safinatun najah
Keutamaan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
1. Gugurnya Kewajiban
Jika seseorang telah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar maka gugurlah kewajibannya, berhasil ataupun tidak berhasil. Karena tugasnya hanyalah menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran semampunya, sedangkan hasilnya Allahlah yang menentukannya. Sehingga ketika ia telah melaksanakan kewajiban, maka di akhirat ia tidak akan dituntut lagi.
2.Suatu Bentuk Syukur Sekaligus Mendapatkan Pahala Sedekah
Amar ma’ruf nahi munkar adalah bentuk syukur seorang hamba kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala nikmatnya khususnya nikmat sehat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ: فَكُلُّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِاْلمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ اْلمُنْكَرِ صَدَقَةٌ
“Setiap persendian anggota tubuh salah seorang di antara kalian menanggung kewajiban bersedekah setiap paginya; maka setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar ma’ruf adalah sedekah, nahi munkar adalah sedekah.” (HR. muslim No.720)
3.Turunnya Rahmat Allah Ta’ala
Diantara sebab turunnya rahmat Allah subhanahu wata’ala adalah amar ma’ruf nahi munkar. Karena dengannyalah masyarakat menjadi terkontrol, dengannyalah mereka terdorong melakukan kebaikan walaupun sedikit, dan dengannyalah api kemungkaran bisa padam.
Allah berfirman yang artinya : “Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf :96)
4.Dihapusnya Dosa
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَنَفْسِهِ وِوَلَدِهِ وَجَارِهِ، يُكَفِّرُهَا الصِّيَامُ وَالصَّلاَةُ وَالصَّدَقَةُ وَالأَمْرُ بِالمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ المُنْكَرِ
“Fitnah seorang laki-laki di tengah keluarganya, hartanya, dirinya, anaknya dan tetangganya, dapat dihapuskan dengan puasa, shalat, shadaqah dan amar ma’ruf nahi mungkar” (HR. Bukhari)
5.Dikabulkannya Do’a
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Serulah kepada kebaikan, dan cegahlah kemungkaran sebelum kalian berdoa sedang Allah tidak mengabulkannya.” (HR. Ibnu Majah)
ADAB-ADAB SEORANG MUHTASIB
1. Ikhlas Dalam Berdakwah
Motivasi utama bagi seorang da’i tatkala berdakwah ialah rasa cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kepada agamaNya, kepada sesamanya, mengharapkan kebaikan untuk orang yang didakwahi. Keikhlasan da’i dalam dakwahnya, merupakan perkara yang paling penting bagi keberhasilan dakwahnya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala kabarkan tentang para nabi tatkala mereka berkata kepada kaumnya:
فَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَمَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللّهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun daripadamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepadaNya)”. [Yunus:72]
2. Ilmu
Tentang ilmu, ini meliputi tiga perkara:
a). Ilmu agama.
Seorang da’i harus mengetahui syariat Allah subhanahu wa ta’ala dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, sehingga mampu berdakwah di atas ilmu dan hujjah. Allah telah menjelaskan dalam firmaNya:
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf: 108).
Makna bashirah dalam ayat ini ialah ilmu.
b). Ilmu tentang keadaan orang yang hendak didakwahinya.
Dengan mengetahui keadaan orang yang hendak didakwahinya, sehingga seorang da’i sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi medan dakwah di depannya. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muadz ke Yaman, Beliau n memberikan wasiat:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
“Sesunggungnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab”. (HR Bukhari, Juz 4, hlm. 1580).
Dalam hadist ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada siapa dia diutus, sehingga dia mengetahui yang akan dihadapinya, kemudian mempersiapkan diri.
c). Seorang da’i hendaklah mengetahui ilmu tentang metode dakwah.
3. Beramal Dengan Apa Yang Didakwahkan
Ini merupakan sifat yang wajib dimiliki seorang da’i. Dia harus menjadi suri tauladan bagi orang lain tentang apa yang didakwahkannya, sehingga bukan termasuk orang yang mengajak kepada kebaikan namun justru dia meninggalkannya; mencegah dari sesuatu, namun dia sendiri melakukannya. Orang seperti ini termasuk golongan orang-orang yang merugi. Adapun orang yang beriman, mereka menyeru kepada kebenaran, beramal dengannya, bersegera dan bersemangat dalam mengamalkannya dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf: 2-3).
4. Sabar
Sabar merupakan penopang yang paling kuat bagi seorang muhtasib yang sukses. Seorang muhtasib itu membutuhkan kesabaran sebelum, ketika dan setelah berdakwah. Dengan inilah Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, Ia berfirman :
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُوْلُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
“Bersabarlah kamu sebagaimana bersabarnya ulul azmi dari para rasul.”
Sabar di dalam dakwah kedudukannya bagaikan kepala terhadap jasad. Maka tidak ada dakwah bagi orang yang tidak memiliki kesabaran sebagaimana tidak ada jasad bagi orang yang tidak memiliki kepala.
Telah ada pada kekasih kita shallallahu ‘alaihi wa salam uswah hasanah (panutan yang baik) bagi diri kita, beliau telah melangsungkan dakwahnya selama 23 tahun, berdakwah menyeru kepada Alloh siang dan malam, secara diam-diam maupun terang-terangan. Namun, tidak ada satupun yang dapat memalingkan beliau dari dakwahnya dan tidak ada pula yang dapat mengehentikan upaya beliau.
5. Hikmah
Secara ringkas, makna hikmah adalah tepat dalam ucapan dan sikap, dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Seorang muhtasib harus mempunyai kearifan dalam dakwahnya. Yaitu dengan menggunakan cara yang terbaik sesuai dengan keadaan dan tempatnya, karena manusia tidak memiliki cara yang sama dalam berfikir, tingkat pemahaman dan tabiatnya. Demikian juga penerimaan mereka terhadap kebenaran yang didakwahkan, ada yang langsung menerima tanpa harus berfikir panjang, ada pula yang perlu berdiskusi terlebih dahulu, terkadang harus diiringi dengan perdebatan yang cukup panjang. Maka seorang muhtasib dituntut untuk menggunakan metode yang sesuai dengan kondisi masing-masing orang, sehingga dakwahnya bisa lebih diterima masyarakat dan tepat sasaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” [An Nahl:125]
6. Mendahulukan yang prioritas
Sesuatu yang pertama kali diserukan oleh para rasul ‘alaihim ash-Sholatu was Salam adalah dakwah kepada aqidah shahihah, karena aqidah shahihah merupakan pondasi. Alloh Ta’ala berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”.” (QS al-Anbiya’ : 25).
Apabila aqidah telah lurus, mereka menyeru kepada perkara-perkara agama yang lainnya, baik berupa perkara-perkara yang fardhu (wajib), nafilah (sunnah), adab dan selainnya. Untuk itu wajib bagi setiap muhtasib supaya mendahulukan yang prioritas di dalam dakwahnya, dan yang demikian ini merupakan sebab-sebab tercapainya kesukesan di dalam dakwah.
7. Berakhlak yang baik
Diantara bentuk akhlak yang baik adalah penuh kasih sayang, kelemahlembutan, keramahan, wajah yang berseri-seri, tawadhu’ (rendah diri) dan tutur kata yang halus. Alloh Azza wa Jalla telah menyanjung panutan para du’at Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam firman-Nya :
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Sungguh pada dirimu terdapat perangai yang agung.”
Dan kita memiliki teladan yang baik pada diri beliau Shallallahu ’alaihi wa Salam. Betapa banyak orang yang masuk islam disebabkan oleh kelemahlembutan, kemuliaan dan sifat pengasih beliau padahal dahulunya mereka adalah orang yang berada di atas kejahiliyahan, lalu menjadi sahabat mulia yang berperangai baik.
Siapa saja dari para du’at yang tidak berperangai dengan akhlak yang baik, maka ia akan menyebabkan manusia lari darinya dan dari dakwahnya. Karena tabiat manusia itu, mereka tidak mau menerima dari orang yang suka mencela dan menunjukkan pendiskreditan terhadap mereka, walaupun yang diucapkan orang itu adalah benar tanpa ada kebimbangan sedikitpun. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya yang mulia :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS Ali ’Imran : 159). Wallahu a’lam.
DOSA MENINGGALKAN SHOLAT
Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP, namun masih sering meninggalkan sholatnya. Bahkan ada yang shalatnya hanya sehari sekali, atau bahkan tidak sholat sama sekali, naudzubillahi min dzalik. Padahal shalat adalah satu diantara rukun islam, yang dengannya agama islam ini ditegakkan. Meninggalkan sholat itu termasuk kedalam Dosa Besar yang Lebih Besar dari Dosa Besar Lainnya. Al-Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)
Al-Imam Adz Dzahabi –rahimahullah- mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)
Oleh karena itu wahai saudaraku para da’i hafidzakumullahu Ta’ala, marilah kita laksanakan kewajiban kita untuk terus mengingatkan dan membimbing ummat ini agar tidak meremehkan kewajiban mereka untuk menegakkan sholat, karena menegakkan shalat hakikatnya adalah menegakkan agama islam, dan meninggalkan serta meremehkannya adalah termasuk dosa besar yang akan mendatangkan murka Allah Azza wa Jalla .
NASIHAT ULAMA
“Pertama kali yang dituntut dari perkara jihad yaitu jihad dengan menggunakan tangan, kemudian menggunakan lisan-lisan kalian, lalu jihad dengan menggunakan hati-hati kalian. Jika hati itu sudah tidak mengetahui perkara ma’ruf dan juga tidak mengingkari kemungkaran, maka akan menjadi terbalik, yang atas akan menjadi di bawah.” (Ali bin Abi Thalib radiallahuanhu)
QAUL SALAF
Fudhail bin Iyadh berkata:”meninggalkan suatu amal karena orang lain adalah riya’, dan beramal karena orang lain adalah syirik (kecil). Adapun ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.”
Aqidah
Dari Pacaran Hingga Pembunuhan: Satu Kemaksiatan Akan Menarik Kemaksiatan Lainnya
Sebuah ketetapan Allah Ta’ala, bahwa Surga dikelilingi dengan amalan-amalan yang tidak disukai oleh nafsu manusia, dan Neraka dikelilingi oleh hal-hal yang diinginkan oleh setiap nafsu insan.
Amalan-amalan surga nampak begitu berat dan membosankan, seperti tahajjud, puasa dan sedekah.
Sedangkan Neraka betul-betul dapat menjerumuskan anak adam dengan segala bentuk kenikmatan yang ditawarkannya, seperti pergaulan bebas dan sebagainya.
Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
حُجِبَتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
“Neraka dikelilingi dengan syahwat (hal-hal yang menyenangkan nafsu), sedang surga dikelilingi hal-hal yang tidak disenangi (nafsu).” (HR Bukhari)
Dan fatalnya lagi, maksiat-maksiat ini selain memiliki daya tarik, juga akan menarik satu persatu jenis maksiat lainnya, hingga semuanya dilakukan oleh pelakunya tanpa dia sadari, tanpa dia niatkan di awal.
Misalnya perzinahan.
Allah Ta’ala telah berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (QS Al Israa: 32)
Ya, Allah Ta’ala tutup jalannya sedini mungkin, Jangan Dekati!
Tapi bagi yang tidak peduli dengan halal dan haram, pada awalnya dia hanya ingin mengajak bicara wanita asing itu, kemudian dilanjutkan chatting di sosial media, kemudian bertemu dan berkhalwat, terus kemudian syaitan menggoda mereka, pegangan tangan, seterusnya hingga mereka berzina. Dan tidak sampai di situ, jika hamil di luar nikah, maka akan mengaborsi janinnya karena takut malu, bahkan sampai ada yang membunuh si perempuannya juga. Na’udzubillah.
Lihat, bagaimana maksiat pacaran yang awalnya hanya dengan niat sederhana, yaitu kenalan, namun dapat berakhir pada pembunuhan!
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam sudah bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
”Jangan sampai seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan. Jika terjadi maka, yang ketiganya adalah setan.” (HR Ahmad)
Maka tanyakan kepada orang yang aborsi janin, membunuh pacar dan lainnya. Apakah mereka niatkan itu di awal? tentu tidak bukan?
Simak perkataaan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta’ala berikut:
العداوة والبغضاء شر محض لا يحبها عاقل، بخلاف المعاصي فإن فيها لذة كالخمر، والفواحش. فإن التفوس تريد ذلك والشيطان يدعو إليها النفوس حتى يوقها في شر لا تهواه ولا تريده. مجموع الفتاوى ٣٤٦/١٥
“Permusuhan dan kebencian merupakan kejelekan yang murni tidak akan disukai oleh orang berakal.
Berbeda dengan maksiat, padanya terdapat kenikmatan, seperti khamr dan zina. Dan jiwa menginginkannya.
Sehingga Syaithan pun menggoda jiwa-jiwa itu kepadanya hingga terjerumus kepada keburukan yang asalnya tidak diinginkan oleh jiwa tadi. (Majmu’ Fatawa 346/15)
Terakhir, ingatlah selalu pesan Allah Ta’ala berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al Baqarah: 208)
Pegang teguhlah syariat, barangsiapa bertaqwa dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya maka akan selamat. Dan kebinasaan bagi yang tertipu dengan ajakan syaitan.
Semoga Allah Ta’ala menjaga kita dan kaum muslimin dari segala kemungkaran dan meneguhkan kita di atas Islam dan Iman.
Ditulis oleh:
Muhammad Hadrami Lc
Alumni Fakultas Syariah LIPIA JAKARTA.
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
baru
Fitrahnya manusia beriman kepada Allah Azza Wa Jalla dan mentauhidkan-Nya
Fitrahnya manusia beriman kepada Allah Azza Wa Jalla dan mentauhidkan-Nya
Allâh Azza wa Jalla telah menciptakan manusia memiliki fitrah beriman kepada-Nya dan mentauhidkan-Nya. Manusia itu dilahirkan dalam keadaan mengimani keberadaan Allâh Azza wa Jalla bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia.
Seandainya manusia dibiarkan pada fitrahnya yang asli, dia pasti tumbuh menjadi orang yang mentauhidkanNya. [Lihat: Tafsîr al-Baghawi, 3/482; Tafsîr Ibni Katsîr, 3/688; dan Ma’ârijul Qabûl, 1/91, 93]
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allâh; (tetaplah atas) fitrah Allâh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allâh. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Ar-Rûm/30:30]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ،
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، وَيُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Semua bayi dilahirkan di atas fitrah, kemudian kedua orang tuanya menjadikannya beragama Yahudi, Nashrani, atau Majusi. [HR. Al-Bukhâri, no. 1359 dan Muslim, no. 2658]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda meriwayatkan dari Rabbnya, bahwa Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ
Sesungguhnya Aku (Allâh) telah menciptakan hamba-hambaKu semuanya hanif (lurus; muslim), dan sesungguhnya setan-setan mendatangi mereka lalu menyesatkan mereka dari agama mereka. [HR. Muslim, no. 2865]
Oleh karena itu Nabi Adam Alaihissallam, bapak semua manusia dan semua anaknya yang hidup di zamannya adalah orang-orang yang bertauhid.
Keturunan Nabi Adam setelahnya terus berada di atas tauhid sampai datang kaum Nabi Nûh Alaihissallam, setan menampakkan syirik sebagai sesuatu yang bagus kepada mereka dan mengajak mereka menuju syirik, sehingga mereka terjerumus ke dalam syirik.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allâh mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi kabar peringatan, dan Allâh menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. [Al-Baqarah/2: 213]
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu, beliau berkata:
كَانَ بَيْنَ نُوحٍ وَآدَمَ عَشَرَةُ قُرُونٍ، كُلُّهُمْ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْحَقِّ. فَاخْتَلَفُوا، فَبَعَثَ اللَّهُ
النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ
Antara Nabi Nuh dengan Nabi Adam ada sepuluh generasi, mereka semua berada di atas syari’at yang haq, tetapi kemudian mereka berselisih, maka Allâh mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi kabar peringatan”. [Riwayat Thabari di dalam tafsirnya, 4/275 dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak, 2/546. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/569]
Dan penyebab perselisihan manusia pertama kali di muka bumi adalah kemusyrikan yang dilakukan oleh kaum Nabi Nûh Alaihissallam , disebabkan oleh sikap ghuluw (melewati batas) dalam mengagungkan orang-orang shalih.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kaum Nabi Nûh Alaihissallam :
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah (tuhan-tuhan) kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”.[Nûh/71:23]
Tuhan-tuhan yang disembah oleh kaum Nabi Nuh di atas, asalnya adalah orang-orang shalih yang telah mati. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا صَارَتْ الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِي غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الْكَلَاعِ أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Patung-patung yang dahulu ada pada kaum Nabi Nûh setelah itu berada pada bangsa Arab. Adapun Wadd berada pada suku Kalb di Daumatul Jandal. Suwâ’ berada pada suku Hudzail. Yaghûts berada pada suku Murâd, lalu pada suku Bani Ghuthaif di al-Jauf dekat Saba’. Ya’uq berada pada suku Hamdan. Dan Nasr berada pada suku Himyar pada keluarga Dzil Kila’. Itu semua nama-nama orang-orang shalih dari kaum (sebelum-pen) Nuh. Ketika mereka mati, syaithan membisikkan kepada kaum mereka: “Buatlah patung yang ditegakkan pada majlis-majlis mereka, yang mereka dahulu biasa duduk. Dan namakanlah dengan nama-nama mereka!”. Lalu mereka melakukan. Patung-patung itu tidak disembah. Sehingga ketika mereka (generasi pembuat patung) mati, ilmu (agama) telah hilang, patung-patung itu tidak disembah”. [HR. Al-Bukhâri, no. 4920]
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Youtube HisbahTv,
Follow Instagram Kami Hisbahnet dan alhisbahbogor
baru
Nahi Munkar Bukan Ditegakkan Dengan Vonis Bid’ah Serampangan
Amar Makruf Nahi Munkar merupakan Syiar Islam yang agung, dan merupakan bagian penting dari dakwah.
Dengan tegaknya Amar Makruf maka umat akan selalu berada dalam kebaikan dan mengerjakan amalan-amalan saleh, dan dengan tegaknua Nahi Munkar, maka umat akan jauh dari kekufuran, kesyirikan, dan kemaksiatan serta menjauhinya.
Namun tetap harus diperhatikan, dalam menegakkan syiar yang besar ini, seseorang juga harus membekali diri dengan ilmu yang memadai, agar tidak salah kaprah dalam menarik kesimpulan hukum suatu permasalah dan bagaimana cara menyikapinya.
Berkata Imam Al Kharasyi:
قال الخرشي في شرح المختصر: الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر من فروض الكفاية بشروط: أن يكون الآمر عالمًا بالمعروف والمنكر؛ لئلا ينهى عن معروف يعتقد أنه منكر، أو يأمر بمنكر يعتقد أنه معروف، وأن يأمن أن يؤدي إنكاره إلى منكر أكبر منه.
“Hukum Amar Makruf Nahi Munkar adalah Fardhu Kifayah, dan ia disyaratkan: Hendaknya orang yang menyeru itu mengetahui mana yang Makruf dan mana yang Munkar; agar jangan sampai ia melarang dari yang makruf karena mengiranya adalah kemungkaran. Atau menyeru kepada yang munkar karena mengiranya makruf. Atau pengingkarannya terhadap suatu kemungkaran malah justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar lagi”. (Syarah Al Mukhtasar)
Maka seorang dai dan siapapun yang memiliki semangat keislaman agar dapat lebih teliti dan berhati-hati, terlebih lagi banyak amalan-amalan yang nyatanya dibolehkan oleh sebagian Ulama, namun karena disinformasi maka dikira bahwa amalan tersebut tidak boleh dikerjakan.
Simak penuturan Imam Annawawi berikut:
قال الإمام النووي: (إن العلماء إنما ينكرون على ما أجمع على إنكاره، وأما المختلف فيه فلا إنكار فيه، لأن على أحد المذهبين كل مجتهد مصيب، وهذا هو المختار عند كثير من المحققين أو أكثرهم) شرح صحيح مسلم للإمام النووي
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
(Sesungguhnya Ulama hanya mengingkari hal-hal yang telah disepakati akan kemungkarannya. Adapun yang masih diperdebatkan, maka tidak dingkari. Karena pada kedua madzhab itu terdapat Ulama Mujtahid yang bisa jadi benar”. Jadi, inilah pendapat yang dipilih oleh banyak Ulama Muhaqqiq dan bahkan mayoritas mereka”.(Syarah Sahih Muslim)
Maka kemudian, jika ternyata amalan tersebut termasuk ke ranah ijtihadiyyah, dibolehkan oleh Ulama, maka para pelakunya tidak boleh divonis dengan sebutan Ahlul Bid’ah!
Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga mengatakan hal yang senada:
فلا يصح لأحد أن يبدِّع أحداً أو يخطئه بناء على مخالفته قول أحد علماء السلف حتى يثبت أنه إجماع السلف، أو أن هذا القول دل عليه الكتاب والسنة؛ فإن من أقوال سلف الأمة وأئمتها ما خالف الثابت في الكتاب والسنة، وهم في ذلك معذورون، إذ لا يسلم من الخطأ أو الغفلة بشر.
( مجموع الفتاوى (3/349)
“Tidak dibenarkan bagi siapapun untuk membid’ahkan orang lain atau menyalahkannya karena berbeda dengan pendapat salah satu Ulama Salaf sampai dibuktikan bahwa orang tersebut melanggar pendapat Salaf yang merupakan Ijma’, atau pendapat tersebut berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Yang demikian karena terdapat dari pendapat para pendahulu dan Imam-imam Salaf yang bersebrangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah , Namun mereka mendapatkan uzur (atas ijtihadnya), karena tidak ada satupun yang dapat terbebas dari kesalahan ataupun dari tergelincir dari keburukan”.(Majmu Fatawa 349/3)
Maka hendaklah setiap dari kita mengukur kembali keilmuan masing-masing, dan terus menambahnya, sehingga jadilah dakwah betul-betul mengajak manusia dengan hikmah, bukan semangat tanpa arah.
Karena sebagaimana yang sudah disebutkan Imam Al Kharasyi di awal, ditakutkan sikap serampangan ini justru akan menjadi bumerang, akan mendatangkan masalah yang lebih besar dari sebelumnya, dan semakin mencoreng nama baik dakwah dan Ahlussunnah wal Jamaah.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita taufik dan hidayah-Nya.
Muhammad Hadrami, LC
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Youtube HisbahTv,
Follow Instagram Kami Hisbahnet dan alhisbahbogor
Klik iklan yang ada di website.
Dengan mengklik iklan yang ada diwebsite, berarti anda telah membantu oprasional dakwah kami. Jazakallahukhoiron.
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Fatwa9 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
Khutbah8 tahun ago
Waspadailah Sarana yang Mendekatkan pada Zina
-
Fiqih Hisbah8 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Fatwa11 tahun ago
Hukum Membuka Jilbab Untuk Ktp