Shalat
Kedudukan Shalat (bagian 1)
Sesungguhnya di antara kewajiban paling besar yang Allah wajibkan atas hamba-hambaNya, ibadah paling mulia yang Allah tetapkan atas mereka adalah shalat. Shalat adalah tiang agama, rukun Islam yang paling ditekankan sesudah dua kalimat syahadat. Shalat adalah tali penyambung antara hamba dengan Tuhannya. Shalat adalah perkara pertama yang seorang hamba dihisab atasnya pada Hari Kiamat. Bila shalatnya bagus, maka baguslah amal-amalnya yang lain, dan bila shalatnya rusak, maka rusaklah amal-amalnya yang lain. Shalat adalah pembeda antara Muslim dan kafir. Mendirikannya adalah iman, meninggalkannya adalah kekafiran dan pelanggaran.
لَا دِيْنَ لِمَنْ لَا صَلَاةَ لَهُ
“Tidak ada agama bagi siapa yang tidak shalat”. [1]
وَلَا حَظَّ فِي الْإِسْلَامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ
“Dan tidak ada bagian dalam Islam bagi siapa yang meninggalkan shalat.” [2]
Barangsiapa menjaga shalat, maka shalat itu menjadi cahaya di dalam hatinya, wajahnya, kuburnya dan di padang Mahsyarnya, serta menjadi penyelamat baginya pada Hari Kiamat, dan dia akan dikumpulkan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah dari kalangan para Nabi, shiddiqin, Syuhada dan orang-orang shaleh. Sungguh bagus orang-orang itu sebagai teman. Barangsiapa yang tidak menjaga shalat, maka dia tidak mempunyai cahaya, bukti, dan keselamatan pada Hari Kiamat, dan dia akan dibangkitkan bersama Fir’aun, Haman, Qarun, dan Ubay bin Khalaf.
Imam Ahmad-رَحِمَهُ اللهُ-berkata dalam kitab beliau ash-Shalah, “Hadir dalam hadis,
لَا حَظَّ فِي الْإِسْلَامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi siapa yang meninggalkan shalat.”
Umar bin Khaththab -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – menulis ke penjuru negeri kaum Muslimin, ‘Sesungguhnya urusan kalian yang paling penting bagiku adalah shalat, barangsiapa menjaganya, maka dia menjaga agamanya, barangsiapa menyia-nyiakanya, maka dia lebih menyia-nyiakan selainnya. Tidak ada bagian dalam Islam bagi siapa yang meninggalkan shalat.’ Beliau berkata, ‘Siapa pun yang meremehkan dan menyepelekan shalat, maka dia meremehkan dan menyepelekan Islam. Bagian mereka dari Islam itu sesuai dengan kadar bagian mereka dari shalat, minat mereka kepada Islam tergantung dengan kadar minat mereka kepada shalat. Kenalilah dirimu wahai hamba Allah, berhati-hatilah, jangan sampai berjumpa dengan Allah sementara kamu tidak membawa bagian dari Islam, karena sesungguhnya kedudukan Islam di dalam hatimu seperti kedudukan shalat di hatimu.’
Hadir dalam hadis dari Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bahwa beliau bersabda,
اَلصَّلَاةُ عَمُوْدُ الدِّيْنِ
‘Shalat adalah tiang agama.’ [3]
Bukankah engkau mengetahui bahwa sebuah tenda yang runtuh tiangnya, maka patok dan pasaknya tidak berguna ? Sebaliknya patok dan pasak akan berguna manakala tiang tenda berdiri tegak. Demikianlah kedudukan shalat dalam Islam. Perhatikan dan pahamilah, semoga Allah merahmati kalian. Dirikanlah shalat dengan sebaik-baiknya, bertakwalah kepada Allah pada shalat, hendaknya kalian saling tolong menolong dalam urusan ibadah ini, saling menasehati dengan cara sebagian dari kalian mengingatkan sebagian yang lain manakala mereka lupa atau lalai, kerena sesungguhnya Allah memerintahkan kalian agar saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, sedangkan shalat adalah kebaikan paling utama. Dalam suatu hadis dijelaskan bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُسْأَلُ الْعَبْدُ عَنْهُ مِنْ عَمَلِهِ الصَّلَاةُ ، فَإِنْ تُقُبِّلَتْ مِنْهُ صَلَاتُهُ تُقُبِّلَ مِنْهُ سَائِرُ عَمَلِهِ
‘Sesungguhnya perkara pertama dari amal seorang hamba yang dia ditanya tentangnya adalah shalat, bila shalatnya diterima, maka amal-amalnya yang lainnya diterima.’ [4]
Shalat kita adalah agama kita yang terakhir, shalat adalah perkara pertama yang kita ditanya tentangnya dari amal-amal kita esok pada hari Kiamat. Sesudah shalat lenyap, tidak ada lagi agama, tidak ada lagi Islam, karena shalat adalah perkara terakhir dari Islam yang lenyap. Segala sesuatu yang bagian akhirnya lenyap, maka seluruhnya lenyap pula.’ Selesai perkataan imam Ahmad [5]
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Ta’zhimu ash-Shalati, Prof.Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal.21-24.
Catatan :
[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Iman, no. 47; al-Mawardi dalam Ta’zhim Qadr ash-Shalah, no. 937; al-Khallal dalam as-Sunnah, no. 1387; dan lainnya secara mauquf dari perkataan Abdullah bin Mas’ud-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –dengan lafazh :
مَنْ لَمْ يُصَلِّ فَلَا دِيْنَ لَهُ
“Barangsiapa tidak shalat, maka tidak ada agama baginya.”
Sanadnya dihasankan oleh al-Albani dalam adh-Dha’ifah, 1/382
[2] Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’, no. 51; al-Marwazi dalam Ta’zhim Qadr ash-Shalah, no. 923 dan lainnya dari hadis al-Miswar bin Makhramah, dari Umar bin al-Khaththab -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –tentang kisah penusukan terhadapnya ; dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 209.
[3] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 22016; at-Tirmidzi, no. 2616; dan Ibnu Majah, no. 3973 dari hadis Mu’adz bin Jabal -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –. Lafazh hadis,
أَلَا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الْأَمْرِ وَعَمُودِهِ وَذُرْوَةِ سَنَامِهِ فَقُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَأْسُ الْأَمْرِ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ
“Apakah kamu mau aku beritahu tentang pokok perkara, tiang dan puncaknya ?” Aku menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.”
Dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam al-Irwa’, no. 413.
[4] Lafazh ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, no. 35906 dari hadis Tamim bin Salamah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –.
[5] Dinukil oleh Abu Ya’la dalam kitabnya Thabaqat al-Hanabilah. Lihat ucapan tersebut pada, 1/353-354.
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: MDH tv (Media Dakwah Hisbah )
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
Shalat
Shalat dengan Mengenakan Pakaian Isbal
Yang dimaksud isbal ialah memakai pakaian yang panjangnya melebihi mata kaki.
Abu Hurairah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ mengisahkan ; pernah suatu ketika seorang laki-laki shalat dengan sarung (kain) [1] yang isbal. Melihat itu, Rasulullah صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pun berseru : “Berwudhulah ! “ Maka dia pun beranjak dari tempatnya dan berwudhu. Setelah laki-laki itu kembali, Nabi صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berseru lagi kepadanya : “Berwudhulah !” Seorang laki-laki lain bertanya : “Wahai Rasulullah, mengapa engkau menyuruhnya berwudhu ?” Beliau diam sejenak, lalu menjawab : “Tadi dia shalat dengan sarung yang isbal, sedangkan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tidak menerima shalat orang yang berpakaian demikian.” [2]
Abdullah bin ‘Amr رَضِيَ اللهُ عَنْهُ menuturkan bahwasanya Rasulullah صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,
لَا يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Allah tidak memandang, pada hari Kiamat, orang yang memanjangkan kainnya hingga melewati mata kaki karena sombong. [3]
Ibnu Mas’ud رَضِيَ اللهُ عَنْهُ menuturkan : Aku mendengar Rasulullah صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,
مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِى صَلاَتِهِ خُيَلاَءَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِى حِلٍّ وَلاَ حَرَامٍ
Barang siapa memanjangkan pakaiannya melebihi mata kaki dalam shalat karena sombong, maka Allah tidak mempedulikannya lagi dalam hal yang halal maupun yang haram [4]
Iklan
Maksudnya, perbuatan orang itu tidak bermanfaat di sisi-Nya; baik dia melakukan sesuatu yang halal maupun yang haram. Apa pun yang dikerjakannya, dia sudah tidak dipandang dan tidak dipedulikan lagi.
Menurut pendapat yang lain, maksud hadis ini ialah tidak ada lagi pengampunan dosa lagi baginya, sebab kedudukannya tidak bernilai di hadapan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, sehingga Dia سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tidak menjaganya dari melakukan perbuatan buruk.
Ada juga yang mengatakan, maknanya, dia tidak beriman lagi terhadap apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Yang lain mengatakan, maknanya, dia sudah melepaskan hubungannya dengan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan sudah meninggalkan agama-Nya [5]
Hadis-hadis di atas menunjukkan haramnya memanjangkan pakaian hingga melewati mata kaki karena sombong. Inilah yang menjadi madzhab Syafi’i dan Hanbali. Apabila isbal dilakukan bukan karena sombong [6], hukumnya makruh menurut madzhab Syafi’i[7]
Syaikh Ahmad Syakir رَحِمَهُ اللهُdalam tahqiqnya terhadap al-Muhalla membantah pendapat Ibnu Hazm dalam masalh ini, dia mengatakan : “Penulis (Ibnu Hazm) meninggalkan hadis yang bisa menjadi dalil kuat atas batalnya shalat orang yang berpakaian isbal karena sombong.” Kemudian syaikh menyebutkan hadis Abu Hurairah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ yang kami nukilkan di atas dan berkomentar : “Hadis ini shahih; an-Nawawi رَحِمَهُ اللهُ menyebutkan demikian dalam Riyadhush Shalihin, dan dia menyatakan sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim [8]
Ibnul Qayyim رَحِمَهُ اللهُ menjelaskan hadis Abu Hurairah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ tersebut sebagai berikut : “Maksud hadis ini –wallahu a’lam-ialah mengenakan pakaian isbal termasuk kemaksiatan, dan setiap pelaku maksiat diperintahkan untuk berwudhu dan shalat, karena wudhu dapat memadamkan kobaran masksiat.” [9]
Boleh jadi rahasia di balik perintah Rasulullah صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepada laki-laki tersebut agar berwudhu kembali, padahal masih dalam keadaan suci dan tidak berhadats, adalah agar ia berpikir mengapa diperintahkan seperti itu dan mengingat-ingat kesalahan yang dilakukannya. Selain itu, melalui keberkahan perintah beliau صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk menyucikan lahiriyah ini, Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan menyucikan batinnya dari noda kesombongan. Sungguh, kesucian lahiriah akan berpengaruh terhadap kesucian batiniah [10]
Isbal pada kaum laki-laki umumnya terjadi pada celana, sarung, dan gamis [11] {Oleh karena itu , siapa saja yang hendak mengerjakan shalat harus memperhatikan pakaiannya. Apabila yang dikenakannya kepanjangan, maka segeralah digulung. Namun, tidak semua orang yang berbuat isbal dapat dinyatakan sombong. Karena terkadang hal ini dilakukan tanpa disengaja, hingga dia pun langsung menggulungnya ketika diingatkan ; dan kondisi demikian tentu dapat dimaklumi.
Adapun orang yang sengaja memanjangkan pakaiannya melewati mata kaki –berbuat isbal- baik saat mengenakan sarung, celana panjang, ataupun gamis maka dia terkena ancaman yang ditegaskan dalam hadis Nabi صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Apa pun alasan pelakunya tidak diterima ; sebab hadis yang menyatakan larangan isbal itu bersifat umum baik lafazh, makna, maupun maksudnya. Kaum muslimin harus berhati-hati dalam masalah ini, dan hendaklah seseorang bertakwa kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dengan tidak memakai pakaian melebihi mata kaki demi mengamalkan hadis shahih tersebut serta menunjukkan rasa takut akan murka Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. sungguh, hanya Dia سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang mempu memberi taufik kepada manusia.”}[12]
***
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Al-Qaulu al-Mubin fi Akhtha al-Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Salman, ei, hal.39-42
Iklan
Catatan :
[1] Di sini digunakan beberapa padanan untuk kata Arab izar, antara lain : (1) pakaian, (2) kain, dan (3) sarung. Sebenarnya, kata ini bermakna pakaian yang menutupi anggota tubuh bagian bawah dengan batasan pinggang hingga telapak kaki.-ed
[2] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya : kitab ash-Shalah’, bab Isbal fish shalah” (I/172, no. 638) dan kitab al-Libas, bab Ma-jaa-a fi Isbalil Izar (IV/57, no. 4086); Ahmad dalam al-Musnad (IV/67) ; an-Nasai dalam as-Sunanul Kubra: kitab az-Zinah, sebagaimana terdapat pula dalam Tuhfatul Asyraf (XI/188). Imam an-Nawawi menyatakan dalam Riyadhush Shalihin (no.795) dan al-Majmu’ (III/178, IV/457) bahwa hadis ini shahih karena memenuhi syarat Muslim.
Adz-Dzahabi menyepakati pendapat tersebut dalam al-Kaba-ir (hal. 172) pada bab “al-Kabirah” ats-Tsaniyah wal Khamsin : isbaul izar Ta’azzuman wa Nahwuhu”. Akan tetapi, adz-Dzahabi pun meralat pernyataan itu : “Kemudian saya mendapat kejelasan bahwa pernyataan ini (tentang keshahihannya) salah, dan yang benar ialah dha’if. Lihat al-Kabair (hal. 392), cetakan kedua.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaemah dalam ash-Shahih (I/382), pada bab “taghlidz fi isbalil izar fi ash-Shalah, dan dia berkata : ada perbedaan pendapat tentang sanadnya. Sebagian perawi menukilkannya dari Abdullah bin Umar (bukan Abdullah bin Mas’ud). Saya memaparkannya hadis ini dalam kitab al-Libas.
[4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya : Kitab ash-Shalah, bab “Isbal fish Shalah (I/172, no. 637. Hadis ini juga tercantum dalam shahih al-jami’suh Shaghir (no. 6012)
[5] Lihat Badzlul Majhud fi Hilli Abu Dawud (IV/297), Faidhul Qadir (VI/52), Tanbihat Hammah ‘Ala Malabisil Muslimin al-Yaum 9hal.23), dan al-majmu’ (III/177)
[6] Pengharaman isbal, baik karena sombong maupun tidak, telah disinggung sebelumnya. Perlu diketahui bahwa isbal yang dilakukan bukan karena sombong bisa membawa pelakunya kepada sifat tersebut. selengkapnya lihat dalam Majmu’ fatawa karya Ibnu Taimiyah (XXII/144), fathul bari (X/259) karya Ibnu Hajar, Aunul Ma’bud (XI/142) karya al-‘Azhim Abadi, tabshir Ulil Albab bima Ja-a fi Jarri ats-Tsiyab karya Sa’dil Muz’il, dan Risalatul Isbal karya Abdullah as-Sabt.
[7] Tanbihat Hammah (hal.23), al-Majmu’ (III/177), dan Nailul Authar (II/112)
[8]Tahqiq Ahmad Syakir terhadap al-Muhalla (IV/102)
[9] At-tahdzib ala Sunan Abu Dawud (VI/50)
[10] Penjelasan ini disampaikan oleh ath-Thibi, sebagaimana dinukil oleh al-Qari darinya. Lihat Badzlul Majhud (IV/296), Dalilul Falihin (III/282), ad-Dinul Khalish (VI/166), dan al-Manhalul Adzab al-Maurud (V/123). Ath-Thibi menambahkan : “Perintah Rasulullah صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk berwudhu pada kali kedua merupakan celaan atas perbuatannya memakai pakaian yang isbal. Sebab, dia tidak memahami perintah beliau untuk berwudhu pada kali pertama. Lahiriah hadis ini menunjukkan bahwa shalat orang yang mengenakan pakaian isbal tidak sah. Namun tidak seorang imam pun yang berpendapat demikian, karena hadis tersebut dhaif ! Kalau pun derajatnya shahih, status hadis ini menjadi mansukh karena terdapat ijma’ yang menyelisihinya.”
[11] Majmu’ al-Fatawa (XXII/144) karya Ibnu Taimiyah.
[12] Keterangan yang diapit tanda kurung kurawal adalah jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Baz رَحِمَهُ اللهُ terhadap pertanyaan tentang hukum berpakaian isbal dengan kesombongan maupun tanpa kesombongan ; serta perihal hukum bagi seseorang yang terpaksa melakukannya, baik dia dipaksa manuruti keluarganya karena masih kecil atau karena hukum adat yang memaksanya berbuat demikian. Kutipan fatwa ini dinukilkan dari majalah ad-Da’wah (no.920) dan al-fatawa (hal.219)
baru
Jangan Tinggalkan Shalatmu !
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Bersabda :
اَلْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kita dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Barang siapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir”
(HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai)
**
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin-رَحِمَهُ اللهُ-berkata, “Sesungguhnya masalah ini (yakni, masalah meniggalkan shalat) termasuk di antara permasalahan yang besar dan banyak diperselisihkan oleh para ahli ilmu (para ulama), baik dari kalangan salaf (generasi terdahulu), maupun khalaf (generasi yang datang kemudian).
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dan keluar dari Islam (dicap murtad). Apabila ia tidak bertaubat dan atau kembali menunaikan shalat.”
Sedangkan imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam asy-Syafi’i menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dicap orang fasik, tidak termasuk orang kafir.
Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat. Imam Malik dan imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh sebagai bentuk hukumannya. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat hanya harus dihukum dan tidak sampai di bunuh.
Jika masalah ini termasuk masalah-masalah yang diperdebatkan, maka masalah ini harus dikembalikan kepada kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-sebagaimana perintah Allah ta’ala di dalam firman-Nya,
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ [الشورى : 10]
“Dan apa pun yang kamu perselisihkan padanya tentang sesuatu, keputusannya (terserah) kepada Allah.”
(Asy-Syuura : 10)
Allah ta’ala berfirman,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء : 59]
“Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.”
(An-Nisa : 59)
Dikarenakan masing-masing para ulama yang berbeda pendapat, pendapatnya tidak bisa dijadikan alasan terhadap lainnya. Masing-masing mengaku bahwa merekalah yang benar. Sedangkan masing-masing dari mereka tidak lebih utama untuk diterima pendapatnya dari pendapat yang lainnya. Maka masalah ini wajib dikembalikan kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.
Jika kita menyandarkan perselisihan ini kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kita akan mendapati bahwa al-Qur’an dan sunnah menjelaskan kekufuran orang yang meninggalkan shalat dengan kufur besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam (pelakunya dianggap telah murtad). [1]
Maka dari itu, janganlah kamu tinggalkan shalatmu !
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ [التوبة : 11]
“Dan jika mereka bertaubat, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, maka (berarti mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.”
(Qs.At-Taubah : 11)
Sisi pendalilan ayat ini adalah bahwa ketika Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mensyaratkan adanya persaudaraan antara kita dengan orang-orang musyrik dengan tiga syarat. Yaitu
(1) betaubat dari kesyirikan,
(2) menegakkan shalat, dan
(3) menunaikan zakat.
Jika mereka telah bertaubat dari kesyirikan, tetapi tidak menegakkan shalat dan tidak menunaikan zakat, maka mereka semuanya bukan saudara kita. Demikian pula meskipun telah mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat, mereka bukan merupakan saudara kita. Persaudaraan dalam agama (seagama Islam) tidak akan hilang kecuali pada saat seseorang telah murtad dari agamanya. Selain itu, persaudaraan di dalam agama tidak akan hilang dengan sebab kefasikan dan kekufuran yang masih dianggap wajar.
**
Sedangkan dalil dari sunnah Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat, di antaranya adalah sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ,
اَلْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kita dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Barang siapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir”
(HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai)
Yang dimaksud dengan kata kafir di dalam hadis ini adalah kekafiran yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Karena Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjadikan shalat sebagai pemisah antara orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir.
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya pembatas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim)
Sudah diketahui bersama bahwa orang-orang kafir bukan merupakan orang-orang muslim. Oleh karena itu, barang siapa yang tidak mau melaksanakan perjanjian ini, maka ia akan termasuk golongan orang-orang kafir.
Semoga Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-melindungi kita dan saudara kita kaum Muslim dari terjatuh kedalam kekufuran dan menjauhkan kita semunya dari golongan orang-orang kafir. Amin
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta segenap keluarga dan para sahabatnya.
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Catatan :
[1] Hukmu Taarikish Shalaati, Syaikh Utsaimin-رَحِمَهُ اللهُ-
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
Shalat
Shalat Tepat Waktu Amal Terpenting yang Mesti Menyertai Pertumbuhan Anak.
Cintakanlah!
Cintakanlah anak-anak Anda pada perbuatan baik dan bakti. Ini tidak mungkin terwujud melalui ucapan dan janji-janji semata, tapi juga memerlukan sikap-sikap konkret sedari dini agar mereka tumbuh di atas kebaikan-kebaikan itu.
Alhamdulillah, mencintai kebaikan adalah fitrah manusia, di samping juga merupakan adat kebiasan dalam banyak komunitas masyarakat Islam. Amal paling penting yang mesti menyertai pertumbuhan anak adalah shalat tepat waktu.
Saya ucapkan selamat kepada seorang ayah yang mengajak serta putranya ke masjid untuk ikut menunaikan shalat. Dan juga kepada seorang ibu yang menyeru putrinya mengerjakan shalat bersamanya di rumah. Demikian pula halnya kewajiban-kewajiban lain. Misalnya, meletakkan uang di tangan si kecil agar ia masukan ke kotak infak, supaya dalam diri mereka tumbuh benih cinta shadaqah, zakat, membantu orang lain dan memenuhi kebutuhan mereka, serta memotivasi mereka mengamalkannya sedari dini.
Pastinya Anda semua tahu pengaruh amal kebaikan pada diri anak dan orang tua. Untuk itu, cintakan amal kebaikan pada anak-anak Anda dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai aktifitas yang dapat mengeratkan hubungan anak dengan kaum Muslimin. Baik di tanah air sendiri, negeri tempat Anda berdomisili atau pun di luar negeri. Aktifitas-aktifitas tersebut adalah sebagai berikut :
1-Mendoakan orang lain tanpa sepengetahuannya. Jelas tidak ada ruginya, karena dikatakan pada orang yang melakukannya, “Dan bagimu semisalnya,” oleh malaikat yang telah ditugaskan.
2-Mengasuh anak-anak yatim.
3-Menolong orang-orang yang sedang ditimpa bencana dan ujian, misalnya memberi tempat mengungsi atau memberi makan.
4-Menyumbangkan harta, baju dan barang-barang lain yang sudah tidak dibutuhkan tapi masih layak.
5-Berkontribusi dalam mempersiapkan menu buka puasa.
6-Membangun masjid, sekolah dan pusat-pusat keislaman.
7-Mendirikan klinik, rumah sakit dan balai pengobatan, menyumbangkan obat-obatan dan makanan, serta membantu memberikan pertolongan dan perawatan para mujahidin dan korban bencana.
8-Mendanai proyek-proyek penuntut ilmu umum atau syar’i, demikian pula proyek-proyek pekerjaan.
9-Serta hal-hal lain baik besar atau kecil, dimana Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
لَاتَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا
Janganlah kalian meremehkan suatu kebaikan pun…” (HR. Muslim dan Ahmad)
Diutamakan sumbangan-sumbangan ini berasal dari tabungan anak-anak sendiri dan hendaknya mereka melakukan sendiri proses penyerahannya.
Di sini saya ingin menceritakan suatu peristiwa yang dikisahkan Syaikh Ahmad Qaththan pada kami. Berikut ini kisahnya :
Ketika itu pintu rumahku diketuk oleh seorang petugas pengumpul sumbangan, setelah mengucapkan salam orang tersebut berkata, “Kami telah dihubungi dari rumah Anda ini untuk mengambil sumbangan sejumlah 5 dinar-seingat saya untuk dana buka puasa di bulan Ramadhan-.”
Syaikh berkata, “Tetapi, saya tidak menelpon.”
Ketika beliau menanyakan pada anggota keluarga, ternyata putra beliau yang masih kecil yang telah mengambil nomor telepon dan mengontak petugas pengumpul shadaqah. Maka tidak ada jalan lain bagi syaikh kecuali menerima petugas tersebut dan mempertemukannya dengan putra beliau yang baik agar menyelesaikan proses penyerahan shadaqah dan kepedulian terhadap kaum fakir miskin.
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: MDH tv (Media Dakwah Hisbah )
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
Wallahu A’lam
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Khutbah9 tahun ago
Waspadailah Sarana yang Mendekatkan pada Zina
-
Fatwa9 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Fiqih Hisbah8 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Akhlak7 tahun ago
Riya & Sum’ah: Pamer Ibadah