Connect with us

Pilihan

Ayat Al-Qur’an Seputar Hijab (3)

Published

on

Allah subhanahu wata’ala berfirman,

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Ahzâb:59)

Imam Suyuthi rahimahullah berkata, “Ayat ini adalah ayat hijab yang berlaku bagi seluruh wanita. Di dalamnya berisi kewajiban untuk menutupi kepala dan wajah mereka”.

Di dalam ayat ini, Allah Ta’ala secara khusus telah menyebut istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan putri-putrinya. Hal itu, mengingat tingginya kedudukan mereka, dan bahwa mereka lebih berhak untuk mengamalkannya dibandingkan yang lain, dikarenakan kedekatan mereka di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan Allah Ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (QS. at-Tahrîm:6)

Kemudian, Allah Ta’ala memberlakukan hukum memakai hijab ini bagi semua wanita yang beriman. Ayat ini seperti halnya pada ayat hijab yang pertama, memiliki kandungan yang sangat jelas, yaitu: diwajibkan bagi semua wanita yang beriman, agar menutup wajah, seluruh tubuh beserta perhiasan yang dipakainya, dari pandangan laki-laki lain yang bukan mahrom mereka. Sedangkan hijab tersebut adalah, dengan memakai jilbab yang dapat menutupi wajah, seluruh tubuh beserta perhiasan yang dipakai. Semua ini dimaksudkan, agar wanita yang berhijab tersebut berbeda dengan para wanita jahiliyah yang terbuka auratnya. Sehingga, bagi para wanita yang berhijab, akan terjaga dari tangan jahil yang berupaya mengusiknya.

Adapun dalil-dalil dalam ayat ini, yang menyatakan perintah menutup wajah, terdiri dari beberapa aspek berikut ini:

Aspek pertama, makna jilbab di dalam ayat ini, adalah sebagaimana dalam bahasa Arab; yaitu: pakaian besar yang bisa menutupi seluruh tubuh. Disebut juga dengan al-mulâah dan al-‘abâah. Dipakai wanita di atas pakaiannya, mulai dari atas kepala dalam keadaan menjulur ke bawah sampai muka, seluruh tubuh dan perhiasan yang melekat pada tubuhnya, lalu memanjang hingga menutupi kedua telapak kakinya.

Dengan demikian, maka menutup muka dengan jilbab sebagaimana menutup seluruh anggota tubuh lainnya, secara bahasa maupun syar’i, adalah suatu keharusan.

Aspek kedua, bahwa jilbab dipakai untuk menutup muka, merupakan makna yang pertama kali dimaksud di sini. Hal itu, mengingat realitas yang tampak pada sebagian kaum wanita zaman jahiliyah dulu, adalah muka mereka. Lalu, Allah Ta’ala memerintahkan kepada istri-istri Nabi dan para wanita yang beriman, agar menutupi muka mereka, dengan menjulurkan jilbab yang mereka pakai ke arah mukanya.

Sedangkan untuk mengungkapkan perintah tersebut, di sini Allah Ta’ala menggunakan lafazh “yudnîna”, dengan huruf bantu “’ala”, yang mengandung arti: menjulurkan. Sedang menjulurkan hanya bisa dilakukan dari atas. Berarti, di sini maksudnya: mulai dari atas kepala sampai ke muka dan badan.

Aspek ketiga, bahwa penutupan jilbab pada muka dan seluruh tubuh beserta perhiasan yang dipakai, adalah sebagaimana yang telah dipahami oleh istri-istri para sahabat Nabi –semoga Allah meridhai mereka-. Hal itu sesuai dengan riwayat Abdurrrazaq dalam kitab “al-Mushannaf”, dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang berkata,

لَماَّ نَزَلَتْ هذِهِ الآيَةُ: (يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ….) الآيةَ, خَرَجَ نِسآءُ اْلأَنْصَارِكَأَنَّ عَلَى رُؤُوْسِهِنَّ اْلغِرْبَانَ مِنَ السَّكيْنَةِ, وَعَلَيْهِنَّ أَكِيْسَةٌ سُوْدٌ يَلْبَسْنَهَا

“Pada saat turun ayat, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” dst, maka keluarlah para wanita dari kalangan Anshar dengan tenang, seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak, dan ada di atas mereka adalah pakaian hitam yang mereka kenakan”.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata,

رَحِمَ اللهُ تَعَالَى نِسآءَ اْلأَنْصَارِ, لما نزلت (يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ……) الآية, شققن مروطهن, فاعتجرن بها, فصلّين خلف رسول الله صلّى الله عليه وسلم كأنما على رؤوسهن الغربان

 “Semoga Allah Ta’ala merahmati para wanita kalangan Anshar, karena pada saat turun ayat,”Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu….” dst, mereka menyobek pakaian mantel mereka dan menutupi muka mereka dengannya. Lalu, mereka shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (dengan khusyu’ dan tenang), seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata,

يرحم الله نسآء المهاجرات الأول, لما أنزل الله: (وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ) شققن مروطهن فاختمرن بها

Mudah-mudahan Allah merahmati para wanita generasi pertama yang hijrah ke Medinah, mengingat ketika Allah menurunkan ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka.”(QS. an-Nûr:31), maka mereka menyobek pakaian mantel mereka, lalu menjadikannya kerudung.

Arti harfiah lafazh al-‘itijâr adalah al-ikhtimâr. Maka, arti kalimat “‘itajarna bihâ” yang ada di dalam hadis Aisyah radhiallahu ‘anha di atas adalah “ikhtamarna bihâ”, yang juga berarti “ghaththaina wujûhahunna”; yaitu: mereka menutupi muka mereka.

Diriwayatkan dari Ummu Athiyah radhiallahu ‘anha, ia berkata,

 أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلّم أن نخرجهن في الفطر والأضحى؛ العواتق, والحيض, وذوات الخدور, أما الحيض فيعتزلن الصلاة ويشهدن الخير ودعوة  المسلمين. قلت: يا رسول الله! إحدانا لايكون لها جلباب؟ قال: لتلبسها أختها من جلبابها

 “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyuruh kami, agar pada hari raya iedul fitri dan iedul adha, mengajak keluar para gadis (yang belum kawin), wanita yang sedang haid dan yang berdiam diri dalam rumah. Adapun para wanita yang sedang haid, mereka tidak usah melakukan shalat dan cukup berpartisipasi dalam kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab? Beliau menjawab, “Hendaknya saudara perempuannya memakaikan dari jilbabnya kepadanya”. Kedudukan hadis ini sahih menurut kesepakatan ulama ahli hadits.

Hadis ini sangat jelas menyatakan larangan bagi seorang wanita menampakkan dirinya di depan laki-laki lain, tanpa mengenakan jilbab. Wallâhu a’lam

Aspek keempat, di dalam ayat hijab di atas terdapat qarînah nashshiyah atau petunjuk tekstual, yang menyatakan makna jilbab, serta respons cepat para wanita dari kalangan Anshar dan Muhajirin, yang segera menutupi muka, dengan menjulurkan jilbab mereka ke arah muka-muka mereka. Petunjuk tersebut adalah, bahwa di dalam firman Allah Ta’ala, “katakanlah kepada istri-istrimu“ itu, tersirat kewajiban untuk memberi hijab dan menutupi muka istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan, hal itu tidak ada seorang pun di antara kaum muslimin yang menentang atau memperdebatkannya. Di dalam ayat hijab ini, disebutkan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta anak-anak perempuannya dan para wanita yang beriman. Hal ini secara jelas menunjukkan kewajiban bagi seluruh wanita yang beriman, agar menutupi muka-muka mereka, dengan cara mengulurkan jilbab.

Aspek kelima, penetapan alasan, dengan pernyataan “yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”, kembali kepada tindakan wanita tersebut untuk mengulurkan jilbab mereka, di mana itu dipahami dari lafazh “yudnîna” (menjulurkan), yang terdapat dalam ayat hijab ini. Secara prioritas, ini menetapkan kewajiban menutup muka, karena menutup muka adalah sebagai tanda untuk mengenali para wanita ‘afîfât (yang suci). Sehingga, dengan demikian, mereka pun tidak diganggu dan disakiti.

Ayat ini dengan tegas memerintahkan wanita untuk menutup mukanya. Hal itu dikarenakan wanita yang menutupi mukanya, tidak mungkin ada laki-laki usil yang berusaha menjahilinya, dengan menyingkap bagian lain tubuhnya maupun aurat utamanya. Dengan demikian, ketika seorang wanita membuka penutup mukanya, maka yang demikian itu, akan memicu orang-orang bodoh untuk berbuat usil kepadanya. Maka, penetapan alasan dalam ayat ini, menunjukkan kewajiban bagi para wanita yang beriman untuk menutup seluruh tubuh beserta perhiasan yang dipakainya dengan jilbab. Hal itu tiada lain, agar mereka diketahui memiliki ‘iffah (kesucian diri), jauh dan terjaga dari pengaruh orang-orang jahat dan mencurigakan. Juga, agar mereka tidak terfitnah, dan tidak menimbulkan fitnah bagi yang lainnya. Sehingga, dengan demikian, mereka tidak akan diganggu dan disakiti.

Sangat dimaklumi, jika seorang wanita dalam keadaan sangat tertutup rapat, maka tidak seorang pun yang dalam hatinya terdapat penyakit, berani menjahilinya, dan ia pun terhindar dari pandangan-pandangan mata yang khianat. Berbeda dengan seorang wanita yang membuka auratnya, yang mengumbar wajahnya, maka tentunya, ia dengan penampilannya itu akan menggugah birahi laki-laki manapun yang memandangnya.

Ketahuilah, bahwa menutup dengan memakai jilbab, yaitu: menutupi para wanita ‘afîfât (yang suci); konsekwensinya, bahwa jilbab tersebut harus dipakai di atas kepala, bukan di atas kedua pundak. Juga, agar pada kain jilbab atau ‘abâ’ah itu tidak terdapat hiasan, atau bahkan diberi motif-motif maupun bordiran. Serta, jilbab tersebut harus tidak mengundang orang lain untuk memandangnya. Jika ternyata tidak demikian, maka jilbab tersebut dinyatakan tidak sesuai dengan maksud syariat, yaitu: menyembunyikan dan menutupi tubuh wanita beserta perhiasan yang dipakainya, dari penglihatan laki-laki yang bukan mahromnya.

Seorang wanita muslimah seharusnya tidak tertipu, atau terpedaya dengan para wanita tomboi (yang menyerupai laki-laki), yang lebih asyik bergelut dengan kaum laki-laki dan berusaha mencari perhatian orang lain, yang dengan penampilannya, memproklamirkan sebagai para pesolek dan pengumbar aurat, dan membelot dari garis wanita yang semestinya; yaitu: wanita yang seharusnya menjadi lentera bagi rumah tangga yang suci, yang bertakwa dan yang mulia. Semoga Allah Ta’ala meneguhkan bagi para wanita yang beriman, untuk tetap mempunyai kesucian dan semua hal yang mengantarkan kepadanya. Amîn.

 

Sumber : حراسة الفضيلة, syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaed , semoga Alloh merahmatinya.

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet

About Author

Continue Reading
1 Comment

1 Comment

  1. motan

    16/06/2018 at 15:27

    apakah benar yang dimaksud dalam ayt (QS. al-
    Ahzâb:59) mengnai jilbab adalh jilbab yg skarng kita kthui mnutupi kpala sampai d lher dn dada ?
    ataukah ayt trsbut malah mngatakn bahwa kita harus mmkai pakaian yg mnutupi dada dn kmaluan. bukan mnutpi kpala.
    apakah ada ayat alquran yg mngatakan harus mntupi kepala dn leher. kalau ada, mhon ntuk jlaskan kpda saya. krna sy ingn blajar.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Berbagai Kesalahan Orang Berpuasa Bagian – 2

Published

on

By

Alhamdulillah. Pada bagian pertama tulisan ini, telah disebutkan beberapa kesalahan orang yang berpusa, yaitu,

 

1-Tetap Makan Sahur Sampai Mendengar Lafazh Adzan : Hayya ‘Alash Shalah

2-Makan Sahur Lebih Awal

3-Sengaja Minum Saat Adzan Subuh

 

Berikut ini adalah beberapa kesalahan yang lainnya, yaitu,

 

4-Memajukan Waktu Adzan Subuh

 

Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah adzan Subuh beberapa saat sebelum waktunya yang dilakukan sebagian muadzin. Mereka menganggap bahwa itu merupakan bentuk kehati-hatian dalam beribadah. Perbuatan mereka ini sangat buruk. Mereka tidak berhak mendapatkan citra baik yang diberikan oleh Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kepada muadzin, dengan sabda beliau,

اَلْمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ

“Muadzin itu dipercaya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-)

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar-رَحِمَهُ اللهُ-mengatakan, “Di antara bid’ah munkar yang diada-adakan pada zaman sekarang adalah mengumandangkan adzan kedua sebelum terbit fajar sekitar 1/3 jam dalam bulan Ramadhan. Demikian juga, mematikan lampu-lampu sebagai tanda larangan makan dan minum bagi siapa saja yang ingin berpuasa. Orang yang mengadakan bid’ah itu mengklaim bahwa itu untuk kehati-hatian dalam beribadah, dan hanya segelintir orang yang tahu hal itu. Perbuatan itu telah menyeret mereka untuk tidak mengumandangkan adzan kecuali beberapa menit setelah matahari terbenam untuk memantapkan waktu. Dengan keyakinan itu, mereka telah mengakhirkan buka puasa dan menyegerakan makan sahur. Mereka telah menyelisihi sunnah. Karena itu, kebaikan mereka hanya sedikit, sedangkan keburukan mereka bertambah banyak. Hanya kepada Allah kita meminta pertolongan.’ [1]

 

Disamping menyelisihi sunnah, memajukan waktu adzan juga menyebabkan seorang muslim terhalang untuk makan yang pada dasarnya itu masih dibolehkan oleh Allah baginya. Akibatnya, shalat sunnah qabliyah dikerjakan sebelum waktunya.

 

5- Merasa berdosa karena lupa Makan dan Minum Saat Berpuasa

 

Sebagian orang terkadang merasa berdosa sekali bila mengingat dirinya telah makan atau minum saat puasa karena faktor lupa. Ia bahkan merasa ragu terhadap keabsahan puasanya. Untuk masalah seperti ini dan semisalnya, perlu dikatakan, bahwa tidak ada dosa seberat biji sawi pun, dan puasa tersebut tetap sah, insya Allah. Hendaklah puasa tersebut tetap disempurnakan. Inilah perdapat yang benar. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وسَقَاهُ

 

“Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. al-Bukhari) [2]   

 

Dalam hal ini, tidak ada bedanya apakah makanan dan minuman itu sedikit atau banyak.

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar-رَحِمَهُ اللهُ-mengatakan, “Hadis tersebut mengandung makna kelembutan Allah kepada para hamba-Nya dan bentuk kemudahan bagi mereka, serta diangkatnya kesukaran dan kesempitan dari mereka.” [3]

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin -رَحِمَهُ اللهُ-ketika menjawab pertanyaan terkait masalah ini mengatakan, ‘Siapa saja yang makan atau minum saat berpuasa karena lupa, maka puasanya tetap sah. Akan tetapi, bila ia teringat, maka ia harus berhenti dan mengeluarkan makanan atau minuman yang ada di mulutnya.

 

Adapun, dalil sempurnanya puasa tapi sudah terlanjur makan karena lupa adalah hadis shahih yang disabakan oleh Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan diriwayatkan Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- :  “Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. Muslim)

 

Karena, lupa itu tidak menyebabkan seseorang dihukum karena mengerjakan perbuatan terlarang. Ini berdasarkan firman Allah yang menyebutkan orang yang meminta ampun akibat lupa,

 

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا [البقرة : 286]

 

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami khilaf.” (al-Baqarah : 286)

Allah pun menjawab, ‘Telah Aku ampuni.”

 

6-Tidak mengingatkan Orang lain yang Makan dan Minum karena lupa

 

Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah sebagian orang membiarkan orang lain makan dan minum karena lupa hingga ia menyelesaikannya. Orang yang mengetahui hal itu beranggapan bila orang yang lupa itu diingatkan, maka ia akan terhalang mendapatkan rezeki dari Allah. Orang tersebut tidak sadar kalau sikapnya itu merupakan sebuah kemunkaran dan menyetujui kemungkaran dengan kebodohannya itu.

 

Di sini, kami akan menyampaikan fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz yang berkaitan dengan permasalahan ini. Ada orang yang bertanya, “Sebagian orang mengatakan, ‘Bila Anda melihat seorang muslim berpuasa, lalu makan atau minum pada siang hari bulan Ramadhan karena lupa, maka Anda tidak semestinya mengingatkannya. Sebab, Allah telah memberinya makan dan minum sebagaimana disebutkan dalam hadis. Apakah tindakan ini benar ? Berilah kami fatwa, semoga Anda dibalas pahala.”

 

Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Siapa pun yang melihat orang berpuasa yang minum atau makan, atau menelan apa saja pada siang hari bulan Ramadhan, maka ia wajib mengingkarinya. Sebab, memperlihatkan makan dan minum pada siang hari bulan puasa adalah bentuk kemungkaran, meskipun pelakunya mempunyai alasan dalam perkara itu. Tujuannya, agar orang-orang tidak akan berani terang-terangan melanggar larangan Allah, dengan makan dan minum pada siang hari bulan puasa dengan alasan lupa.

Bila pelakunya memang jujur dalam hal klaim kelupaannya itu, maka ia tidak mengganti (mengqodha’) puasanya itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi –ضَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -, “Bila salah seorang dari kalian lupa, sehigga ia pun makan dan minum, maka hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (Muttafaq ‘Alaih)   

 

Pun demikian dengan musafir (orang yang tengah dalam perjalanan jauh), ia tidak boleh menampakkan makan dan minumnya di hadapan orang-orang yang tidak bepergian karena mereka tidak mengetahui statusnya. Ia harus mencari tempat tertutup supaya tidak dituduh melanggar larangan Allah, juga agar orang lain tidak berani berbuat serupa.

 

Orang-orang kafir juga sama, mereka dilarang memperlihatkan makan, minum dan semisalnya di hadapan kaum muslimin. Celah penyepelean ini harus ditutup rapat. Sebab, mereka dilarang menampakkan syi’ar agama mereka yang batil di hadapan kaum Muslimin. Hanya Allah sebagai pelindung dan pemberi taufiq. [4]

 

Kami sampaikan juga fatwa Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin terkait masalah ini. Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang hukum makan dan minum karena lupa, apakah orang yang melihat pelakunya wajib mengingatkan puasanya ?

 

Beliau menjawab, “Siapa saja yang makan atau minum saat berpuasa karena lupa, maka puasanya tetap sah. Akan tetapi, bila ia teringat, maka ia harus berhenti dan mengeluarkan makanan atau minuman yang ada di mulutnya. Adapun dalil yang menunjukkan kesempurnaan puasa karena lupa makan adalah hadis shahih yang disabdakan Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-dan diriwayatkan Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ‘Barangsiapa terlupa sedang ia berpuasa sehingga terlanjur makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnkan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.’ (HR. Muslim)

 

Karena, lupa itu tidak menyebabkan seseorang dihukum karena mengerjakan perbuatan terlarang. Ini berdasarkan firman Allah yang menyebutkan orang yang meminta ampun akibat lupa, ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami khilaf.” (al-Baqarah : 286). Allah pun menjawab, ‘Telah Aku ampuni.’

 

Adapun orang yang melihat orang makan dan minum saat berpuasa karena lupa, maka ia wajib mengingatkannya. Karena, ini termasuk mengubah kemungkaran. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

 

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ

 

Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka hendaklah ia  mengubah dengan tangannya. Bila tidak mampu, maka hendaklah mengubah dengan lisannya. Bila tidak mampu, maka dengan hatinya.” (HR. Muslim)

 

Tidak diragukan lagi bahwa tindakan makan dan minum yang dilakukan oleh orang yang berpuasa adalah bentuk kemunkaran. Akan tetapi, pelakunya dimaafkan bila dalam kondisi lupa karena memang tidak ada sangsi hukuman baginya. Adapun, orang yang melihat perbuatan itu, maka tidak ada alasan baginya untuk tidak mengingkarinya.’ [5]

 

Berkaitan dengan masalah ini, Syaikh Ibnu Jibrin mengatakan, ‘Ada sebagian orang yang mengatakan, ‘Kami tidak akan mengingatkan orang yang lupa. Kami tidak akan menghentikan rezeki makanan dan minuman yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya.’ Yang benar, orang yang melihat hendaknya mengingatkannya, karena itu wajib hukumnya dan termasuk bentuk amar makruf nahi munkar. Hal yang sama juga berlaku, ketika seseorang melakukan sesuatu yang bisa membatalkan puasa selain makan dan minum karena dianalogikan dengan kedua hal tersebut.” [6]

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Mukhalafat Ramadhan, Abdul Aziz bin Muhammad As-Sadhan, ei, hal. 47-52

 

Catatan :

[1] Fathul Bari, 4/199.

[2] Ibid, 4/155

[3] Ibid, 4/158

[4] Majalah Ad-Da’wah. Edisi : 1186, 30 Sya’ban 1409 H.

[5] Fatawash Shiyam, karya Syaikh Ibnu Jibrin dan Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 27-28

[6] Dinukil dari penjelasan Syaikh Jibrin dalam ulasan singkat tentang buku Manarus Sabil pada 10 Rabi’ul Awal 1406 H.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Bagaimana Cara Puasa Mewujudkan Takwa?

Published

on

By

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  [البقرة : 183]

 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

(al-Baqarah : 183)

**

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-memerintahkan dan mendorong berpuasa karena puasa menjadikan kita menjaga diri. Pertanyaannya, menjaga diri dari apa ?

 

Sebelum menjawab pertanyaan ini, tentu akan bermanfaat apabila kita merujuk kepada asal-usul kata takwa itu sendiri, karena takwa itu berasal dari kata ittiqa, yang berarti menangkal gangguan dari diri. Kita menemukan, bahwa makna kata ini berporos pada perilaku yang didorong oleh rasa takut. Dan, perilaku ini akan melindungi seseorang dari apa yang ia takuti.

 

Dengan demikian, makna takwa adalah menjadikan pelindung antara diri Anda dan sesuatu yang Anda takutkan. Anda takut kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-karena Anda beriman kepada-Nya, dan beriman kepada keluhuran dan kuasa-Nya. Dan dengan berpuasa, Anda menjadikan suatu perlindungan antara diri Anda dan siksa Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Selain itu, Anda takut kepada neraka, karena neraka itu benar adanya. Dan dengan berpuasa, Anda menjadikan suatu perlindungan antara diri Anda dan adzab neraka.

 

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ سَلَّمَ-bersabda,

 

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

 

“Siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, Allah menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh (perjalanan) tujuh puluh tahun.” (Muttafaqun ‘Alaih)

 

“Takwa adalah asas keselamatan dan penjaga yang tidak pernah tidur, yang meraih tangan seseorang ketika terjatuh.” (Ibnul Jauzi)

 

Bagaimana Cara Puasa Mewujudkan Takwa ?

 

Salah satu tuntutan puasa dalam Islam adalah seorang muslim yang berpuasa menahan diri dari keinginan-keinginan tubuh yang mendesak dan juga kebutuhan-kebutuhan utamanya, serta mencegah jiwa dari apa yang diinginkannya, bukannya demi meraih manfaat materi di baliknya. Akan tetapi, seorang muslim berpuasa karena menjalankan perintah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, dan demi mendekatkan diri kepada-Nya. Ini termasuk salah satu manfaat takwa, yaitu kita mengerjakan apa yang Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-perintahkan kepada kita, baik akal bisa menerimanya atau pun tidak, baik jiwa mengetahui rahasia pemberlakuan syariat puasa atau pun tidak.

 

Betapa banyaknya orang yang terhalang dari kebaikan, mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram disebabkan karena menggunakan akal terlalu berlebihan, dan menyatakan bahwa perintah-perintah ilahi tidak sesuai dengan akal mereka yang tidak laku dan rusak, selain juga mereka tidak bisa membedakan antara alasan dan hikmah pemberlakuan syariat.

 

“Tetaplah bertakwa dalam segala kondisi, karena di dalam kesempitan, yang engkau lihat hanyalah kelapangan ; dan ketika sakit, yang engkau lihat adalah kesehatan.” (Ibnul Jauzi)

 

**

Ibadah adalah Jalan Kita Menuju Takwa

 

Seorang hamba tidaklah meraih takwa, kecuali dengan konsisten menjalankan ketaatan, melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan berbekal diri dengan amalan-amalan nafilah (sunnah), karena keinginan untuk mencapai takwa dan mencapai derajat orang-orang yang bertakwa itu mendorong seorang muslim untuk mencurahkan tenaganya secara lebih dan menjalankan berbagai macam ibadah agar jiwa tidak  bosan dan jemu. Selain juga akan mendorongnya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah-ibadah sesuai dengan aturan-aturan syar’inya.

 

Inilah yang kita temukan di bulan Ramadhan, bulan puasa, karena banyak di antara kaum Muslimin yang mungkin hanya melaksanakan qiyamullail di bulan Ramadhan saja. Dan di bulan Ramadhan pula, ia bersungguh-sungguh mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak sekali atau berkali-kali, mengulurkan tangan untuk bersedekah, dan amalan-amal ibadah lainnya.

 

Seperti itulah ibadah demi ibadah dilakukan secara berturut-turut, di mana seorang muslim bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan waktu dan tenaganya, sesuai dengan tingkat ekonominya ; kaya atau miskinnya, dan sesuai dengan kondisi sehat atau sakitnya, demi mengharap menjadi orang yang bertakwa, karena takwa itu mendorong untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah, serta melaksanakan ragam ibadah.

**

“Ketika jiwamu condong kepada syahwat, maka kekanglah ia dengan tali kekang takwa.” (Ibnul Jauzi)

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.33, 34 dan 36.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Jangan Sampai Puasa Tidak Berpahala Karena Lidah Masih Terus Bermaksiat

Published

on

Ibadah Puasa memiliki pahala yang sangat besar di sisi Allah Ta’ala, terlebih Puasa Ramadhan, karena hukumnya wajib, dan amalan wajib lebih berpahala daripada yang sunnah, dan yang wajib tidak boleh ditinggalkan, jika tertinggal maka harus diganti (qadha).

Namun dalam pelaksanaannya, menunaikan ibadah puasa ramadhan bukan hanya dengan tidak melakukan pembatalnya, seperti makan/minum dan berhubungan badan, dll.

Namun dalam berpuasa, seseorang juga harus menahan dirinya dari maksiat-maksiat lainnya meski itu tidak membatalkan dan puasanya tetap sah.

Dan diantara maksiat-maksiat itu adalah dosa-dosa lisan, seperti berbohong, menghina, menghibah dan lain sebagainya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

 

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan dari mengerjakannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari)

 

Dan beliau bersabda:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

 

“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia  dan perkataan tidak sopan. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau mengganggumu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim)

 

Jadi, tujuan dari puasa itu adalah mendidik seseorang untuk menjadi lebih baik dengan mampu menahan seluruh hawa nafsunya, bukan hanya sekedar kuat tidak makan dan minum seharian.

 

Maka, raihlah di bulan ramadhan ini pahala sebanyak-banyaknya dan raihlah ampunan Allah Ta’ala.

Dan jadikan ramadhan ini momen untuk berubah, karena mungkin berubah menjadi baik pada bulan-bulan sebelumnya sulit, sedangkan pada bulan ini lebih mudah karena kondisi yang mendukung, yaitu ketika semua orang berusaha menahan dirinya dan memperbanyak ibadahnya serentak dalam satu waktu.

 

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menaungi kita semua dengan taufik dan hidayah-Nya.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending