Ramadhan
Hadits-hadits Tentang Puasa 2
Para pembaca yang budiman.
عن عبد بن عمر – رضي الله عنهما – قال: قال رسول الله r: “لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه. فإن غُمَّ عليكم فاقدروا له”، رواه البخاري ومسلم ، وفي رواية لهما “فإن غُمّ عليكم فأكملوا العدة ثلاثين”.
Dari Abdun bin Amr-semoga Alloh meridhoi keduanya-, ia berkata, Rosululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, janganlah kalian berpuasa sebelum kalian melihat hilal, dan jangan pula kalian berbuka sebelum kalian melihatnya. Maka jika terhalang(tidak bisa melihatnya) karena terdapat awan maka maka perkirakanlah(HR. al-Bukhori, 4/119, Muslim, no.1080) dan dalam riwayat keduanya,
فإن غُمّ عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
Jika terhalang, maka sempurnakanlah bilangan (bulan sya’ban) 30 hari.
Hadis ini merupakan dalil wajibnya puasa romadhan bila telah valid terlihat bulannya secara syar’i, dan bahwasanya wajib (hukumnya) menyempurnakan (bilangan) bulan sya’ban 30 hari bila mendung atau sejenisnya menghalangi terlihatnya bulan Romadhan. Juga menunjukkan wajibnya menyempurnakan (bilangan) bulan romadhan 30 hari bila mendung atau sejenisnya menghalangi terlihatnya bulan syawwal, karena pada asalnya tetapnya bulan. Maka, tidaklah dihukumi keluarnya kecuali dengan yakin. Bila seseorang yang dipercaya persaksiannya dalam hal masuknya bulan atau keluarnya, maka hukum ditetapkan.
Dan makna sabda beliau, فإن غُّمَّ عليكم ( yakni : ستر الهلال وغطِّي بغيم أو نحوه, hilal tertutup oleh awan dan semisalnya)
Sabada beliau, فاقْدُرُوا له , dengan huruf Daal didhommah atau dikasroh, yakni : أبلغوه قدره , yaitu : sempurna ( bilangannya ) 30 hari.
Makna ini diperkuat dengan riwayat di dalam shohihain, فإن غُمَّ عليكم فأكملوا العدة ثلاثين“.
Jika terhalang, maka sempurnakanlah bilangan (bulan sya’ban) 30 hari.
Dan hari ke-30 dari bulan sya’ban tidak dilakukan puasa padanya bila hilal tertup oleh awan atau semisalnya. Karena malam tersebut termasuk ke dalam bulan sya’ban pada asalnya. Maka, tidak termasuk dalam bulan romadhan kecuali ditetapkan secara yakin ( bahwa malam tersebut adalah bulan Romadhan). Dan berdasrkan perkataan Ammar bin Yasir –semoga Alloh meridhoinya-,
“من صام اليوم الذي يُشَكُّ فيه فقد عصى أبا القاسم “.
Barangsiapa puasa pada hari yang diragukan padanya, sungguh ia telah bermaksiat/menentang Abu al-Qoshim-shalallohu ‘alaihi waslalam (Imam al-Bukhori menyebutkan hadis ini secara mu’allaq, 3/119, Abu Dawud, 6/457 dan at Tirmidzi, 3/365 menyebutkannya secara bersambung . imam at Tirmidzi berkata, hadis hasan shohih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh an Nasai dan ibnu Majah dan yang lainnya. Al-Hafizh ibnu Hajar mengatakan di dalam Taghliiqi at Ta’liiq, 3/141, ini hadis shohih. Beliau menyebutkan beberapa syahid dan mutaba’at. Ad Daruquthni di dalam sunannya(2/157) mengatakan, ini isnadnya shohih, dan para perowinya semunya terpercaya)
Pendapat ahli falq tentang masuknya bulan(ramadhan) ataupun tenang keluarnya tidak dibisa dijadikan landasan, karena nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menggantungkan hokum dengan rukyah (melihat hilal/bulan baru) tidak kepada hisab. Metode rukyah dapat dilakukan baik oleh orang tertentu maupun orang awam, orang bodoh maupun orang yang berilmu. Dan ini termasuk kemudahan dalam syariat. Segala puji bagi Alloh.
Hadis ini juga menunjukkan bahwa puasa atau berbuka tidak wajib bagi orang yang keberadaannya jauh dari tempat terlihatnya bulan bila berbeda matla’nya ; karena syariat menggantungkan hokum kepada rukyah. Dan disini hilal tidak terlihat baik secara hakikat/sebenarnya maupun secara hokum. Meskipun hadis mengajak bicara seluruh ummat. Maka, puasa dan berbuka dilakukan tatkala adanya sebab yaitu terlihatnya hilal. Maka, bagi kalangan yang melihat hilal, wajib baginya berpuasa atau berbuka karena adanya sebabnya. Dan bagi orang yang tidak terjadi panya terlihat bulan maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk berpuasa atau berbuka karena tidak adanya sebabnya, seperti halnya dengan waktu-waktu sholah. Wallohu a’lam
Dan bulan sya’ban harus diperhatikan hingga malam ketiga puluh dapat diketahui yang mana pada malam tersebut hilal romadhan dicari. Disamping itu, agar bisa digenapkan bulan tersebut bila bulan baru ( Romadhan) tidak bisa terlihat, berdasarkan hadis Abu Huroiroh –semoga Alloh meridhoinya-, ia berkata, Rosulullohu shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,
“أحصوا هلال شعبان لرمضان . . . الحديث”.
Perhitungkanlah ( bilangan ) bulan sya’ban untuk (menentukan masuknya) bulan Romadhan … al-Hadits(HR. at Tirmidzi, 3/368 Tuhfatul Ahwadzi, al-Hakim,1/425, al-Baihaqi, 4/206, al Baghowi di dalam Syarhu Sunnah, 6/239, ad Daruquthniy, 2/163, dan sebagian lainnya meriwayatkan hadis secara ringkas seperti ini. Dan sebagian lainnya meriwayatkannya dengan redaksi yang lebih sempurna. Sanad hadis ini hasan sebagaimana disebutkan dalam ash Shohihah, no. 565. )
Yakni : bersungguh-sungguhlah dalam menghitungnya secara tepat,dengan cara mencarinya dan mengamati peredarannya, agar kalian memiliki landasan ilmu dalam mengetahui masuknya bulan Romadhan, sehingga tak terlewatkan sedikitpun darinya.( Tuhfatul Ahwadzi, 3/368 )
Apabila ada bukti telah masuknya bulan romadhan setelah terbitnya fajar atau di tengah siang hari berupa terlihatnya hilal malam sebelumnya, maka wajib hukumnya orang-orang menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa untuk sisa waktu pada hari tersebut, akan tetapi hari tersebut termasuk romdhan. Hal ini berdasarkan hadis Salamah bin Akwa’ –semoga Alloh meridhoinya-, ia berkata,
“أمر النبي r رجلاً من أسلم أن أذّن في الناس أن من أكل فليصم بقية يومه، ومن لم يكن أكل فليصم، فإن اليوم يوم عاشوراء”
Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam memerintahkan seseorang dari Aslam agar ia mengumumkan kepada khalayak bahwa barangsiapa yang telah mengonsumsi makanan, hendaklah ia berpuasa untuk sisa waktu pada hari tersebut, dan barangsiap yang belum mengonsumi makanan maka hendaklah ia berpuasa, karena hari ini adalah hari ‘asyuro(HR. al-Bukhori, 4/245, Muslim, no.1132 )
Dan, wajib diqodho puasa hari tersebut – yang Nampak- dari pendapat para ulama. Karena, hal itu sebagai kehati-hatian lepasnya diri dari kewajiban sesuatu perkara yang wajib lagi agung ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –semoga Alloh merahmatinya- wajib menahan diri dan tidka wajib mengqodhonya (Silakan lihat : Majmu’ al-fatawa, 25 )
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah –semoga Alloh merahmatinya- berkata, ia wajib menahan diri namun tidak wajib mengganti puasa ( Silakan lihat : Majmu’ al-Fatawa(25/109), Zaadul Ma’ad,2/74, dan al-Mukhtaroot al-Jaliyyah, hal. 60, karya : Ibnu Sa’diy. ) pendapat ini diikuti oleh muridnya ibnu Qoyyim, semoga Alloh merahmatinya ; karena hokum itu tidak diharuskan kecuali dengan sampainya hukum tersebut kepada orang yang terkena pembebanan hukum. Syariat menjadikan hukum orang yang tersalah dan orang yang lupa satu yaitu sahnya puasanya, dan niat di malam hari bukan merupakan syarat (syah tidaknya puasa) baginya karena ia tidak mampu. Dan, diantara kaidah syariat dan usulnya adalah bahwa kemampuan menjadi patokan dalam pembebanan suatu kewajiban. Alloh ta’ala berfirman,
{لا يكلف الله نفساً إلا وسعها}
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya(Qs.al-Baqoroh:286)
Dan bila seseorang puasa di suatu negeri dan puasa sisanya di negeri lainnya sementara negeri yang ia singgah orang-orang masih berpuasa, maka orang tersebut tidak berbuka kecuali dengan bukanya mereka meskipun puasanya lebih dari 30 hari, berdasarkan sabda beliau shallallohu ‘alaihi wasallam,
“الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم تضحُّون”
Puasa adalah pada hari kelian berpuasa, dan ifthor(tidak berpuasa) adalah pada hari kalian ifthor, dan iedul adha adalah pada hari kelian berhari raya iedul adha (HR. at Tirmidzi, 3/382, bersumber dari Abu Huroiroh –semoga Alloh meridhoinya, dan isnadnya hasan, silakan lihat : irwaul gholil, karya : al-Albaniy, no.905)
Imam at Tirmidzi –semoga Alloh merahmatinya- sebagian kalangan ahli hadis menafsirkan hadis, seraya mengatakan, makna hadis ini adalah bahwa puasa dan tidak puasa itu besama jama’ah dan kebanyakan orang. Selesai perkataan beliau.
Akan tetapi bila ia berpuasa sebanyak 28 hari karena daerah yang ia kunjungi(orang-orang yang berpuasa di daerah tersebut) telah mengakhiri puasanya, maka ia mengakhiri puasa bersama mereka kemudian ( pada hari lainnya) ia berpuasa sehari karena bulan itu tidak kurang dari 29 hari (silakan lihat : Roudhotuththolibin,2/349, dan syarh al-Muhadzdzab, 6/274, dan Fatawa Islamiyyah, 2/133)
Ya Alloh munculkanlah bulan kepada kami dengan penuh keamanan dan keimanan, penuh keselamatan dan kesejahteraan, bantulah kami untuk (dapat mengisinya) dengan kebaikan wahai dzat yang bila dimintai pertolongan niscaya menolong. Ampunilah kami dan kedua orang tua kami serta seluruh kaum muslin dengan rahmatmu wahai dzat yang Maha penyayang di antara yang penyayang. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para pengikutnya.
Nasihat
Saat Idul Fitri Menjelang **
Saat Idul Fitri Menjelang
**
Terakhir, inilah perasaan seorang muslim di pagi hari raya Idul Fitri. Ia menuturkan :
“Aku ingat pagi hari Idul Fithri, kutemui anak-anak yang yatim. Tidak ada yang mau mencium mereka. Bahkan sekedar memberikan senyum untuk mereka. Aku ingat di pagi hari Idul Fithri aku bersama para janda, yang tidak bisa lagi merasakan kelembutan, juga kerinduan kepada suami mereka. Aku ingat, di hari raya Idul Fithri kita semua menikmati hidangan makanan enak dan minuman segar yang dapat menghilangkan lapar.
Aku ingat, di hari raya Idul Fithri kita berkumpul bersama dari semua umur, anak-anak, bapak-bapak dan ibu-ibu. Sementara ada saudara kita (semisal di Palestina) yang waktunya terampas oleh peperangan. Tak ada kenyamanan, ketenangan dan rasa aman. Hari raya mereka hanyalah linangan air mata, kesedihan serta kenangan seperti dipenjara.
Pada saat yang sama aku mengenakan baju baru, mengunjungi sanak-kerabat di sana-sini, menikmati makanan dan minuman…aku tertawa dan bercanda.
Tetapi, perasaan sebagai satu bagian utuh sebuah tubuh dan rasa persaudaraan tumbuh kuat dalam diriku. Aku tak akan melupakan mereka. Kalaupun aku tertawa, ada guratan duka menoreh wajahku. Lisanku bergetar melantunkan doa bagi mereka. Aku pun menceritakan keadaan mereka kepada keluarga dan tetanggaku.
Lisanku selalu berdoa untuk mereka, dimana keluarga dan tetanggaku menggunjingkan mereka…
Dalam Shahih Muslim disebutkan :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
‘Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam kasih sayang dan kecintaan mereka ibarat satu tubuh, jika anggota tubuh mengadu kesakitan maka semua anggota tubuh yang lain akan ikut demam dan terjaga semalaman.’
Barang siapa yang berbuat kebaikan maka kebaikan ini kembali kepada dirinya sendiri ; barang siapa yang tinggi cita-citanya maka kebaikan akan mengikutinya; namun barang siapa yang rendah cita-citanya maka kehinaan akan selalu mengikutinya…
Kusucikan cita-citaku dari apa-apa yang dilarang Allah
Menuju bulan yang khusyuk dengan berbekal kekhusukan,
bulan yang suci, dengan bekal amal sholeh…
Orang-orang yang berpuasa dengan istiqamah
akan mendapatkan tempat yang kekal dan didampingi bidadari yang menyenangkan
Penuh ampunan dari yang Maha Agung dengan kekuasaan-Nya yang besar
Wahai saudaraku, segeralah bangkit beramal
sebelum Ramadhan pergi
Semoga Allah Yang Maha Pengasih menghapus semua dosa-dosaku
dan mengampuni kesalahanku sebelum di buku kejelekanku…
Amin
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Ruhaniyyatush Shiyam, Dr. Ibrahim ad-Duwaisy, ei, hal. 49-51.
Nasihat
Puasa Agar Mereka Memperoleh Kebenaran **
Puasa Agar Mereka Memperoleh Kebenaran
**
“Ar-Rusyd adalah menemukan kebenaran dan mengamalkannya.”
**
Ar-Rusyd adalah tujuan ketiga di antara tujuan-tujuan disyariatkannya puasa, dan salah satu rahasia diwajibkannya puasa. Allah ta’ala berfirman di akhir ayat-ayat puasa :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ [البقرة : 186]
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (al-Baqarah : 186)
Kebenaran yang merupakan salah satu buah puasa, dinilai sebagai sifat positif dan penting bagi kepribadian seorang muslim, yang memberinya keseimbangan jiwa, pikiran, perasaan, dan emosi, serta membebaskannya dari segala fenomena yang memperburuk kepribadian insan modern yang tidak tumbuh berkembang di sela-sela al-Qur’an dan tidak mengikuti hukum-hukumnya, sehingga kepribadiannya terserang kelemahan, kepolosan, kelalaian, egoisme, atau kesedihan, seperti yang dituturkan oleh Dr. Shalah al-Khalidi.
Ayat ini mengandung penjelasan tentang jalan yang mengantarkan kepada kebenaran, yaitu beriman kepada Allah Ta’ala, berdoa kepada Allah ta’ala, dan memenuhi perintah-Nya, termasuk di antaranya berpuasa Ramadhan.
Ada yang mengatakan, ar-Rusyd adalah istiqamah di dalam agama.
Fenomena-fenomena Kebenaran yang Diwujudkan Puasa
Di antara fenomena-fenomena kebenaran adalah istiqamah di dalam agama dan tetap berada di atas agama. Dan di antara fenomena-fenomena kebenaran yang diwujudkan puasa bagi seorang muslim adalah :
Pertama, kebenaran penglihatan. Kebenaran ini terwujud dengan menundukkan dan menahan penglihatan untuk leluasa memandang segala hal yang tercela atau terlarang, dan juga hal-hal yang dapat menyibukkan dan melenakan hati dari mengingat Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.
Kebenaran ini terwujud dengan berlama-lama menatap al-Qur’an dengan membaca dan merenungkannya, serta menahan penglihatan dari memandang apa yang Allah haramkan, agar tidak menciderai puasa.
Seseorang bertanya kepada al-Junaid, “Dengan apakah aku bisa menundukkan pandangan dengan mudah ?’ Al-Junaid menjawab, ‘Dengan kau mengetahui bahwa Allah melihatmu, di mana penglihatan-Nya kepadamu lebih cepat dari penglihatanmu kepada objek yang engkau lihat.”
“Menundukkan penglihatan dari apa yang diharamkan Allah, akan mendatangkan cinta Allah.” (al-Hasan bin Mujahid)
Kedua, kebenaran lisan. Kebenaran ini terwujud dengan menjaga lisan dari kata-kata ngelantur tidak jelas, dusta, adu domba, ghibah, tutur kata kotor, kasar, permusuhan, dan perdebatan, tetap diam, menyibukkannya dengan dzikir menyebut Allah ta’ala dan membaca al-Qur’an. Ini merupakan puasanya lisan.
Kebenaran ini muncul sebagai dampak alami yang didapatkan siapa yang selalu membasahkan lisannya dengan mengingat Allah, membiasakannya jauh dari segala kata dan ucapan-ucapan yang dapat melukai puasanya. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ
Pada hari ketika seseorang di antara kalian berpuasa, janganlah ia berkata kotor, dan janganlah (pula) berteriak-teriak (HR. al-Bukhari)
“Puasa itu tidak hanya menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi juga menahan diri dari dusta, kebatilan, kata-kata sia-sia, dan sumpah.” (Umar bin Khaththab- رًضِيَ اللهُ عَنْهُ)
Ketiga, kebenaran telinga. Kebenaran ini terwujud dengan mencegah telinga dari mendengar apa saja yang dibenci Allah karena apa saja yang diharamkan diucapkan, haram pula didengarkan. Kebenaran ini muncul sebagai buah baik bagi siapa yang terbiasa mendengarkan al-Qur’an dan nasihat-nasihat di bulan Ramadhan, serta mendengarkan segala yang membawa manfaat dari kebaikan, juga menutup telinga dari segala yang diharamkan dan dimakruhkan oleh syariat.
“Apabila engkau berpuasa, maka hendaklah berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu dari berkata dusta dan dosa.” (Jabir bin Abdillah-رًضِيَ اللهُ عَنْهُمَا)
Ketiga, kebenaran otak. Kebenaran ini terwujud dengan meraih ilmu dan pengetahuan, serta menyibukkan otak dengan ibadah merenungkan nikmat-nikmat dan makhluk-makhluk Allah, serta menggunakannya untuk hal-hal yang membawa manfaat bagi seorang mukmin, baik di dunia maupun di akhirat. Kebenaran ini muncul sebagai buah baik mendalami perkara-perkara agama, khususnya puasa, semangat mendengarkan ceramah dan pelajaran. Juga sebagai buah baik menggunakan akal dalam merenungkan ayat-ayat Allah yang dibaca dalam kitab-Nya, dan merenungkan ayat-ayat yang nampak nyata di alam semesta-Nya.
Ummu Darda’ ditanya, ‘Apakah amalan terbaik Abu Ad-Darda’ ?” Ia menjawab, “Berpikir dan memetik pelajaran.”
“Berpikir itu cahaya, lalai itu kegelapan, kebodohan itu kesesatan, dan ilmu itu kehidupan.” (Orang bijak)
Keempat, kebenaran tubuh. Kebenaran ini terwujud dengan tidak memperbanyak makan meski halal sekalipun, dan menahan diri dari segala syubhat yang mubah manakala Allah memerintahkannya, karena tujuan dari puasa adalah mengosongkan perut dan mematahkan syahwat hawa nafsu, sehingga jiwa menjadi kuat untuk bertakwa.
Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
حَسْبُ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثُ طَعَامٍ وَثُلُثُ شَرَابٍ وَثُلُثٌ لِنَفْسِهِ
Cukuplah beberapa suap makan bagi anak Adam untuk sekedar menegakkan tulang punggungnya. Jika pun harus menambah, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk bernafas.” (HR. Imam Ahmad)
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.42-45.
Nasihat
Wasiat Singkat Penutup Ramadhan 1445 H
Wasiat Singkat Penutup Ramadhan 1445 H
Ramadhan 1445 H telah sampai ke penghujungnya, bulan nan mulia penuh ampunan dan rahmat Allah Ta’ala sekali lagi akan pergi meninggalkan kita semua, namun semoga kepergiannya tidak dengan membawa semua ketaatan dan perubahan positif pada diri kita selama sebulan ini, akan tetapi dia pergi dengan membawa kebiasaan buruk kita di bulan-bulan sebelumnya.
Semua ini karena memang manfaat kewajiban puasa ramadhan adalah agar kita menjadi bertakwa, sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS Albaqarah: 183)
Dan Takwa adalah menjalankan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Namun, di sisa hari yang ada, maksimalkanlah kesempatan yang ada, dengan shalat 5 waktu, terawih, tilawah dan itikaf.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena Iman dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari dan Muslim).
Dan haditnya:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Barangsiapa beribadah (menghidupkan) bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari dan Muslim).
Dan perbanyaklah doa berikut ini pada setiap harinya:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ: أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيَّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ اَلْقَدْرِ, مَا أَقُولُ فِيهَا? قَالَ: “قُولِي: اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اَلْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي“
(صَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَالْحَاكِمُ)
Artinya, “Dari sayyidah Aisyah ra, ia bercerita, ia pernah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku mengerti sebuah malam itu adalah lailatul qadar. Bagaimana doa yang harus kubaca?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Bacalah, ‘Allāhumma innaka afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annī (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan menyukai ampunan, maka ampunilah aku),’’” (Hadits ini diakui shahih oleh Imam A-Tirmidzi dan Al-Hakim).
Dan terakhir, agar tidak lupa menunaikan zakat fitrah bagi yang mampu, karena hukumnya wajib dan dia merupakan bentuk syukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat materi dan juga sebagai sarana untuk saling berbagi dengan sesama muslim yang membutuhkan.
Allah Ta’ala berfirman:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya : “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”
(QS Attaubah: 60)
Terakhir, semoga Allah Ta’ala menerima amal ibadah kita selama bulan ramadhan ini dan mengampuni dosa-dosa kita semua, serta semoga Allah Ta’ala memanjangkan umur kita agar kembali dapat menemui ramadhan tahun depan, Aamiin.
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Fatwa9 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
Khutbah8 tahun ago
Waspadailah Sarana yang Mendekatkan pada Zina
-
Fiqih Hisbah8 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Fatwa11 tahun ago
Hukum Membuka Jilbab Untuk Ktp