Dosa (seri 2)

Bismillah, alhamdulillah washolatu wasalamu ‘ala rosulillah, amma ba’du.

Saudaraku…kaum muslimin, pada edisi yang lalu kita sudah mengetahui tentang dosa, macam-macamnya dan masing-masing pengertiannya. Dan, kita sudah mengetahui salah satu dari dua macam dosa yakni “dosa besar”. Masalah berikut ini adalah tentang “bagaiamana jika seorang muslim ia melakukan dosa besar apakah keimanannya sempurna atau tidak?”,  berikut inilah uraiannya.

Saudaraku…

Muslim pelaku dosa besar bukan muslim dengan iman yang sempurna karena dosanya telah mengurangi kesempurnaan imannya, bisa dikatakan, dengan imannya dia mukmin dan dengan dosanya dia fasik, bukan kafir, di akhirat dia berada di bawah masyi’ah Allah. Jika Allah berkehendak maka Dia mengampuni, jika tidak maka Dia menyiksanya sesuai dengan dosa-dosanya di neraka, setelah itu Dia mengeluarkannya darinya dan tidak menjadikannya kekal.

Banyak dalil baik dari al-Qur`an maupun sunnah yang menetapkan apa yang disebutkan di atas.

Firman Allah subhanahu wata’ala, artinya, “Dan kalau ada dua golongan dari orang-orang beriman itu berperang hendaklah kamu mendamaikan antara keduanya.” (Al-Hujurat: 9).

Allah menamakan dua kubu yang bertikai sebagai orang-orang yang beriman padahal pertikaian bisa membawa kepada peperangan yang di dalamnya adalah saling bunuh dan ini adalah dosa besar, meskipun begitu Allah tetap menyatakan mereka sebagai orang-orang yang beriman. Oleh karena itu Allah memerintahkan kelompok ketiga untuk mendamaikan kedua kubu dan menyatakan bahwa kelompok ketiga ini sebagai saudara bagi dua kubu yang bertikai dan saudara di sini adalah saudara iman.

Firman Allah subhanahu wata’ala, artinya, “Barangsiapa yang mendapatkan maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikuti dengan cara yang baik dan membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula.” (Al-Baqarah: 178).

Dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa pembunuh adalah saudara bagi korban meskipun pembunuhan merupakan dosa besar dan saudara di sini adalah saudara iman. Jadi pembunuh masih dianggap mukmin.

Sabda Nabi, “Allah memasukkan penduduk surga ke surga, Dia memasukkan orang-orang yang Dia kehendaki dengan rahmatNya. Dan Dia memasukkan penduduk neraka. Kemudian Allah berfirman, ‘Lihatlah orang yang dalam hatinya masih ada iman seberat semut hitam, keluarkanlah ia.’ Maka dia dikeluarkan dari neraka dalam keadaan hangus terbakar, lalu mereka dilemparkan ke dalam sungai kehidupan atau air hujan, maka mereka tumbuh di sana seperti biji-bijian yang tumbuh di pinggir aliran air. Tidakkah engkau melihat bagaimana ia keluar berwarna kuning melingkar?” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Hadits ini menetapkan dikeluarkannya orang-orang dengan iman paling rendah dari neraka setelah mereka diadzab di dalamnya. Orang dengan iman yang demikian adalah pelaku dosa-dosa besar, dikeluarkannya dia dari neraka berarti dia tidak kafir karena jika dia kafir niscaya dia kekal di dalamnya. Inilah pendapat yang benar, pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Pendapat lain

Murji’ah berkata, pelaku dosa besar adalah mukmin dengan iman yang sempurna karena iman hanyalah pengakuan hati, amal perbuatan tidak termasuk iman, oleh karena itu dosa dan kemaksiatan tidak berpengaruh buruk terhadap iman.

Kalau ada orang yang berzina, mencuri dan minum khamr, sementara ada orang kedua yang taat kepada Allah dan menjauhi semua itu, maka menurut Murji’ah keduanya sama, iman keduanya sama.

Pendapat ini tidak berpijak kepada dalil yang benar, di samping itu ia mendorong orang untuk berbuat dosa dan kemaksiatan, cukuplah ia sebagai bukti bahwa ia rusak.

Khawarij dan Mu’tazilah, mereka disebut Waidiyah karena mereka hanya berpegang kepada dalil-dalil wa’id, ancaman dengan menyisihkan dalil-dalil wa’ad, janji. Kedua kelompok ini menyatakan bahwa pelaku dosa besar keluar dari iman. Hanya saja Khawarij berkata, keluar dari iman dan masuk ke dalam kekufuran, sementara Mu’tazilah berkata, keluar dari iman dan tidak masuk ke dalam kekufuran, dia berada di antara iman dan kufur. Di akhirat, kedua kelompok ini mengekalkannya di dalam neraka.

Pendapat ini rusak, di samping tidak berpijak kepada dalil yang benar karena hanya berpijak kepada salah satu segi dalil saja dengan melupakan segi yang lain, ia menyeret kepada kerusakan besar yang bermula dari mengkafirkan orang yang tidak berhak untuk dikafirkan. Cukuplah sebagai bukti kerusakannya adalah bahwa ia memicu pertumpahan darah di dalam tubuh umat Islam. Wallahu a’lam.


Artikel : www.hisbah.net

Gabung Juga Menjadi Fans Kami Di Facebook Hisbah.net | Dakwah Al-Hisbah | Hisbah.Or.Id

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *