Connect with us

Fiqih

Melatih Anak Kecil Berpuasa

Published

on

Di antara perkara yang menunjukkan betapa pentingnya perkara memerintah anak kecil untuk melakukan kebaikan adalah apa yang valid dari para Sahabat bahwa mereka memerintahkan anak kecil-anak kecil mereka untuk berpuasa baik semasa Nabi masih hidup maupun sepeninggal beliau.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin Afra, semoga Allah meridhai keduanya, ia berkata, “Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam– pada pagi hari ‘Asyuro bertandang ke kampung orang-orang Anshar yang berada di sekitar kota Madinah. (Beliau berkata), “ Siapa yang memasuki waktu pagi dalam keadaan berpuasa maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Dan barangsiapa memasuki waktu pagi dalam keadaan tidak berpuasa, maka hendaklah ia menyempurnakan sisa harinya.

Maka, setelah itu kami  pun berpuasa pada hari tersebut (hari Asyura) dan  kami pun akan memerintahkan anak kecil kami untuk berpuasa pula insya Allah dan membawa serta mereka ke masjid, maka kami pun membuatkan untuk mereka sebuah mainan yang terbuat dari al-‘Ihn . Jika salah satu di antara mereka menangis meminta makanan, kami memberikan mainan tersebut kepadanya ketika berbuka .

& Faedah :

Di antara hal yang dapat kita ambil faedah dari riwayat ini adalah sebagai berikut :

 Pertama, kuatnya semangat dan perhatian para sahabat untuk memerintahkan anak mereka berpuasa. Hal ini sedemikian napak pada tindakan mereka membuatkan mainan untuk anak-anak mereka dan menjadikan mainan tersebut sebagai sarana untuk memalingkan mereka dari keinginan meminta makanan sehingga puasa yang mereka lakukan menjadi sempurna.

Kedua,   kecilnya usia anak-anak tersebut kala mereka diperintahkan untuk berpuasa. Di antara perkara yang menunjukkan hal ini adalah apa yang dikatakan oleh ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz –semoga Allah meridhainya-,

كُنَّا نُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ

kami memerintahkan anak-anak kami yang masih kecil untuk berpuasa. Demikian juga apa yang dikatakannya,

فَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا

Maka kami buatkan untuk mereka mainan yang terbuat dari kapas, jika mereka menangis meminta makanan kami berikan mainan tersebut kepadanya”. Hal ini tentu dilakukan terhadap anak-anak yang masih kecil, bukan terhadap mereka yang telah besar (dewasa).

Ketiga, hal lainnya yang dapat kita ambil faedah dari tindakan para sahabat membuatkan mainan untuk anak-anaknya tersebut adalah hendaknya para orang tua memperhatikan ketika mereka menyuruh anaknya untuk melakukan hal yang ma’ruf dan meninggalkan perkara yang mungkar juga memberikan sarana yang akan dapat membantu mereka untuk dapat melakukan perkara yang diperintahkan kepada mereka dan meninggalkan perkara yang dilarang untuk mereka kerjakan.

Keempat, Sedemikian itu perhatian para sahabat dalam hal memerintahkan anak anak mereka yang masih kecil agar berpuasa Asyura, lalu kiranya bagaimana halnya dengan perhatian mereka dalam hal memerintahkan anak mereka berpuasa Ramadhan setelah puasa tersebut diwajibkan ?. Di antara perkara yang menunjukkan tingginya perhatian kaum muslimin (kala itu) dan anak-anak mereka terhadap puasa Ramadhan adalah yang dikatakan oleh Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab –semoga Allah meridhainya- kepada seorang laki-laki yang didatangkan kepada beliau di mana laki-laki tersebut sebelumnya telah meminum khamer di siang hari bulan Ramadhan, (beliau berkata) وَيْلَكَ, وَصِبْيَانُنَا صِيَامٌ”  ” celaka engkau, sementara anak kecil-anak kecil kami saja berpuasa. Lalu Umar memukul orang tersebut

Kelima, Berita tentang upaya para sahabat agar anak-anak mereka yang masih kecil berpuasa pada hari Asyura memiliki hukum rafa’ (kepada Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam). Hal demikian itu karena peristiwa tersebut terjadi semasa hidup Nabi yang mulia-shallallahu ‘alaihi wasallam- sementara Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengingkari tindakan mereka tersebut. Dalam masalah ini, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : sesungguhnya pendapat yang benar menurut ahli hadits dan ahli ushul adalah bahwa apabila seorang sahabat berkata : “kami melakukan demikian di masa Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- “ maka hukumnya marfu’ (kepada Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam), karena zhahirnya bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- mengetahui hal tersebut dan beliau merekomendasikan hal tersebut kepada mereka untuk mereka lakukan, disamping itu terbukanya peluang bagi mereka untuk bertanya kepada beliau tentang hukum-hukum beragam persoalan, di samping itu pula persoalan ini termasuk masalah yang tidak membuka pintu untuk berijtihad. Maka, tidaklah apa yang mereka lakukan tersebut melainkan berlandaskan pada petunjuk. Wallahu a’lam

Al-‘Allamah al-‘Aniy berkata :  “Sesungguhnya seorang sahabat jika berkata, “ kami melakukan demikian di masa Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka hal demikian itu hukumnya adalah marfu’ (kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam), karena diamnya Nabi dari hal tersebut menunjukkan penetapan beliau terhadap apa yang mereka lakukan. Karena, kalaulah saja beliau tidak ridha terhadap hal tersebut niscaya beliau mengingkari tindakan mereka

Keenam, Disyariatkannya melatih anak kecil berpuasa.

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar : “Di dalam hadis ini terdapat hujjah/dalil yang menunjukkan disyariatkannya melatih anak kecil untuk berpuasa sebagaimana yang telah lalu (penjelasannya), karena semisal dengan usia seseorang yang disebutkan dalam hadis ini, adalah usia orang yang belum mukallaf (terkena kewajiban syariat), tindakan yang mereka lakukan tersebut adalah sebagai latihan bagi mereka.

Hal ini telah diperkuat oleh banyak pendapat ulama umat ini. Sebagai contohnya, Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, ia berkata, “Biasanya ayahku memerintahkan anak kecil untuk melaksanakan shalat bila mereka telah dapat memahaminya, begitu juga beliau memerintahkan mereka untuk berpuasa bila mereka telah mampu.

Imam Abdurrazzaq juga meriwayatkan dari Ibnu Sirin, ia berkata, “seorang anak kecil diperintah untuk mengerjakan shalat jika ia telah tahu mana bagian tangannya yang kanan dan mana bagian tangannya yang kiri, begitu pula mereka diperintahkan untuk mengerjakan puasa kala mereka telah mampu

Ibnu Qudamah ketika menjelaskan perkataan al-Khiraqiy, “jika seorang anak telah berusia 10 tahun dan mampu untuk berpuasa, أُخِذَ بِهِ “, beliau berkata, “ yakni, anak tersebut diwajibkan untuk berpuasa, ia diperintahkan untuk berpuasa, ketika meninggalkannya ia dipukul, hal demikian itu untuk melatihnya berpuasa dan untuk membiasakannya, seperti halnya ia diwajibkan untuk berpuasa dan diperintahkan untuk mengerjakannya.

Termasuk yang berpendapat bahwa anak kecil diperintahkan untuk mengerjakan puasa bila telah mampu adalah Atho, al-Hasan, Ibnu Sirin, az-Zuhriy, Qatadah dan asy-Syafi’i.

Al-Auza’iy berkata : jika (seorang anak kecil) telah mampu untuk berpuasa selama 3 hari berturut-turut, di mana ia tidak terlihat keletihan dan lemah, maka ia dianjurkan untuk berpuasa bulan Ramadhan.

Ishaq berkata, “ jika (seorang anak) telah berusia 12 tahun disukai agar ia dibebani untuk berpuasa untuk membiasakan dirinya “

Namun, berpatokan dengan usia 10 tahun lebih utama, karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan (kepada pada wali) untuk memukul anak ketika mereka enggan mengerjakannya pada saat mereka telah berusia 10 tahun. Dan mensejajarkan hukum  puasa dengan hukum shalat adalah lebih baik dari sisi bahwa salah satunya lebih dekat dengan yang lain, dan terkumpulnya keduanya sebagai ibadah badaniyah yang termasuk rukun islam, hanya saja puasa itu lebih berat, oleh karena itu “mampu” menjadi patokan untuk melakukan ibadah puasa tersebut, karena terkadang ada orang yang mampu melakukan shalat namun tidak mampu untuk berpuasa.

Dan di antara hal yang dapat kita ambil faedah dari perkataan Ibnu Qudamah adalah bahwa anak kecil diperintahkan untuk melakukan puasa sebagaimana ia diperintahkan untuk melaksanakan shalat. Sejumlah ulama ummat telah menegaskan hal tersebut, meskipun mereka berselisih pendapat mengenai batasan usia di mana anak kecil tersebut diperintahkan untuk mengerjakan puasa.

 

Ketujuh, perintah kepada anak kecil hendaknya tidak sebatas pada masalah shalat dan puasa saja, namun hendaknya para orang tua, ayah dan ibu memerintakan mereka untuk melakukan beragam bentuk ketaatan yang lainnya, supaya mereka terbiasa dan terlatih untuk melakukannya sebelum sampai pada usia dewasa. Imam an-Nawawi berkata, menjelaskan apa yang dapat diambil faedah dari Hadis ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz-semoga Allah meridhainya- , “ di dalam hadis ini terdapat anjuran untuk melatih anak kecil melakukan beragam ketaatan, membiasakan mereka untuk melakukan beragam bentuk ibadah, akan tetapi secara prinsip bahwa mereka itu belum terkena beban kewajiban

Sungguh telah valid informasi bahwa para sahabat –semoga Allah meridhai mereka- di masa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- sedemikian bersemangat untuk mengikut sertakan anak-anak mereka dalam melakukan beragam ketaatan, melatih dan membiasakan mereka untuk melakukan hal-hal tersebut. Di antara hal yang menunjukkan demikian itu adalah apa yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, “Aku pernah keluar bersama Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- pada hari raya ied Fithri dan iedul Adha, maka beliau (Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam) melakukan shalat, kemudian berkhutbah. Selesai khutbah, kemudian beliau mendatangi kaum wanita untuk memberikan nasehat kepada mereka, mengingatkan mereka dan memerintahkan mereka untuk bersedekah

Imam al-Bukhari memberikan judul hadis ini dengan perkataannya, “ bab : keluarnya anak kecil menuju ke mushalla (tempat pelaksanaan shalat ied).

Al-‘Allamah al-‘Ainiy berkata, “ sisi keselarasan hadis dengan judul ini adalah dari sisi bahwa Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya- saat keluarnya bersama dengan Nabi-shallallahu ‘alaihi waslalam- menuju tempat pelaksanaan shalat ied, kala itu beliau masih kecil.

Hal lainnya yang menunjukkan hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari juga dari as-Saib bin Yazid –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, “Aku diikutsertakan dalam ibadah haji bersama Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- , di mana saat itu aku baru berusia 7 tahun

Imam al-Bukhari memberi judul hadis ini dengan perkataannya, “bab : Hajju ash-Shibyan” (haji anak kecil)

Hal lainnya yang menunjukkan pula hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari juga dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas –semoga Allah meridhai keduanya- , ia berkata, “aku telah mengumpulkan “al-Muhkam” di masa Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-. Aku (Sa’id bin Jubair) pun bertanya kepadanya, “apa yang dimaksud dengan “al-Muhkam”. Ibnu Abbas menjawab, “ al-Mufashshal “

Imam al-Bukhari memberikan judul hadis ini dengan perkataannya, “ bab ta’liim ash-Shibyan al-Qur’an” (bab : mengajarkan al-Qur’an kepada anak kecil)

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Ibnu Sa’d dan yang lainnya telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, tanyakanlah kepadaku tentang tafsir, karena sungguh aku telah hafal al-Qur’an semenjak kecil

Di dalam shahihnya, imam al-Bukhari telah memberi judul lain dengan perkataannya, “bab wudhu-i ash-Shibyan, wa mata yajibu ‘alaihim al-Ghuslu wath-thuhuur ? (bab : wudhu anak kecil, dan kapankah mereka wajib mandi dan bersuci ? , wa hudhuurihim al-Jama’ah wal ‘idaini wal jana-izi wa shufuufihim (dan kehadirian mereka dalam shalat jama’ah, hari raya, shalat jenazah, dan penempatan barisan mereka (dalam shalat berjama’ah)

Beliau menyebutkan di dalamnya tujuh buah hadis.

Singkat kata, bahwa anak kecil diperintahkan untuk melakukan beragam bentuk ketaatan agar mereka terbiasa melakukannya sebelum usianya dewasa. Sehingga, ketika mereka telah dewasa akan mudah baginya untuk melakukan beragam ketaatan-ketaatan tersebut. Wallahu a’lam

 

Penulis : Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber : Al-Ihtisabu ‘Ala al-Athfal, Dr. Fadhl Ilahi, hal.29-33

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fiqih

Larangan Menikahi Wanita Pezina

Published

on

Al-Qur’an melarang seseorang menikahi wanita pezina yang belum berhenti dari kebiasaan berzinanya, demikian juga menikahkan wanita dengan laki-laki yang belum berhenti dari kebiasaan berzinanya.

Pernyataan di atas merupakan salah satu penafsiran dari firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى :

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ  [النور : 26]

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula). Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah  untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (Surga). (an-Nur : 26)
Beberapa aib menikahi wanita pezina yang belum berhenti dari kebiasaan berzinanya :

Pertama, pelanggaran atas larangan menikah dengan mereka. Berdasarkan firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى :

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ  [النور : 3]

Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan yang musyrik ; dan perempuan yang pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman (an-Nuur : 3)




Kedua, anak orang lain akan diikutkan nasabnya kepada Anda. Bisa jadi setelah berzina, wanita tersebut mengalami kehamilan dari laki-laki lain kemudian setelah lahir anak dari laki-laki tersebut dinasabkan kepada suami resminya. Kelak setelah besar anak tersebut akan mewarisi harta suami resminya, padahal ia bukan ahli warisnya. Bebas bergaul dengan mahram suaminya, padahal dia bukan mahram suaminya.

Ketiga, wanita pezina sama sekali tidak butuh dengan suaminya. Dia adalah pelacur, dia senantiasa menggoda setiap laki-laki di mana saja dan kapan pun. Jika sang suami membuatnya marah, dia segera keluar dan berzina dengan laki-laki lain. Dia adalah wanita yang berani dan durhaka kepada suami. Bahkan banyak laki-laki nakal dan bejat yang mengendalikan kehidupannya, karena mereka tergila-gila dengannya.

Keempat, wanita pezina dapat menjadi sebab seorang suami mengerjakan perbuatan haram. Wanita pezina tidak butuh-nafkah batin-suaminya, bahkan dia sering meninggalkan suaminya tidur di kamarnya seorang diri. Kondisi ini akan mendorong suaminya untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya pada wanita lain yang masih haram atas dirinya. Demikian juga dengan laki-laki pezina, dia senantiasa enggan untuk mendekati istrinya yang suci. Tidak butuh padanya karena telah puas dengan wanita lain. Kondisi demikian menjadikan sang istri berpikir untuk selingkuh dengan laki-laki lain.

Kelima, wanita pezina dapat menjadi sebab datangnya teman-teman jelek seperti dirinya ke rumah suaminya. Akibatnya sang suami berzina dengan salah satu dari mereka. Kondisi inilah yang diinginkan oleh wanita pezina, sehingga sang suami tidak berani mencelanya ketika dia berzina. Jika sang suami benar-benar telah berzina, maka dia  mencelanya sebagaimana sang suami mencela dirinya ketika dia berzina. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman tentang orang-orang kafir,

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً  [النساء : 89]

Mereka ingin supaya kalian menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kalian menjadi sama (dengan mereka) (an-Nisa : 89)

Dalam ayat lain Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman,

وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا  [النساء : 27]

Sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). (an-Nisan : 27)
Keenam, wanita pezina dapat menghilangkan sifat cemburu sang suami sedikit demi sedikit, hingga suami terperosok pada sikap diyatsah (jamak dari dayuts : laki-laki yang tidak memiliki rasa cemburu). Dan seorang dayuts tidak akan bisa masuk Surga.




Ketujuh, wanita pezina mengajari putra-putrinya untuk berzina. Mempermudah mereka ataupun setidak-tidaknya membiarkan mereka pada kubangan perzinaan, hingga lahirlah keturunan-keturunan yang rusak. Dia mendidik putera putrinya di rumah yang akrab dengan kefasikan dan kemesuman, hingga keluarganya hancur dan adzab Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى  turun kepada mereka yang bermaksiat.

Kedelapan, wanita pezina mengajari suaminya untuk berzina, karena dia sering bercerita kepada suaminya tentang wanita dan laki-laki lain. Yang demikian itu karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan dan seseorang itu berada di atas agama temannya.

Kesembilan, tersebarnya virus dan berbagai penyakit di dalam rumah. Hal ini merupakan hukuman dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang disegerakan di dunia. Salah satu penyakit paling berbahaya adalah AIDS. Zina merupakan salah satu penyebabnya.

Kesepuluh, seorang istri pezina menjadi sebab datangnya adzab di akhirat bagi suaminya. Yang demikian itu karena seorang laki-laki akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى atas apa yang dipimpinnya. Sebagaimana sabda Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ 

Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya… [HR. al-Bukhari, no. 2554; Muslim, no.1819, dari Abu Hurairah secara mafu’]
Dan firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ  [التحريم : 6]

Hai orang-orang yang beriman,peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (at-Tahrim : 6)
Dan firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى :

احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ (22) مِنْ دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ (23) [الصافات : 22 ، 23]

(Kepada malaikat diperintahkan), “Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman sejawat mereka dan sembhan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah, kemudian tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka (ash-Shaffat : 22-23)
Meskipun wanita pezina tidak termasuk wanita kafir, tapi dia adalah pelaku dosa besar, kejahatan dan perbuatan keji.

Yang dimaksud dengan ‘al-Azwaj; yang diartikan teman-teman sejawat’ dalam ayat di atas adalah orang-orang selevel dalam keyakinan dan pekerjaan.

Kesebelas, jatuhnya harga diri keluarga besar suami di mata masyarakat. Adapun kaum muslimin, jika mereka mengetahui keadaan seorang laki-laki yang tidak mempunyai perasaan cemburu, maka mereka akan meremehkan harga diri laki-laki tersebut di mata mereka, tidak mungkin mereka akan  menjalin hubungan perbesanan dengannya dan menjauhkan laki-laki tersebut dari pertemanan. Tidak ada yang menjalin hubungan perbesanan dan pertemanan dengan laki-laki tersebut kecuali orang-orang fasik yang seperti dirinya.

Kedua belas, suami, keluarga besar, dan kerabat akan menjadi bahan ejekan gara-gara menikahi wanita pezina.

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Bahtsu Fi Qaulihi Ta’ala : Wala Taqrabuz Zina, Musthafa al-Adawi, hal.  38-42.

Continue Reading

Fiqih

TIMBANGAN SHALAT

Published

on

Muslim meriwayatkan dalam shahihnya [1] dari Abdullah bin Mas’ud رَضِيَ اللهُ عَنْهُ dia berkata,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ

“Barang siapa ingin berbahagia bertemu dengan Allah besok pada hari Kiamat dalam keadaan Muslim, maka hendaknya dia menjaga shalat-shalat (lima waktu) di mana dikumandangkan adzan padanya (yaitu di masjid), karena sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk, dan shalat berjamaah itu termasuk sunnah-sunnah petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah seperti shalatnya orang yang tertingal (dari shalat berjamaah) ini, niscaya kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Dan jika kalian meninggalkan Sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan tersesat. Tidaklah seorang laki-laki yang bersuci lalu dia melakukannya dengan baik kemudian dia berangkat ke salah satu masjid di antara masjid-masjid yang ada melainkan Allah menulis untuknya satu kebaikan dengan setiap langkah yang dilangkahkannya dan mengangkat satu derajat dengannya serta menghapus satu keburukan dengannya. Aku telah melihat kami –para sahabat Nabi- tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah kecuali pasti dia seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya. Dan sungguh seseorang (dari kami) dipapah dan dihadirkan, sehingga akhirnya diberdirikan di shaf.”

***

Bila keadaan orang yang tidak menghadiri shalat berjma’ah di mata para sahabat adalah demikian, para sahabat menilainya sebagai orang  munafik dengan kemunafikan yang nyata, lalu bagaimana dengan orang yang meninggalkan shalat ? Kami memohon keselamatan kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Sesungguhnya timbangan shalat di dalam Islam itu agung dan kedudukannya tinggi, Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mewajibkannya kepada NabiNya tanpa perantara dari atas langit ketujuh mana kala Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memi’rajkan beliau ke langit. Dalil-dalil di selain yang sudah disebutkan di atas, hadir menetapkan keutamaannya, kedudukannya yang tinggi, dan beratnya hukuman bagi siapa yang menyia-nyiakannya, tapi meskipun demikian, timbangan shalat di mata banyak orang masih dianggap sepele. Di antara mereka ada orang yang tidak pernah terlihat di masjid sama sekali di seluruh waktu-waktu shalat, padahal dia tinggal di samping masjid, dia keluar rumah untuk bekerja, namun tidak keluar dari rumahnya untuk mendirikan shalat di masjid, padahal dia mendengar adzan lima kali dalam sehari semalam. Dia berkata, “Kami mendengar dan kami durhaka.” Yang aneh dalam hal tersebut adalah bahwa orang yang tidak shalat itu tinggal bersama keluarganya yang menjaga shalat bersama kaum Muslimin, namun sayangnya mereka tidak mengingatkannya, bahkan membiarkannya di rumah seolah-olah dia tidak melakukan kemunkaran apa pun. Mereka makan bersama, minum bersama dan bergaul bersamanya. Di mana rasa cemburu dalam hal agama ? Di mana syiar amar makruf dan nahi munkar ? Kecuali orang yang menginginkan nasehat dan kebaikan untuk mereka.
Iklan




Di antara mereka ada yang meremehkan syarat-syarat shalat, rukun-rukunnya, dan wajib-wajibnya, dia tidak menunaikannya sebagaimana mestinya.

Di antara mereka ada yang meremehkan shalat bersama jama’ah, ini adalah tanda kemunafikan.

Kewajiban kita adalah menjaga ketaatan dan ibadah yang agung ini, yang merupakan rukun islam paling besar sesudah dua kalimat syahadat. Hendaknya kita mewaspadai dengan cermat jalan para pendosa yang apabila mereka diajak, “Rukuklah”, mereka tidak mau rukuk.

Hendaknya seorang hamba tidak membanggakan dirinya, takjub kepada amal dan keadaannya dan lalai dari mengagungkan Tuhan dan Penolongnya, meremehkan syiar-syiar-Nya, sehingga dia akan masuk ke dalam rombongan orang-orang yang merugi.

Dari Khalid bin Umair al-Adawi, ia berkata, Utbah bin Ghazwan berkhuthbah di depan kami, dia memuji dan menyanjung Allah  سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى kemudian berkata,

“Amma ba’du. Sesungguhnya dunia ini telah memberitahukan kefanaannya dan berpaling dengan sangat cepat, tidak tersisa dari umur dunia melainkan sedikit seperti sisa air dalam bejana yang diminum oleh pemiliknya. Sesungguhnya kalian akan pindah dari dunia menuju sebuah perkampungan yang tidak mengenal kebinasaan, maka berpindahlah kalian dengan berbekal kebaikan dari apa yang ada di hadapan kalian. Karena sesungguhnya telah diberitakan kepada kami bahwa sebuah batu dilemparkan dari pinggir Jahannam kemudian jatuh meluncur ke dalamnya selama 70 tahun namun belum sampai ke dasarnya. Demi Allah, neraka itu pasti akan diisi penuh, apakah kalian merasa takjub ? Dan telah diberitahukan kepada kami bahwa jarak antara dua pintu gerbang dari pintu-pintu gerbang surga adalah sejauh perjalanan 40 tahun. Dan suatu hari nanti ia akan penuh sesak oleh orang-orang (yang memasukinya). Sungguh aku telah menyaksikan diriku orang ketujuh dari tujuh orang yang bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, waktu itu kami tidak memiliki makanan sama sekali kecuali hanya daun-daun pohon sampai bibir kami terluka. Kemudian saya menemukan satu potong kain burdah, lalu saya membelahnya menjadi dua antara aku dan Sa’ad bin Malik, saya bersarung dengan separuhnya dan Sa’ad juga bersarung dengan separuhnya. Lalu sekarang, tidaklah masing-masing dari kami kecuali telah menjadi gubernur pada salah satu wilayah. Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى agar jangan sampai dalam pandangan diriku, aku ini besar tetapi kecil di sisi Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Sesungguhnya tidak ada satu kenabian pun kecuali ia berubah keadaannya hingga akhir perkaranya menjadi kerajaan, kalian akan mengetahui dan merasakan para pemimpin sesudah kami.” Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya. [2]

Kami memohon kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dengan nama-nama-Nya yang paling baik dan sifat-sifat-Nya yang paling luhur agar melindungi kita semua dari jalan para pendosa, membimbing kita untuk menjaga ketaatan kepada-Nya, dan menolong kita untuk menjaga shalat.

Ya Allah jadikanlah kami orang-orang yang mendirikan shalat.

Ya Allah bimbinglah kami untuk memperhatikan shalat dan mendirikannya sebagaimana yang Engkau cintai dan ridhai, wahai Dzat Pemilik keagungan dan kemuliaan.

(Amin)

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Ta’zhimu ash-Shalati, Prof.Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal.27-30.

 

Catatan :

[1] Shahih Muslim, no. 654

[2] Shahih Muslim, no. 2967

Continue Reading

Fiqih

Tauhid Pondasi Keluarga

Published

on

Akidah tauhid merupakan pondasi dan pilar keluarga.
Kita katakan ,iya, akidah tauhid merupakan pondasi dan pilar dalam kehidupan umat seluruhnya, dan juga dalam kehidupan setiap insan. Hal tersebut juga merupakan pondasi kehidupan keluarga.
Akidah tauhid yang jernih yang berdiri di atas pemahaman dan landasan :

لا إله إلا الله محمد رسول الله

(Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah)
jika apa yang ditunjukannya secara ilmiah dan pengamalan telah kokoh tertancap di dalam kehidupan keluarga niscaya keluaga tersebut akan mengalami perubahan keadaan yang sangat berbeda. Karena konsekuensi dari akidah ini adalah menanggalkan seluruh bentuk peribadatan kepada selain Allah, berupa kesyirikan dan berhala-berhala serta tradisi-tradisi jahiliyah, ketaatan terhadap orang-orang yang menyimpang dan orang-orang fasik dan orang-orang yang gemar melakukan dosa. Menanggalkan diri dari hal-hal tersebut dan menjadi taat kepada Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya, dan mentaati rasul-Nya-shallallahu alaihi wasallam-. Karena taat kepada belaiu merupakan ketaatan kepada Allah.
Jadi, pondasi keluarga yang harus di bangun di atasnya adalah akidah tauhid. Akan tetapi kita menyayangkan karena seringkali kita tidak membangun keluarga kita di atas pondasi ini, oleh karenanya kita banyak menjumpai banyak dari keluarga tidak memahami akidah tauhid ini …

Wahai saudaraku sekalian…
Mengapa kita mengosongkan diri dari mendidik keluarga kita di atas pemahaman akidah ini ?
Mengapa kita tidak mendidik keluarga di atas akidah yang berdiri di atas keimanan kepada Allah dan pengingkaran terhadap thaghut-thaghut?
Sesungguhnya ini, mendidik keluarga di atas pondasi ini merupakan hal mendasar. Akan tetapi, mengapa kita kurang perhatian dalam hal ini ?




Sungguh sangat lemah pangaruh akidah ini dalam jiwa kita, dan jiwa keluraga kita serta jiwa pasangan hidup kita dan anak-anak kita.
Wahai saudara-saudaraku sekalian !
Sesungguhnya ketika akidah ini diajarkan dan ditanamkan dalam keluarga dengan benar, niscaya akan menjadikan seorang ayah sebagai sang pendidik banyak mendapatkan hal yang melegakan dirinya dalam banyak hal dalam kehidupan. Misalnya, ketika keluarga dididik di atas aqidah ini, mengesakan rabbnya dengan rasa takut, tawakal dan cinta. Sehingga menjadi sebuah keluarga yang tidak takut kecuali kepada Allah, dan tidak bertawakal dalam seluruh urusannya kecuali kepada Allah. Akan tetapi, cobalah Anda menengok keluarga kita, betapa banyak persoalan yang muncul dalam keluarga, disebabkan karena sang ibu atau sang istri takut terhadap kefakiran, atau takut kepada selain Allah-subhanahu wa ta’ala-.

Ya, jika keluarga terdidik di atas pondasi aqidah tauhid, niscaya akan senantiasa bergantung kepada Allah, sehingga kehidupan akan berjalan dengan lurus. Keluarga akan tidur sementara dia merasa lega, tidak takut akan adanya ‘ain (pandangan mata jahat) kecuali dengan izin Allah. Tidak takut akan adanya gangguan jin melainkan dengan izin Allah. Tidak takut akan adanya gangguan makhluk melainkan hal itu terjadi dengan izin Allah. Maka, bila keluarga telah bergantung dengan hal ini, niscaya keluarga benar-benar menjadi keluarga yang tenang dan lapang dada.

Kemudian, setelah itu, juga akan menjauhkan keluarga dari bergantung dan berhubungan dengan hal-hal yang syirik yang akan banyak menimbulkan kegelisahan dan kerisauan jiwa. Karena, sebagian keluarga itu ketika lemah pemahamannya terhadap akidah tauhid dan konsekuensi-konsekuensinya, dan wajibnya menjauhkan diri dari kesyirikan dan segala macam dan bentuknya, mulailah terjatuh ke dalam hal-hal kesyirikan, terjatuh ke dalam berbagai bentuk ruqyah dan tamimah yang diharamkan. Tamimah-tamimah yang haram ini yang telah valid dari nabi akan terlarangnya, jika terdapat di tengah-tengah keluarga, akan mengubah keluarga menjadi keluarga yang carut marut. Maka Anda akan mendapati sang ibu selalu saja mengkhawatirkan terhadap anaknya, sehingga hal itu mendorongnya untuk mengalungkan jimat-jimat, ia takut anaknya akan terkena ‘Ain, dan boleh jadi ia mengkhayalkan bahwa anaknya sakit, sehingga ia pun dirundung stres, dan ia pun mondar mandir ke beberapa rumah sakit, ia menjadikan suaminya stres dan menjadikan keluarganya stres pula. Padahal anaknya tidak terkena apa-apa. Namun, ibunyalah yang bermasalah karena kelemahan iman dan akidahnya.
Kemudian, setelah itu, juga akan menjauhkan keluarga ini dari terjatuh ke dalam berbagai bentuk kesyirikan yang kecil dan kesyirikan yang besar, yang akan dapat menghapuskan amal, sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), tetapi Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. (An-Nisā’ [4]:48)
Wahai saudaraku sekalian …

Sesungguhnya mendidik keluarga di atas akidah tauhid ini akan menjadikan kecintaan Allah sebagai sebuah prioritas utama yang lebih dikedepankan atas kecintaan kepada selain-Nya, meskipun selain-Nya tersebut adalah suami atau istrinya.
Ketika kecintaan terhadap Allah bertolak belakang dengan kecintaan kepada istri atau suami, atau bertolak belakang dengan kecintaan kepada anak atau orang tua, maka manakah yang akan diprioritaskan oleh orang yang memiliki akidah yang jernih ? Manakah kiranya antara kedua hal ini yang akan diprioritaskan oleh orang yang telah tertanam di dalam dirinya akidah yang selamat ini ?
Namun, sungguh di antara hal yang dapat disaksikan -dan patut disayangkan- adalah bahwa pada galibnya yang terjadi di banyak keluarga adalah kecondongan cinta seorang suami atau istri tidak jarang mengantarkan seseorang kepada keburukan. Maka, boleh jadi Anda mendapatkan seorang wanita yang beriman kepada Allah, namun boleh jadi ia telah menikah dan sedemikian mencintai suaminya-terlebih ketika telah dikaruniai anak-ia lebih memprioritaskan cinta kepada suami dan anak-anak atas kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya. Bisa jadi pula, kadang Anda mendapati suami wanita ini seorang zindik, bisa jadi ia banyak melakukan penyimpangan, bisa jadi dalam bentuk mengolok-olok agama Allah, atau suaminya tersebut tidak melaksanakan shalat, atau hal-hal lainnya yang merupakan perkara yang dapat membatalkan keislaman seseorang Anda mendapati terjadi pada orang tersebut, sedangkan Anda dapati sang istrinya ini telah sedemikian menundukkan kepalanya kepada suaminya tersebut, sedangkan ia tidak menundukkan kepalanya kepada Dzat yang Esa, Dzat yang Maha Perkasa, maka ia tetap bertahan hidup di samping suaminya tersebut.




Demikian pula, seorang suami, boleh jadi di sisinya ada seorang wanita sebagai istrinya yang tidak mengerjakan shalat, namun tetap saja ia mempertahankannya di sisinya. Ia tidak mengedepankan kecintaan kepada Allah atas kecintaan kepada makhluk meskipun ia adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan dirinya.
Wahai saudaraku sekalian…!

Sesungguhnya kecintaan kepada Allah semata dan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam hal tersebut merupakan pondasi aturan keluarga, karena kesempurnaan kecintaan itu akan terwujud dengan beribadah kepada Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِ ۗ

Di antara manusia ada yang menjadikan (sesuatu) selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi-Nya) yang mereka cintai seperti mencintai Allah. (al-Baqarah : 165)
Maka, bila kecintaan kepada selain Allah lebih dikedepankan atas kecintaan kepada Allah sesungguhnya ini termasuk syirik besar. Sementara konsekwensi terbesar dari kecintaan kepada Allah adalah mentaati Allah dan mengikuti rasul-Nya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Āli ‘Imrān : 31)

Maka, kecintaan kepada Allah berkonsekuensi mendahulukan kecintaan kepada Allah dan mentaati Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam-atas ketaatan kepada makhluk meskipun ia adalah manusia yang paling dekat hubungannya dengan Anda, meskipun ia sebagai seorang ayah atau ibu, meskipun ia sebagai seorang suami atau istri, atau pun yang lainnya.
Inilah pondasi akidah tauhid. Maka, ketika akidah ini jernih dan selamat, akan menumbuh kembangkan keluarga dengan baik dan menjadi susunan yang benar.
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Aqidatu at-Tauhid Asasu al-Usrati Wa Qawamuha, Abdurrahman bin Shaleh al-Hamud, 1/6.

Continue Reading

Trending