Connect with us

baru

Jika Kalian Memberikan Peringatan dalam Shalat Kalian

Published

on

Dari Sahl bin Sa’d, ia berkata, “Dulu pernah terjadi perang antara Bani Amr bin Auf. Lalu, hal tersebut sampai beritanya kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maka, beliau mengerjakan Shalat Zhuhur, kemudian beliau mendatangi mereka untuk mendamaikan pertikaian yang tengah terjadi di antara mereka. Sebelumnya, beliau mengatakan kepada Bilal : Bila waktu shalat Asar tiba sementara aku belum datang, maka perintahkan Abu Bakar untuk mengimami manusia. Maka, ketika waktu shalat Asar tiba Bilal pun mengumandangkan Adzan, tidak lama kemudian ia mengumandangkan iqomah, lantas ia memerintahkan kepada Abu Bakar, ‘Silahkan maju (wahai Abu Bakar). Maka, Abu Bakar pun segera saja maju (sebagai imam), ia pun mulai mengerjakan Shalat.

Tidak lama kemudian, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-datang melewati para jama’ah hingga beliau dapat berdiri di belakang Abu Bakar. Para jama’ah tiba-tiba bertepuk tangan. Biasanya, Abu Bakar bila telah memulai shalatnya beliau tidak akan menoleh-noleh. Namun, ketika ia mendengar tepukan tangan para jama’ah terus saja berlangsung, beliau tidak dapat menahan dirinya.

Maka, ia pun kemudian menoleh. Segera saja Rasulullah memberikan isyarat kepadanya agar ia tetap melanjutkan shalatnya. Namun, tak beberapa lama kemudian Abu Bakar mundur secara perlahan ke belakang, setelah sebelumnya ia memuji Allah azza wajalla. Ketika Nabi melihat hal tersebut, maka segera saja beliau maju ke depan mengimami mereka. Lalu, setelah beliau usai mengerjakan shalatnya, beliau mengatakan : wahai Abu Bakar, apa yang menghalangi dirimu, ketika aku memberikan isyarat kepadamu – kamu tidak melanjutkan shalatmu ? Abu Bakar menjawab : tidak pantas bagi Abu Quhafah untuk mengimami Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Dan, Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- mengatakan kepada para jama’ah : Apabila kalian memberikan peringatan dalam shalat kalian, maka hendaknya kaum lelaki bertasbih dan kaum wanita bertepuk tangan (HR. Ibnu Khuzemah, Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari, 2/192, hadis no. 684, Muslim, 4/365, hadis no. 948)

Ihtisab dalam Hadis :

Dalam hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam  poin berikut ini :

Pertama, Ihtisab terhadap orang yang bertepuk tangan ketika mengingatkan sesuatu dalam shalatnya.

Kedua, Termasuk sifat seorang muhtasib adalah beradab terhadap orang yang lebih tua.

Ketiga, Seorang muhtasib hendaknya bersemangat dan berupaya untuk mendamaikan manusia.

Keempat, Seorang muhtasib hendaknya bersemangat untuk memuji Allah subhanahu wata’ala, terlebih ketika ia mendapatkan kenikmatan yang baru.

& Penjelasan :

  • Pertama, Ihtisab terhadap orang yang bertepuk tangan ketika mengingatkan sesuatu dalam shalatnya.

Hadis ini menunjukkan disunnahkannya bertasbih atas kaum lelaki bila mana mereka mengingatkan sesuatu di dalam shalatnya. Yaitu, dengan mengucapkan : Subhanallah. Demikian pula ini menunjukkan disunnahkannya melakukan tepuk tangan bagi kaum wanita ketika mengingatkan sesuatu di dalam shalat mereka. Hal demikian itu lebih menutup diri mereka, terlebih mereka tengah berada dalam ibadah.

Seorang Muhtasib hendaknya mengingkari terhadap orang yang dilihatnya bertepuk tangan di dalam shalatnya. Hal demikian itu berarti menjauhkan shalat dari hal-hal yang tidak termasuk bagian darinya berupa perkataan dan perbuatan, dan karena shalat merupakan tempat untuk bermunajat kepada Allah ta’ala. Namun, ketika dibutuhkan untuk berbicara, maka disyaritkanlah sesuatu yang termasuk jenis dalam shalat, yaitu bertasbih (Taudhih al-Ahkam, al-Bassam, 1/468) 

  • Kedua, Termasuk sifat seorang muhtasib adalah beradab terhadap orang yang lebih tua.

Hal tersebut terlihat dari tindakan Abu Bakar as-Siddiq, padahal Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan isyarat kepadanya agar melanjutkan shalatnya, namun ia tidak tetap dalam shalatnya melainkan sebentar saja, kemudian beliau mundur ke belakang, lalu Nabi maju ke depan mengimami shalat manusia. Ini merupakan bentuk adab Abu Bakar as-Siddiq, di mana kemudian ia mengatakan : tidak pantas bagi Abu Quhafah untuk mengimami Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-

Maka dari itu, seorang muhtasib harus berusaha untuk menjaga adab terhadap orang yang lebih tua darinya, semisal kepada kedua orang tuanya, para ulama, para guru, dan lainnya.   Imam an-Nawawi mengatakan : di dalam hadis ini terdapat ‘tindakan malazimi adab dengan orang-orang tua (Syarh Muslim, an-Nawawiy, 4/366). Ibnu Hajar mengatakan, ‘di dalamnya terdapat penyebutan diri untuk menunjukkan sikap tawadhu; hal ini terlihat dari penggunaan ungkapan yang dilakukan oleh Abu bakar dengan khithab al-Ghaibah untuk menempati posisi al-Khudhur, sejatinya cukup Abu bakar mengatakan : tidak pantas bagiku, namun beliau menggantinya dengan ungkapan : tidak pantas bagi Abu Quhafah. Hal ini lebih menunjukkan ketawadhuan beliau sejak awal (Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 2/200) dan ini termasuk bentuk adabnya, semoga Allah meridhainya.

  • Ketiga, Seorang muhtasib hendaknya bersemangat dan berupaya untuk mendamaikan manusia.

Hadis yang mulia ini juga menunjukkan keutamaan tindakan mendamaikan manusia, menyatukan kata hati, dan memangkas hal-hal yang berpotensi menimbulkan pemutusan hubungan  (Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 2/200). Seorang pemimpin dan yang lainnya hendaknya mengusahakan hal tersebut (Syarh Muslim, an-Nawawiy, 4/365). Oleh karena itu, seorang muhtasib hendaknya bersegera untuk melakukan upaya pendamaian antara manusia, sungguh Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- telah keluar secara langsung untuk berupaya mendamaikan perselisihan yang tengah terjadi di antara bani Amr bin Auf, sedangkan Allah ta’ala telah berfirman,

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (Qs. An-Nisa : 114)

  • Keempat, Seorang muhtasib hendaknya bersemangat untuk memuji Allah subhanahu wata’ala, terlebih ketika ia mendapatkan kenikmatan yang baru.

Hadis ini juga menunjukkan disunnahkannya memuji Allah bagi orang yang mendapatkan bentuk kenikmatan yang baru, dan (disunnahkankan pula) mengangkat kedua tangan untuk berdoa, tindakan tersebut dilakukan meskipun seseorang tengah berada dalam keadaan shalat (Syarah Muslim, an-Nawawi, 4/366, dan lihat : Fathul Baariy, Ibnu Hajr, 2/199). Karena, Abu Bakar as-Siddiq memuji Allah atas apa yang diperintah Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- kepadanya untuk meneruskan shalatnya, karena ia berpandangan bahwa hal tersebut merupakan nikmat yang agung dan kedudukan (yang tinggi) di dalam agama.

Oleh karena itu, hendaknya seorang muhtasib bersemangat untuk melakukan sanjungan dan pujian kepada Allah, mensyukuri nikmatNya yang sedemikian banyak yang dikaruniakan kepadanya, terkhusus ketika kenikmatan tersebut dalam bentuk yang baru. Sungguh, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam- ketika datang kepada beliau sesuatu yang menjadikan beliau gembira, beliau mengucapkan : segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-nikmat-Nya menjadi sempurnalah amal-amal shaleh. (HR. Ibnu Sunni di dalam ‘Amal al-Yaum Wa al-Lailah, hadis no. 8/34, al-Hakim, 1/677, hadis no. 183, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, 2/850)

Semoga Allah memberikan taufiq. Amin

Sumber :

Diterjemahkan dari “ al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy, hal. 96-98

 

Amar Abdullah bin Syakir

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Bagaimana Cara Puasa Mewujudkan Takwa?

Published

on

By

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  [البقرة : 183]

 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

(al-Baqarah : 183)

**

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-memerintahkan dan mendorong berpuasa karena puasa menjadikan kita menjaga diri. Pertanyaannya, menjaga diri dari apa ?

 

Sebelum menjawab pertanyaan ini, tentu akan bermanfaat apabila kita merujuk kepada asal-usul kata takwa itu sendiri, karena takwa itu berasal dari kata ittiqa, yang berarti menangkal gangguan dari diri. Kita menemukan, bahwa makna kata ini berporos pada perilaku yang didorong oleh rasa takut. Dan, perilaku ini akan melindungi seseorang dari apa yang ia takuti.

 

Dengan demikian, makna takwa adalah menjadikan pelindung antara diri Anda dan sesuatu yang Anda takutkan. Anda takut kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-karena Anda beriman kepada-Nya, dan beriman kepada keluhuran dan kuasa-Nya. Dan dengan berpuasa, Anda menjadikan suatu perlindungan antara diri Anda dan siksa Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Selain itu, Anda takut kepada neraka, karena neraka itu benar adanya. Dan dengan berpuasa, Anda menjadikan suatu perlindungan antara diri Anda dan adzab neraka.

 

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ سَلَّمَ-bersabda,

 

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

 

“Siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, Allah menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh (perjalanan) tujuh puluh tahun.” (Muttafaqun ‘Alaih)

 

“Takwa adalah asas keselamatan dan penjaga yang tidak pernah tidur, yang meraih tangan seseorang ketika terjatuh.” (Ibnul Jauzi)

 

Bagaimana Cara Puasa Mewujudkan Takwa ?

 

Salah satu tuntutan puasa dalam Islam adalah seorang muslim yang berpuasa menahan diri dari keinginan-keinginan tubuh yang mendesak dan juga kebutuhan-kebutuhan utamanya, serta mencegah jiwa dari apa yang diinginkannya, bukannya demi meraih manfaat materi di baliknya. Akan tetapi, seorang muslim berpuasa karena menjalankan perintah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, dan demi mendekatkan diri kepada-Nya. Ini termasuk salah satu manfaat takwa, yaitu kita mengerjakan apa yang Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-perintahkan kepada kita, baik akal bisa menerimanya atau pun tidak, baik jiwa mengetahui rahasia pemberlakuan syariat puasa atau pun tidak.

 

Betapa banyaknya orang yang terhalang dari kebaikan, mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram disebabkan karena menggunakan akal terlalu berlebihan, dan menyatakan bahwa perintah-perintah ilahi tidak sesuai dengan akal mereka yang tidak laku dan rusak, selain juga mereka tidak bisa membedakan antara alasan dan hikmah pemberlakuan syariat.

 

“Tetaplah bertakwa dalam segala kondisi, karena di dalam kesempitan, yang engkau lihat hanyalah kelapangan ; dan ketika sakit, yang engkau lihat adalah kesehatan.” (Ibnul Jauzi)

 

**

Ibadah adalah Jalan Kita Menuju Takwa

 

Seorang hamba tidaklah meraih takwa, kecuali dengan konsisten menjalankan ketaatan, melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan berbekal diri dengan amalan-amalan nafilah (sunnah), karena keinginan untuk mencapai takwa dan mencapai derajat orang-orang yang bertakwa itu mendorong seorang muslim untuk mencurahkan tenaganya secara lebih dan menjalankan berbagai macam ibadah agar jiwa tidak  bosan dan jemu. Selain juga akan mendorongnya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah-ibadah sesuai dengan aturan-aturan syar’inya.

 

Inilah yang kita temukan di bulan Ramadhan, bulan puasa, karena banyak di antara kaum Muslimin yang mungkin hanya melaksanakan qiyamullail di bulan Ramadhan saja. Dan di bulan Ramadhan pula, ia bersungguh-sungguh mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak sekali atau berkali-kali, mengulurkan tangan untuk bersedekah, dan amalan-amal ibadah lainnya.

 

Seperti itulah ibadah demi ibadah dilakukan secara berturut-turut, di mana seorang muslim bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan waktu dan tenaganya, sesuai dengan tingkat ekonominya ; kaya atau miskinnya, dan sesuai dengan kondisi sehat atau sakitnya, demi mengharap menjadi orang yang bertakwa, karena takwa itu mendorong untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah, serta melaksanakan ragam ibadah.

**

“Ketika jiwamu condong kepada syahwat, maka kekanglah ia dengan tali kekang takwa.” (Ibnul Jauzi)

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.33, 34 dan 36.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Puasa, Agar Kamu Bersyukur

Published

on

“Apabila nikmat-nikmat berdatangan kepadamu, janganlah engkau mengusirnya dengan kurang bersyukur.” (Ats-Tsa’labi)

 

**

Bersyukur kepada Allah ta’ala merupakan salah satu tujuan puasa dan rahasia pemberlakuan syariat puasa yang dituturkan oleh ayat-ayat puasa :

 

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ  [البقرة : 185]

 

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur

(al-Baqarah : 185)

 

Syukur itu dipanjatkan karena adanya nikmat. Orang seringkali terbiasa dengan adanya nikmat. Karena sudah terbiasa, mereka lupa untuk memanjatkan syukur kepada Allah ta’ala, karena orang umumnya hanya merasakan adanya nikmat dan nilainya, ketika nikmat tersebut sudah tidak ada lagi.

 

Karenanya, puasa datang untuk kembali mengingatkan orang akan adanya nikmat-nikmat pada dirinya, dan mengajak bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat-nikmat itu. Firman Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – :

 

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ  [النحل : 18]

 

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (An-Nahl : 18)

 

Puasa datang untuk mengingatkan kembali nikmat suap makan dan tegukan minum kepada seseorang, mengingatkan pentingnya kenyang dan puas minum, sehingga hal itu mendorongnya untuk bersyukur kepada Sang pemberi nikmat, dan tidak berlebihan dalam makan dan minum, juga tidak boros.

 

Di antara perilaku Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-adalah ketika beliau merebah ke tempat tidur, beliau bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat makanan yang beliau makan hingga kenyang, nikmat air minum yang membuatnya puas serta menghilangkan dahaga, nikmat tempat bernaung yang memberikan naungan dan hunian bagi beliau. Karenanya beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-berdoa :

 

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَكَفَانَا وَآوَانَا فَكَمْ مِمَّنْ لاَ كَافِىَ لَهُ وَلاَ مُئْوِىَ

 

“Segala puji bagi Allah yang memberi kami makan, minum, mencukupi kami dan memberi kami tempat berteduh. Berapa banyak orang yang tidak mendapatkan siapa yang memberi kecukupan dan tempat berteduh untuknya.” (HR. Muslim)

 

Pada suatu hari, beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-makan kurma muda bersama Abu Bakar dan Umar –رَضِيَ اللهُ عَنْهُما-, serta minum air. Seusai makan, beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berkata :

هَذَا مِنَ النِّعَمِ الَّذِي تُسْأَلُوْنَ عَنْهُ

 

“Ini termasuk di antara nikmat yang kalian kelak akan ditanya tentangnya.” (HR. Ahmad)

 

Lapar mengingatkan Anda pada nikmat suap makanan, dan dahaga membuat Anda merasakan nikmat air minum. Dengan bersyukur, nikmat-nikmat tersebut akan tetap langgeng bertahan.

 

“Siapa dikaruniai syukur, ia tidak terhalang dari tambahan nikmat.”

 

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.37-38.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Jangan Sampai Puasa Tidak Berpahala Karena Lidah Masih Terus Bermaksiat

Published

on

Ibadah Puasa memiliki pahala yang sangat besar di sisi Allah Ta’ala, terlebih Puasa Ramadhan, karena hukumnya wajib, dan amalan wajib lebih berpahala daripada yang sunnah, dan yang wajib tidak boleh ditinggalkan, jika tertinggal maka harus diganti (qadha).

Namun dalam pelaksanaannya, menunaikan ibadah puasa ramadhan bukan hanya dengan tidak melakukan pembatalnya, seperti makan/minum dan berhubungan badan, dll.

Namun dalam berpuasa, seseorang juga harus menahan dirinya dari maksiat-maksiat lainnya meski itu tidak membatalkan dan puasanya tetap sah.

Dan diantara maksiat-maksiat itu adalah dosa-dosa lisan, seperti berbohong, menghina, menghibah dan lain sebagainya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

 

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan dari mengerjakannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari)

 

Dan beliau bersabda:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

 

“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia  dan perkataan tidak sopan. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau mengganggumu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim)

 

Jadi, tujuan dari puasa itu adalah mendidik seseorang untuk menjadi lebih baik dengan mampu menahan seluruh hawa nafsunya, bukan hanya sekedar kuat tidak makan dan minum seharian.

 

Maka, raihlah di bulan ramadhan ini pahala sebanyak-banyaknya dan raihlah ampunan Allah Ta’ala.

Dan jadikan ramadhan ini momen untuk berubah, karena mungkin berubah menjadi baik pada bulan-bulan sebelumnya sulit, sedangkan pada bulan ini lebih mudah karena kondisi yang mendukung, yaitu ketika semua orang berusaha menahan dirinya dan memperbanyak ibadahnya serentak dalam satu waktu.

 

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menaungi kita semua dengan taufik dan hidayah-Nya.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending