Connect with us

Keluarga

Marah Dalam Islam

Published

on

‘Marah’ adalah fitrah bagi manusia, tidak ada dari kita yang tidak pernah mengalami marah, karena ia memang fitrah yang Allah ta’ala titipkan pada jiwa manusia. Dan marah bermacam-macam tergantung pada sebab yang memicu timbulnya kemarahan tersebut. Dampak dari kemarahanpun bisa positif atau negatif tergantung dari tepat atau tidak tepatnya tersalurnya kemarahan tersebut.

Seringkali kemarahan yang tidak pada tempatnya atau melebihi kadar yang semestinya memicu konflik yang lebih parah dari pada sebelumnya dan hanya akan menghasilkan penyesalan. Ketika istri melakukan suatu kesalahan lalu dimarahi dengan kemarahan yang melebihi dari kadar kesalahan yang dibuatnya, ia berpotensi untuk mencari naungan lain yang dapat melindunginya dan mendengarkan keluh kesahnya, sehingga yang seharusnya istri merasa bersalah justru berbalik mencari cara untuk membela diri dikarenakan kemarahan suami yang berlebihan.

Begitu juga ketika anak berbuat salah lalu dimarahi melebihi dari kadar kesalahannya, ia secara otomatis dapat mempengaruhi psikis anak untuk menyembunyikan kesalahan dari orang tua ,bahkan ia dapat mengambil cara berbohong untuk menutupi kesalahannya, yang pada ujungnya justru akan menimbulkan penyesalan bagi orang tua.

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memuji orang yang biasa mengendalikan amarahnya dengan bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Orang kuat (yang sebenarnya) bukanlah yang selalu mengalahkan lawannya dalam pergulatan (perkelahian), akan tetapi orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” [HR. Bukhari& Muslim]

Syariat memandang ‘marah’ dengan pandangan yang netral, tidak melarangnya secara mutlak karena itu fitrah yang Allah berikan kepada manusia, namun juga memberikannya batasan sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seringkali memerintahkan untuk menahan amarah, dan terkadang marah justru diperintahkan. Seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Berilah aku wasiat!” Nabi bersabda, “Janganlah engkau marah.!” Maka beliau mengulang-ulang (perkataan) “Janganlah engkau marah.!” (HR. Bukhari).

Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita cara untuk meredakan amarah dengan bersabda:

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya diaduduk, kalau kemarahannya belum hilang maka hendaknya dia berbaring.”[HR. Dawud& Ahmad].

Terkadang marah justru diperintahkan dengan tujuan tertentu namun tanpa melampaui batas. Seperti marah untuk mendidik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya jikalau ia meninggalkan sholat sedang umurnya sudah sepuluh tahun. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda;

.”مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع واضربوهم عليها وهم أبناء عشر، وفرقوا بينهم في المضاجع”

Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila tidak mengerjakan shalat pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”(HR. Abu Dawud)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya yang sudah berumur sepuluh tahun jika mereka meninggalkan shalat. Dan tentunya memukul lebih dari sekedar marah, tetapi dalam rangka mendidik anak, orang tua diperintahkan untuk memukul dengan pukulan yang mendidik yang tidak mencederai.

Lalu bagaimana dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Pernahkah beliau marah? Seperti apa marah beliau? Apa hal-hal yang dapat membuat beliau marah?

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَرْضَى كَمَا يَرْضَى الْبَشَرُ وَأَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ

Aku ini hanya manusia biasa. Aku bias senang sebagaimana manusia senang, dan aku bias marah sebagai mana manusia marah.” [HR. Muslim].
Tapi marah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidaklah sama dengan marah kita, marah beliau bukan untuk diri beliau sendiri tetapi untuk Allah subahanhu wata’ala. Sayyidah Aisyah radhiyallahu’anha berkata:

مَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ حَتَّى يُنْتَهَكَ مِنْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tak pernah marah terhadap seseorang untuk dirinya sendiri karena suatu kasus yang berkaitan pribadinya, tetapi jika kehormatan Allah dilecehkan, maka beliau marah karena Allah.”[HR. Bukhari No.6347].

Dari perkataan Sayyidah Aisyah ini jelas bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling mampu untuk mengendalikan nafsu dan amarahnya, sehingga beliau tidak marah dalam masalah perkara pribadi beliau, dan marah ketika perintah Allah dilanggar.

Dalam suatu peperangan seorang sahabat yang bernama Usamah bin Zaid bin Haritsah radhiyallahu ’anhuma mengejar seorang musyrik, ketika sampai kepadanya dan orang musyrik tersebut tak bias melepaskan diri dari Usamah, ia mengucapkan kalimat syahadat, namun Usamah tetap membunuhnya karena menurutnya orang tersebut mengucapkan syahadat karena takut dibunuh.

Ketika kembali dari peperangan Usamah menceritakan perihal yang dialaminya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka Rasulullah marah dan berkata, “apakah engkau masih membunuhnya setelah ia mengucapkan ‘laailaahaillallah’ ?? Usamah menjawab, “dia mengucapkannya agar tidak dibunuh.”Rasul menjawab, “apa kamu sudah belah dadanya sehingga engkau tahu isihatinya??”

Inilah salah satu contoh Rasulullah ketika marah, beliau hanya marah ketika perintah Allah dilanggar dan tidak marah dalam masalah peribadi beliau. Betapa sering kaum musyrikin memperolok-olok beliau dengan sebutan-sebutan keji yang tidak pantas dilontarkan kepada sosok seseorang seperti beliau. Mereka mengolok beliau dengan sebutan gila, tukangsihir, dukun dan lain sebagainya namun beliau tidak marah.

Kesimpulannya marah adalah suatu fitrah yang wajar, namun alangkah baiknya jikalau seseorang bisa mengendalikan dirinya ketika marah agar tidak menyesal dikemudian waktu. Syariat pun memaklumi timbulnya marah dari seseorang, namun syariat memerintahkan kita untuk menahan amarah. Rasulullah adalah teladan bagi kita dimana beliau tidak marah kecuali jika perintah Allah dilanggar.

Wallahua’lam.

Penulis Arinal Haq

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keluarga

Lembutkan Suaramu

Published

on

Apakah kamu wahai istri, mengangkat suaramu di depan suamimu ?

Di antara kecantikan wanita adalah kelembutan dan kerendahan suaranya. Sesuatu yang telah menghilangkan sifat lembutnya berarti telah menghilangkan kecantikannya, karena itu Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman,

فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ  [الأحزاب : 32]

Maka janganlah kamu merendahkan suara (dengan lemah lembut yang dibuat-buat) sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya …(al-Ahzab : 32)



Namun sangat disayangkan, tidak sedikit wanita malah berkata lembut kepada orang yang dia tidak boleh berkata lembut kepadanya, dan berkata kasar di hadapan orang yang bila dia melembutkan kata-katanya, maka dia akan meraih kebahagiaan dunia dan keberuntungan akhirat, dengan izin Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Aku berharap suami tidak merasa perlu menyumbat telinganya dengan kapas.

Sebagian suami tidak mengetahui kelembutan kata-kata istrinya, susunannya yang indah, seni berbicara dan dialognya kecuali ketika dia berbicara dengan kerabat atau temannya saja.

Kamu wahai suami, aku berkata kepadamu apa yang aku katakan kepada istrimu, aku mengajakmu untuk berkata yang halus dan lembut kepada semua orang apalagi kepada orang yang paling dekat denganmu.

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Az-Zaujan Fi Khaimah as-Sa’adah Maharat wa Wasa’il, Abdurrahman al-Qar’awi, ei, hal. 134

 

Continue Reading

Keluarga

Hanya Dengan Senyum, Kamu Bisa Menundukkan Hatinya

Published

on

Ia tidak membutuhkan usaha besar, tidak perlu capek dan bersusah payah, tetapi ia melakukan layaknya sihir terhadap hati, ia masuk ke dalam hati melalui gerbang paling luas, pasangan akan merasakan cinta, kasih sayang, dan perhatian, tidak memerlukan banyak kata-kata cinta, tidak membutuhkan banyak untaian sanjungan. Di samping itu, ia menambah kewibawaan dan keceriaan bagi pemiliknya.

Ia adalah senyuman dan wajah berseri. Betapa indahnya bibir yang tersungging senyuman.

Dari Jarir رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , dia berkata,

مَا حَجَبَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ أَسْلَمْتُ وَلَا رَآنِي إِلَّا تَبَسَّمَ فِي وَجْهِي

“Nabi صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak mencegahku berkunjung padanya sejak aku masuk Islam, dan tidaklah beliau melihat aku melainkan beliau tersenyum kepadaku.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Dari Abu Dzar رَضِيَ اللهُ عَنْهُ dia berkata, Rasulullah صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

“Jangan sekali-kali kamu meremehkan kebaikan sedikit pun walaupun (hanya berupa) kamu menjumpai saudaramu (yang Muslim) dengan wajah berseri-seri.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Iklan




Dari Abu Dzar رَضِيَ اللهُ عَنْهُ dia berkata, Rasulullah صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ

“Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah bagimu.” Dariwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan dihasankan oleh al-Albani.

Ini untuk saudaramu yang Muslim walau dia jauh (kekerabatannya), lalu bagaimana bila senyummu di depan suami atau istrimu ?

Rasulullah صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  mengajak kita demikian karena ia mendekatkan hati dan menyatukannya, serta mengakrabkan pemiliknya. Hendaknya wajah kita selalu tersenyum, tetapi bukan senyum penjilat. Sebagian suami atau istri tersenyum, tetapi kapan ? Saat mereka menginginkan sesuatu !

***

إِذَا كَانَ الْكَرِيْمُ عَبُوْسُ الْوَجْهِ

قَمَا أَحْلَى الْبَشَاشَةَ فِي الْبَخِيْلِ

 Bila orang dermawan berwajah masam

Betapa manisnya senyuman pada (wajah) orang kikir.

***

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Az-Zaujan Fi Khaimah as-Sa’adah Maharat wa Wasa’il, Abdurrahman al-Qar’awi, ei, hal. 117-118

 

 

 

Continue Reading

Keluarga

Libatkan Orang yang Teguh Beragama dalam Masalah Kalian Berdua

Published

on

Manakala kita berselisih, kita patut berusaha menyelesaikannya di antara kita, lalu bila memang harus meminta penengah kepada orang ketiga dan meminta sarannya, maka hendaknya kita memilih orang yang beragama, berilmu dan berakal, karena bila suami atau istri meminta pendapat sembarang orang, maka biasanya dia malah membuat benang masalah semakin kusut, persoalannya semakin melebar, orang-orang pun mengetahuinya, keduanya tidak menemukan solusi dari persoalan mereka. Kriteria agama semata tidak cukup bagi seseorang untuk dimintai nasehatnya, dan sangat disayangkan bila sebuah nasehat dimintakan kepada orang-orang di mana mereka hanya sekedar teman, atau kerabat, atau penulis di perkumpulan ini dan itu.

Hari ini, alhamdulillah, sudah banyak pusat-pusat penyuluhan sosial yang bisa dimintai bantuannya setelah Allah.

Ada sisi lain yang patut diperhatikan, bahwa berbicara kepada orang yang tidak bisa diharapkan memberikan solusi, atau nasehat, atau saran yang tepat oleh suami atau istri mengenai pasangannya, bisa masuk ke dalam ghibah yang diharamkan. Hendaknya diwaspadai.
Iklan


Betapa indahnya sebuah rumah yang terjaga aman problemnya di ruang lingkup temboknya. Bila penghuni rumah memang perlu meminta bantuan kepada pihak ketiga sesudah Allah, maka   hendaknya orang tersebut adalah orang yang dipercaya akal dan agamanya.

Aku tidak menganjurkan untuk membiarkan masalah di dalam rumah, kecuali bila suami-istri berharap dan berusaha bisa menyelesaikannya di anatara mereka berdua. Adapun bila keduanya atau salah satu dari keduanya melihat bahwa masalah semakin meruncing, maka sangat perlu meminta bantuan pihak lain mendamaikan.

**

Al-A’masy pernah berselisih dengan istrinya, lalu dia meminta temannya untuk membujuk istrinya dan mendamaikan keduanya, maka si teman datang dan berkata kepada istri al-A’masy, “Sesungguhnya Abu Muhammad (al-A’masy) adalah laki-laki tua, jangan membencinya hanya karena kedua matanya rabun, kedua kakinya ringkih, kedua lututnya lemah, kedua ketiaknya bau, kedua tangannya kaku, dan mulutnya yang tidak sedap.” Maka al-A’masy menghardiknya, “Pergilah, semoga Allah memburukkanmu, kamu malah hanya membuka aib-aibku yang tidak dia ketahui sebelumnya.”

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Az-Zaujan Fi Khaimah as-Sa’adah Maharat wa Wasa’il, Abdurrahman al-Qar’awi, ei, hal. 79-80

 

Continue Reading

Trending