Fiqih Hisbah
Kembali, Sempurnakanlah Wudhumu !
Dari Abdullah bin Amr, ia berkata, kami bersama Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- kembali dari Makah ke Madinah, hingga ketika kami mendapi air di jalan, sekelompok orang bergegas untuk melaksanakan shalat Asar, maka mereka pun kemudian berwudu secara tergesa-gesa, kami menghampiri mereka sementara tumit mereka terlihat terang tidak terkena air (saat mereka berwudhu).
Maka, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “sebuah lembah di neraka siap ditempati tumit-tumit itu (yang tidak terkana air saat wudhu), sempurnakanlah wudhu! (HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayatkan pula oleh imam Muslim, 3/123, hadis no. 569)
Dari Anas bin Malik-semoga Allah meridhainya- berkata, “ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-, ia telah berwudhu namun ia tidak membasuh punggung telapak kakinya seukuran kuku, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “kembalilah engkau berwudhu, perbaguslah wudhumu (HR. Ibnu Khuzaemah, Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, 1/91, hadis No. 173, Ibnu Majah, 1/367, hadis no. 665, Ahamd, 3/146, ad-Daruquthniy, 1/108. Hadis ini dihasankan sanadnya oleh syaikh al-Baniy dalam ta’liqnya terhadap Ibnu Khuzaemah,1/84)
Dari Abdullah bin Amr –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- agak menjauh jaraknya dengan kami saat kami tengah dalam sebuah perjalanan jauh, kemudian beliau mendapati kami saat kamitelah mendapati (masuknya waktu) shalat-yakni, shalat Asar-, lalu kami pun segera berwudhu, kami hanya mengusap kaki-kai kami. Maka, beliaupun menyeru dengan suara yang tinggi sebanyak dua atau tiga kali, seraya mengatakan, “sebuah lembah di neraka siap ditempati tumit-tumit itu (yang tidak terkana air saat wudhu)” (HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayatkan pula oleh Imam al-Bukhari ,1/319, hadis no. 163)
Ihtisab di dalam Hadis
Di dalam hadis-hadis tersebut di atas terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi, di antaranya yang terangkum dalam beberapa poin berikut ini :
1. Seorang muhtasib hendaknya awas terhadap kondisi di sekitarnya untuk meluruskan kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan kesalahan.
2. Beramar ma’ruf nahi munkar terhadap orang yang melakukan kesalahan dalam wudhunya.
3. Gaya bahasa warning (ancaman) termasuk salah satu gaya yang dapat dipakai untuk melakukan pengingkaran terhadap kemunkaran.
4. Pentingnya seorang muhtasib (orang yang beramar ma’ruf nahi munkar) mengaitkan hukum-hukum dengan dalil-dalilnya.
5. Bersegeranya seorang muhtasib dalam upaya memerintahkan manusia kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemunkaran, membimbing dan memberikan pengarahan yang baik terhadap orang yang belum mengerti (bodoh) dan orang yang lalai.
6. Perhatian seorang muhtasib terhadap perkara thaharoh (bersuci)
Penjelasan :
Adalah Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- sedemikian bersemangat untuk memberikan hidayah kepada manusia, mengajari mereka dan mensucikan hati mereka; dan ketika kita menilik kepada sirah (perjalanan hidup) beliau, kita dapati bahwa beliau menyeru (kepada kebaikan) di semua tempat, waktu dan keadaan. Beliau menyeru semua golongan manusia dengan menggunakan semua gaya dan sarana yang mungkin dapat digunakan, termasuk kala beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam perjalanan jauh dari Makkah menuju ke kota Madinah, kala beliau melewati suatu kaum di mana mereka telah berwudhu sementara tumit-tumit mereka terlihat belum terkena air wudhu, beliaupun mengingkari mereka dan membetulkan ibadah mereka.
Dan para sahabat beliau –semoga Allah meridhai mereka- pun meneladani beliau dalam hal tersebut. Inilah Abu Hurairah, beliau melewati orang-orang di tempat-tempat mereka, beliau memerintahkan mereka untuk melakukan yang ma’ruf dan mencegah mereka dari kemungkaran. Dalam riwayat imam al-Bukhari dan yang lainnya semisal para pengarang kitab sunan-semoga Allah merahmati mereka- disebutkan bahwa Abu Hurairah pergi menuju ke kerumunan manusia yang tengah berwudhu di sebuah tempat yang biasa dijadikan sebagai tempat bersuci, beliau mengatakan (kepada orang-orang), “sempurnakanlah wudhu, karena sesungguhnya Abul Qasim (yakni, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-) telah bersabda, “sebuah lembah di neraka siapa ditempati tumit-tumit itu (yang tidak terkana air saat wudhu)”. Berkata Ibnu Hajar –semoga Allah merahmatinya- “sepertinya beliau melihat kecerobohan yang dilakukan oleh mereka (kala berwudhu) dan beliau mengkhawatirkan mereka (bakal celaka karena perbuatan mereka tersebut) (Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 1/321)
Oleh karena itu, seyogyanya seorang muhtasib bersemangat dalam upaya memberikan petunjuk kepada manusia sebagai bentuk peneladanan terhadap Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan memperhatikan manusia, membantu yang lemah, mengajari orang yang belum mengerti, mengingkari kemunkaran, memerintahkan kepada kebaikan… yang demikian itu merupakan bentuk peneladanan terhadap Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-, kemudian juga peneladanan terhadap para sahabatnya. (Fiqh ad-Da’wah, Khalid al-Quroisyiy, 2/709)
Tidak baiknya seseorang dalam berwudhu, dengan tidak mengikuti tata cara wudhu yang disyariatkan Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- dapat menjadikan batalnya shalat yang dilakukannya, karena wudhu merupakan (salah satu) syarat sahnya shalat. Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “ tidak ada shalat (yakni, tidak sah sahalat) orang yang tidak memiliki wudhu”.
Orang yang tidak secara baik dalam berwudhu atau orang yang tidak sempurna dalam berwudhu (semisal, tidak membasuh sebagian anggota wudhu yang harus dibasuh) seakan-akan ia tidak berwudhu atau tidak memiliki wudhu. Oleh karena itu, Nabi mengingkari tindakan sebagian shahabatnya ketika beliau melihat mereka tidak menyempurnakan wudhunya, seraya mengatakan, “sebuah lembah di neraka siap ditempati tumit-tumit itu (yang tidak terkena air saat wudhu), sempurnakanlah wudhu!“. Al-‘Ainiy –semoga Allah merahmatinya- mengomentari sabda beliau ini seraya mengatakan, “ di dalam sabda beliau terdapat petunjuk, yaitu bahwa hendaknya seorang alim (tahu tentang syariat) mengingkari tindak keteledoran terhadap perkara yang wajib dan juga perkara yang sunnah (‘Umdatu al-Qariy, al-‘Ainiy, 2/10; lihat juga, Syarh Shahih al-Bukhari, Ibnu Bathal, 1/39)
Sesungguhnya, sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- “sebuah lembah di neraka siap ditempati tumit-tumit itu (yang tidak terkena air saat wudhu)” di dalamnya terdapat ancaman bagi orang yang tidak membasuh kedua tumitnya saat wudhu. Begitu juga bagi orang yang hanya mengusapnya saja, seperti yang dilakukan oleh kalangan syi’ah. Karena, yang wajib terkait dengan kaki saat wudhu adalah membasuhnya bukan mengusapnya. Dan jika hal tersebut tidak dilakukan maka wudhunya tidak sah.
Tentang perkataan Abu Hurairah “sempurnakanlah wudu”! saat melewati kerumunan manusia yang tengah berwudhu di sebuah tempat yang biasa dijadikan sebagai tempat bersuci, yang kemudian beliau mengikutinya dengan ungkapan “karena sesungguhnya Abul Qasim (yakni, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-) telah bersabda, “sebuah lembah di neraka siap ditempati tumit-tumit itu (yang tidak terkana air saat wudhu)”, ini merupkan pengingkaran Abu Hurairah, beliau mengaitkan hukum dengan dalilnya, beliau berdalil dengan sabda Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-. Ibnu Hajar berkomentar, “di dalamnya terdapat petunjuk bahwa hendaknya seorang ‘alim melandaskan fatwanya pada dalil agar hal tersebut lebih mengena dan menghujam dalam diri pendengarnya. (Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 1/321)
Wallahu a’lam
Sumber :
Banyak mengambil faedah dari “ al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy, hal. 42-44 (dengan ringkasan)
Penulis : Amar Abdullah bin Syakir
baru
Pengharaman Zina Secara Khusus
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-telah mengharamkan perbuatan keji secara umum, dan zina secara khusus. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-telah mengingatkan manusia tentang dosa zina dengan begitu tegas dan menjelaskannya dengan sejelas mungkin.
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (28) قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ [الأعراف : 28 ، 29]
Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah, “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji. Mengapa kalian mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui ?” Katakanlah, “Rabb-ku menyuruh menjalankan keadilan..” (al-A’raf : 28-29)
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ [الأعراف : 33]
Katakanlah, “Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi…” (al-A’raf : 33)
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ [الأنعام : 151]
Dan janganlah kalian mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi…(al-An’am : 151)
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ [النحل : 90]
Sesungguhnya Allah memerintahkan (kepada kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran (al-Nahl : 90)
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memberikan ancaman yang sangat keras kepada orang-orang yang suka menyiarkan dan menyebarluaskan perbuatan keji di tengah-tengah kaum muslimin.
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ [النور : 19]
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita bohong) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalang orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui (an-Nur : 19)
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-menerangkan bahwa para penyeru dan penghias perbuatan keji ini sebagai setan.
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ [البقرة : 268]
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kekejian, sedang Allah menjadikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia … (al-Baqarah : 268)
Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-juga menjelaskan bahwa hobi para pengekor syahwat ini adalah memalingkan dan menyesatkan manusia, kemudian menyeret mereka ke dalam perbuatan keji ini. Tentang mereka Allah berfirman :
وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا [النساء : 27]
Dan Allah hendak menerima taubat kalian, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran) (an-Nisa : 27)
**
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Bahtsu fi Qaulihi Ta’ala : Walaa Taqrabuz Zina, Musthafa al-Adawi, ei, hal. 15-18
baru
Jangan Hanya Menjadi Jembatan Kebaikan
Berdakwah adalah kewajiban kedua setelah berilmu, sedangkan kewajiban pertamanya adalah mengamalkan ilmu tersebut.
Sehingga, pihak pertama yang seharusnya mendapatkan manfaat dari ilmu itu adalah diri sendiri sebelum orang lain.
Namun, ketika seseorang mendakwah suatu ilmu kepada orang lain, tentang perintah ibadah atau larangan dari suatu maksiat, namun ternyata orang yang mendakwahi itu melupakan dirinya sehingga melakukan apa yang bertentangan dari yang disampaikannya, maka sungguh dia berada di atas bahaya yang besar.
Allah Ta’ala berfirman:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Maka tidaklah kamu berpikir? (QS Al Baqarah: 44)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَافُلَانُ مَالَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُوْلُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَلاَ آتِيْهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيْهِ
Seorang laki-laki didatangkan pada hari kiamat lalu dilemparkan ke dalam neraka, sehingga isi perutnya terurai, lalu ia berputar-putar seperti keledai berputar-putar mengelilingi alat giling (tepung). Para penghuni neraka mengerumuninya seraya bertanya, ‘Wahai Fulan! Ada apa denganmu? Bukankah engkau dahulu menyuruh orang melakukan perbuatan ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar?’ Ia menjawab, ‘Benar. Aku dahulu biasa menyuruh orang melakukan perbuatan ma’ruf tapi aku tidak melakukannya. Aku mencegah kemunkaran, tetapi justru aku melakukannya. (HR Bukhari dan Muslim)
Maka, hendaklah setiap orang yang menyebarkan kebaikan juga melaksanakan kebaikan itu, jangan sampai dia menjadi layaknya lilin yang menyinari sekitarnya namun dirinya sendiri terbakar tak tersisa, atau sekedar menjadi jembatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Fudhail bin Iyadh –Rahimahullah- berikut:
إياك أن تدل الناس على الله ثم تفقد أنت الطريق، واستعذ بالله دائما أن تكون جسرا يعبر عليه إلى الجنة، ثم يرمي في النار
(سير أعلام النبلاء 291/6)
“Jangan sampai engkau menuntun manusia kepada Allah Ta’ala kemudian engkau sendiri malah kehilangan jalan itu.
Maka teruslah meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala agar engkau tidak menjadi layaknya sekedar jembatan yang mengantarkan orang-orang menuju surga, namun engkau sendiri kemudian terlempar ke neraka”.
(Siyar A’lam Annubalaa’ hlm 291/6)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita semua dan menjauhkan kita dari ilmu yang tidak bermanfaat.
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
baru
Kufur dan Besarnya Dosa Sihir
Sihir adalah salah satu alat syaitan yang digunakan oleh pengikutnya untuk menghancurkan kehidupan orang lain,seperti dengan mengirim sihir penyakit, pemisah, pencelaka, dan lain sebagainya.
Maka pertama, mempelajarinya adalah haram karena mengantarkan kepada kekufuran. Sebagaimana di dalam firman Allah Ta’ala:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ [البقرة: 102
Artinya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” [QS. al-Baqarah (2): 102]
Dan yang dimaksud dari ayat di atas, bahwa kedua malaikat (Harut dan Marut) itu mengajarkan kepada manusia tentang peringatan terhadap sihir dan cara melawan ilmu sihir syaitan bukan mengajarkan untuk mengajak mereka melakukan sihir. (al–Jami’ li Ahkamil–Qur’an, Juz II, hal. 472).
Dan begitu juga, peringatan tersebut juga berlaku kepada mereka yang minta pertolongan dukun untuk menyihir orang lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
عن عمران بن الحصين رضي الله عنه قال: قال رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ وَمَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رواه البزّار بإسناد جيد
Dari Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” bukan dari golongan kami orang yang menentukan nasib sial dan untung berdasarkan burung dan lainnya, yang bertanya dan yang menyampaikannya, atau yang melakukan praktek perdukunan dan yang meminta untuk didukuni atau yang menyihir atau yang meminta dibuatkan sihir, dan barang siapa yang mendatangi dukun dan membenarkan apa yang ia katakan, maka sesungguhnya ia telah kafir pada apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam “. [HR Bazzar dengan sanad Jayyid].
Oleh karenanya, maka sihir adalah salah satu dosa besar dan bahkan urutan kedua setelah kesyirikan, sehingga termasuk yang paling mencelakakan nasib seorang hamba di dunia apalagi di akhirat. Maka harus dijauhi sejauh mungkin.
Nabi bersabda:
اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ اَلشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِىْ حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاٰكِلُ الرِّبَا وَاٰكِلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: “Jauhilah tujuh perkara yang merusak (dosa besar). Para shahabat bertanya, “Apa saja ketujuh perkara itu wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Syirik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, sihir, membunuh seseorang yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kecuali dengan jalan yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh zina terhadap perempuan-perempuan mukmin.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Maka, selayaknya dan sepatutnya seorang muslim tidak dekat-dekat meski sejengkalpun dari sihir dan semua yang berkaitan dengannya, karena Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk mengesakannya saja dalam ibadah dan aqidah, bukan meminta pertolongan ke selain-Nya.
Dan semoga Allah Ta’ala menjaga kita dan kaum muslimin dari kejahatan sihir dan pelakunya.
Ustadz Muhammad Hadromi, Lc Hafizhahullahu Ta’ala
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Fatwa9 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
Khutbah8 tahun ago
Waspadailah Sarana yang Mendekatkan pada Zina
-
Fiqih Hisbah8 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Fatwa11 tahun ago
Hukum Membuka Jilbab Untuk Ktp