baru
Benarkah Masih Boleh Melanjutkan Sahur Ketika Azan Sudah Berkumandang?
Puasa adalah ibadah yang agung, dan merupakan salah satu dari rukun Islam. Maka dalam pelaksanaannya, seorang muslim wajib mengikuti ketentuan yang ada, salah satunya adalah definisi dari puasa itu sendiri yang menyebutkan batas waktu dari mulai hingga akhirnya, yaitu menahan lapar, haus dan seluruh hal-hal yang membatalkan seperti senggama, dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.
Dan terbitnya fajar ditandai dengan Azan Subuh, dan tenggelamnya dengan Azan Maghrib.
Namun patut disayangkan, ada kesalahpahaman yang terus tersebar di tengah kaum muslimin tiap kali Ramadhan tiba, yaitu anggapan bahwa masih dibolehkannya meneruskan sahur atau memakan makanan/minuman yang ada di tangan atau di mulut meski azan sudah berkumandang, yaitu mereka mendasarkan pada dalil:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ)) رواه أحمد وصححه الألباني.
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika salah seorang dari kalian telah mendengar adzan sementara piring masih ada di tangannya, maka janganlah meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya”. (HR. Ahmad, dan disahihkan Al Albani)
Dalil ini memang derajat haditsnya sahih, namun pendalilannya yang keliru.
lafaz azan/nida’ dalam hadits di atas bukan dimaksudkan sebagai azan subuh pada bulan Ramadhan. namun azan secara umum di luar bulan puasa, yaitu misalnya seseorang sedang makan, misalnya makan makan malam, kemudian dia mendengar azan Isya, maka tidak mengapa dia tidak bergegas untuk menuju masjid sampai dia menyelesaikan makannya. Dan inilah yang dimaksudkan oleh Nabi ﷺ, berdasarkan haditsnya:
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).” (HR. Muslim)
Atau jika pun ingin tetap memaknai bahwa azan yang dimaksud adalah azan subuh, maka itu adalah azan pertama yang dikumandangkan oleh Bilal, sebagai tanda bahwa waktu shalat subuh sudah dekat. Karena perlu diketahui, bahwa Azan Subuh itu sejatinya dua kali, pertama azan Bilal untuk membangunkan orang-orang, kedua Azan Ibnu Ummi Maktum sebagai azan shalat subuh.
Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu‘anhum bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
((إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ)) رواه البخاري ومسلم
“Sungguh Bilal mengumandangkan adzan di tengah malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan”. (HR. Bukhori dan Muslim)
Jadi, kesimpulan bahwa masih bolehnya makan ketika azan subuh sudah berkumandang adalah kesimpulan yang keliru karena tidak berdasar, hanya melihat dari sisi tekstual satu hadits itu saja, tanpa memperhatikan maknanya pada hadits-hadits lain.
Dan kesalahpahaman akan kesimpulan hadits ini sejatinya jelas bersebrangan dengan Ijma’ Ulama akan defenisi puasa yang sudah disebutkan di atas, yang mana bersandarkan ayat Allah ﷻ:
((وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ)) البقرة/187
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. (QS. Al Baqarah: 187)
Dan yang terakhir, mungkin sebagian masih juga bertahan dengan kesalahpahamannya dengan berdalil hadits keutamaan mengakhirkan sahur, yaitu riwayat:
زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ ذَلِكَ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
Dari Zaid bin Tsabit dia berkata, kami pernah sahur bersama Rasulullah ﷺ, kemudian kami shalat berjama’ah. Anas berkata, saya bertanya, berapa lama jarak antara sahur dan shalat? Dia menjawab, kira-kira lima puluh ayat. (HR Tirmidzi)
Maka yang dimaksud disini adalah agar sahur tidak terlalu cepat, sehingga akan berakibat pada cepatnya pula datang rasa haus dan lapar, namun agar sahur di dekat waktu subuh, bukan mengakhirnya sahur itu maknanya sampai azan subuh pun masih boleh makan dan minum untuk menghabiskan sisa makanan.
Terakhir sebagai penutup masalah ini, simak Imam An Nawawi rahimahullah berkata di dalam Al Majmu’ (6/333):
“Kami telah menyebutkan bahwa bagi siapa saja yang sudah terbit fajar sementara di dalam mulutnya masih ada makanan, maka hendaknya dikeluarkan dan melanjutkan puasanya, jika ia menelannya setelah tahu bahwa fajar sudah terbit maka puasanya batal, hal ini tidak ada perbedaan di dalamnya”.
Semoga Allah ﷻ mengampuni kesalahan kita yang telah lalu, dan menunjukkan kita dengan taufiknya ke jalan yang lurus hingga meraih surganya.
Ditulis oleh:
Muhammad Hadrami, Lc
Alumni Fakultas Syariah LIPIA Jakarta
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
Yuk Donasi Paket Berbuka Puasa Bersama
Ramadhan 1442 H / 2021 M
TARGET 5000 PORSI
ANGGARAN 1 Porsi Rp 20.000
Salurkan Donasi Terbaik Anda Melalui
Bank Mandiri Syariah
Kode Bank 451
No Rek 711-330-720-4
A.N : Yayasan Al-Hisbah Bogor
Konfirmasi Transfer via Whatsapp : wa.me/6285798104136
Info Lebih Lanjut Klik Disini
Aqidah
Syiar Ahli Tauhid
Talbiyah merupakan syi’ar para jama’ah haji semenjak Nabi-عَلَيْهِ السَّلَامُ-berseru di tengah-tengah manusia agar menunaikan haji sebagai bentuk dari melaksanakan firman Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ [الحج : 27]
Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh (al-Hajj : 27)
Dulu, orang-orang Arab di zaman Jahiliyah, mereka berhaji dan bertalbiyah. Akan tetapi, mereka memoles haji mereka dan talbiyah mereka dengan sesuatu yang biasa mereka lakukan berupa kesyirikan terhadap Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, seraya mengatakan :
«لَيَّبْكَ اَللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ، إِلَّا شَرِيْكًا هُوَ لَكَ تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ»
Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang merupakan milik-Mu, Engkau menguasainya dan apa yang dia kuasai.
Datanglah Nabi penutup-صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ –untuk menampakkan tauhid dengan terang-terangan dan menghancurkan bangunan-bangunan kesyirikan. Beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ –bertalbiyah dengan tauhid :
«لَبَّيْكَ اَللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمًلْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ»
Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya pujian dan kenikmatan adalah milik-Mu, dan, kerajaan itu (juga milik-Mu), tidak ada sekutu bagi-Mu.
Dan dulu, manusia (yakni, sebagian kalangan sahabat Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-) , menambahkan atas talbiyah Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-namun beliau tidak mengingkari tindakan mereka tersebut selagi mereka berada di atas tauhid. Akan tetapi, beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- melazimi talbiyah yang dibacanya tersebut, tidak menambahkan redaksinya. Maka, di dalam talbiyah tersebut terdapat pentauhidan/pengesaan terhadap Allah- عَزَّ وَجَلَّ-dan penafian adanya kesyirikan terhadap-Nya. Juga, penetapan pujian, kenikmatan dan kerajaan adalah milik Allah- عَزَّ وَجَلَّ- semata tidak ada sekutu bagi-Nya.
Telah valid riwayat dari Ibnu Umar- رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-bahwa ia bertalbiyah dengan talbiyah yang dibaca Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan ia menambahkan ungkapan ini :
«لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ» رواه مسلم
«لَبَّيْكَ مَرْغُوْبًا وَمَرْهُوْبًا إِلَيْكَ، ذَا النَّعْمَاءِ وَالْفَضْلِ الْحَسَنِ» ابن أبي شيبة،
Seperti disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari.
Dan diriwayatkan dari Anas (bahwa ia menambahkan talbiyahnya dengan ungkapan :
«لَبَّيْكَ حَجًّا حَقًا تَعَبُّدًا ورقًا»
Talbiyah dimulai semenjak telah berihram dan terus berlanjut hingga seorang yang umrah melihat Ka’bah. Ketika itu, ia menghentikan talbiyah dan memulai tawaf. Sedangkan orang yang menunaikan haji, talbiyah dimulai semenjak telah berihram dan terus berlanjut hingga ia melempar Jumrah Aqabah pada hari Nahar (hari penyembelihan, tanggal 10 Dzulhijjah)
Disunnahkan mengeraskan suara untuk bertalbiyah. Karena, haji yang paling utama adalah al-‘Ajju dan ats-Tsajju. al-‘Ajju, yaitu, mengeraskan suara dengan talbiyah. Sedangkan ats-Tsajju adalah menumpahkan darah pada hari Nahar, yakni, menyembelih hadyu dan kurban (pada tanggal 10 Dzulhijjah)
Dan di dalam hadis, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
«أتاني جبريل فقال يا محمد، مُر أصحابك أن يرفعوا أصواتهم بالتلبية فإنها من شعائر الحج»
Jibril pernah mendatangiku, lalu ia mengatakan, ‘Wahai Muhammad ! Perintahkanlah sahabat-sahabat-Mu agar mereka mengeraskan suara mereka ketika bertalbiyah. Karena sesungguhnya talbiyah itu termasuk syiar haji. (HR. al-Hakim, dan dia menshahihkannya, dan adz-Dzahabi menyetujuinya.)
Dan, pengulangan talbiyah dan pengulangan lafazh ‘Labbaika’ (Aku penuhi panggilan-Mu) memberikan faedah berkelanjutannya pemenuhan panggilan, yakni, panggilan-Nya dipenuhi setelah panggilan-Nya dipenuhi. Ada yang mengatakan, kata tabliyah berasal dari kata ‘al-Luzum’ dan ‘al-Iqomah’, maknanya, ‘Aku berdiri di depan pintu-Mu, setelah (sebelumnya) aku berdiri di depan pintu-Mu dan aku penuhi panggilan-Mu berulang-ulang. Dan aku melazimi berdiri di atas ketaatan terhadap-Mu.
Dulu, para sahabat, mereka memenuhi seruan ketika Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –memanggil mereka. Maka, salah seorang di antara mereka mengatakan : لبيك رسول الله وسعديك (Aku penuhi panggilanmu ya Rasulullah…). talbiyah (memenuhi seruan) terhadap seruan Rasulullah maknanya mengikuti petunjukkannya dan sunnahnya. Adapun talbiyah (memenuhi seruan) terhadap seruan Allah adalah mentauhidkan-Nya dan mentaati-Nya. Dan, seorang muslim tak akan terlepaskan dirinya dari talbiyah dan pemenuhan seruan sampai ia berjumpa Allah- عَزَّ وَجَلَّ – , dan barang siapa suka bertemu Allah niscaya Allah suka untuk bertemu dengannya, dan para Malaikat pun memberikan kabar gembira kepadanya dengan keridhaan-Nya, maka bergembiralah !. Namun, barang siapa tidak suka untuk berjumpa Allah, niscaya Allah (pun) tidak suka berjumpa dengannya.
Dan, balasan bagi orang-orang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya adalah Surga. Allah- سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
لِلَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمُ الْحُسْنَى وَالَّذِينَ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُ لَوْ أَنَّ لَهُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ لَافْتَدَوْا بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ سُوءُ الْحِسَابِ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ [الرعد : 18]
Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan, mereka (disediakan) balasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan-Nya, sekiranya mereka memiliki semua yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak itu lagi, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu. Orang-orang itu mendapat hisab (perhitungan) yang buruk dan tempat kediaman mereka Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman (ar-Ra’d : 18)
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
At-Talbiyah Syi’ar al-Mukminin al-Muwahhidin, Dr. Jamal al-Murakibiy
baru
Tauhid Syiar Haji
Pertanyaan :
Haji merupakan salah satu bentuk ibadah dari ibadah ummat ini. Allah- سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – mewajibkannya atas para hamba-Nya dan Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengajarkannya kepada ummatnya seraya bersabda,
« خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ»
Ambilah dariku manasik-manasik kalian
Dan tujuan dari ibadah nan agung ini adalah pendeklarasian pengesaan seorang hamba kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan menegakkan dzikir, dzikrullah (mengingat dan menyebut Allah)- عَزَّ وَجَلَّ – , mempersembahkan peribadahan kepada-Nya- سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى -.
Barangkali Anda-semoga Allah menjaga Anda-, di awal perjumpaan ini, berkenan untuk berbicara melalui program acara ini, tentang beberapa tampilan pentauhidan kepada Allah- سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى -di dalam ibadah haji ?
Jawaban :
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّد وَعَلَى آلِهِ وأصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ،
Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta segenap keluarganya dan para sahabatnya semuanya.
Amma ba’du,
Sesungguhnya Allah- سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – telah mensyariatkan haji ke rumah-Nya al-Haram, ketika berfirman,
(وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْ الْعَالَمِينَ)،
Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam. (Ali Imran : 97)
Maka, berhaji ke Baitullah setiap tahun merupakan fardhu kifayah ; haruslah baitullah dikunjungi setiap tahun. Maka, bila ada orang yang cukup melakukannya, gugurlah dosa dari orang-orang yang lainnya. Adapun terkait dengan masing-masing individu, sesungguhnya Allah- سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – mewajibkannya satu kali seumur hidup atas orang yang mampu. Allah- سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – berfirman,
(وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً)
Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.
Dan, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
« أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا »
Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian berhaji. Maka, berhajilah kalian.
(Mendengar sabda beliau ini) maka berkatalah seorang lelaki, ‘Ya Rasulullah ! Apakah setiap tahun ?
Namun, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-diam (tidak menjawab pertanyaan lelaki tersebut). Kemudian, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,
« أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا »
Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian berhaji. Maka, berhajilah kalian.
Lalu, berkatalah kembali lelaki tersebut, ‘Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah ?
Namun, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-diam (tidak menjawab pertanyaan lelaki tersebut). Kemudian, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,
« أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا »
Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian berhaji. Maka, berhajilah kalian.
Berkatalah kembali lelaki itu, ‘‘Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah ? ‘ maka, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-menjawab,
لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ
Seandainya aku katakan ‘Iya’, niscaya wajib (setiap tahun), sedangkan kalian tidak mampu melakukannya.
Jadi, haji (merupakan kewajiban) sekali seumur hidup atas orang yang mampu, karena haji itu dilakukan dari tempat yang jauh. Untuk melakukannya terdapat beban dan kerepotan. Dan haji termasuk jihad di jalan Allah- سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – . Dan termasuk karunia dan kemudahan yang diberikan oleh Allah- سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – adalah menjadikannya sekali dalam seumur hidup atas orang yang mampu. Ini terkait kewajiban secara individu. Adapun terkait dengan kewajiban atas seluruh kaum Muslimin maka haji wajib ditunaikan setiap tahun.
(وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً)
Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.
Dan (yang dimaksud dengan) mampu mengadakan perjalanan ke sana, yaitu, adanya bekal dan kendaraan yang layak bagi seseorang yang mencukupinya untuk pergi dan kembali, dan cukup pula di belakangnya bagi orang-orang dibawah tanggungannya, disertai dengan keaman jalan. Maka, bila syarat-syarat ini terpenuhi wajiblah atas seorang muslim untuk menunaikan haji sekali dalam seumur hidup. Adapun melakukannya lebih dari satu kali, maka hal tersebut merupakan sunnah. Beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
« تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ؛ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ»
Tunaikanlah haji dan umrah silih berganti. Karena sesungguhnya keduanya akan dapat menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa, sebagaimana halnya alat tiup pandai besi dapat menghilangkan karat besi, emas dan perak.
Beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-juga bersabda,
« مَنْ أَتَى هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ».
Barang siapa mendatangi rumah ini, sedangkan ia tidak berbuat rafats dan tidak pula berbuat kefasikan/kemaksiatan, niscaya ia kembali dalam keadaan seperti keadaan ia dilahirkan oleh ibunya.
Dan tidak diragukan bahwa syi’ar haji ; syi’ar seorang yang tengah ihram adalah bertalbiyah dengan (ungkapan yang mengandung) pentauhidan (pengesaan) terhadap Allah- سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى -,
« لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ»
Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu.
Maka, pentauhidan/pengesaan kepada Allah- عَزَّ وَجَلَّ – dinyatakan atau dideklarasikan, sebagaimana Allah – جَلَّ وَعَلاَ –berfirman,
(وَإِذْ بَوَّأْنَا لإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهِّرْ بَيْتِي لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ)
Dan (ingatlah), ketika Kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), “Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan apa pun dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, dan orang yang beribadah dan orang yang rukuk dan sujud. (al-Hajj : 26)
Maka, rumah ini, ia dibangun di atas tauhid ; dan mengesakan Allah – جَلَّ وَعَلاَ – dengan ibadah, wajib disucikan dari kesyirikan, dari kebid’ahan, dan perkara-perkara baru yang diada-adakan, dan disiapkan untuk kaum Muslimin. Di zaman kita, Allah telah menyiapkan untuk rumah ini pemerintahan yang terbimbing yang mengurusi perkara orang-orang yang menunaikan haji dan umrah. Dan pemerintah telah mediakan berbagai macam fasilitas. Ini tentunya termasuk karunia Allah – سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – kepada kita dan kepada manusia semuanya. Ini merupakan kenikmatan yang besar yang Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berikan kepada Negeri yang diberkahi ini. Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-memudahkan Negeri ini dan Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-menundukkan untuk Negeri ini sesuatu yang dengannya Negeri ini dapat menegakkan rukun yang agung dari rukun-rukun Islam dan menjamin keamanan bagi para jamaah haji. Memberikan kepada mereka berbagai bentuk rizki. Memberikan kepada mereka kenyamanan. Kesemuanya ini merupakan bagian dari kemudahan yang Allah- عَزَّ وَجَلَّ – berikan kepada masyarakat muslim yang datang ke negeri ini. Sebagaimana Allah – عَزَّ وَجَلَّ – berfirman,
(أَوَلَمْ نُمَكِّنْ لَهُمْ حَرَماً آمِناً يُجْبَى إِلَيْهِ ثَمَرَاتُ كُلِّ شَيْءٍ رِزْقًا مِنْ لَدُنَّا)
Bukankah Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam tanah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) sebagai rezki (bagimu) dari sisi Kami ? (al-Qashash : 57)
Dan Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا [آل عمران : 97]
Barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. (Ali Imran : 97)
Yakni, ia merasa aman dan Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-memudahkan orang untuk memberikan keamanan terhadap para jamaah haji dan orang-orang yang menunaikan umrah. Segala puji hanya bagi Allah.
Dan pada setiap masa Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-memudahkan untuk rumah ini orang yang akan mengurusinya dan mengurusi urusan pada jamaah haji dan orang-orang yang menunaikan umrah. Ini termasuk karunia Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-dan kemudahan dari-Nya.
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Mazhahir at-Tauhid Fi al-Hajj, Syaikh Shaleh bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan-حَفِظَهُ اللهُ-.
Aqidah
Hukum Seputar 10 Hari Dzulhijjah dan Hari-hari Tasyri’
Soal :
Dari saudari pendengar dengan inisial A. A. S. dari kota Jedah, menyampaikan surat yang berisikan suatu masalah, ia mengatan :
Aku pernah mendengar dari seorang guru agama di sekolahku bahwa termasuk disunnahkan puasa pada sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah dan bahwa amal shaleh pada sepuluh hari ini merupakan amal yang paling dicintai oleh Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Bilamana hal ini benar, padahal dimaklumi bahwa hari kesepuluh dari bulan Dzulhijjah yang jatuh setelah hari Arafah dan hari setelahnya yang merupakan awal hari-hari Tasyriq merupakan hari raya bagi kaum Muslimin, bagi para Jamaah haji dan yang lainnya. Dan termasuk hal yang saya ketahui bahwasanya tidak boleh berpuasa pada hari-hari ied. Maka, apa penjelasan Anda tentang hal tersebut. Jika diharamkan puasanya sementara ia termasuk sepuluh hari pertama ?
Dan apa ganti untuk hari kesepuluhnya jika pada hari tersebut tidak dilakukan puasa ? dan apakah bila aku berpuasa hari-hari ini wajib atasku untuk berpuasa seluruh hari-harinya ? Perlu diketahui bahwa aku berpuasa pada hari ke-6, ke-7, ke-8, ke-9 dan aku tidak berpuasa pada hari ke-10-nya. Mohon juga dijelaskan tentang jumlah hari Idul Fithri, Iedul Adha, apakah ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut ?
Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.
Jawab :
‘Sepuluh hari’ yang disebutkan, dimutlakkan maknanya ‘Sembilan hari’. Hari iednya tidak dihitung sebagai 10 hari bulan Dzulhijjah. Dikatakan, ’10 hari bulan Dzulhijjah’, yang dimaksudkan adalah ‘9 hari bulan Dzulhijjah’ yang terkait dengan puasa. Dan hari ied tidak untuk puasa, dengan kesepakatan kaum Muslimin, dengan kesepakatan para ulama. Maka, jika dikatakan puasa sepuluh hari, yakni, maknanya, sembilan hari, hari terakhir untuk berpuasa adalah tanggal 9-nya, yang merupakan hari Arafah. Puasa pada hari-hari itu disunnahkan dan merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-). Dan diriwayatkan dari Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bahwa beliau berpuasa pada hari-hari tersebut, dan beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-juga mengatakan tentang hari-hari tersebut : Sesungguhnya amal yang dilakukan pada hari-hari tersebut lebih dicintai Allah dari pada amal yang dilakukan pada sisa hari-hari yang lainnya. Beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ ، قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidak ada hari di mana amal shalih saat itu lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini, yakni, sepuluh hari ini.”
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tidak juga jihad di jalan Allah?”
Beliau menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan membawa apa pun.”
Maka, di sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah ini disunahkan untuk dzikir, takbir, membaca al-Qur’an, sedekah, termasuk pada hari kesepuluhnya.
Adapun puasa (pada hari kesepuluhnya) maka tidak dilakukan. Puasa khusus pada hari Arafah dan hari-hari sebelumnya. Karena sesungguhnya di hari Ied tidak dilakukan puasa menurut semua ulama. Akan tetapi, pada hari-hari tersebut kaitannya dengan Dzikir, Doa, dan sedekah adalah termasuk ke dalam amal yang dianjurkan untuk dilakukan pada sepuluh hari Dzulhijjah dan hari raya.
Dan hari-hari ied ada tiga, selain hari ied. Yaitu, tanggal 11, 12, 13. Jadi, jumlah seluruhnya adalah empat hari, yaitu, hari ied (tanggal 10) dan tiga hari tasyriq. Inilah pendapat yang benar menurut para ulama. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum, serta berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah azza wa jalla.
Jadi, hari-hari itu ada 4 hari untuk bulan Dzulhijjah; yaitu, hari Nahr (penyembelihan), dan tiga hari tasyriq.
Adapun terkait bulan Ramadhan, maka hari raya itu hanya satu hari saja. yaitu, hari pertama dari bulan Syawwal. Inilah dia ied. Adapun selainnya maka bukanlah ied. Seseorang boleh berpuasa pada hari kedua dari bulan Syawal. Karena, ied itu khusus pada hari pertama dalam bulan Syawal saja.
Pembawa acara :
Jazakumullahu khairan (semoga Allah memberikan balasan kepada Anda dengan kebaikan). Lalu, terkait dengan idul adha ? (bagaimana ?) Jazakumullahu khairan.
Syaikh menjawab :
Ada empat, seperti telah disebutkan, yaitu, hari ke-10, hari ke-11, hari ke-12, dan hari ke-13. Semua hari-hari ini merupakan hari-hari ied, tidak dilakukan puasa pada hari-hari tersebut. Kecuali hari-hari tasyriq bisa dilakukan puasa pada hari-hari tersebut bagi orang yang tidak mampu untuk menyembelih hadyu ; hadyu orang yang berhaji tamattu’ dan hadyu orang yang berhaji qiran. Sebagai rukhshah (keringanan) khusus bagi orang yang tidak mampu menyembelih hadyu; hadyu tamattu’ dan hadyu qiran, ia boleh berpuasa tiga hari yang merupakan hari-hari tasyriq, yaitu, hari ke-11, hari ke-12, hari ke-13, kemudian ia berpuasa tujuh hari di tempat keluarganya, di antara keluarganya. Adapun hari ied, maka tidak dilakukan puasa pada hari tersebut. Bukan karena ketidakmampuan seseorang untuk menyembelih hadyu, tidak pula karena hal yang lainnya, berdasarkan ijmak (konsensus) kaum Muslimin.
Pembawa acara :
Jazakumullahu khairan. Adapun iedul fithri, maka satu hari saja ?
Syaikh menjawab :
Ya, satu hari saja.
Pembawa acara :
Jazakumullahu khairan. Ingat ya syaikh, bahwa wanita ini (si penanya) tersebut menyebutkan bahwa ia berpuasa sebagian dari hari-hari pertama bulan Dzulhijjah, ia menyebutkan bahwa ia misalnya berpuasa hari ke-7, hari ke-8, dan hari ke-9, apa arahan Anda dalam kondisi apa yang disebutkan ini.
Syaikh berkata : Coba ulangi !
Pembawa acara :
Kita katakan bahwa si penanya berpuasa pada sebagian hari-hari dari sepuluh dari pertama bulan Dzulhijjah.
Syaikh menjawab :
Tidak mengapa. Apabila ia berpuasa hari ke-7, hari ke-8, dan hari ke-9 ; tidak mengapa. Atau pun ia berpuasa lebih banyak dari itu. Yang menjadi maksud adalah bahwa hari-hari tersebut merupakan hari-hari untuk berdzikir dan hari-hari untuk berpuasa. Maka, apabila ia berpuasa sembilan hari seluruhnya (dari tanggal 1 sampai tanggal 9-nya), maka ini baik. Dan apabila ia berpuasa sebagian hari-harinya, maka semuanya baik. Dan apabila hanya berpuasa Arafah saja (yaitu, tanggal 9) (maka tidak mengapa pula), di mana puasa hari tersebut merupakan puasa yang paling utama dari sepuluh hari pertama ini. Tentang puasa hari Arafah Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda, ‘Puasa Arafah, saya berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya.’
Hari Arafah merupakan hari nan agung. Disunnahkan puasa pada hari tersebut bagi segenap penduduk kota dan desa seluruhnya. Kecuali, bagi orang-orang yang tengah menunaikan ibadah haji. Mereka tidak berpuasa pada hari Arafah.
Begitu pula sisa hari yang lainnya, sedari hari pertama bulan Dzulhijjah sampai hari Arafah. Disunahkan puasanya sembilan hari. Akan tetapi yang paling utama adalah puasa pada hari Arafah. Puasa ini merupakan puasa sunnah. Adapun pada hari Ied, maka tidak dilakukan puasa pada hari tersebut. Baik saat tengah menunaikan ibadah haji atau pun tidak.
Orang-orang yang tengah menunaikan ibadah haji tidak berpuasa pada hari Arafah. Yang sunnah adalah orang yang tengah berhaji tidak berpuasa pada hari Arafah. Hendaknya ia berbuka sebagaimana halnya Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-berbuka pada hari Arafah.
Pembawa acara :
Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Ba’dhu Ahkam ‘Asyr Dzi al-Hijjah Wa Ayyami at-Tasyriq, Syaikh Abdul Aziz bin Bazz-رَحِمَهُ اللهُ-.
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Khutbah8 tahun ago
Waspadailah Sarana yang Mendekatkan pada Zina
-
Fatwa9 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
Fiqih Hisbah8 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Akhlak7 tahun ago
Riya & Sum’ah: Pamer Ibadah