Engkau Memang Memiliki Udzur

Dari Abu Sa’id, semoga Allah meridhainya, ia berkata, “Kami tidak memprediksi khaibar bakal ditaklukkan. Ketika kami menginjakkan kaki di daerah tersebut, kami dapati tetumbuhan tsum, maka kami pun mengonsumsinya dengan kadar yang cukup banyak. Pada waktu itu banyak orang yang tengah lapar. Kemudian, kami menuju ke masjid. Maka, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– mendapati bau yang menyengat. Lalu, beliau bersabda, “ barangsiapa mengonsumsi bagian dari tetumbuhan yang buruk ini, maka janganlah ia mendekati kami di masjid kami (HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayakan pula oleh imam Muslim, 5/53, hadis no. 1256)

Dari Mughirah bin Syu’bah, ia berkata, “aku pernah mengonsumsi tsum, kemudian aku mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-, aku dapati beliau telah mendahului ku satu rakat. Setelah beliau usai dari shalatnya, maka aku pun menambah satu rakaat. Beliau mendapati bau tsum, lalu bersabda, “barangsiapa mengonsumsi tetumbuhan ini maka janganlah ia mendekati masjid kami, hingga baunya hilang”. Lalu, setelah aku menyelesaikan shalat, aku pun mendatangi beliau, lalau aku berujar, “wahai Rasulullah, sungguh aku memiliki udzur, cobalah Anda ulurkan tangan Anda kepadaku-aku dapati beliau orang yang mudah- beliau pun mengulurkan tangannya, lalu aku memasukkannya melalui lengan bajuku hingga ke dadaku. Maka, beliau mendapatinya dalam keadaan terganjal dengan sesuatu (yakni, karena saking lapar perutnya, hingga diganjal dengan sesuatu). Lalu, beliau bersabda, : “Sungguh,engkau memang benar memiliki udzur”. (HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, 4/111, hadis no. 3826, ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’aniy al-Aatsaar, 4/238, al-Baihaqiy, 3/77, hadis no. 4840)

Ihtisab di dalam Hadis

Dalam kedua hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam  empat poin berikut ini :

1- Pengingkaran terhadap orang yang mendatangi tempat-tempat ibadah di mana tercium darinya bau yang tidak sedap, seperti bau bawang dan yang semisalnya.

2- Kesemangatan seorang muhtasib untuk melaksanakan shalat berjama’ah dan menjauhkan diri dari segala hal yang berpotensi menjadikannya tidak dapat melaksanakan shalat secara berjama’ah.

3- Termasuk sifat seorang muhtasib adalah berbau harum, terlebih ketika berada di temapt-tempat ibadah

4- Pemberian udzur terhadap orang yang melakukan kesalahan bila mana alasannya dapat dibenarkan.

Penjelasan :

Pengingkaran terhadap orang yang mendatangi tempat-tempat ibadah di mana tercium darinya bau yang tidak sedap, seperti bau bawang dan yang semisalnya

Di dalam kedua hadis di atas terdapat tindakan pengingkaran terhadap orang yang mendatangi tempat-tempat ibadah seperti masjid, majlis dzikir, dan yang lainnya sementara tercium darinya bau tsum (bawang putih), hal demikian itu karena baunya buruk. Beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam- telah mengingkari orang yang mendatangi masjid dengan keadaan tercium darinya bau bawang putih, dengan sabdanya, “barangsiapa mengonsumsi tetumbuhan ini maka janganlah ia mendekati masjid kami”, disamakan hukumnya dengan bawang putih adalah segala hal yang menimbulkan bau yang buruk, seperti bashol (bawang merah) dan al-Kurrats (bawang bakung), berdasarkan sabda beliau, “ barangsiapa mengonsumsi dari tetumbuhan ini ; bawang putih –kemudian beliau bersabda setelah itu : bawah merah dan bawang bakung – maka janganlah ia mendekati masjid kami, karena sesungguhnya para malaikat merasa tersakiti sebagaimana halnya manusia tersakiti oleh karenanya (HR. Ibnu Khuzaemah, 3/83, hadis no. 1665, al-Bukhari, 2/394, hadis no. 854, Muslim, 5/52, hadis no. 1254)

Juga berdasarkan perkataan Umar bin al-Khaththab ketika beliau berkhutbah di hadapan khalayak, pada suatu hari, seraya mengatakan, “ Wahai sekalian manusia, sungguh kalian mengonsumsi dua buah tetumbuhan yang aku tidak melihatnya kecuali keduanya adalah tetumbuhan yang buruk ; ats-Tsum dan al-Bashal. Dan sungguh, aku pernah melihat lelaki ini didapati padanya bau yang tidak sedap, lalu ia pun digandeng tangannya, dibawa keluar (dari masjid) menuju ke pekuburan baqi’. Maka dari itu, barang siapa yang hendak mengonsumsinya hendaklah ia menghilangkan baunya dengan cara memasaknya terlebih dahulu (HR. Ibnu Khuzaemah, 3/84, hadis no. 1666, Muslim, 5/54, hadis no. 1258)

Oleh karena itu, seorang muhtasib hendaknya mengingkari orang yang masuk ke dalam masjid di mana didapati pada dirinya bau yang tidak sedap, semisal bau bawang putih, bawang merah, bawang bakung dan yang lainnya. Demikian pula hedaknya mengingkari orang yang didapati pada dirinya bau rokok, karena sesungguhnya, rokok itu buruk demikian pula bau yang ditimbulkannya buruk dan menyengat.

Kesemangatan seorang muhtasib untuk melaksanakan shalat berjama’ah dan menjauhkan diri dari segala hal yang berpotensi menjadikannya tidak dapat melaksanakan shalat secara berjama’ah.

Seorang wajib bersemangat untuk melaksanakan shalat secara berjama’ah dan seorang muhtasib tentunya harus lebih bersemangat, karena ia adalah seorang teladan bagi yang lainnya. Sementara larangan Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap orang yang mengonsumsi bawang putih menghadiri shalat berjama’ah di masjid bukanlah alasan/udzur bagi orang tersebut (untuk tidak shalat berjama’ah di masjid), namun, hal itu hanyalah sebagai teguran atau sangsi bagi pemakannya, dan boleh jadi ia tidak mendapatkan keutamaan shalat jama’ah.

Termasuk sifat seorang muhtasib adalah berbau harum, terlebih ketika berada di tempat-tempat ibadah

Sungguh, Islam sedemikain memotivasi para pengikutnya untuk saling menyatu satu sama lainnya, dan menjauhkan segala hal yang berpotensi membuat orang lain lari dan berpecah belahnya jama’ah mereka. Untuk itu, islam memerintahkan untuk berhias dan mengenakan wewangian dan menjauhkan dari segala yang berbau buruk, semisal mengonsumsi bawang putih, bawang merah, bawang bakung dan jenis bawang yang lainnya yang memiliki bau yang buruk. Disamakan hukumnya dengan hal tersebut adalah apa yang dikonsumsi oleh para perokok. Oleh karena itu, seorang muhtasib bila mana ingin menghadiri majlis ilmu, perkumpulan manusia hendaknya dalam keadaan berbau harum, agar orang tak enggan untuk duduk bersamanya. Karena sesungguhnya bau yang tak enak akan membuat para malaikat dan orang-orang yang tengah mengerjakan shalat merasa tersakiti, sebagaimana orang tidak suka untuk duduk dan membaur dengannya.

Pemberian udzur terhadap orang yang melakukan kesalahan bila mana alasannya dapat dibenarkan.

Lihatlah bagaimana Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- menyatakan, “Sungguh,engkau memang benar memiliki udzur”, ketika orang yang melakukan kesalahan itu berkata kepada beliau ‘wahai Rasulullah, sungguh aku memiliki udzur dan mengisyaratkan sesuatu yang menjadi udzurnya.’

Dari sini beberapa pelajaran dapat kita petik, di antaranya :

1- Boleh jadi, seseorang yang terjatuh ke dalam kesalahan memiliki udzur.

2- Bila mana seseorang melakukan kesalahan karena udzur yang dapat dibenarkan maka hendaklah ia mengungkapkannya.

3- Bila mana seseorang yang bersalah, ia mengemukakan udzur yang dapat dibenarkan, maka selayaknya udzur tersebut diterima.

Wallahu a’lam

 

Sumber :

al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy, hal. 66-68

Penulis : Amar Abdullah bin Syakir

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Instagram @hisbahnet,
Chanel Youtube Hisbah Tv

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *