Connect with us

Muslimah Muhtasibah

HIJRAHMU KEMANA?

Published

on

PART 1

Akhir-akhir ini gairah keislaman semakin menemukan momentumnya, kajian-kajian islami semakin marak, media-media islami semakin mendominasi, dan stigma-stigma negatif tentang islam yang dihembuskan oleh kaum anti islam semakin tidak menjual, untuk itu mari kita syukuri bersama, Alhamdulillah.

Berkatnya, berpenampilan islami di tempat-tempat umum tidak lagi dirisihkan, padahal jika kita memundurkan waktu sedikit saja kembali ke tahun 2000-an, maka tidak jarang mereka yang berpenampilan islami dikucilkan bahkan diintimidasi karena dianggap serupa dengan penampilan para teroris.

Kemudian semuanya berubah dengan cepat, penampilan islami pun lambat-laun kini menjadi bagian trend berpakaian, jika dulu penggunanya diteriaki teroris, kini para artis pun ikut mentenarkannya. Untuk sebatas ini, tidak ada yang perlu dipermasalahkan, toh sebuah pemandangan yang patut disyukuri jika tidak lagi ada orang-orang yang mengumbar aurat di ruang publik.

Namun sebagai usaha menjaga momentum ini agar terus baik bahkan semakin berkualitas, ijinkan penulis menyampaikan sepatah dua patah kata nasehat untuk kita semua tentang hakikat dari berpenampilan islami ini, terutama bagi kaum wanita. untuk itu kami akan membagi tulisan menjadi beberapa bagian agar lebih mudah untuk difahami.

 

1 – KESEMPURNAAN ISLAM

Salah-satu sebab yang membuktikan bahwasanya islam telah sangat sempurna untuk menjadi pedoman hidup umatnya adalah islam sangat memperhatikan tentang kemaslahatan dan kemudharatan, maka tidak ada satupun kebaikan dan pintu-pintunya ataupun kerusakan dan jalan-jalannya kecuali islam telah menerangkannya, sebagaimana yang akan dijelaskan oleh hadits berikut:

عَنِ الْمُطَّلِبِ بْنِ حَنْطَبٍ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا تَرَكْتُ شَيْئَا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ، وَلاَ تَرَكْتُ شَيْـئًا مِمَّا نَـهَاكُمُ اللهُ عَنْهُ إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ

Dari Muththalib bin Hanthab, seorang Tabi’in terpercaya, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun dari perintah-perintah Allah kepada kalian, melainkan telah aku perintahkan kepada kalian. Begitu pula tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun dari larangan-larangan Allah kepada kalian melainkan telah aku larang kalian darinya” (1)

Maka, jelaslah bagi kita maksud dan tujuan dari kewajiban hijab bagi muslimah di dalam islam, yaitu untuk mendatangkan kebaikan bagi wanita itu sendiri dan melindunginya dari tindakan kejahatan. Silahkan cari tahu tentang persentase tingkat kejahatan terhadap kaum wanita dinegara-negara dunia, maka akan kita dapati bahwa negara yang mewajibkan wanitanya untuk berhijab didapati sebagai negara dengan tingkat kejahatan terhadap wanita terkecil jika dibandingkan dengan negara-negara sekuler yang katanya memberikan wanita kebebasannya, namun nyatanya malah mengantar mereka kepada kehancuran yang nyata.
2 – KEISTIMEWAAN TAUBAT

Hijrah dalam konteks kekinian bisa dibilang sebagai sinonim taubat, yaitu keadaan dimana seorang muslim atau muslimah yang bertaubat dari gaya hidupnya yang sekuler tanpa menghiraukan batasan-batasan agama menjadi sesosok yang islami, dimulai dari perubahan style pakaian, dari terbuka menjadi berhijab dan seterusnya dengan mengikuti kajian-kajian islami.

Bagi mereka yang Allah istimewakan dengan hidayah-Nya ini kita sampaikan kabar gembiran dengan firman-Nya:

وَالَّذِينَ عَمِلُواْ السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابُواْ مِن بَعْدِهَا وَآمَنُواْ إِنَّ رَبَّكَ مِن بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَّحِيم

“Dan orang-orang yang mengerjakan dosa-dosa kemudian bertaubat sesudahnya dan beriman maka sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengampun dan Penyayang.” (2)

Dan dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang diceritakan dari Rabbnya ‘azza wa jalla:

أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ. ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَبْدِى أَذْنَبَ ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ. ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ

“Ada seorang hamba yang berbuat dosa lalu dia mengatakan ‘Allahummagfirliy dzanbiy’ [Ya Allah, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi taubatnya, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi gfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi igfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa. Beramallah sesukamu, sungguh engkau telah diampuni.” (3)

 

PART 2

3 – HIJRAHMU KEMANA?

Hijrah kemana dan untuk apa? Itu dia pertanyaan yang harus ditanyakan ke diri masing-masing. Melalui hadits berikut, tanyakan nurani anda.

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (4)

Diatas sudah kita singgung bahwa penampilann islami kini mulai menjadi trend fashion, untuk itulah mengapa kita bertanya tentang arah dan tujuan hijrah itu sendiri, Hijab sebagai suatu kewajiban memiliki maksud dan tujuan yang agung seperti yang sudah kita sebutkan juga diatas, maka jika kita renungkan kembali maka hijab seharusnya menjauhkan seorang wanita dari menarik perhatian publik, bukan malah sebaliknya. Karena hijab itu melindungi maka ia menjauhkan bukan malah mengundang.

Sosial media yang mendominasi keseharian kita lah yang menjadi faktornya utamanya, seorang wanita berhijab yang dikehidupan nyatanya menutup diri dari kaum lelaki, mengapa dikehidupan dunia mayanya malah seakaan membuka diri dengan memposting foto-foto yang jika pose tersebut dilakukannya secara nyata di depan seorang lelaki pasti ia sendiri sudah tahu apa akibatnya.

 

4 – SYARAT DITERIMANYA SUATU AMAL

Hijrah sebagai proses menuju kehidupan yang lebih baik sama dengan amalan-amalan lainnya yang dituntut juga dengan syarat-syarat tertentu agar diterima oleh Allah Ta’ala, jadi apa syarat-syarat tersebut?

Syaikh Muhammad Jamil Zainu rahimahullahu ta’ala menjawab: (5)

Syarat-syarat diterimanya di sisi Allah ada tiga:

Pertama, beriman dan bertauhid kepada Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلاً

“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan shalih, untuk merekalah surga-surga Firdaus.” (QS. Al Kahfi: 107)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قُلْ أَمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ

“Katakan, ‘Aku beriman kepada Allah’, kemudian istiqamah-lah.” [HR. Muslim]

 

Kedua, ikhlas. Yaitu, beramal untuk Allah tanpa riya’ dan sum’ah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ

“Maka, ibadahilah Allah dengan ikhlas untukNya dalam [menjalankan] agama.” (QS. Az Zumar: 2)

 

Ketiga, sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“Dan apa-apa yang datang kepada kalian dari Rasulullah, maka ambillah. Dan apa-apa yang beliau larang darinya untuk kalian, maka jauhilah.” (QS. Al Hasyr: 7)

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja yang mengerjakan amalan yang tidak kami contohkan, maka amalannya tertolak.” [HR. Muslim]

 

5 – ISTIQAMAH-LAH DIATAS HIDAYAH

Hidayah sangatlah mahal, tidak semua orang bisa mendapatkannya, karena hidayah datangnya dari Allah Ta’ala, hanya bagi mereka yang dikehendaki-Nya, untuk itu Istiqamahlah diatas jalan mulia ini, lupakan kehidupan lamamu dan orang-orang yang hendak mengajakmu kembali kepadanya. Berikut wasiat baginda Nabi untukmu:

عَنْ أَبِيْ عَمْرٍو، وَقِيْلَ أَبِيْ عَمْرَةَ، سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِيْ فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ، قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ.

Dari Abu Amr atau Abu Amrah ra; Sufyan bin Abdullah Atsaqafi ra berkata, Aku berkata: Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan menanyakannya kepada seorangpun selain padamu. Rasulullah menjawab, “Katakanlah Saya beriman kemudian istiqomahlah.” (6)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

(إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُوْا عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِىْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ)

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (7)

 

Maka saudariku, resapi lagi olehmu makna hijab tersebut, tinggalkan olehmu rayuan-rayuan dunia yang fana ini, apalah arti ribuan like itu, jika hakikatnya hal tersebut mencederai hakikat hijrah yang sudah susah payah engkau lakukan itu.

Wabillahi At Taufik wal Hidayah.

Wallahu A’lam.

 

(1) Riwayat Imam asy-Syafi’i dalam kitab ar-Risalah (hal. 87-93 no. 289)

(2) (QS. Al A’raaf: 153)

(3) ( HR. Muslim no. 2758). An Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘beramallah sesukamu’ adalah selama engkau berbuat dosa lalu bertaubat, maka Allah akan mengampunimu.

(4) HR. Bukhari-Muslim

(5) Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu. Hudz ‘Aqidatak min Al Kitab wa As Sunnah Ash Shahihah, halaman 9.

(6) (HR. Muslim)

(7)   (QS. Fusshilat/ 41 : 30)

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Pacaran yang Dilarang

Published

on

Pacaran yang dilarang ialah apabila hubungan khusus cinta dan kasih sayang tidak terikat oleh akad pernikahan.
Hal ini dikarenakan banyaknya unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Misalnya memandang pasangan yang bukan mahrom, ikhtilat (bercampur baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom),
khalwat (menyendiri dengan pasangannya di tempat yang sepi), mencium atau berciuman, bergandengan tangan, meraba atau memegang lawan jenisnya, dan perkara-perkara lain yang dilarang oleh syariat Islam.


Mengapa Islam melarang pacaran semacam ini ? Tidak lain kecuali untuk menjaga kemaslahatan ummat manusia itu sendiri. Karena islam adalah agama fithrah yang senantiasa menjaga dan memellihara kemaslahatan manusia sesuai dengan aturan Allah. Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ


Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (Qs. al-Anbiya : 107)


Demikianlah bahwa Islam hendak menjaga manusia tetap di atas kebaikan dan lurus di atas fithrahnya serta melindungi mereka dari kehinaan dan kehancuran. Islam pun telah menyediakan model dan bentuk jalinan asmara yang jauh lebih indah dan menyenangkan dibandingkan jenis pacaran yang hina.


Maka barang siapa yang mengindahkan nilai-nilai Islam dan batasan-batasan syariat yang telah dijelaskan oleh Rasulullah, niscaya ia akan mendapatkan keindahan dan kebahagiaan yang diidamkannya.
Rasulullah-صلى الله عليه وسلم- bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ


“Ada tiga perkara yang apabila dilakukan oleh seseorang ia akan merasakan lezatnya iman ; seseorang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan seorang yang mencintai orang lain karena Allah, dan seseorang yang benci untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah darinya sebagaimana ia benci untuk dilempar ke dalam api neraka”. (HR. al-Bukhari (21), an-Nasai (4988), Ahmad (13617), dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya (237)


Wallahu A’lam

Sumber:

Dosa-dosa Pacaran yang Dianggap Biasa, Saed As-Saedy, hal.15-16

Amar Abdullah bin Syakir

Untuk Pacaran yang Dibolehkan, baca disini :

Pacaran yang Dibolehkan

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Youtube HisbahTv,
Follow Instagram Kami Hisbahnet dan alhisbahbogor

About Author

Continue Reading

Akhlak

Pacaran yang Dibolehkan

Published

on

Adapun pacaran yang dibolehkan yaitu apabila hubungan khusus dua insan berlainan jenis yang bukan mahram yang terjalin atas dasar cinta dan kasih sayang telah diikat dengan akad pernikahan. Inilah hakekat pacaran dalam Islam. Jadi pacaran islami, atau pacaran ala islam ialah hubungan setelah terjadinya akad ijab qabul.

Dalam arti kemesraan dan keterikatan batin terhadap pasangannya berjalan di atas rel yang lurus dan jalur yang dibenarkan oleh syariat serta telah dihalalkan oleh syariat lewat akad suci pernikahan.

Dengan ikatan inilah perkara-perkara yang sebelumnya haram menjadi halal. Bahkan keduanya lebih leluasa dan bebas untuk melakukan apa saja dari apa yang sekedar dilakukan oleh mereka yang tenggelam dalam kubangan pacaran terlarang.

Namun, apabila istilah ‘pacaran islami’ sebagaimana yang dipahami oleh sebagian pemuda pemudi yang katanya hendak tampil beda dengan pacaran orang-orang awam bahwa pacaran yang islami adalah pacaran sebelum pernikahan yang tidak disertai bersentuhan, tidak berciuman dan yang lainnya. Intinya tidak ada kontak fisik antara dua pasangan. Masing-masing saling menjaga diri. Kalaupun harus bertemu dan berbincang, yang menjadi pembicaraan hanyalah tentang tema-tema Islami, tentang dakwah, saling mengingatkan untuk beramal, dan berdzikir kepada Allah serta saling mengingatkan tentang akhirat, Surga dan Neraka.

Pacaran yang diembel-embeli Islam ala mereka tak ubahnya omong kosong belaka. Itu hanyalah makar tipuan setan untuk menjebak agar mangsanya jatuh ke dalam dosa.
Adakah mereka dapat menjaga pandangan mata dari melihat yang haram, yakni memandang wanita atau laki-laki yang bukan mahramnya ? Siapakah yang bisa menjamin bahwa mereka akan selamat dari godaan setan ketika menjalin komunikasi dengan sang pacar yang notabene adalah lawan jenis yang tidak halal baginya ?

Jika mereka mengatakan hal itu adalah pacaran Islami, namun intensitas hubungan mereka dengan lawan jenisnya sangat sering baik melalui telepon, sms, chatting, twitter, facebook, line, whatsapp, email dan lain sebagainya yang demikian itu sama saja dengan pacaran orang-orang awam. Hanya saja dikemas dalam bentuk yang berbeda, lebih halus, dan sepintas lebih Islami.

Secara pribadi penulis tidaklah setuju mengenai kesimpulan penggunaan istilah pacaran yang halal atau dibolehkan, meskipun ia dimaksudkan untuk mereka yang telah mengikat cinta kasihnya dengan tali suci pernikahan.
Atau pacaran yang halal ialah hakekat dari pernikahan itu sendiri. Demikian juga penggunaan istilah pacaran islami yang dimaksudkan sebagai model pacaran yang tidak mengandung unsur-unsur keharaman di dalamnya, seperti khalwat, bergandengan tangan, atau yang semisalnya.
Penggunaan kata pacaran itu sendiri sudah identik dengan aktivitas yang mengandung perkara-perkara haram dan terlarang dalam Islam. Pacaran juga merupakan istilah yang sedari awalnya terbentuk untuk menggambarkan hubungan cinta kasih antara dua lawan jenis sebelum pernikahan. Lihatlah definisi kata pacaran dalam beberapa Kamus Besar Bahasa Indonesia, semuanya dimaksudkan sebagai hubungan cinta kasih antara dua lawan jenis sebelum pernikahan.

Jadi, dari mana kesimpulan bahwa pacaran ialah hakikat dari pernikahan itu sendiri. Ini adalah kesimpulan yang tidak berdasar sama sekali, baik secara bahasa maupun syariat. Demikian juga, Islam tidak pernah mengatakan bahwa pacaran adalah hakikat dari sebuah pernikahan. Bahkan, kalau kita telisik lebih mendalam, dalam Islam tidaklah pernah mengenal istilah kata pacaran. Padahal syariat Islam telah sempurna semenjak wafatnya Rasulullah yang tidak butuh tambahan maupun pengurangan di dalamnya. Oleh karena itu, istilah pacaran bukanlah bersumber dari Islam.

Demikian pula istilah pacaran Islami, dari mana mereka bisa menyimpulkan istilah ini dan menisbatkannya sebagai bagian dari Islam. Membuat konsep tersendiri yang sejatinya masih banyak hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Bahkan menghukumi sebagai sesuatu yang halal. Kalau demikian berarti mereka telah membuat syariat baru dalam Islam, padahal Allah telah berfirman,

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung (Qs. An-Nahl : 116)

Itulah posisi ‘pacaran islami’ dalam Islam. Semua itu dimaksudkan agar tidak tercampur antara kebaikan dan keburukan, atau yang hak dan yang batil akibat penggunaan istilah yang kurang tepat. Juga agar tidak menjadi hujjah maupun tameng bagi sebagian orang untuk menghalalkan pacaran atau berlindung dibalik istilah ‘pacaran islami’ agar tetap bisa melakukan pacaran dengan lawan jenis yang disukainya.

Demikian juga, dikhawatirkan akan bermunculan istilah-istilah yang kurang tepat yang semula istilah-istilah itu identik dengan keburukan maupun perbuatan haram, seperti munculnya istilah musik islami, joged islami, nasyid islami, khamr islami, lagu islami, atau istilah-istilah lain yang sejenisnya yang dinisbatkan pada Islam yang akhirnya akan membuat kerancuan di tengah-tengah umat islam dan menjadi sebab tercampurnya antara yang hak dengan yang batil.

Kalau diperhatikan lebih mendalam, mereka yang terjerumus dalam apa yang disebut ‘pacaran islami’ belum sepenuhnya mengindahkan batasan-batasan syar’i yang telah ditetapkan syariat Islam. Seperti hubungan yang akrab dan dekat di antara mereka yang sejatinya bukanlah mahramnya, kerap melakukan komunikasi walaupun tanpa adanya kontak fisik di dalamnya. Kasus ini tetap tidak dibenarkan dalam syariat karena mereka belum terikat oleh tali suci pernikahan dan mereka masih berstatus orang asing antara yang satu dengan yang lainnya.

Islam juga tidak pernah mengakui pacaran sebagai tahapan yang sah/halal untuk menuju jenjang pernikahan. Karena Islam telah memiliki konsep sendiri yang suci untuk memandu dan mengantarkan asmara mereka ke jenjang tali suci pernikahan. Di mana konsep itu adalah aturan yang selaras dengan fithrah manusia itu sendiri.

Islam tidaklah pernah melegalkan semua jenis hubungan cinta kasih antara dua insan berlainan jenis yang bukan mahramnya yang dikemas dalam kata pacaran ataupun istilah lain yang substansinya sama dengan pacaran, kecuali sekedar mencintai mereka atas dasar saudara seiman dan seislam yang terikat oleh kecintaan karena Allah dengan tetap mengindahkan pilar-pilar syariat yang mulia tersebut.
Rasulullah-صلى الله عليه وسلم- bersabda,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ …وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ

Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah pada hari di mana tidak ada naungan melainkan naungan dari-Nya…dua orang yang saling mencintai karena Allah. Keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah … (HR. Al-Bukhari (660), Muslim, (2427), at-Tirmidzi, (2391), an-Nasai (5380) dan Ahmad (9663).

Adapun dilarangnya pacaran sebelum pernikahan, dikarenakan pacaran yang bertentangan dengan syariat Islam, dan banyaknya mudharat yang bisa merusak kehidupan dan masa depan remaja, keluarga, lingkungan, umat, bangsa dan agama. Semua ini tidak sejalan dengan prinsip dasar islam di mana ia datang demi mewujudkan kemaslahatan umat manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Oleh karena itu, ajaran Islam bersifat universal (menyeluruh) dan konprehensip (utuh) agar pilar-pilar kehidupan tetap tegak dan kokoh demi terwujudnya kebaikan yang semuanya kembali kepada kepentingan umat manusia itu sendiri, baik di dunia maupun akhirat.

Wallahu A’lam

Sumber :
Dosa-dosa Pacaran yang Dianggap Biasa, Saed As-Saedy, hal.17-21

Amar Abdullah bin Syakir

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Youtube HisbahTv,
Follow Instagram Kami Hisbahnet dan alhisbahbogor

About Author

Continue Reading

baru

Hukuman Pezina Di Awal Islam

Published

on

Hukuman Pezina Di Awal Islam

Allah azza wa jalla berfirman,

وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا

“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah member persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah member jalan lain kepadanya”. (Qs. an-Nisa : 15).

Firman-Nya, الْفَاحِشَةَ perbuatan keji.

Menurut jumhur mufassirin (mayoritas kalangan ahli tafsir) yang dimaksud perbuatan keji ialah perbuatan zina, sedang menurut pendapat yang lain ialah segala perbuatan mesum seperti : zina, homoseks dan sejenisnya.

Maka, menurut pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud perbuatan keji dalam ayat ini adalah ‘perbuatan zina’, maka makna ayat ini, yakni,

“Wanita-wanita yang berzina dari istri-istri kalian, tetapkanlah wahai para hakim dan pemimpin dengan empat orang saksi laki-laki yang adil dari kaum muslimin. Bila para saksi menetapkannya atas mereka, maka tahanlah mereka di dalam rumah sampai kehidupan mereka selesai dengan kematian, atau Allah akan meletakkan jalan keluar dalam hal ini.” (at-Tafsir al-Muyassar,2/15)

Kemudian, Allah –سبحانه وتعالى- berfirman,

وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا

“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Qs. an-Nisa : 16)

Yakni, dua orang yang terjatuh ke dalam perbuatan buruk zina, hukumlah mereka berdua dengan pukulan dan pengucilan. Bila keduanya bertaubat dari perbuatan tersebut dan melakukan perbaikan dengan amal-amal shaleh maka hentikanlah hukuman dari mereka.

Dari ayat ini dan sebelumnya bisa disimpulkan bahwa bila kaum laki-laki berzina, maka mereka dihukum yang berakhir dengan taubat dan perbaikan pelaku. Sedangkan kaum wanita dihukum dan dipenjara yang berakhir sampai dengan kematian.

Hal ini berlaku di awal Islam kemudian dinasakh (dihapus) dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya syariatkan, yaitu rajam bagi pezina Muhshon baik laki-laki maupun wanita.

Muhshon adalah laki-laki atau wanita dewasa, merdeka, berakal dan pernah melakukan hubungan suami istri dalam pernikahan yang sah. Dan dicambuk seratus kali plus pengasingan selama satu tahun bagi yang belum muhshon. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dari hamba-hamba-Nya dan Maha Penyayang kepada mereka. (at-Tafsir al-Muyassar, 2/16)

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Youtube HisbahTv,
Follow Instagram Kami Hisbahnet dan alhisbahbogor

Klik iklan yang ada di website.
Dengan mengklik iklan yang ada diwebsite, berarti anda telah membantu oprasional dakwah kami. Jazakallahukhoiron.

About Author

Continue Reading

Trending