Berzina Dalam Keadaan Iman?

Soal :

Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Dari Suria, Ummu ‘Ala, berkata di dalam pertanyaannya berikut ini, ‘Apa yang dimaksud dengan hadis berikut ini. Nabi ﷺ bersabda

لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِينَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Tidaklah berzina orang yang berzina ketika ia berzina sementara ia dalam keadaan beriman. Dan tidaklah mencuri orang yang mencuri ketika ia mencuri sementara ia dalam keadaan beriman… Sampai akhir hadis.

Semoga Anda diberi pahala.

Jawab :

Zina dan mencuri, termasuk dosa besar. Oleh karena itu Allah mewajibkan adanya hukuman had dalam kedua kasus ini. Adapun zina, maka jika pelakunya belum menikah, maka hukuman hadnya adalah didera 100 kali deraan dan diasingkan dari negeri di mana dia melakukan perbuatan zina tersebut selama satu tahun. Adapun bila pelakunya seorang muhson yaitu dia telah menikah dan telah menggauli pasangannya dalam pernikahan yang benar, dan keduanya telah dewasa, berakal, serta merdeka, maka hukuman hadnya adalah dirajam dengan dilempari batu hingga mati. Jadi, zina dan mencuri termasuk dosa besar, dan bila mana hal tersebut termasuk dosa besar maka seorang insan tidak akan berani untuk melakukannya sementara ia ketika melakukannya dalam keadaan beriman dengan keimanan yang sempurna.

Bahkan, sesungguhnya imannya dalam keadaan tersebut atau pada saat itu bisa jadi terangkat secara menyeluruh, bisa jadi pula berkurang dengan kekurangan yang besar, maka iman itu layak untuk disifati dengan ‘ketiadaan’ karena berkurangnya iman tersebut dengan pengurangan yang sangat besar ini.

Maka, hadis ini mengandung kemungkinan ini dan ini, yakni, berkemungkinan ‘tidak adanya keimanan sama sekali’ di mana hal itu terjadi pada saat di mana ia melakukan perbuatan tersebut (zina atau mencuri) karena tidak mungkin bagi orang yang keimanan bersamanya akan berani melakukan perbuatan ini sementara dia tahu kejahatannya dan dosanya dalam agama Islam.

Bisa jadi pula yang dimaksud dengan peniadaan iman adalah ‘peniadaan kesempurnaan imannya’ tersebut pada saat itu, namun imannya tersebut berkurang dengan pengurangan yang sangat kentara sehingga layak disifati dengan ketiadaan. Kemungkinan yang terakhir inilah-menurut saya-lebih dekat kepada kebenaran yang dimaksudkan, dan makna inilah yang menjadi pendapat kalangan ahli sunnah wal jama’ah.

Adapun yang pertama (yakni, pendapat yang menyatakan ‘tidak adanya keimanan sama sekali’ saat itu) meskipun ada kemungkinan demikian, namun boleh jadi hal itu terjadi pada sebagian individu. Oleh karenanya, wajib berpegang pada pendapat bahwa yang dimaksud dengan ketiadaan iman (dalam hadis ini) adalah ternafikannya kesempurnaan iman. Sehingga makna, sabda beliau,

لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِينَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Tidaklah berzina orang yang berzina ketika ia berzina sementara ia dalam keadaan beriman. Yakni, Tidaklah berzina orang yang berzina ketika ia berzina sementara ia dalam keadaan beriman dengan keimanan yang sempurna. Tetapi, pastilah bahwa imannya berkurang karena perbuatan zinanya tersebut. Demikian pula dikatakan untuk kasus ‘seorang pencuri’.

Wallahu Alam

 

Sumber :

(Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, “Fatawa Nur ‘Ala ad-Darb”, 2/451)

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTV
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *