Connect with us

Fiqih

Hukum Menshalatkan Jenazah di Kuburan

Published

on

Apakah menshalatkan jenazah di kuburan dapat dimasukkan ke dalam larangan shalat di kuburan?

Pertama, Jenazah tersebut telah dishalati sebelum dikuburkan dan ada sebagian orang yang belum menshalatinya, maka disyariatkan bagi mereka untuk menshalatinya di atas kuburannya menurut pendapat Ibnu Hazm, Ahmad, Asy-Syafi’i, jumhur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, Abu Musa Al-Asy’ari dan para shahabat yang lainnya .

Dan ini yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Kata Al-Imam Ahmad: “Siapa yang akan ragu tentang bolehnya, sementara hal itu telah diriwayatkan dari Rasulullah melalui enam jalan periwayatan yang mana semua sanadnya baik.”
Di antara hadits-hadits tersebut adalah hadits Abu Hurairah, bahwasanya Nabi merasa kehilangan wanita yang biasa menyapu masjid beliau, maka beliaupun menanyakannya kepada para shahabat. Merekapun menjawab bahwa dia telah meninggal. Kemudian Rasululah berkata: “Tidakkah kalian mengabariku?” Mereka menjawab: “Dia meninggal di malam hari dan kami tidak ingin mengganggu engkau.” Rasulullah berkata:

“Tunjukkan kepadaku kuburannya.”
Para shahabat pun menunjukkannya, kemudian Rasulullah r mendatangi kuburannya dan menshalatinya (di atas kuburannya). (Shahih, HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan yang lainnya. Lihat hadits-hadits lainnya dalam Irwa`ul Ghalil, 3/183-186)
Sementara Asy-Syaikh Al-Albani dan Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahumallah membatasi bolehnya menshalati jenazah yang sudah dikubur apabila imam termasuk yang belum menshalatkannya.
Namun pendapat yang pertama lebih kuat berdasarkan keumuman hadits Malik Ibnul Huwairits z:

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat shalatku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Adapun pendapat Abu Hanifah dan Malik rahimahumallah bahwa hal itu tidak boleh kecuali  wali dari jenazah tersebut (seperti ayahnya, anaknya, dll) tidak hadir ketika jenazah tersebut dishalatkan dan dikuburkan, maka boleh baginya untuk menshalatkannya di atas kuburannya. Namun ini adalah pendapat yang lemah karena ini merupakan pengkhususan tanpa dalil yang bertentangan dengan keumuman hadits-hadits di atas.


Setelah kita mengetahui bahwa yang rajih (pendapat yang kuat) adalah disyariatkannya menshalati jenazah yang telah dikuburkan di atas kuburannya bagi siapa yang belum menshalatinya, maka perlu diketahui bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai batasan waktu lamanya kuburan tersebut. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Selama jasadnya belum hancur.” Al-Imam Ahmad berkata: “Hanya sampai sebulan setelah dikuburkan karena itulah waktu terlama yang diriwayatkan dari Rasululah.”


Akan tetapi hadits tersebut semuanya dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan hujjah sebagaimana dalam Irwa`ul Ghalil (3/183, 186). Kalaupun hadits-hadits tersebut shahih maka sebagaimana perkataan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Shalat Rasulullah terhadap jenazah yang telah terkubur selama sebulan tidaklah menunjukkan pembatasan waktu, karena perbuatan Rasulullah tersebut terjadi begitu saja, bertepatan dengan genapnya umur kuburan itu sebulan dan Rasulullah bukannya sengaja memaksudkan umur kuburan itu.” Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Yang benar adalah bolehnya, meskipun telah melewati sebulan dari penguburannya. Hanya saja sebagian ulama memberi batasan yang bagus yaitu dengan syarat bahwa mayat yang terkubur itu meninggal pada waktu di mana orang yang hendak menshalatinya (di atas kuburannya) termasuk orang yang pantas (menurut tinjauan syariat) meshalatinya ketika meninggalnya.


Contohnya, seseorang meninggal 20 tahun yang lalu kemudian ada orang yang berumur 30 tahun mendatangi kuburannya untuk menshalatinya. Hal ini boleh karena ketika orang tersebut meninggal, berarti orang yang meshalatinya telah berumur 10 tahun, maka dia termasuk orang yang pantas menshalatinya pada saat meninggalnya.

Contoh yang lain, seseorang meninggal 30 tahun yang silam, kemudian ada sesesorang berumur 20 tahun mendatangi kuburannya untuk menshalatinya. Hal ini tidak boleh karena ketika orang tersebut meninggal berarti orang yang menshalatinya belum lahir ke dunia, maka dia tidak termasuk orang yang pantas menshalatinya pada saat meninggalnya.

Oleh karena itu tidak disyariatkan bagi kita untuk menshalati Rasulullah di kuburannya dan kami tidak mengetahui ada seorang ulama yang mengatakan disyariatkannya menshalati Rasulullah di kuburannya, atau menshalati shahabat di kuburan mereka. Bahkan cukup baginya untuk berdiri di kuburan mereka dan mendoakannya.”
Dan pendapat inilah yang rajih (terkuat) insya Allah.


Kedua, Jenazah tersebut belum dishalati sama sekali kemudian dikuburkan. Dalam hal ini Abu Hanifah dan Malik rahimahumallah tidak menyelisihi jumhur bahwa disyariatkan untuk menshalatinya di atas kuburannya. Asy-Syaukani berkata: “Adapun mayat yang belum dishalatkan (kemudian dikuburkan) maka kewajiban (atas sebagian kaum muslimin) untuk meshalatinya yang telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil dan ijma’ (kesepakatan ulama) tetap berlaku. Dan menjadikan penguburannya sebagai alasan untuk menjatuhkan (menghapus) kewajiban tersebut membutuhkan dalil.”


Adapun kaifiyyah (tata cara) menshalatkan jenazah yang telah dikuburkan maka sebagaimana dijelaskan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin bahwa caranya sama dengan menshalatkan jenazah yang belum dikuburkan yaitu kalau jenazahnya laki-laki maka orang yang menshalatinya berdiri sejajar dengan kepalanya (bagian kepala kuburan), dan kalau jenazahnya wanita maka dia berdiri sejajar dengan pinggangnya (bagian tengah kuburan) dan dia menjadikan kuburan tersebut di hadapannya berada di antara dia dengan kiblat.

Berikutnya, kalau yang dimaksud adalah jenazah yang telah dishalati di mushalla (tanah lapang yang khusus disediakan untuk menshalati jenazah) atau di masjid-masjid dan telah dibawa ke area pekuburan, kemudian datang sebagian orang yang belum menshalatinya mendapati jenazah tersebut masih di area pekuburan belum dikuburkan, apakah boleh bagi mereka untuk menshalatinya? Maka jawabannya sebagaimana yang dikatakan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin : “Di sisi kita ada keumuman hadits:

“Bumi itu semuanya merupakan masjid (tempat shalat) kecuali kuburan dan kamar mandi.” (Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud, dll)

Maka apa dalil yang mengeluarkannya dari keumuman hadits tersebut (yang mencakup larangan menshalati jenazah di area pekuburan)? Mereka mengatakan: “Kita meng-qiyas-kan terhadap bolehnya menshalati jenazah (yang telah dikuburkan di atas kuburannya), selama perkara ini (yaitu menshalati jenazah yang telah dikuburkan) telah jelas-jelas dilakukan oleh Rasulullah.

Maka tidak ada perbedaan dengan menshalati jenazah yang telah dikuburkan dengan menshalati jenazah yang belum dikuburkan, karena ‘illah (sebab/ alasan) yang menggabungkan/menyamakan antara kedua perkara ini adalah sama, yaitu bahwa mayat tersebut dishalati sama-sama di area pekuburan.” Kemudian beliau berkata: “Dan amalan kaum muslimin yang berlangsung adalah demikian, yaitu menshalati mayat yang telah berada di area pekuburan meskipun belum dikuburkan.” Begitu pula fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz  ketika ditanya tentang hukum mengulangi shalat terhadap jenazah, maka beliau menjawab: “Kalau di sana ada sebabnya maka tidak mengapa.

Misalnya ada beberapa orang yang datang setelah jenazah dishalati maka boleh bagi mereka menshalatinya di antara kuburan-kuburan (kalau mendapatinya belum dikuburkan) atau menshalatinya di atas kuburannya (kalau mendapatinya telah dikuburkan)…”

Adapun mengatakan bolehnya menshalati jenazah di area pekuburan secara mutlak sebagaimana perkataan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla6, maka ini telah dibantah oleh Asy-Syaikh Al-Albani  dalam Ahkamul Janaiz, beliau berkata: “Dan apa yang dikatakan oleh Ibnu Hazm t tentang bolehnya melaksanakan shalat jenazah di area pekuburan perlu ditinjau kembali, karena tidak ada nash (dalil) yang menunjukkan bolehnya hal itu.

Kalaulah seandainya Ibnu Hazm termasuk dari kalangan ulama yang berhujjah dengan qiyas maka tentu kita akan mengatakan bahwa beliau meng-qiyas-kannya terhadap bolehnya menshalati jenazah (yang telah dikuburkan) di atas kuburannya. Namun beliau berpendapat batilnya berhujjah dengan qiyas secara mutlak, sementara pelaksanaan shalat jenazah di area pekuburan menyelisihi Sunnah Nabi yang tidak pernah mencontohkan pelaksanaan shalat jenazah kecuali di mushalla (tanah lapang yang khusus disiapkan untuk menshalati jenazah ) dan di masjid Bahkan terdapat hadits yang melarang secara jelas pelaksanaan shalat jenazah di antara kuburan-kuburan, sebagaimana pada riwayat hadits Anas”.
Yaitu hadits yang diriwayatkan Ibnul A’rabi, Ath-Thabrani da Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dengan lafadz:

“Bahwasanya Nabi melarang shalat jenazah di antara kuburan-kuburan.” (Sanadnya dihasankan oleh Al-Haitsami dan Al-Albani rahimahumallah. Lihat Ahkamul Janaiz, hal. 138 dan 270)


Oleh karena itu, berdasarkan hadits ini Asy-Syaikh Al-Albani t mengatakan tidak bolehnya melaksanakan shalat jenazah di kuburan, atau minimal hukumnya makruh, sebagaimana pendapat Al-Imam Malik dan Ahmad pada riwayat yang lain dari keduanya, Asy-Syafi’i dan jumhur ulama rahimahumullah.

Maraji’:
Al-Mughni, 2/312 dan 322

Al-Majmu’, 5/210 dan 231

Zadul Ma’ad, 1/512

Nailul Authar, 4/52

Ad-Darari, hal. 110

Ahkamul Janaiz, hal. 112, 138 dan 273-274

Asy-Syarhul Mumti’, 5/434-437

Ijabatus Sail, hal. 85

Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, 13/156

 

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fatwa

Bagaimana Manusia Berhadapan dengan Bulan Puasa ? ***

Published

on

Bagaimana Manusia Berhadapan dengan Bulan Puasa ?

***

Alhamdulillah. Kita bersyukur kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-yang telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan puasa. Sungguh, ini bagian dari nikmatnya yang utama, karena di didalamnya terdapat banyak kebaikan yang beraneka ragam bentuknya. Bahkan, puasa pun yang merupakan bagian dari amal yang disyariatkan-Nya untuk mengisi waktu-waktu di siang harinya, mulai sejak terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari adalah merupakan bagian dari nikmat-Nya yang utama, karena ternyata amal ini banyak keutamaan dan keistimewaannya.

 

Namun demikian, bagaimana dengan kita, manusia ketika berhadapan dengan bulan puasa ini ? Apakah semua orang memiliki sikap yang sama ?

 

Mari kita baca tulisan berikut ini, mudah-mudahan Anda akan menemukan jawabannya.

 

Selamat membaca. Semoga Anda mendapatkan sejumlah manfaat darinya. Amin

***

Klasifikasi Manusia

Terkait dengan bulan Ramadhan, manusia terbagi menjadi beberapa macam :

 

Pertama, kelompok yang menunggu kedatangan bulan ini dengan penuh kesabaran. Ia bertambah gembira dengan kedatangannya, hingga ia pun menyingsingkan lengan dan bersungguh-sungguh mengerjakan segala macam bentuk ibadah, seperti ; puasa, shalat, sedekah, dan lain sebagainya. Ini merupakan kelompok yang terbaik.

 

Ibnu Abbas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-menuturkan, “Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ- adalah orang yang paling dermawan. Namun, beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan, ketika beliau ditemui Jibril. Setiap malam pada bulan Ramadhan, Jibril menemui beliau hingga akhir bulan. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ-membacakan al-Qur’an kepadanya. Bila beliau bertemu Jibril, beliau lebih berderma daripada angin yang bertiup.” (HR. al-Bukhari)

 

Kedua, kelompok yang sejak bulan Ramadhan datang sampai berlalu, keadaan mereka tetap sama saja seperti sebelum Ramadhan. Mereka tidak terpengaruh oleh bulan puasa itu serta tidak bertambah senang atau bersegera dalam hal kebaikan. Kelompok ini adalah orang-orang yang menyia-nyiakan keuntungan besar yang nilainya tidak bisa diukur dengan apa pun. Sebab, seorang muslim akan bertambah semangatnya pada waktu-waktu yang banyak terdapat kebaikan dan pahala di dalamnya.

 

Ketiga, kelompok yang tidak mengenal Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, kecuali pada bulan Ramadhan saja. Bila bulan Ramadhan datang, Anda dapat melihat mereka ikut rukuk dan sujud dalam shalat. Tetapi, bila Ramadhan berakhir, mereka kembali berbuat maksiat seperti semula. Mereka adalah kaum yang disebutkan kepada imam Ahmad dan Fudhil bin ‘Iyadh dan keduanya berkata, “Mereka adalah seburuk-buruk kaum lantaran tidak mengenal Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-kecuali pada bulan Ramadhan.”

 

Karena itu, setiap orang yang termasuk dalam kelompok ini semestinya tahu bahwa ia telah menipu dirinya sendiri dengan perbuatannya tersebut. Setan pun juga memperoleh keuntungan besar darinya. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

 

الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ  [محمد : 25]

 

Setan telah menjadikan mereka mudah (burbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (Muhammad : 25)

 

Sebagai bentuk ajakan dan peringatan untuk kelompok seperti mereka, hendaklah mereka bertaubat kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-dengan sebenar-benarnya taubat. Kami menghimbau agar mereka memanfaatkan bulan ini untuk kembali dan tunduk kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-serta meminta ampun dan meninggalkan perbuatan buruk yang telah lalu. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى  [طه : 82]

 

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha : 82)

 

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا  [الفرقان : 70]

 

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Furqan : 70)

 

Bila Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-telah mengetahui ketulusan dan keikhlasan mereka, maka Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-akan memaafkan mereka sebagaimana yang Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-janjikan. Karena, Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak akan mengingkari janji-Nya. Namun, bila mereka tetap saja berbuat maksiat, maka kita harus mengingatkan perbuatan mereka, dan menyampaikan bahwa mereka dalam bahaya besar. Bahaya macam apalagi yang lebih besar daripada meremehkan kewajiban, batasan-batasan, perintah, dan larangan-Nya.

 

Keempat, kelompok yang hanya perutnya saja yang berpuasa dari segala macam makanan, namun tidak manahan diri dari selain itu. Anda akan melihatnya sebagai orang yang paling tidak berselera terhadap makanan dan minuman. Akan tetapi, mereka tidak merasa gerah ketika mendengar kemungkaran, ghibah, adu domba, dan penghinaan. Bahkan, inilah kebiasaannya pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya.

Kepada orang seperti ini, perlu kita sampaikan bahwa kemaksiatan pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya itu diharamkan, tetapi lebih diharamkan lagi pada bulan Ramadhan, menurut pendapat sebagian ulama. Dengan kemaksiatan tersebut berarti mereka telah menodai puasa dan menyia-nyiakan pahala yang banyak.

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ia berkata, Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ-bersabda,

 

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

 

“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka tidak ada kebutuhan bagi Allah terhadap tindakan orang yang meninggalkan makan dan minumnya.”

(HR. al-Bukhari dan Abu Dawud)

 

Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-juga bersabda,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَ الشُّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ

 

“Puasa itu bukan sekedar menahan makan dan minum, tetapi puasa itu adalah meninggalkan perbuatan sia-sia dan perkataan keji” (HR. Ibnu Khuzaimah)

 

Kelima, kelompok yang menjadikan siang hari untuk tidur, sedangkan malam harinya untuk begadang dan main-main belaka. Mereka tidak memanfaatkan siangnya untuk berdzikir dan berbuat kebaikan, tidak pula membersihkan malamnya dari hal-hal yang diharamkan.

Kepada orang-orang seperti ini perlu kita sampaikan agar mereka takut kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berkenaan dengan diri mereka. Janganlah menyia-nyiakan kebaikan yang datang kepada mereka. Mereka telah hidup sejahtera dan makmur. Hendaklah mereka bertaubat kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-dengan taubat nasuha dan bergembira dengan berita dari Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-yang menyenangkan.

 

Keenam, kelompok yang tidak mengenal Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lainnya. Mereka adalah kelompok yang paling buruk dan berbahaya. Anda akan  melihat  mereka tidak memperhatikan shalat atau puasa. Mereka meninggalkan kewajiban itu secara sengaja, padahal kondisinya sehat dan segar bugar. Setelah itu mereka mengaku sebagai orang Islam. Padahal, Islam sangat jauh dari mereka, bagaikan jauhnya Barat dan Timur. Orang-orang Islam pun berlepas diri dari mereka.

 

Kepada orang-orang semacam ini perlu dikatakan, “Segeralah bertaubat dan kembalilah kepada agama kalian. Lipatlah lembaran hitam hidup kalian. Sesungguhnya, Rabb kalian Maha Penyayang kepada siapa saja yang mentaati-Nya, dan sangat keras siksanya kepada orang yang mendurhakai-Nya.”

 

Demikianlah, klasifikasi manusia secara global berkaitan dengan bulan Ramadhan (bulan puasa). Meski mungkin sebagian kelompok masuk pada kelompok lainnya, namun ini perlu dijelaskan.

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Mukhalafat Ramadhan, Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan, ei, hal. 25-29

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: MDH tv (Media Dakwah Hisbah )
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Jagalah Shalat…Jagalah Shalat (bag.2)

Published

on

Artikel Sebelumnya Jagalah Shalat…Jagalah Shalat (bag.1)

Jagalah shalat…Jagalah shalat !

Ini adalah wasiat Nabi kita, ia termasuk ke dalam sabda terakhir yang diisimak dari beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

Wahai orang-orang yang mencintai Nabi, jagalah shalat, jagalah shalat, ini adalah wasiat dan pesan beliau kepada kalian.

 

Dalam Musnad imam Ahmad [1] dengan sanad yang jayyid, bahwa pada suatu hari shalat disebut-sebut di depan Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-maka beliau bersabda,

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا وَبُرْهَانًا وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ وَلَا بُرْهَانٌ وَلَا نَجَاةٌ وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ

 

“Barang siapa menjaga shalat, maka ia menjadi cahaya, bukti, dan keselamatan untuknya pada hari Kiamat. Dan barangsiapa tidak menjaganya, maka dia tidak mempunyai cahaya, bukti, dan keselamatan, dan pada Hari Kiamat dia bersama Qarun, Fir’aun, Haman dan Ubay bin Khalaf.”

 

Maksudnya, orang yang meninggalkan shalat, yang tidak menjaganya akan dikumpulkan pada hari Kiamat bersama para dedengkot kekafiran dan para penopang kebatilan.

 

Dalam shahih Muslim [2], dari Jabir bin Abdullah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا -, bahwa Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

 

“Sesungguhnya (perbedaan) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”

 

Dalam al-Musnad [3] dari Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, bahwa beliau bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

 

“Perjanjian yang (membedakan) antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya, maka sungguh dia telah kafir.”

 

Dalam shahih al-Bukhari [4], dari Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bahwa beliau bersabda,

مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذَلِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِي لَهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ فَلَا تُخْفِرُوا اللَّهَ فِي ذِمَّتِهِ

 

“Barang siapa mendirikan shalat kami, menghadap kiblat kami, dan memakan sembelihan kami, maka dialah Muslim yang mendapatkan jaminan Allah dan jaminan Rasul-Nya, maka janganlah kalian membatalkan jaminan Allah.”

 

Hadis-hadis dalam bab ini berjumlah banyak.

 

Wahai orang-orang yang mengikuti Nabi dan mencintai beliau, bertakwalah kepada Allah. Jagalah wasiat beliau. Ingatlah sabda beliau di saat-saat akhir dalam kehidupan beliau, dan pada saat beliau mengucapkan selamat tinggal kepada umat,

اَلصَّلَاةَ اَلصَّلَاةَ

“Jagalah shalat, jagalah shalat.”

 

Lihatlah kepada sirah orang-orang yang mencintai Nabi dengan benar, generasi pertama umat ini. Betapa suci perjalanan hidup tersebut.

 

Imam Muslim meriwayatkan di dalam shahihnya [5] dari Abdullah bin Mas’ud-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, dia berkata,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ

 

“Barang siapa ingin berbahagia bertemu dengan Allah besok hari dalam keadaan Muslim, maka hendaklah dia menjaga shalat-shalat di mana dikumandangkan adzan padanya, karena sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah seperti shalatnya orang yang tertinggal (dari shalat berjama’ah) ini, niscaya kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Dan jika kalian meninggalkan Sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan tersesat. Tidaklah seorang laki-laki yang bersuci lalu dia melakukannya dengan baik kemudian dia berangkat ke salah satu masjid di antara masjid-masjid yang ada, melainkan Allah menulis untuknya satu kebaikan dengan setiap langkah yang dilangkahkannya dan mengangkat satu derajat dengannya serta menghapus satu keburukan dengannya. Aku telah melihat kami-yakni para sahabat Nabi- tidak ada yang meninggalkan shalat berjama’ah (yaitu shalat berjama’ah di masjid-masjid) kecuali pasti dia seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya. Dan sungguh seseorang (dari kami) dipapah dan dihadirkan, sehingga akhirnya diberdirikan di shaf.”

 

Perhatikanlah sebuah potret yang cemerlang dan keadaan yang membanggakan dari para sahabat Nabi yang mulia. Mereka memahami sunnah beliau, mengerti wasiat beliau, mereka merealisasikan ittiba’ dan keteladanan kepada beliau. Seorang laki-laki dari mereka dihadirkan ke shaf dengan dipapah oleh dua orang, keduanya membantunya dari kedua sisinya sehingga dia bisa diberdirikan di shaf, sementara fakta keadaan mayoritas orang yang kurang menghargai shalat itu sering dilalaikan oleh perkara sepele sehingga mereka berani mengorbankan shalat jamaah.

 

Ingatlah, hendaklah kita semua bertakwa kepada Allah dalam urusan shalat dengan menjaganya, mendirikannya, memelihara rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, dan wajib-wajibnya. Shalat adalah perkara pertama yang akan diminta pertanggungjawabannya dari seorang hamba pada hari Kiamat, bila shalatnya diterima maka diterimalah amal-amalnya yang lain, dan bila shalatnya tertolak, maka tertolaklah amal-amalnya yang lain.

 

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendirikan shalat dan yang mengikuti Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

Ya Allah, bangkitkanlah kami dalam rombongan Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan di bawah panji beliau. Bimbinglah kami untuk mengikuti beliau, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan.

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Ta’zhimu ash-Shalati, Prof.Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal.18-20.

Catatan :

[1] Musnad Ahmad, no. 6576. Syaikh Ibnu Baz berkata, “Sanadnya hasan.” Majmu’ al-Fatawa milik beliau, 10/278.

[2] Shahih Muslim, no. 82

[3] Musnad Ahmad, no. 22937; diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2621 dan Ibnu Majah, no. 1079 : dari hadis Buraidah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-.Dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih at-targhib, no. 564.

[4] Shahih al-Bukhari, no. 391 dari Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-.

[5] Shahih Muslim, no. 654.

About Author

Continue Reading

baru

Jagalah Shalat…Jagalah Shalat (bag.1)

Published

on

Sesungguhnya di antara musibah paling besar, paling berat dan paling agung yang menimpa umat adalah musibah wafatnya Nabi yang mulia-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang Allah telah memberikan nikmat kepada umat manusia dengan adanya pengutusan beliau. Beliau adalah penunjuk jalan umat ke Surga, pembimbing mereka kepada segala kemuliaan, dan imam dalam semua kebaikan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا  [الأحزاب : 21]

Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah dengan banyak.” (al-Ahzab : 21)

Peristiwa besar wafatnya Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ini, mengandung banyak nasehat dan pelajaran yang beraneka ragam, kita patut berhenti padanya untuk merenungkannya. Dan salah satu nasihat dan pelajaran terbesarnya adalah berkenaan dengan ibadah shalat dan kedudukannya yang penting. Sebuah nasehat dan pelajaran yang mendalam, menyentuh hati sanubari yang disarikan dari kejadian besar dan peristiwa yang agung tersebut.

Shalat terakhir yang Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dirikan bersama orang-orang Mukmin adalah shalat Zhuhur pada Hari Kamis, kemudian semakin beratlah sakit yang beliau derita sehingga selama tiga hari beliau tidak mampu pergi ke masjid untuk shalat karena parahnya sakit tersebut, yaitu Hari Jum’at, Sabtu dan Ahad. Yang menggantikan posisi beliau di dalam shalat sebagai imam kaum Muslimin adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Pada Shubuh Hari Senin –yaitu hari di mana beliau wafat, beliau membuka kain kelambu di kamar Aisyah untuk memandang para sahabat, pandangan perpisahan, dan betapa beratnya perpisahan tersebut. al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahih keduanya [1] dari Anas bin Malik-رَضِيَ اللهُ عَنْهٌ-,

“Bahwa Abu Bakar mengimami shalat orang-orang pada masa Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sakit yang akhirnya beliau wafat padanya. Manakala Hari Senin tiba, sementara orang-orang sedang berbaris di dalam shalat, Nabi membuka kain kelambu kamar, beliau memandang kepada kami dalam keadaan  berdiri, wajah beliau seperti kertas mushaf, kemudian beliau tersenyum tertawa, kami hampir batal (di dalam shalat tersebut) karena kami berbahagia melihat Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, lalu Abu Bakar melangkah mundur untuk mencapai shaf (depan), dia menyangka Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- akan keluar untuk shalat, namun beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-memberi isyarat kepada kami agar kami menyempurnakan shalat. Beliau menurunkan kain kelambu lalu pada hari itulah beliau wafat.”

Hendaknya kita merenung untuk mengambil nasihat dan pelajaran. Inilah nabi kita -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang memandang umat beliau di masjid dengan pandangan perpisahan. Beliau memandang dengan pandangan yang  menjadi sumber kebahagiaan beliau, di mana shalat adalah sumber kebahagiaan bagi beliau. Allah membuat beliau berbahagia di pagi hari yang beliau wafat padanya dengan melihat umat beliau berkumpul di masjid untuk mendirikan shalat. Beliau tersenyum tertawa. Sungguh sebuah senyuman kebahagiaan dan ketentraman, tertawa bahagia dan gembira dengan sebab beliau melihat umat beliau yang berkumpul di masjid mendirikan shalat. Nabi menurunkan kain kelambu dengan penuh kebahagiaan karena menyaksikan pemandangan yang  membahagiakan dan potret yang membuat mata beliau berbinar. Umat beliau, umat Islam, berkumpul di masjid mendirikan shalat. Allah membahagiakan beliau dengan pemandangan yang membahagiakan dan potret yang membuat mata beliau berbinar.

Urusan shalat tidak berhenti sampai batas ini pada saat-saat terakhir dari kehidupan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Ali-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –berkata sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam al-Musnad [2] dengan sanad yang shahih,

كَانَ آخِرُ كَلَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ اتَّقُوا اللَّهَ فِيمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Akhir perkataan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- adalah ‘(Jagalah) shalat. (Jagalah) shalat. Bertakwalah kalian kepada Allah berkenaan dengan hamba sahaya kalian’.”

Bahkan ada sabda beliau yang lebih mendalam daripada ini di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya [3] dengan sanad yang shahih dari Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -, dia berkata,

كَانَتْ عَامَّةُ وَصِيَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حِيْنَ حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ وَهُوَ يُغَرْغِرُ بِنَفْسِهِ ( اَلصَّلَاةَ . وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ )

“Kebanyakan wasiat Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pada saat ajal kematian datang kepada beliau sementara nafas beliau tersendat-sendat adalah, ‘(Jagalah) shalat dan (bertakwalah kepada Allah) berkenaan dengan hamba sahaya kalian’.”

Dalam riwayat Ummu Salamah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا –istri  Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-

أَنَّهُ كَانَ عَامَّةُ وَصِيَّةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ مَوْتِهِ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيضُ بِهَا لِسَانُهُ

Kebanyakan wasiat Nabi Allah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjelang wafat, ‘(Jagalah) shalat, (jagalah) shalat, dan (bertakwalah kepada Allah) berkenaan dengan hamba sahaya kalian.’ Sampai-sampai Nabi Allah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-  menggumamkannya di dalam dada beliau, sementara lidah beliau tidak mengungkapkannya secara jelas.” [4]

Ini tanpa disangsikan, menunjukkan kepada kita akan besarnya kedudukan shalat di dalam agama Islam, dan begitu besarnya perhatian Nabi kita -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kepada shalat. Siapa yang membaca hadis-hadis beliau yang mulia dan wasiat-wasiat beliau yang luhur dalam kehidupan beliau seluruhnya, maka dia akan mengetahui nilai shalat dan kedudukannya di dalam Islam.

Di antara bukti atas besar dan pentingnya kedudukan shalat adalah bahwa ia dikhususkan di antara kewajiban-kewajiban Islam dan keumuman ketaatan lainnya, yaitu bahwa Allah memi’rajkan NabiNya ke langit yang ketujuh, di sana, di langit yang ketujuh Allah mewajibkan shalat kepada beliau. Beliau mendengar perintah dan ketetapan Allah secara langsung tanpa ada perantara. Pertama kali diwajibkan sebanyak 50 shalat atas beliau, lalu beliau memohon kepada Allah agar meringankannya, sehingga ia diringankan jadi lima waktu. Maka jumlah shalat Fardhu adalah lima, namun lima puluh dalam pahala, sementara ketaatan-ketaatan yang umum, kewajiban-kewajiban dan ibadah-ibadah yang lain dibawa turun oleh Malaikat Jibril ke bumi, dialah yang mewahyukannya kepada Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan menjelaskannya. Ini membuktikan kepada kita akan agungnya kedudukan shalat.

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Ta’zhimu ash-Shalati, Prof.Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal.14-18.

 

Catatan :

[1] Al-Bukhari, no. 680 dan Muslim, no. 419

[2] Musnad Ahmad, no. 585, diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5155 dan Ibnu Majah, no. 2698, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih al-Jami’, no. 4616.

[3] no. 2697 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 2178.

[4] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 26483, 26684 dan an-Nasai dalam al-Kubra, no. 7060, sanadnya dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’, 7/238.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending