Fiqih
Bolehkah Melunasi Hutang dengan Uang Hasil Judi?
Saya tahu bahwa uang judi itu haram. Pertanyaanku apakah dibolehkan menggunakannya untuk melunasi hutangku dan hutang saudara-saudaraku di bank. Saya sangat menjaga agar tidak dipergunakan untuk keperluan lainnya?
Alhamdulillah
Taruhan adalah salah satu bentuk perjudian. Harta yang didapat dengan cara seperti itu adalah harta buruk dan haram. Maka harus dihilangkan dengan diberikan kepada para fakir miskin atau jalan lain dari berbagai bentuk kebaikan. Seseorang tidak dibolehkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Diharuskan bertaubat kepada Allah Ta’ala dari apa yang didapatkannya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (سورة المائدة: 90 ،91)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari -mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah: 90-91)
Dengan demikian, maka anda dibolehkan memberikannya kepada saudara anda agar dapat dimanfaatkan melunasi hutangnya atau membeli keperluannya jika mereka fakir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Kalau wanita pelacur dan pelaku judi bertaubat, sementara mereka dalam kondisi fakir, dibolehkan mempergunakan harta ini sesuai dengan kebutuhannya. Kalau dia mampu untuk berdagang atau bekerja keterampilan seperti meminang dan memintal, maka diberikan modal untuknya.” (Majmu Fatawa, 29/308) Wallahu’alam.
Sumber : www. Islamqa.com
Artikel : www.hisbah.net
Gabung Juga Menjadi Fans Kami Di Facebook Hisbah.net
Fiqih
TIMBANGAN SHALAT
Muslim meriwayatkan dalam shahihnya [1] dari Abdullah bin Mas’ud رَضِيَ اللهُ عَنْهُ dia berkata,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ
“Barang siapa ingin berbahagia bertemu dengan Allah besok pada hari Kiamat dalam keadaan Muslim, maka hendaknya dia menjaga shalat-shalat (lima waktu) di mana dikumandangkan adzan padanya (yaitu di masjid), karena sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk, dan shalat berjamaah itu termasuk sunnah-sunnah petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah seperti shalatnya orang yang tertingal (dari shalat berjamaah) ini, niscaya kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Dan jika kalian meninggalkan Sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan tersesat. Tidaklah seorang laki-laki yang bersuci lalu dia melakukannya dengan baik kemudian dia berangkat ke salah satu masjid di antara masjid-masjid yang ada melainkan Allah menulis untuknya satu kebaikan dengan setiap langkah yang dilangkahkannya dan mengangkat satu derajat dengannya serta menghapus satu keburukan dengannya. Aku telah melihat kami –para sahabat Nabi- tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah kecuali pasti dia seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya. Dan sungguh seseorang (dari kami) dipapah dan dihadirkan, sehingga akhirnya diberdirikan di shaf.”
***
Bila keadaan orang yang tidak menghadiri shalat berjma’ah di mata para sahabat adalah demikian, para sahabat menilainya sebagai orang munafik dengan kemunafikan yang nyata, lalu bagaimana dengan orang yang meninggalkan shalat ? Kami memohon keselamatan kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Sesungguhnya timbangan shalat di dalam Islam itu agung dan kedudukannya tinggi, Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mewajibkannya kepada NabiNya tanpa perantara dari atas langit ketujuh mana kala Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memi’rajkan beliau ke langit. Dalil-dalil di selain yang sudah disebutkan di atas, hadir menetapkan keutamaannya, kedudukannya yang tinggi, dan beratnya hukuman bagi siapa yang menyia-nyiakannya, tapi meskipun demikian, timbangan shalat di mata banyak orang masih dianggap sepele. Di antara mereka ada orang yang tidak pernah terlihat di masjid sama sekali di seluruh waktu-waktu shalat, padahal dia tinggal di samping masjid, dia keluar rumah untuk bekerja, namun tidak keluar dari rumahnya untuk mendirikan shalat di masjid, padahal dia mendengar adzan lima kali dalam sehari semalam. Dia berkata, “Kami mendengar dan kami durhaka.” Yang aneh dalam hal tersebut adalah bahwa orang yang tidak shalat itu tinggal bersama keluarganya yang menjaga shalat bersama kaum Muslimin, namun sayangnya mereka tidak mengingatkannya, bahkan membiarkannya di rumah seolah-olah dia tidak melakukan kemunkaran apa pun. Mereka makan bersama, minum bersama dan bergaul bersamanya. Di mana rasa cemburu dalam hal agama ? Di mana syiar amar makruf dan nahi munkar ? Kecuali orang yang menginginkan nasehat dan kebaikan untuk mereka.
Iklan
Di antara mereka ada yang meremehkan syarat-syarat shalat, rukun-rukunnya, dan wajib-wajibnya, dia tidak menunaikannya sebagaimana mestinya.
Di antara mereka ada yang meremehkan shalat bersama jama’ah, ini adalah tanda kemunafikan.
Kewajiban kita adalah menjaga ketaatan dan ibadah yang agung ini, yang merupakan rukun islam paling besar sesudah dua kalimat syahadat. Hendaknya kita mewaspadai dengan cermat jalan para pendosa yang apabila mereka diajak, “Rukuklah”, mereka tidak mau rukuk.
Hendaknya seorang hamba tidak membanggakan dirinya, takjub kepada amal dan keadaannya dan lalai dari mengagungkan Tuhan dan Penolongnya, meremehkan syiar-syiar-Nya, sehingga dia akan masuk ke dalam rombongan orang-orang yang merugi.
Dari Khalid bin Umair al-Adawi, ia berkata, Utbah bin Ghazwan berkhuthbah di depan kami, dia memuji dan menyanjung Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى kemudian berkata,
“Amma ba’du. Sesungguhnya dunia ini telah memberitahukan kefanaannya dan berpaling dengan sangat cepat, tidak tersisa dari umur dunia melainkan sedikit seperti sisa air dalam bejana yang diminum oleh pemiliknya. Sesungguhnya kalian akan pindah dari dunia menuju sebuah perkampungan yang tidak mengenal kebinasaan, maka berpindahlah kalian dengan berbekal kebaikan dari apa yang ada di hadapan kalian. Karena sesungguhnya telah diberitakan kepada kami bahwa sebuah batu dilemparkan dari pinggir Jahannam kemudian jatuh meluncur ke dalamnya selama 70 tahun namun belum sampai ke dasarnya. Demi Allah, neraka itu pasti akan diisi penuh, apakah kalian merasa takjub ? Dan telah diberitahukan kepada kami bahwa jarak antara dua pintu gerbang dari pintu-pintu gerbang surga adalah sejauh perjalanan 40 tahun. Dan suatu hari nanti ia akan penuh sesak oleh orang-orang (yang memasukinya). Sungguh aku telah menyaksikan diriku orang ketujuh dari tujuh orang yang bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, waktu itu kami tidak memiliki makanan sama sekali kecuali hanya daun-daun pohon sampai bibir kami terluka. Kemudian saya menemukan satu potong kain burdah, lalu saya membelahnya menjadi dua antara aku dan Sa’ad bin Malik, saya bersarung dengan separuhnya dan Sa’ad juga bersarung dengan separuhnya. Lalu sekarang, tidaklah masing-masing dari kami kecuali telah menjadi gubernur pada salah satu wilayah. Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى agar jangan sampai dalam pandangan diriku, aku ini besar tetapi kecil di sisi Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Sesungguhnya tidak ada satu kenabian pun kecuali ia berubah keadaannya hingga akhir perkaranya menjadi kerajaan, kalian akan mengetahui dan merasakan para pemimpin sesudah kami.” Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya. [2]
Kami memohon kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dengan nama-nama-Nya yang paling baik dan sifat-sifat-Nya yang paling luhur agar melindungi kita semua dari jalan para pendosa, membimbing kita untuk menjaga ketaatan kepada-Nya, dan menolong kita untuk menjaga shalat.
Ya Allah jadikanlah kami orang-orang yang mendirikan shalat.
Ya Allah bimbinglah kami untuk memperhatikan shalat dan mendirikannya sebagaimana yang Engkau cintai dan ridhai, wahai Dzat Pemilik keagungan dan kemuliaan.
(Amin)
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Ta’zhimu ash-Shalati, Prof.Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal.27-30.
Catatan :
[1] Shahih Muslim, no. 654
[2] Shahih Muslim, no. 2967
Fiqih
Tauhid Pondasi Keluarga
Akidah tauhid merupakan pondasi dan pilar keluarga.
Kita katakan ,iya, akidah tauhid merupakan pondasi dan pilar dalam kehidupan umat seluruhnya, dan juga dalam kehidupan setiap insan. Hal tersebut juga merupakan pondasi kehidupan keluarga.
Akidah tauhid yang jernih yang berdiri di atas pemahaman dan landasan :
لا إله إلا الله محمد رسول الله
(Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah)
jika apa yang ditunjukannya secara ilmiah dan pengamalan telah kokoh tertancap di dalam kehidupan keluarga niscaya keluaga tersebut akan mengalami perubahan keadaan yang sangat berbeda. Karena konsekuensi dari akidah ini adalah menanggalkan seluruh bentuk peribadatan kepada selain Allah, berupa kesyirikan dan berhala-berhala serta tradisi-tradisi jahiliyah, ketaatan terhadap orang-orang yang menyimpang dan orang-orang fasik dan orang-orang yang gemar melakukan dosa. Menanggalkan diri dari hal-hal tersebut dan menjadi taat kepada Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya, dan mentaati rasul-Nya-shallallahu alaihi wasallam-. Karena taat kepada belaiu merupakan ketaatan kepada Allah.
Jadi, pondasi keluarga yang harus di bangun di atasnya adalah akidah tauhid. Akan tetapi kita menyayangkan karena seringkali kita tidak membangun keluarga kita di atas pondasi ini, oleh karenanya kita banyak menjumpai banyak dari keluarga tidak memahami akidah tauhid ini …
Wahai saudaraku sekalian…
Mengapa kita mengosongkan diri dari mendidik keluarga kita di atas pemahaman akidah ini ?
Mengapa kita tidak mendidik keluarga di atas akidah yang berdiri di atas keimanan kepada Allah dan pengingkaran terhadap thaghut-thaghut?
Sesungguhnya ini, mendidik keluarga di atas pondasi ini merupakan hal mendasar. Akan tetapi, mengapa kita kurang perhatian dalam hal ini ?
Sungguh sangat lemah pangaruh akidah ini dalam jiwa kita, dan jiwa keluraga kita serta jiwa pasangan hidup kita dan anak-anak kita.
Wahai saudara-saudaraku sekalian !
Sesungguhnya ketika akidah ini diajarkan dan ditanamkan dalam keluarga dengan benar, niscaya akan menjadikan seorang ayah sebagai sang pendidik banyak mendapatkan hal yang melegakan dirinya dalam banyak hal dalam kehidupan. Misalnya, ketika keluarga dididik di atas aqidah ini, mengesakan rabbnya dengan rasa takut, tawakal dan cinta. Sehingga menjadi sebuah keluarga yang tidak takut kecuali kepada Allah, dan tidak bertawakal dalam seluruh urusannya kecuali kepada Allah. Akan tetapi, cobalah Anda menengok keluarga kita, betapa banyak persoalan yang muncul dalam keluarga, disebabkan karena sang ibu atau sang istri takut terhadap kefakiran, atau takut kepada selain Allah-subhanahu wa ta’ala-.
Ya, jika keluarga terdidik di atas pondasi aqidah tauhid, niscaya akan senantiasa bergantung kepada Allah, sehingga kehidupan akan berjalan dengan lurus. Keluarga akan tidur sementara dia merasa lega, tidak takut akan adanya ‘ain (pandangan mata jahat) kecuali dengan izin Allah. Tidak takut akan adanya gangguan jin melainkan dengan izin Allah. Tidak takut akan adanya gangguan makhluk melainkan hal itu terjadi dengan izin Allah. Maka, bila keluarga telah bergantung dengan hal ini, niscaya keluarga benar-benar menjadi keluarga yang tenang dan lapang dada.
Kemudian, setelah itu, juga akan menjauhkan keluarga dari bergantung dan berhubungan dengan hal-hal yang syirik yang akan banyak menimbulkan kegelisahan dan kerisauan jiwa. Karena, sebagian keluarga itu ketika lemah pemahamannya terhadap akidah tauhid dan konsekuensi-konsekuensinya, dan wajibnya menjauhkan diri dari kesyirikan dan segala macam dan bentuknya, mulailah terjatuh ke dalam hal-hal kesyirikan, terjatuh ke dalam berbagai bentuk ruqyah dan tamimah yang diharamkan. Tamimah-tamimah yang haram ini yang telah valid dari nabi akan terlarangnya, jika terdapat di tengah-tengah keluarga, akan mengubah keluarga menjadi keluarga yang carut marut. Maka Anda akan mendapati sang ibu selalu saja mengkhawatirkan terhadap anaknya, sehingga hal itu mendorongnya untuk mengalungkan jimat-jimat, ia takut anaknya akan terkena ‘Ain, dan boleh jadi ia mengkhayalkan bahwa anaknya sakit, sehingga ia pun dirundung stres, dan ia pun mondar mandir ke beberapa rumah sakit, ia menjadikan suaminya stres dan menjadikan keluarganya stres pula. Padahal anaknya tidak terkena apa-apa. Namun, ibunyalah yang bermasalah karena kelemahan iman dan akidahnya.
Kemudian, setelah itu, juga akan menjauhkan keluarga ini dari terjatuh ke dalam berbagai bentuk kesyirikan yang kecil dan kesyirikan yang besar, yang akan dapat menghapuskan amal, sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), tetapi Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. (An-Nisā’ [4]:48)
Wahai saudaraku sekalian …
Sesungguhnya mendidik keluarga di atas akidah tauhid ini akan menjadikan kecintaan Allah sebagai sebuah prioritas utama yang lebih dikedepankan atas kecintaan kepada selain-Nya, meskipun selain-Nya tersebut adalah suami atau istrinya.
Ketika kecintaan terhadap Allah bertolak belakang dengan kecintaan kepada istri atau suami, atau bertolak belakang dengan kecintaan kepada anak atau orang tua, maka manakah yang akan diprioritaskan oleh orang yang memiliki akidah yang jernih ? Manakah kiranya antara kedua hal ini yang akan diprioritaskan oleh orang yang telah tertanam di dalam dirinya akidah yang selamat ini ?
Namun, sungguh di antara hal yang dapat disaksikan -dan patut disayangkan- adalah bahwa pada galibnya yang terjadi di banyak keluarga adalah kecondongan cinta seorang suami atau istri tidak jarang mengantarkan seseorang kepada keburukan. Maka, boleh jadi Anda mendapatkan seorang wanita yang beriman kepada Allah, namun boleh jadi ia telah menikah dan sedemikian mencintai suaminya-terlebih ketika telah dikaruniai anak-ia lebih memprioritaskan cinta kepada suami dan anak-anak atas kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya. Bisa jadi pula, kadang Anda mendapati suami wanita ini seorang zindik, bisa jadi ia banyak melakukan penyimpangan, bisa jadi dalam bentuk mengolok-olok agama Allah, atau suaminya tersebut tidak melaksanakan shalat, atau hal-hal lainnya yang merupakan perkara yang dapat membatalkan keislaman seseorang Anda mendapati terjadi pada orang tersebut, sedangkan Anda dapati sang istrinya ini telah sedemikian menundukkan kepalanya kepada suaminya tersebut, sedangkan ia tidak menundukkan kepalanya kepada Dzat yang Esa, Dzat yang Maha Perkasa, maka ia tetap bertahan hidup di samping suaminya tersebut.
Demikian pula, seorang suami, boleh jadi di sisinya ada seorang wanita sebagai istrinya yang tidak mengerjakan shalat, namun tetap saja ia mempertahankannya di sisinya. Ia tidak mengedepankan kecintaan kepada Allah atas kecintaan kepada makhluk meskipun ia adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan dirinya.
Wahai saudaraku sekalian…!
Sesungguhnya kecintaan kepada Allah semata dan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam hal tersebut merupakan pondasi aturan keluarga, karena kesempurnaan kecintaan itu akan terwujud dengan beribadah kepada Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِ ۗ
Di antara manusia ada yang menjadikan (sesuatu) selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi-Nya) yang mereka cintai seperti mencintai Allah. (al-Baqarah : 165)
Maka, bila kecintaan kepada selain Allah lebih dikedepankan atas kecintaan kepada Allah sesungguhnya ini termasuk syirik besar. Sementara konsekwensi terbesar dari kecintaan kepada Allah adalah mentaati Allah dan mengikuti rasul-Nya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Āli ‘Imrān : 31)
Maka, kecintaan kepada Allah berkonsekuensi mendahulukan kecintaan kepada Allah dan mentaati Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam-atas ketaatan kepada makhluk meskipun ia adalah manusia yang paling dekat hubungannya dengan Anda, meskipun ia sebagai seorang ayah atau ibu, meskipun ia sebagai seorang suami atau istri, atau pun yang lainnya.
Inilah pondasi akidah tauhid. Maka, ketika akidah ini jernih dan selamat, akan menumbuh kembangkan keluarga dengan baik dan menjadi susunan yang benar.
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Aqidatu at-Tauhid Asasu al-Usrati Wa Qawamuha, Abdurrahman bin Shaleh al-Hamud, 1/6.
Bid'ah
Bulan Muharram, Antara Keutamaan dan Kebid’ahan.
Bulan Allah al-Muharam adalah bulan pertama dari bulan-bulan Hijriyah, dan merupakan satu dari empat bulan-bulan haram. Nabi-shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita beberapa hukum seputar bulan ini yang datang di dalam kitab Allah atau di dalam as-Sunnah yang suci. Dan di antara hukum-hukum yang terpenting adalah sebagai berikut :
Pertama : Keutamaan bulan Muharram
Bulan Muharram merupakan bagian dari bulan haram yang diagungkan oleh Allah azza wa jalla dan Dia menyebutkannya di dalam kitab-Nya. Seraya berfirman :
اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauhul mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa (at-Taubah : 36)
Dan Allah memuliakan bulan ini di antara bulan-bulan yang lainnya, sehingga bulan ini dinamakan dengan bulan Allah al-Muharram. Dia azza wa jalla menyandarkan bulan ini kepada diri-Nya sendiri sebagai bentuk pemuliaan terhadap bulan ini dan sebagai sebuah isyarat bahwa Dia subhanahu wa ta’ala sendiri yang mengharamkannya dan tidak seorang pun dari kalangan makhlukNya yang berhak menghalalkannya. Sebagaimana Rasulullah-shallallahu alaihi wa sallam-jelaskan akan pengharaman Allah atas bulan-bulan haram tersebut, di mana di antaranya adalah bulan Muharram, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah-semoga Allah meridhainya- dari Nabi-shallallahu alaihi wasallam-bahwa beliau bersabda,
“Sesungguhnya waktu telah berputar sebagaimana mestinya, hal itu ditetapkan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun ada dua belas bulan, diantaranya ada empat bulan yang mulia. Tiga darinya berturut-turut, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab yang biasa diagungkan Bani Mudlar yaitu antara Jumadil tsani dan Sya’ban.”[1]
Sekelompok ulama telah merajihkan pendapat bahwa Muharramlah bulan haram yang paling utama. Ibnu Rajab-semoga Allah merahmatinya- mengatakan : Para ulama berbeda pendapat tentang bulan apakah dari bulan-bulan haram yang paling mulia. Al-Hasan dan yang lainnya mengatakan : yang paling mulia adalah bulan Muharram, dan pendapat ini dirajihkan oleh sekelompok ulama muta-akhirin [2] dan menunjukkan kepada hal ini apa yang diriwayatkan oleh an-Nasai dan yang lainnya dari Abu Dzar-semoga Allah meridhainya-, ia berkata :
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-‘malam apakah yang paling baik, dan bulan apakah yang paling utama ? Beliau pun menjawab : sebaik-baik (waktu) malam adalah pertengahannya, dan bulan yang paling utama adalah bulan Allah yang kalian menyebutnya al-Muharram. [3]
Ibnu Rajab-semoga Allah merahmatinya- mengatakan : pemutlakan ungkapan beliau ‘bulan yang paling utama’ dalam hadis ini dibawa pemahamannya kepada ‘bulan setelah bulan Ramadhan’ sebagaimana dalam riwayat Hasan secara Mursal.
Di antara hukum-hukum yang terpenting terkait bulan ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Haramnya melakukan peperangan di dalamnya.
Maka, termasuk ketetapan hukum terkait bulan Allah al-Muharram adalah haramnya memulai perang pada bulan ini. Ibnu Katsir- semoga Allah merahmatinya-mengatakan : para ulama berbeda pendapat mengenai haramnya memulai peperangan pada bulan al-Haram, apakah hal tersebut mansukh (terhapus hukumnya) ataukah tetap diberlakukan ? Ada dua pendapat, pendapat pertama-dimana pendapat inilah pendapat yang paling masyhur-, bahwa hal tersebut mansukh, karena Allah berfirman di sini,
فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ
maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu)
Sementara Dia-subhanahu wa ta’ala- memerintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik.
Pendapat kedua : Bahwa memulai perang pada bulan haram adalah haram dan bahwa pengharaman bulan haram tersebut tidaklah dihapuskan, berdasarkan firman-Nya,
اَلشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمٰتُ قِصَاصٌۗ فَمَنِ اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوْا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ ۖ
Bulan haram dengan bulan haram dan (terhadap) sesuatu yang dihormati) berlaku (hukum) kisas. Oleh sebab itu, siapa yang menyerang kamu, seranglah setimpal dengan serangannya terhadapmu. (Al-Baqarah [2]:194)
Dan, Dia subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ
Apabila bulan-bulan haram telah berlalu, bunuhlah (dalam peperangan) orang-orang musyrik (yang selama ini menganiaya kamu)(at-Taubah : 5)[4]
Dan dahulu di masa Jahiliyah orang-orang Arab mengagungkannya, dan dulu bulan ini dinamakan dengan bulan Allah al-Asham, karena saking kerasnya pengharamannya…dan puasa pada bulan Muharram termasuk perkara sunnah yang paling afdhal, imam Muslim meriwayatkan dari hadis Abu Hurairah bahwa Nabi-shallallahu alaihi wa sallam-bersabda,
أفضلُ الصِّيامِ بعد شَهرِ رمضانَ شهرُ اللهِ الذي تَدْعونَه المُحَرَّمَ، وأفضَلُ الصَّلاةِ بعد الفَريضةِ قيامُ الليلِ
Puasa yang paling utama setelah puasa bulan Ramadhan adalah puasa pada bulan yang kalian menyebutnya al-Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah ahalat fardhu adalah shalat malam.
Kedua : keutamaan Puasanya
Rasulullah-shallallahu alaihi wa sallam-telah menjelaskan keutamaan puasa bulan Allah al-Muharram, dengan sabdanya :
((أفضَلُ الصِّيامِ بعد رمضانَ شَهرُ اللهِ المُحَرَّمُ))
Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah al-Muharram [5]
Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang ditunjukkan oleh hadis ini, apakah hadis ini menunjukkan puasa sebulan secara sempurna ataukah mayoritas hari-harinya ? Zhahir hadis-Wallahu A’lam-menunjukkan keutamaan puasa bulan Muharram secara sempurna,sementara sebagian ulama membawa pemahaman hadis ini sebagai motivasi untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram, bukan berpuasa seluruh harinya. Karena perkataan Aisyah, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa sebulan penuh sama sekali kecuali Ramadhan, dan aku pun tidak pernah melihat beliau pada suatu bulan di mana beliau paling banyak berpuasa di bulan tersebut melebihi puasa pada bulan Sya’ban. (HR. Muslim)[6]
Akan tetapi, boleh jadi dikatakan, ‘Sesungguhnya Aisyah menyebutkan apa yang ia lihat di sini, akan tetapi nash menunjukkan puasa sebulan secara sempurna.
Ketiga : Bulan Allah Muharram dan hari Asyura
Asyura adalah hari ke-10 dari bulan Muharram, dan hari tersebut memiliki keistimewaan, puasa hari tersebut memiliki keutamaan, Allah telah mengistimewakannya, dan Rasulullah telah memotivasi untuk melakukannya.
1-Keutamaan hari Asyura
Asyura merupakan hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan menenggelamkan Firaun dan kaumnya, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai bentuk kesyukuran (kepada-Nya atas nikmat tersebut), kemudian Nabi-shallallahu alaihi wasallam-berpuasa pada hari tersebut. Berdasarkan apa yang diriwayatkan Ibnu Abbas, ia berkata : “Ketika Rasulullah-shallallahu alaihi wa sallam-datang ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura, maka mereka ditanya tentang hal itu. Mereka pun menjawab : hari ini adalah hari di mana Allah menolong dan memenangkan Musa dan Bani Israil atas Fir’aun, maka kami pun berpuasa sebagai pengagungan terhadapnya. (Mendengar pernyataan mereka tersebut) maka Rasulullah-shallallahu alaihi wa sallam-bersabda : kami lebih utama dengan Musa daripada kalian, lalu beliau perintahkan (para sahabatnya) untuk berpuasa nantinya pada hari itu. [7]
Dalam satu riwayat milik imam Muslim, ‘Maka Musa berpuasa pada hari itu (Asyura) sebagai kesyukuran , lalu kami pun berpuasa juga pada hari tersebut…
Tentang keadaan nabi terkait dengan puasa Asyura ada 4 keadaan [8] :
Keadaan pertama :
Bahwa beliau pernah berpuasa pada hari itu saat berada di Mekah, namun beliau tidak memerintahkan manusia untuk berpuasa.
Di dalam shahihain disebutkan hadis dari Aisyah, ia berkata, ‘dulu asyura menjadi hari untuk berpuasa oleh orang-orang Quraisy di masa Jahiliyah, dan dulu Nabi pun berpuasa. Lalu, ketika beliau datang ke Madinah beliau pun berpuasa hari itu dan beliau (juga) memerintahkan orang-orang untuk berpuasa pada hari itu. Lalu, ketika turun kewajiban berpuasa Ramadhan, di bulan Ramadhanlah beliau berpuasa, lalu beliau meninggalkan puasa Asyura. Maka, siapa yang berkeinginan berpuasa, silakan ia berpuasa, dan siapa yang ingin tidak berpuasa, ia pun boleh berbuka (tidak berpuasa) [9]
Dan dalam satu riwayat milik imam al-Bukhari : dan Rasulullah-shallallahu alaihi wa sallam-bersabda, “Siapa yang ingin, maka silakan berpuasa. Dan siapa yang ingin, maka silakan berbuka.”[10]
Keadaan Kedua :
Bahwa Nabi, saat datang ke Madinah dan melihat puasa kalangan ahli kitab pada hari tersebut dan pengagungan mereka terhadap hari tersebut, -dan dulu beliau suka untuk mencocokinya dalam hal-hal yang tidak diperintahkan-beliau pun berpuasa hari tersebut dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa hari tersebut, dan beliau menekankan perintah dengan berpuasa pada hari tersebut dan memotivasi orang-orang untuk melakukannya, hingga merekapun melatih anak-anak mereka yang masih kecil untuk berpuasa.
Keadaan Ketiga :
Bahwa ketika diwajibkan melakukan puasa Ramadhan, Nabi meninggalkan urusan para sahabat terkait berpuasa pada hari Asyura, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam shahihnya, bahwa Nabi bersabda,
((إنَّ عاشوراءَ يومٌ من أيَّامِ اللهِ، فمن شاء صامه، ومن شاء تركه))
Sesungguhnya Asyura merupakan hari di antara hari-hari Allah. Maka, barang siapa ingin maka silakan ia berpuasa pada hari itu, dan siapa ingin, silakan ia meninggalkannya.
Dan dalam satu riwayat imam Muslim juga,
((فمن أحَبَّ منكم أن يصومَه فلْيَصُمْه، ومن كَرِه فلْيَدَعْه))
Maka, barang siapa di antara kalian suka untuk berpuasa hari itu, maka hendaklah ia berpuasa. Dan barang siapa tidak suka, maka hendaklah ia meninggalkannya.
Keadaan Keempat :
Bahwa Nabi bertekad kuat pada akhir-akhir usianya untuk tidak akan berpuasa secara menyendiri tanggal 10-nya saja, beliau ingin menggabungkannya dengan bepuasa juga pada hari kesembilannya, untuk menyelisihi kalangan ahli kitab, dalam berpuasa. Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa ia berkata, ketika Rasulullah berpuasa Asyura dan beliau pun memerintahkan orang-orang agar berpuasa, mereka (para sahabat ) mengatakan : duhai Rasulullah ! Sesungguhnya Asyura adalah hari yang diagungkan oleh kalangan Yahudi dan Nasrani ! Maka Rasulullah bersabda,
((فإذا كان العامُ المُقبِلُ إن شاء الله صُمْنا التاسِعَ))
Kalau begitu, pada tahun yang akan datang, insya Allah, kita akan berpuasa (juga) pada hari kesembilan.
Ibnu Abbas mengatakan,”belum saja tiba tahun mendatang, ternyata Rasulullah telah meninggal dunia.[11]
2-Keutamaan puasa Asyura
Adapun keutamaan puasa hari Asyura, maka telah ditunjukkan oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah, di dalamnya ia mengatakan : Rasulullah pernah ditanya tentang puasa hari Asyura. Beliau pun menjawab :
((أحتَسِبُ على اللهِ أن يُكَفِّرَ السَّنةَ التي قَبْلَه))
Aku berharap kepada Allah agar menghapus kesalahan satu tahun sebelumnya.[12]
Kalau pun seorang muslim berpuasa hari kesepuluh, niscaya ia memperoleh ganjaran yang besar ini walaupun melakukannya hanya pada hari tersebut saja, tanpa dimakruhkan. Berbeda dengan pandangan sebagian ulama. Andai kata puasa tersebut ditambahkan dengan puasa pada hari kesembilannya, niscaya akan lebih besar pahalanya. Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh ibnu Abbas bahwa Nabi-shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
((لَئِنْ بَقِيتُ أو لئِنْ عِشْتُ إلى قابلٍ لأصومَنَّ التاسِعَ))
Jika aku masih hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan berpuasa (juga) hari kesembilan(nya).
Adapun beberapa hadis yang datang dan disebutkan di dalamnya puasa sehari sebelumnya dan sehari setelahnya, atau puasa sehari sebelumnya atau setelahnya maka tidak benar kemarfuannya kepada Nabi, sementara ibadah-ibadah itu -sebagaimana dimaklumi-bersifat tauqifiyah, tidak boleh mengerjakannya kecuali berdasarkan dalil….sebagian atsar ini telah valid secara mauquf terhadap ibnu Abbas, maka tidaklah dicela orang yang berpuasa Asyura dan berpuasa juga sehari sebelumnya dan sehari setelahnya, atau mencukupkan diri dengan bepuasa hari itu dan berpuasa juga sehari setelahnya saja.
3-Perkara-perkara bid’ah pada hari Asyura
Al-Allamah syaikh Abdullah Fauzan-semoga Allah menjaganya-berkata : telah sesat pada hari ini dua kelompok manusia : satu kelompok menyerupai kalangan Yahudi, di mana mereka menjadikan Asyura sebagai musim hari raya dan bergembira ria, pada hari tersebut dinampakkan syiar-syiar kebahagiaan, semisal, bercelak, memberikan kelapangan nafkah kepada keluarga, memasak berbagai bentuk makanan yang keluar dari kebiasan, dan tindakan lainnya berupa tindakan orang-orang bodoh, orang-orang yang menyambut kerusakan dengan kerusakan pula, dan menyambut kebid’ahan dengan kebid’ahan pula.
Sementara itu, kelompok yang kedua, mereka menjadikan asyura sebagai hari duka lara, kesedihan, dan ratapan karena terbunuhnya Husain bin Ali, dinampakkan pada hari tersebut syiar-syiar Jahiliyah, berupa menampar-nampar pipi, merober-robek kerah baju, dan didendangkan kasidah-kasidah kesedihan, dan dibacakan riwayat berita-berita yang kedustaannya lebih banyak daripada kebenarannya, dimana yang menjadi target dari dilakukannya hal tersebut adalah membuka pintu fitnah dan memecah belah kesatuan di antara umat. Ini adalah perbuatan orang yang sesat usahnya di kehidupan dunia, sedangkan ia mengira bahwa ia telah berbuat sebaik-baiknya.
Allah telah memberikan petunjuk kepada kalangan ahlu sunnah, sehingga mereka mengerjakan apa yang diperintahkan oleh nabi mereka berupa puasa, dibarengi dengan memperhatikan perkara tidak menyerupai kalangan orang-orang Yahudi dalam berpuasanya. Dan, mereka pun menjauhkan diri dari perkara yang diperintahkan oleh setan kepada mereka berupa perbuatan-perbuatan bid’ah. Maka, segala puji hanyalah bagi Allah.[13]
Para ulama telah menashkan bahwasanya tidak ada ibadah apapun yang valid untuk dilakukan pada hari Asyura selain berpuasa, tidak valid akan adanya anjuran untuk melakukan shalat pada malam harinya, atau mengenakan celak atau minyak wangi, atau memberikan melapangan kepada keluarga, atau hal-hal yang lainnya, tidak valid adanya dalilnya dari Rasulullah-shallallahu alaihi wa sallam.
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Ahkamu Syahrillahi al-Muharram, Syaikh Dr. Nahar al-Utaibiy
Catatan:
[1]Muttafaq Alaihi
[2] Latha-if al-Ma’arif, 70
[3] Diriwayatkan oleh Abu Dzar : an-Nasai di dalam al-Kubra, dan dari Abu Hurairah : Diriwayatkan oleh Ad Darimiy, Ahmad, ath-Thabrani, dan al-Baihaqi. Dan dari Jundub bin Sufyan : an-Nasai dan al-Baihaqi, dan hadis ini shahih.
[4] Tafsir al-Quran al-Azhim 2/468-469. Dan Ibnu Katsir telah menyebutkan sejumlah dalil dan bantahannya ; maka silakan merujuknya di sana.
[5] HR. Muslim
[6] HR. Muslim
[7] HR. Al-Bukhari dan Muslim
[8] lihat Lathaif al-Ma’arif, 96-102
[9] HR. Al-Bukhari dan Muslim
[10] HR. Al-Bukhari
[11] HR. Muslim
[12] HR. Muslim
[13] Risalah Fii Ahaadiits Syahrillah al-Muharram
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Fatwa9 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
Khutbah8 tahun ago
Waspadailah Sarana yang Mendekatkan pada Zina
-
Fiqih Hisbah8 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Fatwa11 tahun ago
Hukum Membuka Jilbab Untuk Ktp