Klasifikasi Pembunuhan dan Akibat Hukumnya

Klasifikasi Pembunuhan

Pembunuhan terbagi tiga : (1) pembunuhan dengan sengaja, (2) pembunuhan yang mirip dengan sengaja, dan (3) pembunuhan karena keliru.

Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja ialah seorang mukallaf secara sengaja (dan terencana) membunuh orang yang terlindungi darahnya (tak bersalah), dengan dasar dugaan kuat bahwa dia harus dibunuh olehnya.

Adapun yang dimaksud syibhul ‘amdi (pembunuhan yang mirip dengan sengaja) ialah seorang mukallaf bermaksud hendak memukulnya, yang secara kebiasaan tidak dimaksudkan hendak membunuhnya, namun ternyata oknum yang jadi korban meninggal dunia.

Sedangkan yang dimaksud pembunuhan karena keliru ialah seorang mukallaf melakukan perbuatan yang mubah baginya, seperti memanah binatang buruan atau semisalnya, ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia.

 

Akibat Hukum yang Mesti Ditanggung oleh Pelaku Pembunuhan

Untuk jenis pembunuhan yang kedua dan ketiga (yakni, pembunuhan yang mirip dengan sengaja, dan  pembunuhan karena keliru-pen), maka pelakunya dikenakan hukuman harus membayar kafarat dan membayar diyat untuk keluarga si terbunuh. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا [النساء : 92]

Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. an-Nisa : 92)

 

Adapun untuk pembunuhan yang disengaja dan terencana, maka pihak wali dari si terbunuh diberi dua alternatif, yaitu menuntut hukum qishash, atau memaafkan dengan mendapat imbalan diyat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ  [البقرة : 178]

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih (Qs. al-Baqarah : 178)

 

Dari Abu Hurairah-semoga Allah meridhainya- dari Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,

وَمَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُعْطَى – يَعْنِى الدِّيَةَ – وَإِمَّا أَنْ يُقَادَ أَهْلُ الْقَتِيلِ

Dan barang siapa yang dibunuh dan ia mempunyai keluarga, maka (pihak keluarganya) memiliki dua alternatif : boleh menuntut diyat, atau boleh menuntut qishash (Muttafaqun ‘Alaih : Fathul Bari XII : 205 no : 6880 dan Muslim II : 988 no : 1355)

Diyat wajib ini sebagai ganti dari qishash. Oleh sebab itu, pihak keluarga terbunuh boleh berdamai dengan si pembunuh dengan jalan menuntut selain diyat, walau pun nilainya lebih besar daripada diyat. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا دُفِعَ إِلَى أَوْلِيَاءِ الْمَقْتُوْلِ فَإِنْ شَاءُوْا قَتَلُوْا وَإِنْ شَاءُوْا أَخَذُوْا الدِّيَةَ وَهِيَ ثَلَاثُوْنَ حِقَّةً وَثَلَاثُوْنَ جَذَعَةً وَأَرْبَعُوْنَ خَلِفَةً وَمَا صَالَحُوْا عَلَيْهِ فَهُوَ لَهُمْ وَذَلِكَ لِتَشْدِيْدِ الْعَقْلِ

Barangsiapa yang membunuh (orang yang tak bersalah) secara sengaja (dan terencana), maka urusannya diserahkan kepada pihak keluarga si terbunuh. Jika mereka mau, menuntut hukum balas membunuh ; dan jika mau, mereka menuntut diyat, yaitu (membayar) tiga puluh hiqqah (unta betina berusia tiga tahun yang masuk tahun keempat) dan tiga puluh jadza’ah (unta yang masuk tahun kelima) serta empat puluh khalifah (unta yang sedang bunting) dan apa saja yang mereka tuntut kepada si pembunuh sebagai imbalan perdamaian, maka ia (imbalan itu) untuk mereka, dan yang demikian itu untuk penekanan pada diyat. (Hasan : Shahih at-Tirmidzi no : 1121 dan Tirmidzi II : 423 no : 1406 dan Ibnu Majah II : 877 no: 2626)

Namun memaafkan secara cuma-cuma, tanpa menuntut apa-apa kepada si pembunuh adalah sikap yang sangat utama lagi mulia. Firman-Nya,

وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

Dan apabila kamu memaafkannya itu lebih dekat kepada takwa (Qs. Al-Baqarah : 237)

Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا

Dan, Allah tidak menambah pada seseorang karena pemaafannya, melainkan kemuliaan (Shahih : Shahih at-Tirmidzi no : 1894, Muslim IV : 2001 no : 2588 dan Tirmidzi III: 254 no : 2098)

 

 

Wallahu A’lam

 

Sumber :

 

Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz, Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, e.i. hal 860-862

 

Amar Abdullah bin Syakir

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *