Fiqih
Ayat Al-Qur’an Seputar Hijab (4)
Allah ‘azza wajalla berfirman:
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَايَصْنَعُونَ . وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّمَاظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِى اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَآءِ وَلاَيَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. an-Nûr:30-31).
Di dalam kedua ayat suci ini terdapat banyak petunjuk yang menyatakan kewajiban memakai hijab dan menutup muka, ditinjau dari empat aspek yang saling berkaitan; yaitu:
Aspek pertama, perintah untuk ghadhdhu al-bashar (menundukkan pandangan) dan menjaga kemaluan terhadap laki-laki dan perempuan, pada ayat pertama dan permulaan ayat kedua, mempunyai kedudukan yang sama. Semua itu tiada lain dikarenakan besarnya kekejian yang ditimbulkan oleh perbuatan zina, dan bahwa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan itu, lebih suci bagi orang-orang yang beriman baik di dunia maupun akhirat, sebagaimana ia juga lebih menjauhkan mereka untuk terjerumus ke dalam kekejian semacam ini. Sesungguhnya menjaga kemaluan itu tidak akan terlaksana, tanpa mengerahkan sebab-sebab untuk meraih keselamatan dan perlindungan, di antaranya yang paling agung adalah menundukkan pandangan. Sedang menundukkan pandangan tidak dapat terpenuhi dengan sempurna, kecuali dengan memakai hijab yang menutupi seluruh badan wanita. Siapa pun orang yang berakal tidak akan meragukan, bahwa membuka muka adalah salah satu di antara hal yang menyebabkan mata melihat dan menikmati. Padahal, kedua mata itu bisa berzina, yaitu: dengan melihat. Dan semua sarana mempunyai kedudukan hukum seperti tujuan. Oleh karenanya, pada aspek berikutnya secara gamblang terdapat perintah memakai hijab.
Aspek kedua, adalah firman Allah Ta’ala:
وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّمَاظَهَرَ مِنْهَا
(Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka).
Maksudnya, mereka tidak memamerkan sedikit pun perhiasan mereka kepada laki-laki lain dengan sengaja, kecuali apa yang mau tidak mau nampak, tanpa berusaha menampakkannya; yaitu: suatu yang tidak mungkin disembunyikan, semisal bagian luar jilbab atau ‘abâ’ah atau mulâ’ah, yang biasanya dikenakan oleh seorang wanita di atas baju dan kerudungnya. Artinya, jika ia dipandang, tidak mengakibatkan salah satu anggota tubuh (aurat) wanita tersebut terlihat; karena yang demikian itu dimaafkan.
Coba renungkanlah di antara rahasia yang tersembunyi di dalam firman Allah Ta’ala ini, “dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka”!? Bagaimana fi’il (kata kerja) dalam hal tidak mempertontonkan perhiasan dinisbatkan kepada para wanita dalam bentuk muta’addi (transitif); yaitu: fi’il mudhâri’ “yubdîna”. Adalah dimaklumi, bahwa suatu larangan jika disampaikan dalam bentuk fi’il mudhâri’, akan semakin memperkuat hukum pengharamannya. Ini merupakan dalil yang sangat jelas, berkenaan dengan kewajiban mengenakan hijab yang menutupi seluruh tubuh wanita beserta semua perhiasan yang dipakainya. Sedangkan menutup muka dan kedua telapak tangan, sudah barang tentu termasuk di antaranya.
Namun, dalam pengecualian, “kecuali yang (biasa) nampak dari mereka”, kata kerja “zhahara” tidak dinisbatkan kepada para wanita. Hal itu, mengingat kata kerja tersebut bukan berbentuk muta’addi (transitif), melainkan ia adalah kata kerja yang berbentuk lâzim (intransitif). Sebagai konsekwensinya adalah, bahwa seorang wanita diperintahkan untuk menyembunyikan perhiasannya secara mutlak, tanpa diberi pilihan lain untuk bisa memamerkannya sedikit pun. Di samping itu pula, ia tidak diperbolehkan memamerkan sedikit pun perhiasannya itu, kecuali apa yang memang harus nampak, tanpa sengaja untuk memperlihatkannya. Maka, yang demikian itu ia tidak berdosa. Semisal: jika sebagian perhiasannya itu tersingkap oleh angin, atau dikarenakan adanya keperluan pengobatan dan lain sebagainya, yang termasuk hal-hal yang mendesak dan memaksa. Sehingga, pengecualian di sini memiliki arti: “tidak berdosa”, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. Dan firman-Nya:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّاحَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَااضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”.(QS. al-An’âm:119).
Aspek ketiga, adalah firman Allah Ta’ala:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”.
Ketika Allah Ta’ala mewajibkan para wanita yang beriman untuk menutupi seluruh badan beserta perhiasan yang ada dalam kedua tempat terdahulu, juga agar tidak mempertontonkan sedikit pun perhiasannya dengan sengaja, dan bahwa apa yang nampak dari perhiasannya tanpa sengaja dipamerkan itu dimaafkan, maka untuk kesempurnaan hijab ini, Allah Ta’ala menjelaskan bahwasanya perhiasan yang haram diperlihatkan itu, termasuk di dalamnya seluruh tubuh wanita. Dan, mengingat bahwa bentuk baju umumnya terbelah atau berlobang, yang memungkinkan leher, jakun dan dada bisa kelihatan, maka Allah Ta’ala menjelaskan kewajiban untuk menutupinya beserta cara wanita tersebut memakaikan hijab itu, pada dearah tubuhnya yang belum tertutupi baju tadi. Lalu, Allah Ta’ala berfirman:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”.
Adh-dharbu berarti, “menimpakan sesuatu pada sesuatu yang lain”, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ
Mereka ditimpa (diliputi) kehinaan”. Maksudnya, mereka diliputi kehinaan layaknya tenda atau kemah yang meliputi orang yang bernaung di bawahnya.
Sedangkan al-khumur adalah bentuk jamak dari khimâr, diambil dari kata al-khamr, yang berarti: menutupi. Dari sini, minuman keras disebut khamr, karena ia menutupi dan meliputi akal fikiran. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitabnya Fath al-Bârî (8/489) berkata, “Di antara al-khamr tersebut adalah khimâr al-mar’ah (kerudung wanita), karena ia menutupi wajah wanita tersebut”.
Dikatakan: ikhtamarat al-mar’atu wa takhammarat, idzâ ihtajabat wa ghaththat wajhahâ. Artinya, seorang wanita bisa disebut memakai kerudung, jika ia berhijab dan menutupi wajahnya.
Serta, al-juyûb bentuk mufradnya adalah jaib, yaitu: lobang atau belahan di ujung baju. Jadi, makna ayat:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
adalah perintah dari Allah Ta’ala kepada wanita-wanita kaum mukminin, agar mengenakan kerudung dengan tepat, pada daerah anggota tubuhnya yang kelihatan; antara lain: kepala, muka, leher, jakun dan dada. Caranya, dengan menempelkan kain kerudung pada kepalanya,lalu melingkarkannya dari sisi kanan ke arah leher bagian kiri. Yang demikian ini dinamakan dengan taqannu’. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah, di mana wanita kala itu menjulurkan kerudung pada kepala dari bagian belakang, sementara kepala bagian depannya dibiarkan terbuka, maka mereka pun diperintahkan untuk menutupinya.
Penafsiran yang relevan dengan pengertian sebelumnya dan sesuai dengan bahasa Arab ini, dibuktikan oleh apa yang dipahami para istri sahabat –semoga Allah meridhai semuanya-, maka mereka pun mengamalkannya. Oleh karenanya, imam Bukhari meletakkan satu bab di dalam kitab Shahîh-nya dan berkata, “Bab: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”. Lalu, imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sebuah hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengatakan, “Semoga Allah Ta’ala merahmati para wanita generasi pertama yang melakukan hijrah manakala Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”, mereka segera merobek baju mantel mereka untuk kemudian menjadikannya sebagai penutup muka mereka”.
Ibnu Hajar di dalam kitabnya “Fath al-Bârî” (8/489) ketika menerangkan hadis ini, ia berkata, “Arti perkataan Aisyah “fakhtamarna” adalah, mereka menutupi muka-muka mereka”.
Barangsiapa yang membantah tafsiran ini dan mengatakan, yaitu: dengan membuka muka, karena Allah Ta’ala tidak secara jelas menyebutkan hal itu di sini, maka kita katakan kepadanya, “Memang di sini Allah Ta’ala tidak menyebutkan kepala, leher, jakun, dada, kedua bahu, kedua hasta dan kedua telapak tangan, namun apakah dengan demikian, wanita diperbolehkan membuka atau memperlihatkan anggota tubuh yang tersebut tadi?” Jika ia menjawab, “Tidak”, maka kami katakan, “Demikian pula wajah, tentu saja tidak diperbolehkan dibuka, karena wajah adalah sentra kecantikan dan sumber fitnah. Maka, bagaimana mungkin syariat Islam menyuruh untuk menutup kepala, leher, jakun, dada, kedua hasta dan kedua telapak kaki, sementara ia tidak menyuruh untuk menutup muka, padahal kita tahu, muka adalah anggota tubuh yang sering menimbulkan fitnah dan paling banyak memberikan pengaruh pada orang yang melihat maupun yang dilihatnya sekalipun? Begitu pula, bagaimana menurutmu tentang pemahaman para wanita atau istri sahabat Rasulullah radhiyallâhu’anhunna yang bergegas menutupi muka-muka mereka manakala turun ayat ini?
Aspek keempat, adalah firman Allah subhanahu wata’ala,
وَلاَيَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”
Ketika Allah Ta’ala memerintahkan para wanita itu untuk menyembunyikan perhiasan dan menunjukkan mereka cara memakai kerudung, yaitu: dengan menutupkan kain kerudung itu pada muka, dada dan anggota tubuh mereka lainnya, maka untuk meraih kesempurnaan hijab tersebut dan untuk mencegah terjadinya fitnah, Allah Ta’ala melarang para wanita yang beriman itu, untuk tidak memukul-mukulkan kaki mereka ke tanah ketika mereka berjalan. Hal itu, agar dari perhiasan yang mereka pakai seperti gelang kaki atau yang lainnya, tidak mengeluarkan bunyi-bunyian, yang oleh karena bunyiannya itu, maka perhiasan mereka akan diketahui. Akibatnya, perhiasan itu pun akan menyebabkan timbulnya fitnah. Oleh karenanya, perbuatan wanita yang memukul-mukulkan kakinya ke tanah, agar perhiasan yang ia pakai bisa diketahui orang, adalah termasuk di antara perbuatan setan.
Di dalam aspek keempat ini setidaknya terdapat tiga dalil yang bisa dijadikan acuan, yaitu:
Pertama, diharamkan bagi para wanita yang beriman memukulkan kaki mereka ke tanah, dengan tujuan agar perhiasan mereka bisa diketahui.
Kedua, diwajibkan bagi mereka menutup kaki mereka beserta perhiasan yang dipakainya. Mereka tidak boleh memamerkannya.
Ketiga, Allah Ta’ala mengharamkan kepada mereka semua hal-hal yang bisa menyebabkan terjadinya fitnah. Yang lebih utama lagi daripada itu, adalah diharamkan bagi wanita melepas dan membuka penutup mukanya di depan laki-laki yang bukan muhrimnya, karena membuka muka merupakan penyebab dan pemicu terjadinya fitnah yang paling besar. Oleh karena itu, muka wanita lebih berhak untuk ditutupi dan tidak ditampakkan ke hadapan laki-laki yang bukan muhrimnya. Yang demikian ini tidak diragukan lagi oleh siapa pun orang yang mengaku berakal.
Coba perhatikan!, bagaimana ayat ini mengatur hijab yang menutupi tubuh wanita dari penglihatan laki-laki bukan muhrimnya, mulai dari atas kepala sampai kepada kedua telapak kakinya, dan mencegah segala sarana yang bisa menimbulkan wanita tersebut membuka sebagian anggota tubuhnya atau perhiasannya dengan sengaja, yang mana hal itu untuk menghindari terjadinya fitnah yang menimpa wanita tersebut. Maha suci Allah, Yang Maha Bijaksana dalam syariat-Nya. Wallohu a’lam
Sumber : حِرَاسَةُ الْفَضِيلَةِ , ( Hirosatul fadhilah), Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaed
Artikel : www.hisbah.net
About Author
Fatwa
Bagaimana Manusia Berhadapan dengan Bulan Puasa ? ***
Bagaimana Manusia Berhadapan dengan Bulan Puasa ?
***
Alhamdulillah. Kita bersyukur kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-yang telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan puasa. Sungguh, ini bagian dari nikmatnya yang utama, karena di didalamnya terdapat banyak kebaikan yang beraneka ragam bentuknya. Bahkan, puasa pun yang merupakan bagian dari amal yang disyariatkan-Nya untuk mengisi waktu-waktu di siang harinya, mulai sejak terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari adalah merupakan bagian dari nikmat-Nya yang utama, karena ternyata amal ini banyak keutamaan dan keistimewaannya.
Namun demikian, bagaimana dengan kita, manusia ketika berhadapan dengan bulan puasa ini ? Apakah semua orang memiliki sikap yang sama ?
Mari kita baca tulisan berikut ini, mudah-mudahan Anda akan menemukan jawabannya.
Selamat membaca. Semoga Anda mendapatkan sejumlah manfaat darinya. Amin
***
Klasifikasi Manusia
Terkait dengan bulan Ramadhan, manusia terbagi menjadi beberapa macam :
Pertama, kelompok yang menunggu kedatangan bulan ini dengan penuh kesabaran. Ia bertambah gembira dengan kedatangannya, hingga ia pun menyingsingkan lengan dan bersungguh-sungguh mengerjakan segala macam bentuk ibadah, seperti ; puasa, shalat, sedekah, dan lain sebagainya. Ini merupakan kelompok yang terbaik.
Ibnu Abbas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-menuturkan, “Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ- adalah orang yang paling dermawan. Namun, beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan, ketika beliau ditemui Jibril. Setiap malam pada bulan Ramadhan, Jibril menemui beliau hingga akhir bulan. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ-membacakan al-Qur’an kepadanya. Bila beliau bertemu Jibril, beliau lebih berderma daripada angin yang bertiup.” (HR. al-Bukhari)
Kedua, kelompok yang sejak bulan Ramadhan datang sampai berlalu, keadaan mereka tetap sama saja seperti sebelum Ramadhan. Mereka tidak terpengaruh oleh bulan puasa itu serta tidak bertambah senang atau bersegera dalam hal kebaikan. Kelompok ini adalah orang-orang yang menyia-nyiakan keuntungan besar yang nilainya tidak bisa diukur dengan apa pun. Sebab, seorang muslim akan bertambah semangatnya pada waktu-waktu yang banyak terdapat kebaikan dan pahala di dalamnya.
Ketiga, kelompok yang tidak mengenal Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, kecuali pada bulan Ramadhan saja. Bila bulan Ramadhan datang, Anda dapat melihat mereka ikut rukuk dan sujud dalam shalat. Tetapi, bila Ramadhan berakhir, mereka kembali berbuat maksiat seperti semula. Mereka adalah kaum yang disebutkan kepada imam Ahmad dan Fudhil bin ‘Iyadh dan keduanya berkata, “Mereka adalah seburuk-buruk kaum lantaran tidak mengenal Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-kecuali pada bulan Ramadhan.”
Karena itu, setiap orang yang termasuk dalam kelompok ini semestinya tahu bahwa ia telah menipu dirinya sendiri dengan perbuatannya tersebut. Setan pun juga memperoleh keuntungan besar darinya. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ [محمد : 25]
Setan telah menjadikan mereka mudah (burbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (Muhammad : 25)
Sebagai bentuk ajakan dan peringatan untuk kelompok seperti mereka, hendaklah mereka bertaubat kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-dengan sebenar-benarnya taubat. Kami menghimbau agar mereka memanfaatkan bulan ini untuk kembali dan tunduk kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-serta meminta ampun dan meninggalkan perbuatan buruk yang telah lalu. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى [طه : 82]
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha : 82)
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا [الفرقان : 70]
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Furqan : 70)
Bila Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-telah mengetahui ketulusan dan keikhlasan mereka, maka Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-akan memaafkan mereka sebagaimana yang Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-janjikan. Karena, Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak akan mengingkari janji-Nya. Namun, bila mereka tetap saja berbuat maksiat, maka kita harus mengingatkan perbuatan mereka, dan menyampaikan bahwa mereka dalam bahaya besar. Bahaya macam apalagi yang lebih besar daripada meremehkan kewajiban, batasan-batasan, perintah, dan larangan-Nya.
Keempat, kelompok yang hanya perutnya saja yang berpuasa dari segala macam makanan, namun tidak manahan diri dari selain itu. Anda akan melihatnya sebagai orang yang paling tidak berselera terhadap makanan dan minuman. Akan tetapi, mereka tidak merasa gerah ketika mendengar kemungkaran, ghibah, adu domba, dan penghinaan. Bahkan, inilah kebiasaannya pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya.
Kepada orang seperti ini, perlu kita sampaikan bahwa kemaksiatan pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya itu diharamkan, tetapi lebih diharamkan lagi pada bulan Ramadhan, menurut pendapat sebagian ulama. Dengan kemaksiatan tersebut berarti mereka telah menodai puasa dan menyia-nyiakan pahala yang banyak.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ia berkata, Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ-bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka tidak ada kebutuhan bagi Allah terhadap tindakan orang yang meninggalkan makan dan minumnya.”
(HR. al-Bukhari dan Abu Dawud)
Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-juga bersabda,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَ الشُّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ
“Puasa itu bukan sekedar menahan makan dan minum, tetapi puasa itu adalah meninggalkan perbuatan sia-sia dan perkataan keji” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Kelima, kelompok yang menjadikan siang hari untuk tidur, sedangkan malam harinya untuk begadang dan main-main belaka. Mereka tidak memanfaatkan siangnya untuk berdzikir dan berbuat kebaikan, tidak pula membersihkan malamnya dari hal-hal yang diharamkan.
Kepada orang-orang seperti ini perlu kita sampaikan agar mereka takut kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berkenaan dengan diri mereka. Janganlah menyia-nyiakan kebaikan yang datang kepada mereka. Mereka telah hidup sejahtera dan makmur. Hendaklah mereka bertaubat kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-dengan taubat nasuha dan bergembira dengan berita dari Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-yang menyenangkan.
Keenam, kelompok yang tidak mengenal Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lainnya. Mereka adalah kelompok yang paling buruk dan berbahaya. Anda akan melihat mereka tidak memperhatikan shalat atau puasa. Mereka meninggalkan kewajiban itu secara sengaja, padahal kondisinya sehat dan segar bugar. Setelah itu mereka mengaku sebagai orang Islam. Padahal, Islam sangat jauh dari mereka, bagaikan jauhnya Barat dan Timur. Orang-orang Islam pun berlepas diri dari mereka.
Kepada orang-orang semacam ini perlu dikatakan, “Segeralah bertaubat dan kembalilah kepada agama kalian. Lipatlah lembaran hitam hidup kalian. Sesungguhnya, Rabb kalian Maha Penyayang kepada siapa saja yang mentaati-Nya, dan sangat keras siksanya kepada orang yang mendurhakai-Nya.”
Demikianlah, klasifikasi manusia secara global berkaitan dengan bulan Ramadhan (bulan puasa). Meski mungkin sebagian kelompok masuk pada kelompok lainnya, namun ini perlu dijelaskan.
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Mukhalafat Ramadhan, Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan, ei, hal. 25-29
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: MDH tv (Media Dakwah Hisbah )
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
About Author
baru
Jagalah Shalat…Jagalah Shalat (bag.2)
Artikel Sebelumnya Jagalah Shalat…Jagalah Shalat (bag.1)
Jagalah shalat…Jagalah shalat !
Ini adalah wasiat Nabi kita, ia termasuk ke dalam sabda terakhir yang diisimak dari beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.
Wahai orang-orang yang mencintai Nabi, jagalah shalat, jagalah shalat, ini adalah wasiat dan pesan beliau kepada kalian.
Dalam Musnad imam Ahmad [1] dengan sanad yang jayyid, bahwa pada suatu hari shalat disebut-sebut di depan Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-maka beliau bersabda,
مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا وَبُرْهَانًا وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ وَلَا بُرْهَانٌ وَلَا نَجَاةٌ وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ
“Barang siapa menjaga shalat, maka ia menjadi cahaya, bukti, dan keselamatan untuknya pada hari Kiamat. Dan barangsiapa tidak menjaganya, maka dia tidak mempunyai cahaya, bukti, dan keselamatan, dan pada Hari Kiamat dia bersama Qarun, Fir’aun, Haman dan Ubay bin Khalaf.”
Maksudnya, orang yang meninggalkan shalat, yang tidak menjaganya akan dikumpulkan pada hari Kiamat bersama para dedengkot kekafiran dan para penopang kebatilan.
Dalam shahih Muslim [2], dari Jabir bin Abdullah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا -, bahwa Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya (perbedaan) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”
Dalam al-Musnad [3] dari Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, bahwa beliau bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian yang (membedakan) antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya, maka sungguh dia telah kafir.”
Dalam shahih al-Bukhari [4], dari Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bahwa beliau bersabda,
مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذَلِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِي لَهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ فَلَا تُخْفِرُوا اللَّهَ فِي ذِمَّتِهِ
“Barang siapa mendirikan shalat kami, menghadap kiblat kami, dan memakan sembelihan kami, maka dialah Muslim yang mendapatkan jaminan Allah dan jaminan Rasul-Nya, maka janganlah kalian membatalkan jaminan Allah.”
Hadis-hadis dalam bab ini berjumlah banyak.
Wahai orang-orang yang mengikuti Nabi dan mencintai beliau, bertakwalah kepada Allah. Jagalah wasiat beliau. Ingatlah sabda beliau di saat-saat akhir dalam kehidupan beliau, dan pada saat beliau mengucapkan selamat tinggal kepada umat,
اَلصَّلَاةَ اَلصَّلَاةَ
“Jagalah shalat, jagalah shalat.”
Lihatlah kepada sirah orang-orang yang mencintai Nabi dengan benar, generasi pertama umat ini. Betapa suci perjalanan hidup tersebut.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam shahihnya [5] dari Abdullah bin Mas’ud-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, dia berkata,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ
“Barang siapa ingin berbahagia bertemu dengan Allah besok hari dalam keadaan Muslim, maka hendaklah dia menjaga shalat-shalat di mana dikumandangkan adzan padanya, karena sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah seperti shalatnya orang yang tertinggal (dari shalat berjama’ah) ini, niscaya kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Dan jika kalian meninggalkan Sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan tersesat. Tidaklah seorang laki-laki yang bersuci lalu dia melakukannya dengan baik kemudian dia berangkat ke salah satu masjid di antara masjid-masjid yang ada, melainkan Allah menulis untuknya satu kebaikan dengan setiap langkah yang dilangkahkannya dan mengangkat satu derajat dengannya serta menghapus satu keburukan dengannya. Aku telah melihat kami-yakni para sahabat Nabi- tidak ada yang meninggalkan shalat berjama’ah (yaitu shalat berjama’ah di masjid-masjid) kecuali pasti dia seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya. Dan sungguh seseorang (dari kami) dipapah dan dihadirkan, sehingga akhirnya diberdirikan di shaf.”
Perhatikanlah sebuah potret yang cemerlang dan keadaan yang membanggakan dari para sahabat Nabi yang mulia. Mereka memahami sunnah beliau, mengerti wasiat beliau, mereka merealisasikan ittiba’ dan keteladanan kepada beliau. Seorang laki-laki dari mereka dihadirkan ke shaf dengan dipapah oleh dua orang, keduanya membantunya dari kedua sisinya sehingga dia bisa diberdirikan di shaf, sementara fakta keadaan mayoritas orang yang kurang menghargai shalat itu sering dilalaikan oleh perkara sepele sehingga mereka berani mengorbankan shalat jamaah.
Ingatlah, hendaklah kita semua bertakwa kepada Allah dalam urusan shalat dengan menjaganya, mendirikannya, memelihara rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, dan wajib-wajibnya. Shalat adalah perkara pertama yang akan diminta pertanggungjawabannya dari seorang hamba pada hari Kiamat, bila shalatnya diterima maka diterimalah amal-amalnya yang lain, dan bila shalatnya tertolak, maka tertolaklah amal-amalnya yang lain.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendirikan shalat dan yang mengikuti Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.
Ya Allah, bangkitkanlah kami dalam rombongan Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan di bawah panji beliau. Bimbinglah kami untuk mengikuti beliau, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan.
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Ta’zhimu ash-Shalati, Prof.Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal.18-20.
Catatan :
[1] Musnad Ahmad, no. 6576. Syaikh Ibnu Baz berkata, “Sanadnya hasan.” Majmu’ al-Fatawa milik beliau, 10/278.
[2] Shahih Muslim, no. 82
[3] Musnad Ahmad, no. 22937; diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2621 dan Ibnu Majah, no. 1079 : dari hadis Buraidah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-.Dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih at-targhib, no. 564.
[4] Shahih al-Bukhari, no. 391 dari Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-.
[5] Shahih Muslim, no. 654.
About Author
baru
Jagalah Shalat…Jagalah Shalat (bag.1)
Sesungguhnya di antara musibah paling besar, paling berat dan paling agung yang menimpa umat adalah musibah wafatnya Nabi yang mulia-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang Allah telah memberikan nikmat kepada umat manusia dengan adanya pengutusan beliau. Beliau adalah penunjuk jalan umat ke Surga, pembimbing mereka kepada segala kemuliaan, dan imam dalam semua kebaikan.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا [الأحزاب : 21]
Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah dengan banyak.” (al-Ahzab : 21)
Peristiwa besar wafatnya Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ini, mengandung banyak nasehat dan pelajaran yang beraneka ragam, kita patut berhenti padanya untuk merenungkannya. Dan salah satu nasihat dan pelajaran terbesarnya adalah berkenaan dengan ibadah shalat dan kedudukannya yang penting. Sebuah nasehat dan pelajaran yang mendalam, menyentuh hati sanubari yang disarikan dari kejadian besar dan peristiwa yang agung tersebut.
Shalat terakhir yang Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dirikan bersama orang-orang Mukmin adalah shalat Zhuhur pada Hari Kamis, kemudian semakin beratlah sakit yang beliau derita sehingga selama tiga hari beliau tidak mampu pergi ke masjid untuk shalat karena parahnya sakit tersebut, yaitu Hari Jum’at, Sabtu dan Ahad. Yang menggantikan posisi beliau di dalam shalat sebagai imam kaum Muslimin adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Pada Shubuh Hari Senin –yaitu hari di mana beliau wafat, beliau membuka kain kelambu di kamar Aisyah untuk memandang para sahabat, pandangan perpisahan, dan betapa beratnya perpisahan tersebut. al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahih keduanya [1] dari Anas bin Malik-رَضِيَ اللهُ عَنْهٌ-,
“Bahwa Abu Bakar mengimami shalat orang-orang pada masa Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sakit yang akhirnya beliau wafat padanya. Manakala Hari Senin tiba, sementara orang-orang sedang berbaris di dalam shalat, Nabi membuka kain kelambu kamar, beliau memandang kepada kami dalam keadaan berdiri, wajah beliau seperti kertas mushaf, kemudian beliau tersenyum tertawa, kami hampir batal (di dalam shalat tersebut) karena kami berbahagia melihat Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, lalu Abu Bakar melangkah mundur untuk mencapai shaf (depan), dia menyangka Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- akan keluar untuk shalat, namun beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-memberi isyarat kepada kami agar kami menyempurnakan shalat. Beliau menurunkan kain kelambu lalu pada hari itulah beliau wafat.”
Hendaknya kita merenung untuk mengambil nasihat dan pelajaran. Inilah nabi kita -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang memandang umat beliau di masjid dengan pandangan perpisahan. Beliau memandang dengan pandangan yang menjadi sumber kebahagiaan beliau, di mana shalat adalah sumber kebahagiaan bagi beliau. Allah membuat beliau berbahagia di pagi hari yang beliau wafat padanya dengan melihat umat beliau berkumpul di masjid untuk mendirikan shalat. Beliau tersenyum tertawa. Sungguh sebuah senyuman kebahagiaan dan ketentraman, tertawa bahagia dan gembira dengan sebab beliau melihat umat beliau yang berkumpul di masjid mendirikan shalat. Nabi menurunkan kain kelambu dengan penuh kebahagiaan karena menyaksikan pemandangan yang membahagiakan dan potret yang membuat mata beliau berbinar. Umat beliau, umat Islam, berkumpul di masjid mendirikan shalat. Allah membahagiakan beliau dengan pemandangan yang membahagiakan dan potret yang membuat mata beliau berbinar.
Urusan shalat tidak berhenti sampai batas ini pada saat-saat terakhir dari kehidupan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Ali-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –berkata sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam al-Musnad [2] dengan sanad yang shahih,
كَانَ آخِرُ كَلَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ اتَّقُوا اللَّهَ فِيمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
Akhir perkataan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- adalah ‘(Jagalah) shalat. (Jagalah) shalat. Bertakwalah kalian kepada Allah berkenaan dengan hamba sahaya kalian’.”
Bahkan ada sabda beliau yang lebih mendalam daripada ini di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya [3] dengan sanad yang shahih dari Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -, dia berkata,
كَانَتْ عَامَّةُ وَصِيَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حِيْنَ حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ وَهُوَ يُغَرْغِرُ بِنَفْسِهِ ( اَلصَّلَاةَ . وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ )
“Kebanyakan wasiat Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pada saat ajal kematian datang kepada beliau sementara nafas beliau tersendat-sendat adalah, ‘(Jagalah) shalat dan (bertakwalah kepada Allah) berkenaan dengan hamba sahaya kalian’.”
Dalam riwayat Ummu Salamah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا –istri Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-
أَنَّهُ كَانَ عَامَّةُ وَصِيَّةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ مَوْتِهِ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيضُ بِهَا لِسَانُهُ
Kebanyakan wasiat Nabi Allah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjelang wafat, ‘(Jagalah) shalat, (jagalah) shalat, dan (bertakwalah kepada Allah) berkenaan dengan hamba sahaya kalian.’ Sampai-sampai Nabi Allah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menggumamkannya di dalam dada beliau, sementara lidah beliau tidak mengungkapkannya secara jelas.” [4]
Ini tanpa disangsikan, menunjukkan kepada kita akan besarnya kedudukan shalat di dalam agama Islam, dan begitu besarnya perhatian Nabi kita -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kepada shalat. Siapa yang membaca hadis-hadis beliau yang mulia dan wasiat-wasiat beliau yang luhur dalam kehidupan beliau seluruhnya, maka dia akan mengetahui nilai shalat dan kedudukannya di dalam Islam.
Di antara bukti atas besar dan pentingnya kedudukan shalat adalah bahwa ia dikhususkan di antara kewajiban-kewajiban Islam dan keumuman ketaatan lainnya, yaitu bahwa Allah memi’rajkan NabiNya ke langit yang ketujuh, di sana, di langit yang ketujuh Allah mewajibkan shalat kepada beliau. Beliau mendengar perintah dan ketetapan Allah secara langsung tanpa ada perantara. Pertama kali diwajibkan sebanyak 50 shalat atas beliau, lalu beliau memohon kepada Allah agar meringankannya, sehingga ia diringankan jadi lima waktu. Maka jumlah shalat Fardhu adalah lima, namun lima puluh dalam pahala, sementara ketaatan-ketaatan yang umum, kewajiban-kewajiban dan ibadah-ibadah yang lain dibawa turun oleh Malaikat Jibril ke bumi, dialah yang mewahyukannya kepada Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan menjelaskannya. Ini membuktikan kepada kita akan agungnya kedudukan shalat.
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Ta’zhimu ash-Shalati, Prof.Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal.14-18.
Catatan :
[1] Al-Bukhari, no. 680 dan Muslim, no. 419
[2] Musnad Ahmad, no. 585, diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5155 dan Ibnu Majah, no. 2698, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih al-Jami’, no. 4616.
[3] no. 2697 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 2178.
[4] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 26483, 26684 dan an-Nasai dalam al-Kubra, no. 7060, sanadnya dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’, 7/238.
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
About Author
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Fatwa8 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Fatwa10 tahun ago
Hukum Membuka Jilbab Untuk Ktp
-
Fiqih Hisbah7 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
Muslimah11 tahun ago
Setiap Anggota Tubuh Berpotensi Melakukan Zina