Connect with us

Muslimah

Mati Syahid Dambaan Ummu Waraqah

Published

on

       Ummu Waraqah al-Anshariyah –semoga Allah meridhainya- di sini memberikan kepada kita sebuah gambaran yang nyata tentang orang yang membenarkan Allah hingga Allah pun membenarkannya. Suatu hari pada perang Badar, Ummu Waraqah berkata kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- “Wahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk ikut berperang bersamamu, ikut merasakan sakit yang engkau alami, sehingga Allah mengaruniakanku mati syahid. “Rasululllah –shallallahu ‘alaihi wasallam- menjawab,

قِرِّى فِى بَيْتِكِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَرْزُقُكِ الشَّهَادَةَ

Menetaplah engkau di rumahmu, sesungguhnya Allah ta’ala akan mengaruniakan mati syahid kepadamu (HR. Abu Dawud)

Wanita yang beriman ini menuruti perkataan Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- , dan hari demi hari berlalu hingga datanglah hari pada saat itu mukjizat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- ditampakkan, yakni beliau telah mengabarkan bahwa Allah –subhanahu wata’ala akan mengaruniakannya mati syahid.

Dia memiliki seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan, dia telah menjanjikan kepada mereka berdua untuk memerdekakan mereka setelah kematiannya. Mereka berdua disesatkan oleh setan, setan telah membisiki hati mereka agar membunuhnya. Mereka membuatnya pingsan, lalu membunuhnya, kemudian mereka lari.

Pada pagi harinya Umar –semoga Allah meridhainya- berkata, “Demi Allah, tadi malam aku tidak mendengar bacaan bibiku, Ummu Waraqah.” Lalu dia masuk ke dalam rumahnya, di sana dia tidak melihat siapa-siapa. Kemudian dia masuk ke dalam kamarnya, tiba-tiba dia mendapatkan Ummu Waraqah terbungkus kain beludru di samping rumahnya. Umar berkata, “Maha benar Allah dan RasulNya.”

Selanjutnya Umar –semoga Allah meridhainya- naik mimbar dan memberitahukan kejadian ini. Dia berkata, “Aku harus menangkap mereka.” Kemudian mereka pun dibawa ke hadapannya. Dia menyalib mereka berdua, dan mereka adalah manusia pertama yang disalib di Madinah. (ath-Thabaqaat al-Kubra, 8/457)

Sumber :

Duruusun Min Hayaati ash-Shahabiyaat, Dr. Abdul hamid as-Suhaibani, hal. 107 (Edisi Bahasa Indonesia)

Amar Abdullah bin Syakir

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

LGBT Adalah Penyimpangan

Published

on

Allah Ta’ala menciptakan manusia berpasang-pasangan, dengan fitrah seorang lelaki menyukai wanita dan sebaliknya. Sebagaimana firman-Nya:

((وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ))

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Arrum: 21)



Begitulah keadaan umat manusia dari awalnya, hingga datanglah umat menyimpang yang diutus kepada mereka Nabi Luth ‘Alaihissalam. Mereka menyukai sesama jenis, lelaki bernafsu dengan lelaki pula.

Al Qur’an menceritakan kisah mereka:

((وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (81) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ  بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (82) وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ  إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (83) فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ (84) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ))

Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”

Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.



Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri”.

Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).

Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu. (QS Al A’raf: 80-84)

 

Maka lihatlah, azab yang Allah Ta’ala turunkan tidak tanggung besar dan mengerikannya, yaitu negeri mereka dihujani dengan batu, kemudian diangkat, diputar balik dan dihempaskan kembali ke bumi, sebagaimana ayat:

فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَٰلِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi”.( QS Hud: 82)

Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI / Surat Hud Ayat 82 menyebutkan:

“Maka ketika keputusan kami datang untuk menurunkan azab kepada kaum Nabi Lut yang durhaka, kami menjungkirbalikkannya negeri kaum lut sehingga bagian atas bangunan berada di bawah dan bagian bawah bumi ada di atas, sebagai akibat perbuatan mereka memutarbalikkan fitrah, dan kami hujani mereka bertubi-tubi tiada henti dari tempat tinggi dengan batu dari tanah yang terbakar (lihat: surah al-‘ankabut/29: 34 dan adh-dhariyat/51: 32-33). Azab yang ditimpakan kepada kaum Nabi Lut yang diberi tanda oleh tuhanmu mengandung pesan, bahwa apa yang menimpa kaum Nabi Lut bisa jadi menimpa siapa saja. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang yang zalim kapan dan di mana saja berada pada setiap kurun waktu sepanjang zaman. Apabila perbuatan keji merajalela di tengah-tengah masyarakat, dan perbuatan itu mereka lakukan secara terang-terangan.”

Dan azab bisa menimpa siapa saja dan kapan saja jika menyimpang, dan setidaknya harus dipahami bahwa penyakit HIV/AIDS itu termasuk hukuman dari Allah Ta’ala di dunia, dan belum lagi azab diakhirat jika mati dalam keadaan belum bertaubat.

 

Semoga Allah Ta’ala menjaga kita dan keluarga kita dari dosa yang keji ini.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Fiqih

Adakah Perubahan Baik Setelah Bulan Ramadhan?

Published

on

Sekali lagi kita mengatakan:
“Ramadhan tak terasa telah pergi…”

Terdengar layaknya kita menangisi kepergiannya, namun adakah kita bertanya kepada diri:
“Perubahan apa yang terjadi setelah Ramadhan?…”

Ya, perubahan apa?
Sebulan penuh menahan haus dan lapar, tujuannya apa? Untuk mendidik nafsu dan syahwat hingga menjauhi kemaksiatan.

Sebulan penuh dipenuhi dengan ibadah, dari shalat tarawih, tilawah Al Qur’an, sedekah, zakat dan lainnya, tujuannya apa? Untuk meningkatkan kualitas ketaatan.

Dua hal yang diringkas dalam kata TAQWA, yaitu menjalankan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya.

Maka, bukankah ini tujuan dari kewajiban puasa Ramadhan? Sebagaimana yang tercantum pada firman-Nya yang masyhuur di telinga awam sekalipun, yaitu:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ – ١٨٣

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS Al Baqarah: 183)

 

Maka, hendaklah didikan Ramadhan ini berlanjut hingga sebelas bulan berikutnya.
Dan barangsiapa yang ingin mengetahui indikasi bahwa amal ibadah Ramadhannya diterima oleh Allah Ta’ala, hendaklah dia melihat kepada dirinya, apakah setelah Ramadhan menjadi lebih baik? atau kembali ke kebiasaan buruknya atau bahkan lebih, seperti singa lapar yang sudah dikekang sebulanan.

Untuk itu, demi menjaga ketakwaan yang dididik oleh bulan Ramadhan, seterusnya perbanyaklah tilawah dan shalat, karena keduanya yang akan menjaga Anda dari godaan hawa nafsu, Allah Ta’ala berfirman
:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Ankabut: 45)

Demikianlah tuntunan dari Allah Ta’ala, karena diri ini jika tidak disibukkan dengan ketaatan, dia akan dilalaikan oleh kemaksiatan.

Semoga Allah Ta’ala menerima ibadah kita semua pada bulan ramadhan yang baru saja berlalu ini, dan memberikan kita taufik-Nya untuk dapat menjaga nilai-nilai baik yang kita dapatkan pada bulan ramadhan, sehingga terus membersamai kita dan membuat perubahan baik kedepannya, hingga Allah Ta’ala pertemukan kita lagi dengan ramadhan tahun depan, Aamiin.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor



About Author

Continue Reading

Fiqih

Serial Puasa (bag.3)

Published

on

Alhamdulillah, pada bagian ketiga tulisan ini akan dibahas satu poin secara singkat, yaitu, ‘Penentuan Masuknya Bulan Ramadhan’.

 

Penentuan masuknya bulan Ramadhan dapat dilakukan dengan salah satu cara di antara dua cara berikut :

Pertama, menggenapkan bilangan bulan sebelumnya, yaitu bulan Sya’ban. Jika bulan Sya’ban telah sempurna selama 30 (tiga puluh) hari, maka hari berikutnya adalah hari pertama bulan Ramadhan secara pasti.

Jumlah hari dalam bulan Hijriyah tidak mungkin lebih dari tiga puluh hari dan tidak mungkin kurang dari dua puluh sembilan hari. Jika bulan Sya’ban telah sempurna tiga puluh hari, maka hari berikutnya adalah bulan Ramadhan, menurut hukum Syar’i, meskipun hilal tidak terlihat, sebagaimana sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-

« صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّىَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلاَثِينَ »

Berpuasalah kerena melihat hilal, dan berbukalah karena melihatnya. Jika mendung, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari (HR. Muslim)

Dan imam al-Bukhari meriwayatkan dengan lafazh :

فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Jika mendung, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.

Disebutkan pula dalam Shahih Ibni Khuzaimah, dari ‘Aisyah-رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-ia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلَالِ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمُّ يَصُوْمُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ

Perhatian Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-terhadap bulan Sya’ban tidak seperti perhatian beliau terhadap bulan-bulan lainnya. Beliau berpuasa karena melihat hilal. Jika mendung, beliau menyempurnakan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Setelah itu beliau berpuasa.

 

Kedua, dengan cara melihat bulan sabit (hilal). Jika hilal telah terlihat pada malam ke-30 (ketiga puluh) dari bulan Sya’ban, maka hitungan telah masuk pada bulan Ramadhan dan puasa pada saat itu telah wajib, sebagaimana Allah ta’ala berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه [البقرة : 185]

Karena itu, barang siapa di antara kalian menyaksikan bulan tersebut, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (al-Baqarah : 185), dan sabda Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

« إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْمًا »

Jika kalian melihat hilal (bulan sabit permulaan Ramadhan) maka puasalah dan jika kalian melihatnya (pada bulan berikutnya, yakni Syawwal) maka berbukalah, dan jika langit mendung, maka berpuasalah tiga puluh hari (HR. Muslim [1081]).

Tidak disyaratkan agar masing-masing orang melihat sendiri hilal tersebut. Jika hilal bulan Ramadhan tersebut telah dilihat oleh orang yang kesaksiannya bisa diterima, maka wajib bagi kaum muslimin untuk berpuasa.

Baligh, berakal, muslim, dan kabarnya dapat dipercaya karena memiliki penglihatan yang baik serta mampu menjaga amanah adalah syarat-syarat diterimanya kesaksian seseorang yang melihat hilal. Kita tidak bisa menghukumi masuknya bulan Ramadhan dengan kesaksian anak kecil karena ia belum bisa dipercaya. Terlebih lagi orang gila.

Hal yang sama juga diberlakukan dengan orang kafir, sebagaimana disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata,

“Ada orang badui yang mendatangi Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,lalu berkata, ‘Sesungguhnya aku telah melihat hilal Ramadhan.’Nabi bersabda, ‘Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allah ?’ Ia menjawab : ‘Benar.’ Nabi melanjutkan : ‘Apakah engkau juga bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?’ Ia menjawab lagi : ‘Benar.’ Nabi lalu bersabda, ‘Wahai Bilal, umumkan kepada orang-orang, hendaklah mereka besok berpuasa.’ (Diriwayatkan oleh tujuh orang imam ahli hadis (al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, an-Nasai, dan Ahmad)

Kesaksian seorang lelaki dapat diterima dalam penentuan masuknya bulan Ramadhan. Ini merupakan suatu kekhususan (dibanding kesaksian-kesaksian lainnya). Dalilnya adalah hadis Ibnu Umar, beliau berkata :

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Pada saat orang-orang berusaha untuk melihat hilal Ramadhan, aku memberitahu Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bahwa aku telah melihatnya. Beliau kemudian berpuasa dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim, lalu beliau berkomentar : “Sesuai syarat Muslim)

Bagi orang yang yakin telah melihat hilal, maka dia wajib untuk melaporkannya kepada pihak yang berwenang (pemerintah). Hal yang sama juga berlaku untuk bulan Syawwal dan Dzulhijjah. Sebab, perkara tersebut berkaitan dengan kewajiban puasa, berbuka dan haji. Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya suatu perkara, maka perkara tersebut juga menjadi wajib hukumnya. Sekiranya orang tadi melihat hilal Ramadhan di suatu tempat yang jauh, sehingga tidak memungkinkan untuk melapor kepada pihak berwenang, maka ia berpuasa, kemudian berusaha untuk menghubungi pihak berwenang semampunya.

Jika pemerintah telah mengumumkan masuknya bulan Ramadhan, dengan radio atau media komunikasi lainnya, maka itulah yang dilaksanakan, baik berkaitan dengan masuk atau keluarnya puasa, ataupun dalam permasalahan-permasalahan yang lain. Sebab, pengumuman pemerintah merupakan hujjah syar’i yang wajib diamalkan. Oleh karena itu, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-memerintahkan Bilal untuk mengumumkan kepada orang-orang tentang masuknya bulan Ramadhan agar mereka berpuasa, pada saat beliau meyakini tentang masuknya bulan puasa. Beliau menjadikan pengumuman tersebut merupakan kewajiban yang harus ditaati oleh mereka.

Jika masuknya puasa telah dapat dipastikan secara syar’i, maka penentuan posisi bulan tidak lagi menjadi patokan. Karena Nabi mengaitkan hukum dengan melihat hiilal, bukan dengan perhitungan posisi bulan.

إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا

Jika kalian melihat hilal (bulan sabit permulaan Ramadhan) maka puasalah dan jika kalian melihatnya (pada bulan berikutnya, yakni Syawwal) maka berbukalah… (HR. Muslim).

 

Wallahu A’lam

 

Sumber bacaan :

  1. Majalis Syahri Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin
  2. Minhaju al-Muslim, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza-iriy

 

Amar Abdullah bin Syakir    

 

 

 

 

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending