Jangan Diam! Kecuali…

Di dalam sebuah hadits yang masyhur bagi kita semua, disebutkan bahwa wajib bagi siapapun yang melihat kemungkaran agar mengubahnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing, jika yang melihat adalah seseorang yang memiliki pengaruh besar maka wajib baginya mengubah kemungkaran tersebut dengan tangannya, namun apabila ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan terakhir jika dengan lisanpun ia tidak mampu maka ia ingkari dengan hatinya perkara mungkar tersebut.

عن أبي سعيد الخدري – رضي الله عنه – قال : قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول – من رأى منكم منكرا فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه و ذلك أضعف الإيمان – رواه مسلم

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa Sallam- bersabda : “Barangsiapa di antaramu melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya); jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju) , dan demikian itu adalah selemah-lemah iman”. [HR. MUSLIM]

Sebelum masuk ke inti pembicaraan, penulis akan membagi hadits diatas secara makna menjadi tiga bagian:

1 –  Bagian pertama adalah mengubah dengan tangan.

2 –  Bagian kedua adalah mengubah dengan lisan.

3 –  Dan yang terakhir adalah mengubah atau mengingkari dengan hati.

Pada kesempatan kali ini, kita akan mengupas bersama bagian ketiga dari hadits diatas, yaitu mengubah dengan hati, apa maksudnya, dan kapan ia diperbolehkan.

 

Secara asal, kewajiban mengubah kemungkaran memang dimulai dari yang paling atas yaitu dengan tangan, kemudian lisan, dan terakhir dengan hati, karena memang kewajiban ini sesuai dengan kemampuan. Akan tetapi jika kita melihat kebagian ketiga yaitu mengubah dengan hati, kita dapati bahwa ia adalah derajat terendah dari kesemuanya, karena ia berarti mendiamkan kemungkaran tersebut dan hanya mengingkari didalam hatinya saja, maka dalam tulisan kali ini perlu sekali kita ketahui bersama apa saja syarat-syarat yang memperbolehkan seseorang yang melihat kemungkaran di depan matanya untuk mendiamkan kemungkaran tersebut, sekali lagi karena kewajiban ini diletakkan atas dasar kemampuan, maka berdosa hukumnya bagi yang mampu mengubah dengan tangan atau lisannya dan ia malah memilih untuk berdiam diri.

Pada hadits diatas, secara dzhahir bahwasanya tidak boleh mendiamkan kemungkaran kecuali karena dua keadaan:

1 – Keadaan pertama: Boleh memilih untuk mendiamkan kemungkaran tersebut bilamana mengambil tindakan atasnya justru menyebabkan kemungkaran perkara tersebut semakin menjadi-jadi.

Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa memilih untuk mendiamkannya adalah pilihan yang benar-benar diambil secara yakin bahwa mengingkari perbuatan tersebut menyebabkan mudharat yang lebih besar ketimbang maslahatnya, bukan hasil terkaan yang bersifat ragu-ragu apalagi karena rasa takut, karena kedua hal ini justru menyebabkan lemahnya penegakkan amar makruf nahi mungkar, karena semua orang akan mengaku-ngaku tidak sanggup padahal karena ia takut.

 

2 – Keadaan kedua: Boleh mendiamkan kemungkaran tersebut bilamana jika diingkari saat itu juga maka kemungkaran tersebut akan lebih tersebar luas.

Pada keadaan kedua ini kita mengambil contoh hadits seorang arab badui yang membuang air kecil di dalam masjid Nabawi, dan dikala itu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya menyaksikan hal mungkar tersebut, bagaimana bisa ada seseorang dengan seenak hatinya mengotori bagian masjid Nabawi yang suci ini, maka kala itu juga para sahabat hendak mendatangi dan menghardik pria badui tersebut, namun mereka langsung dilarang oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- agar sejenak membiarkan pria badui tersebut hingga selesai menyelesaikan hajatnya, baru setelahnya membersihkan sisa-sisa najisnya.

dari Anas Bin Malik berkata:

“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sedang duduk di masjid dengan para sahabatnya. Tiba-tiba datang orang badui dan kencing di masjid.

Para sahabat Nabi berujar:

مَهْ مَهْ

“Tahan, tahan!”

(Dalam riwayat bukhariy disebutkan: lalu orang-orang mengusirnya)

Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepada para shahabatnya:

لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ

“Janganlah kalian menghentikan kencingnya, biarkanlah dia hingga dia selesai kencing.”

Kemudian Nabi bersabda kepada orang badui:

إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ

“Masjid ini, tidak seyogianya dikotori dengan kotoran, kencing dan air besar”

إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ

“Bahwasanya masjid diperuntukkan untuk dzikir kepada Allah, membaca al-quran dan shalat”. (dikatakan perawi -atau sebagaimana yang disabdakan nabi)

Kemudian Nabi bersabda kepada salah seorang shahabatnya:

قُمْ فَأْتِنَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشُنَّهُ عَلَيْهِ

“Berdirilah, ambilkan seember air dan guyurlah kencing tersebut”

Maka shahabat tersebut melaksanakannya. Kemudian Nabi bersabda kepada para shahabat:

فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ

“sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.” (HR. Ahmad, Bukhary, Muslim dan selainnya)

 

Jadi pada kasus diatas yang perlu digarisbawahi bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bukan mendiamkan kemungkaran tersebut secara keseluruhan, akan tetapi sementara waktu saja dan menunggu waktu yang tepat:

1 –  Sementara waktu maksudnya adalah membiarkan pria badui tersebut untuk menyelesaikan hajatnya, karena jika langsung dihentikan saat itu juga maka akan timbul mudharat baru, yaitu rasa sakit yang ia terima jika tiba-tiba menghentikan hajatnya atau malah menyebabkan air seninya menyebar ke lebih banyak dari bagian masjid.

2 – Dan menunggu waktu yang tepat maksudnya bukan berarti Nabi mendiamkan kemungkaran tersebut akan tetapi menanti waktu yang tepat agar maksud yang diinginkan tercapai, dalilnya adalah seketika setelah pria badui tersebut menyelesaikan hajatnya, beliau panggil lelaki tersebut dan menasehatinya bahwa apa yang telah ia lakukan tidak dibenarkan secara syari’at, karena masjid adalah rumah Allah yang suci, tidak boleh untuk dikotori, maka seketika itu juga badui tersebut menyadari kesalahannya dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala.

Rujukan:

حديث (من رأى منكم منكراً فليغيره بيده) دراسة تأصيلية لملامح التغيير وضوابطه في الإسلام، تأليف أبي عبد الرحمن صادق بن محمد الهادي

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *