Abdullah bin Amr meriwayatkan bahwa Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah masuk menemui Juwairiyah bint al-Harits, sementara itu Juwairiyah saat itu tengah berpuasa pada hari Jum’at. Maka beliau pun bertanya kepada Juwairiyah, “apakah engkau kemarin (yakni, hari Kamis) berpuasa” ? . Juwairiyah pun menjawab,”Tidak”. Beliau kembali bertanya, “ jika begitu apakah engkau besok (hari sabtunya) akan berpuasa juga ? Juwairiyah menjawab, “ Tidak”. Beliau bersabda, “Jika demikian, maka berbukalah” ! [1]
- Ihtisab di dalam Hadis
Dalam hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam poin berikut ini :
Pertama, berihtisab terhadap orang yang berpuasa hari Jum’at secara menyendiri.
Kedua, Kesemangatan seorang muhtasib untuk memberi nasehat, arahan dan bimbingan serta pengajaran kepada keluarganya.
Penjelasan :
- Berihtisab terhadap orang yang berpuasa hari jum’at secara menyendiri.
Hadis ini menunjukkan haramnya berpuasa hari jum’at secara menyendiri. Nabi telah memerintahkan Juwairiyah agar berbuka (membatalkan puasa yang dilakukannya) kala beliau mengetahui bahwa Juwairiyah tidak berpuasa hari sebelumnya, dan bahwa Juwairiyah tidak ingin berpuasa pada hari sabtunya. Maka, Nabi memerintahkannya untuk berbuka. Dan, perintah di sini untuk menunjukkan wajib.
Jika demikian, maka tidak boleh untuk mengkhususkan puasa pada hari Jum’at saja, hal itu karena banyak hadis yang menyebutkan secara jelas dan tegas tentang larangan hal tersebut, terlebih bahwa hari tersebut (yakni, hari Jum’at) merupakan hari raya mingguan kaum muslimin. Pada hari itu kaum muslimin berkumpul, hari itu adalah hari berhias dan ceria, pada hari tersebut kaum muslimin melakukan syiar-syiar agama dengan penuh semangat, sedangkan berpuasa pada hari tersebut akan melemahkan upaya untuk melakukan hal-hal tersebut, dan bila mana ada beberapa kemaslahatan saling bersinggungan maka yang patut untuk dikedepankan adalah maslahat yang paling bermanfaat dan paling utama yang akan kembali kepada kemaslahatan Islam yang bersifat umum.
Oleh karena itu, seorang muhtasib hendaknya mengingkari orang mengkhususkan hari Jum’at dengan berpuasa, dan memerintahkan orang yang kala itu berpuasa untuk segera membatalkan puasanya bila mana puasa yang dilakukannya tersebut secara menyendiri (yakni, tidak diiringi dengan puasa hari sebelumnya atau hari setelahnya). Karena, beberapa hadis yang terkait dengan hal itu sangat jelas dan tegas menyebutkan bahwa hal tersebut terlarang.
- Kesemangatan seorang muhtasib untuk memberi nasehat, arahan dan bimbingan serta pengajaran kepada keluarganya.
Seorang muhtasib hendaknya gemar dan bersemangat untuk memberikan nasehat kepada keluarganya, memberikan bimbingan dan arahan kepada mereka, dan memberikan pengajaran yang baik kepada mereka. Memberikan penjelasan kepada mereka tentang hukum-hukum syariat yang mereka butuhkan, memberikan kesemangatan kepada mereka untuk melakukan ketaatan dan ibadah dengan mengikuti petunjuk Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Bila mana melihat mereka melakukan perkara yang menyelisihi syariat, hendaklah ia memberikan nasehat kepada mereka, dan mengajarkan kepada mereka yang benar dan hendaknya tidak mengakhirkan pemberian penjelasan dari waktu yang dibutuhkan.
Wallahu a’lam
Penulis : Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaaemah, Abdul Wahhab bin Muhammad bin Fa-yi’ ‘Usairiy (hal.209)
[1] Diriwayatkan juga oleh imam al-Bukhari, 4/273, hadis no. 1986, dari sahabat Abu Ayyub