Banyak Mencela dan Mengkritik Istri
Ada tipe suami yang sering kali mencela dan mengkritik istri karena masalah besar maupun kecil. Anda bisa melihatnya mengkritik makanan yang disediakan istri; mencelanya jika si kecil menangis maupun banyak bermain; atau sangat berlebihan dalam memperingatkan istri bila ia lupa atau lalai tentang sesuatu.
Yang lebih buruk lagi adalah mencela istri untuk sesuatu diluar batas kemampuannya. Misalnya mencelanya karena tidak bisa melahirkan, hanya melahirkan anak laki-laki saja, atau hanya melahirkan anak perempuan saja. Bisa pula menghinanya bila melahirkan seorang anak yang buruk rupa atau memiliki cacat fisik. Dalam hal ini terhimpun pada diri istri rasa sakit di dalam hatinya dan perlakuan suami yang berlebihan berupa cercaan-cercaan membuatnya susah makan dan memejamkan mata.
Tindakan seperti itu tidak akan ditempuh oleh orang-orang yang berakal. Sebab, banyak mencela bukan tindakan orang yang berakhlak mulia dan bertabiat lurus. Terlebih tindakan tersebut mengakibatkan keengganan dan kebencian.
Tinggalkanlah mencela, sebab barangkali sebuah keburukan Akan meluap-luap disebabkan celaan yang mengawalinya (Ibnu Qutaibah, “Uyunul Akhbar, III : 29)
Seorang suami yang berakal dan bijak tidak akan mencela istrinya kerena kesalahan sepele , dan tidak menghukumnya pada kekeliruan pertama. Namun, ia akan mencari berbagai alasan pembenaran dan menuntunnya menuju kondisi lebih baik. Bila pun ada sesuatu yang mengharuskan kritikan, hendaknya suami mengkritik dengan lembut, sehingga dengannya istri menyadari kesalahannya tanpa harus menyulut kemarahannya, atau melupakan sisi kebaikannya.
Kemudian, sungguh indah bila suami mengabaikan dan pura-pura tidak mengetahui kesalahan yang terjadi. Yang dengan demikian itu adalah salah satu tanda kemuliaan dan keluhuran jiwa; juga bisa meninggikan kedudukan dan meredakan amarah berikut dampaknya yang menghancurkan. Bisa istri melakukan suatu kesalahan, tidak baik bila suami mengulang-ulang kritikan dan mengungkit-ungkit celaaan dari waktu ke waktu. Sebab, ini bisa memicu kebencian, dan sangat mungkin mengikis rasa cinta.
Di antara hal yang bisa membantu suami bersikap moderat dalam mengkritik istri adalah mengondisikan diri bahwa ia tidak akan mendapati pada diri istrinya semua hal yang ia inginkan. Begitupun istrinya, juga tidak akan mendapati pada dirinya semua hal yang diinginkannya. Maka, pada kondisi ini tidak pantas ia mencela semua hal dan mengkritik setiap kesalahan, besar maupun kecil. Siapakah orang yang benar-benar bersih dari dosa? Siapakah orang yang Anda sukai dari semua sisi kepribadiannya ? manusia tidak mampu membebaskan diri dari semua aibnya. Lantas mengapa membebani orang lain dengan sesuatu di luar batas kemampuannya, sedangkan kita sendiri tidak sanggup mengoreksi banyak kekurangan kita ?
Uraian ini bukan bermaksud agar suami mengabaikan kelalaian istri terkait masalah-masalah penting, seperti menunaikan kewajiban agama, menjaga adab sopan santun atau komitmen terhadap upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri. Semua itu harus menempati deretan pertama dalam daftar perkara yang tidak boleh diabaikan dalam kondisi apapun (lihat, Nazharaat Fil Usrah al-Muslimah, hal. 72 dan 89).
Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
“ saling berwasiatlah untuk berbuat baik kepada kaum perempuan. Sebab, perempuan itu tercipta dari tulang rusuk. Dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas (HR. al-Bukhari, no. 3331 dan Muslim, no. 1468)
Hadis yang mulia tersebut mengajarkan kepada seorang suami langkah apa saja yang mesti ditempuh dalam mengatur istri dengan lembut dan bijak. Yakni tidak keras dan berlebihan dalam menolak pendapat istri yang terlihat salah, karena kekerasan terkadang mengakibatkan perpisahan. Begitu juga suami tidak boleh membiarkan istri dalam kondisinya yang ada. Sebab, membiarkan sesuatu yang bengkok akan menjadikannya tetap bengkok, atau malah semakin bengkok. Kebengkokan yang terus menerus , atau semakin parah kerap kali menyebabkan sikap pesimis dalam berinteraksi. Situasi ini akan memicu dampak buruk yang tidak diinginkan (lihat, al-Hidayatul Islamiyah, hal. 57)
Meskipun demikian, tetap saja terkadang suami melontarkan celaan pedas atau kritikan tajam. Bila hal ini terjadi sebaiknya ia segera meminta maaf, atau memberi hadiah, atau memperlihatkan penyesalan , atau mengakui kesalahan , tanpa harus bersikap arogan untuk menyadari kehilapannya. Dirinya hanyalah manusia biasa, dan tidak pantas manusia mengaku tidak pernah mengatakan sesuatu kecuali pasti benar.
Bila suami menempuh metode tersebut , kritikannya akan berkurang, jiwanya merasa tenang dan akhlak mulia akan selalu membayang. Ibnu Hibban berkata, “barangsiapa yang tidak berinteraksi dengan manusia disertai konsistensi untuk mengabaikan keburukan yang mereka perbuat dan tidak mengharap kebaikan mereka, maka kehidupannya lebih dekat kepada kekeruhan daripada kejernihan, dan waktu akan mendorongnya lebih dekat menuju permusuhan dan kebencian dari pada menerima cinta dan toleransi mereka (Raudhatul ‘Uqala’, hal. 72)
Wallahu a’lam
Sumber :
Min Akhthail Azwaj, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, (Edisi Indonesia), hal. 69-71
Amar Abdullah bin Syakir