Tidak Mau Mentalak,
Padahal Sudah Tidak Mungkin Ada Perbaikan dan Kecocokan
Pada bagian ke-17 tulisan ini, telah dijelaskan betapa besarnya urusan talak dan celaan sikap tergesa-gesa terkait dengannya.
Sebagaimana ada tipe suami yang lalai dan tergesa-gesa dalam menjatuhkan talak, maka ada juga tipe suami yang bersikap ekstrim, ia menolak talak, tidak bersedia melakukannya seperti apapun kondisinya dan betapa pun faktor pendorongnya telah telah terpenuhi. Yang benar adalah pertengahan antara dua sikap tersebut. Tidak boleh tergesa-gesa menjatuhkan talak yang baik dan tidak boleh mengabaikannya jika berbagai faktor pemicunya telah terpenuhi, tentunya dilakukan dengan baik pula.
Talak dalam Islam adalah salah satu bukti bahwa agama ini berasal dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya Allah mensyariatkan talak untuk suatu hikmah besar dan maslahat yang tegas dan nyata. Mengapa Anda menolaknya bila berbagai faktor pendorongnya telah terwujud, di mana penolakan ini menjadi sebab siksaan dan kesengsaraan dua individu? Mengapa harus ada penyiksaan seperti itu? Untuk maslahat siapa kesengsaraan itu mesti ditanggung? Sampai kapan rumah tangga menjadi Neraka Jahannam yang menyala-nyala, di mana semakin apinya menyala, maka perselisihan semakin membara?
Bila fitrah telah kehilangan pengaruhnya bagi salah satu pasangan suami istri, naluri kebinatangan lebih menonjol daripada nilai-nilai luhur kemanusiaan pada salah seorang atau keduanya sekaligus, berbagai upaya perbaikan juga tidak membuahkan hasil, maka Allah sangatlah Maha Pengasih dari membebankan hamba-hambaNya menanggung jenis siksaan kejiwaaan ini, menyatukan dua hati yang tidak lagi seirama dan memadukan dua jiwa yang saling bertolak belakang. Untuk itulah disyariatkan talak bagi keduanya agar mereka terbebas dari kesempitan yang menghimpit.
Anggap saja ada seorang suami yang jahat, pembawaan kasar, berhati keras, buruk dalam berinteraksi, tidak bisa berhenti mencela dan melecehkan istri, tidak menunaikan kewajiban memberi nafkah, lidahnya tajam, tangannya tidak berhenti memukul istri. Maka, tinggal bersama laki-laki seperti ini adalah bencana bagi istri dan keluarganya.
Bayangkan juga ada istri yang fasik, jahat, pendusta, menyia-nyiakan harta, buruk dalam berinteraksi, tidak bisa berhenti menyakiti suami, melecehkannya, mencemarkan nama baiknya, tidak mempedulikan nasehatnya, tidak menunaikan kewajiban melayaninya, lidahnya tajam, ringan tangan, banyak memiliki tipu daya dan teramat sulit memperbaiki perangainya. Bukankah tinggal bersama perempuan semacam ini merupakan bencana bagi suami? Bukankah talak pada kondisi ini merupakan nikmat terbesar?
Sesungguhnya mentalak istri yang demikian itu, bisa jadi menjadi kebaikan untuk istri itu sendiri dan suaminya. Suami menjadi nyaman dan si istri menjadi sadar. Barangkali perceraian menjadi sebab baiknya interaksi istri dengan suami barunya. Bisa pula ia menemukan suami yang sesuai untuknya, selaras dengan wataknya yang berbahagia dengan sikap kerasnya, sehingga di antara mereka berdua terdapat kecocokkan dan keserasian yang akan mewujudkan kebahagiaan bagi mereka berdua.
Talak tidak boleh menjadi langkah pertama dalam konflik, tapi ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Bila kondisinya tidak berubah, tetap sulit melanjutkan kehidupan rumah tangga, maka talak menjadi pilihan terakhir. Barangkali kebaikan akan menghampiri suami istri setelah keduanya bercerai. Bagaimana tidak? Sedangkan Allah –subhanahu wa ta’ala- telah berfirman :
وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا [النساء : 130]
Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karuniaNya. Dan, adalah Allah Maha Luas lagi Maha Bijaksana (Qs. An-Nisa : 130)
Ketika menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir –semoga Allah merahmatinya- berkata, “Allah –subhanahu wa ta’ala-menghabarkan bahwa setelah mereka berdua berpisah, Allah akan menjadikan laki-laki tidak membutuhkan mantan istri dan perempuan tidak membutuhkan mantan suami, dengan cara memberi ganti yang lebih baik dari masing-masing mereka berdua. FirmanNya, وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا Dan, adalah Allah Maha Luas lagi Maha Bijaksana. “ Yakni, Maha Luas karunia-Nya dan Maha Agung pemberian-Nya, maha Bijaksana dalam semua perbuatan, ketentuan dan syariatNya (Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 1/534)
Wallahu a’lam
Sumber :
Dinukil dari “Min Akhthaa-il Az-Waaj“, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, (E.I), hal. 155—161 dengan ringkasan
Amar Abdullah bin Syakir
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,