Hukum Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –  عَنِ النَّبِيِّ  – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: “لَا تُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ، إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْماً فَلْيَصُمْهُ

Dari Abu Huroiroh – semoga Alloh meridhoinya- dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari jangan pula dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa, maka silakan ia berpuasa.” (HR. al-Bukhori, 4/127 Fath, Muslim, no.1082, dan lafazh hadis ini adalah miliknya)

*                      *                      *

Hadits ini menunjukkan terlarangnya berpuasa sebelum validnya waktu masuk bulan Ramadhan, dengan berpuasa sehari atau dua hari sementara orang tersebut tidak biasa berpuasa dan ia memaksudkan puasanya tersebut sebagai bentuk kehati-hatian untuk Ramadhan. Hal ini karena, puasa merupakan ibadah yang telah dibatasi waktunya tertentu yaitu terlihatnya hilal (bulan baru), maka berpuasa sebelum terlihatnya bulan baru (yang menandakan telah masuknya bulan Ramadhan-ed) termasuk bentuk melanggar batasan-batasn Alloh ta’ala. Dan tindakan tersebut memungkinkan akan terjadinya penambahan dalam ibadah.

Imam at Tirmidzi setelah menyebutkan hadits ini mengatakan: inilah yang dipraktekkan oleh para ahli ilmu, mereka tidak menyukai bila seseorang bersegera berpuasa sebelum masuknya bulan Ramadhan dengan dugaan bahwa ramadhan telah masuk. Tuhfatul Ahwadzi, 3/364  

Dari hadits ini juga diambil faedah adanya larangan berpuasa pada hari yang diragukan (yaumu syak) karena larangan mendahului Ramadhan dengan berpuasa merupakan larangan berpuasa sebelum validnya waktu masuk bulan Ramadhan, akan datang penjelasannya insyaa Alloh.

Adapun barangsiapa mempunyai kebiasaan puasa pada hari tertentu seperti senin – kamis atau berpuasa sehari berbuka sehari, lalu bertepatan waktunya dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan, maka tidaklah mengapa hal itu dilakukan karena telah hilangnya larangan. Begitu pula halnya bagi orang yang berpuasa wajib seperti puasa karena nazar atau karena kafarat atau mengqodho puasa Ramadhan sebelumnya, semua ini boleh dilakukan. Karena hal itu tidak termasuk menyambut bulan Ramadhan.

Jika ditanya, ‘apa jawaban terhadap hadits ‘Imron bin Hushoin –semoga Alloh meridhoi keduanya– bahwa Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada seseorang “ apakah engkau berpuasa dari sarori bulan ini, yakni: Sya’ban ? orang tersebut menjawab : tidak. Maka Rosululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,  “فَإِذَا أَفْطَرْتَ مِنْ رَمَضَانَ فَصُمْ يَوْمَيْنِ مَكَانَهُ” ( kalau begitu, engkau tidak berpuasa dari bulan Ramadhan. Oleh karena itu, berpuasalah dua hari sebagai penggantinya) [HR. al-Bukhori, 3/230, Muslim, no. 1161, dan lafazh ini adalah miliknya], yang mana ini menunjukkan disyariatkannya puasa pada akhir hari bulan Sya’ban; karena yang dimaksud dengan sarori bulan, yakni: akhirnya.

Maka, jawabannya: bahwasanya tidak ada pertentangan antara hadits ini dengan hadits Abu Huroiroh yang disebutkan di atas. Karena hadits ‘Imron dibawa pemahamnnya kepada orang ini bahwa ia biasa berpuasa pada akhir bulan. Ia meninggalkannya karena khawatir masuk dalam larangan mendahului Ramadhan dengan puasa sementara belum sampai kepadanya adanya pengecualian. Oleh kerena itu, Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa puasa yang biasa dilakukan tidak termasuk dalam larangan. Dan beliau memerintahkan orang tersebut untuk menggantinya agar terjadi keberlangsungan dirinya dalam memelihara puasa yang merupakan ibadah yang biasa ia lakukan   kerena amal yang paling dicintai oleh Alloh adalah yang berkesinambungan. Silakan lihat : Tahdziib as Sunan, Ibnu al-Qoyyim(3/221)

Adapun hadits Abu Huroiroh –semoga Alloh meridhoinya– bahwa Rosululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا اِنْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا تَصُوْمُوْا

Apabila bulan Sya’ban telah memasuki pertengahannya, maka janganlah kalian berpuasa.

Dalam sebuah riwayat,

إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوْا عَنِ الصِّيَامِ حَتَّى يَكُوْنَ رَمَضَانُ

Apabila telah sampai pertengahan bulan Sya’ban, maka hendaklah kalian menahan diri dari puasa hingga tiba bulan Ramadhan.

Maka, hal ini dapat dijawab dengan dua jawaban :

Pertama, bahwa hadis tersebut diperselisihkan (oleh para ulama) tentang kedudukannya apakah shohih ataukah dho’if. [Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, 6/460, at Tirmidzi, 3/437, Ahmad, 2/442, imam Ahmad berkomentar tentang hadis tersebut : ini hadis munkar, dan Abdurrohman bin Mahdiy, Abu Zur’ah ar Roziy dan al-Atsrom menganggapnya munkar, sementara at Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim dan yang lainnya menshohihkannya. Silakan lihat : ‘Aunul Ma’buud, 6/460, Mukhtashor Sunan Abu Dawud beserta Ma’alimu as Sunan, dan Tamhiid karya Ibnu al-Qoyyim, 3/223-225.] 

Kedua, menurut pendapat, bahwa hadits tersebut shohih maka hadits tersebut dibawa pemahamannya kepada orang yang berpuasa sunnah secara mutlaq yang dimulai sejak pertengahan bulan Sya’ban, adapun orang yang bisanya berpuasa senin kamis, atau puasa sehari berbuka sehari, atau ia melanjutkan puasanya yang telah dilakukannya pada pertengahan yang peratma ke pertengahan yang kedua, atau orang tersebut berpuasa karena ia berkewajiban mengqodho puasa yang pernah ia tinggalkan pada Ramadhan sebelumnya, dengan demikian maka tidak masuk dalam larangan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Dan, telah valid bahwa Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam berpuasa pada bulan Sya’ban. ‘Aisyah pernah ditanya tentang puasa Rosululloh shallallohu ‘alaihi wasallam, ia pun menjawab:

كَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ حَتَّى يَصِلَهُ بِرَمَضَانَ

Biasanya beliau berpuasa pada bulan Sya’ban hingga beliau melanjutkannya dengan puasa di bulan Romadhan.

Ia juga berkata:

وَكَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الْاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ

Dan beliau biasa melakukan puasa hari senin dan hari kamis.

Hal ini tidak bertentangan dengan hadits Abu Huroiroh, karena puasa beliau shallallohu ‘alaihi wasallam pada bulan Sya’ban merupakan kebiasaan yang beliau lakukan, sehingga hal tersebut termasuk dalam pengecualian dalam hadits Abu Huroiroh, “إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْماً فَلْيَصُمْهُ” ( kecuali seseorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa, maka silakan ia berpuasa). Wallohu a’lam

 

Sumber :

Ahaadiitsu ash-Shiyam; Ahkaamun Wa Aadaabun, Abdullah bin Sholeh al-Fauzan

 

Amar Abdullah bin Syakir, LC.

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *