#haripatahhatiakhwat, Begitu bunyi tagline yang populer dalam beberapa hari terakhir, sebuah taggar yang sangat ambigu untuk dipahami. Apa yang mereka maksud dari taggar tersebut? Siapa yang patah hati? Kenapa harus patah hati? Seorang muslimah yang menyebut dirinya akhwatkah yang sedang berpatah hati? Dan patah hati untuk seorang ikhwan yang bukan miliknya? Jika benar itu maknanya, berarti ada rasa yang sedang bermain? Rasa apa itu? Dan halalkah rasa itu? Bukankah itu tentang berkhayal dengan seseorang non mahram? Silahkan dijawab dengan hati yang jujur kepada Sang Pemiliknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، والقلب تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan jatah zina untuk setiap manusia. Dia akan mendapatkannya dan tidak bisa dihindari: Zina mata dengan melihat, zina lisan dengan ucapan, zina hati dengan membayangkan dan gejolak syahwat, sedangkan kemaluan membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalau begitu adanya, layakkah bagi seorang muslimah yang dengan menyebut dirinya seorang akhwat, berarti sedikit banyaknya ia telah mengetahui hukum-hukum syari’at untuk melakukan hal semacam itu? Dimana rasa malu? Dimana ‘iffah dan marwah? Bukankah kedua rasa tersebut merupakan mahkota termulia seorang wanita dan fitrahnya?
Cermati kisah kedua anak Nabi Syu’aib berikut yang diabadikan oleh Al Qur’an:
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami“. (QS Al Qassash 25)
Lihat betapa rasa malu sebagai fitrah sangat melekat pada diri seorang wanita, sekalipun dalam posisi diperintahkan oleh orangtuanya sendiri. Sedangkan yang dilakukan oleh oknum-oknum akhwat tersebut akankah atas ridho kedua orangtuanya? Ataukah sebenarnya orangtua mereka sudah melarang dari ber sosmed ria untuk menjaga marwah keluarga dan ‘iffah anak-anak gadis mereka itu.
Kemudian, jika mereka mengakui bahwa perbuatan mereka tersebut bukan didasari oleh khayalan haram diatas, lantas apa? Akankah ia sebuah fenomena latah mengikuti trend di media sosial? Latah mengikuti meme-meme tentang kesohor nasional atau internasional yang mana jika mau diakui sebenarnya sosok yang dikagumi dalam meme itu hakikatnya adalah para pengumbar aurat dan penjaja maksiat? Sekali lagi pantaskah? Dan sudikah kelak mereka para akhwat tersebut dikumpulkan bersama para idola yang notabene tidak layak untuk dikagumi oleh pribadi muslim/muslimah tersebut, renungi hadits berikut:
(المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ)
“Seseorang akan dikumpulkan bersama sosok yang ia cintai” (HR. Bukhari-Muslim)
NASEHAT
Islam memang sangat menganjurkan pemuda-pemudi untuk segera menikah, akan tetapi bukan berarti setiap waktu pembahasannya adalah tentang nikah, sehingga membuat baper setiap single kemana ia pergi.
Semua percaya jika urusan jodoh sudah diatur, berarti begitu tentang waktu kapan didapatkannya, jadi lebih baik seorang pemuda/pemudi terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya, daripada menggalaukan status orang lain, karena dengan memantaskan diri terlebih dahulu, insyaallah jodoh yang akan diberikan-Nya sesuai dengan yang diharapkan, sebab JODOH ADALAH REFLEKSI DIRI KAMU, sebagaimana yang disuratkan dalam firman-Nya:
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS An Nur 26)
Jadi jika kamu berharap mendapatkan jodoh dengan kriteria tinggi, maka engkau juga harus menjadi sosok yang berkelas tinggi pula, jika tidak? Jauh api dari panggang itu namanya.
Muhammad Hadhrami Achmadi
Mahasiswa Fak Syariah LIPIA JAKARTA