damsyiqi(700-774)
- Taisiir al Kariim ar Rohman fii Tafsiiri Kalaami al-Mannaan, Syaikh Abdurrohman bin Nashir bin as Sa’diy.
Artikel : www.hisbah.net
Tafsir
Unta-unta Sebahagian Syiar Allah
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Khutbah9 tahun ago
Waspadailah Sarana yang Mendekatkan pada Zina
-
Fatwa9 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Fiqih Hisbah8 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Akhlak7 tahun ago
Riya & Sum’ah: Pamer Ibadah