Keluarga
Mengajarkan kalimat Tauhid Terhadap Anak-Anak
Sudah menjadi kewajiban Anda para orang tua untuk menamkan keyakinan yang benar di dalam hati buah hati Anda. Salah satu pilar yang sangat mendasar dalam hal ini adalah “Mengajarkan kalimat Tauhid Terhadap Anak-Anak”.
Dari ibnu ‘Abbas bahwa Nabi shalallahu’alaihi wassalam bersabda, “Ajarkan kalimat laailaha illallah kepada anak-anak kalian sebagai kalimat pertama dan tuntunkanlah mereka mengucapkan kalimat laa ilaha illallah ketika menjelang mati.” (HR. Hakim)
Abdurrazaq meriwayatkan bahwa para sahabat menyukai untuk mengajarkan kepada nak-anak mereka kalimat laa ilaha illallah sebagai kalimat yang pertama kali bisa mereka ucapkan secara fasih sampai tujuh kali, sehingga kalimat ini menjadi yang pertama-tama mereka ucapkan.
Ibnu Qayyim dalam kitab Ahkam Al-Maulud mengatakan, “Diawal waktu ketika anak-anak mulai bisa bicara, hendaknya mendiktekan kepada mereka kalimat laa ilaha illa llah muhammadurrasulullah, dan hendaknya sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah laa ilaha illallah (mengenal Allah) dan mentauhidkan-Nya. Juga diajarkan kepada mereka bahwa Allah bersemayam di atas singgasana-Nya yang senantiasa melihat dan mendengar perkataaan mereka, senantiasa bersama mereka dimanapun mereka berada.”
Oleh karena itu, wasiat Nabi shalallahu’alaihi wassalam kepada Mu’adz radhiyallahu’anhu sebagimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Bukhari dalam Adabul Mufrad, adalah, “Nafkahkanlah keluargamu sesuai dengan kemampuanmu. Janganlah kamu angkat tongkatmu di hadapan mereka dan tanamkanlah kepada mereka rasa takut kepada Allah.”
Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam sejak pertama kali mendapatkan risalah tidak pernah mengabaikan anak-anak dari jangkauan dakwah beliau. Beliau berangkat menemui Ali bin Abi Thalib yang ketika itu usianya belum genap sepuluh tahun. Beliau shalallahu’alaihi wassalam mengajaknya untuk beriman, yang akhirnya ajakan itu dipenuhinya. Ali bahkan menemani beliau dalam melaksanakan shalat secara sembunyi-sembunyi di lembah Mekkah sehingga tidak diketahui oleh keluarga dan ayahnya sekalipun.
Orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan budak yang dimerdekakan adalah Zaid bin Haritsah. Di bawa oleh paman Khadijah, yaitu Hakim bin Hizam dari Syam sebagai tawanan, lalu ia diambil sebagai pembantu oleh Khadijah. Rasulullah kemudian memintanya dari Khadijah lalu memerdekakannya dan mengadopsinya sebagai anak dan mendidiknya ditengah-tengah mereka.
Demikianlah Rasulullah memulai dakwah beliau yang baru dalam menegakkan masyarakat Islam yang baru dengan memfokuskan perhatian terhadap anak-anak dengan cara memberikan proteksi dengan menyeru dan dengan mendo’akan sehingga akhirnya si anak ini (Ali bin Abi Thalib) kelak memperoleh kemuliaan sebagai tameng Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam dengan tidur di rumah beliau pada malam hijrah ke Madinah.
Ini merupakan buah pendidikan yang ditanamkan Nabi kepada anak-anak yang sedang tumbuh berkembang agar menjadi pemimpin-pemimpin dimasa depan dan menjadi pendiri Masyarakat Islam yang baru.
Wallahu a’lam
Sumber :
Disadur dengan sedigit gubahan dari, “ Mendidik Anak Bersama Nabi, Muhammad Suwaid,
Penulis: Amar Abdullah
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet
Keluarga
Hanya Dengan Senyum, Kamu Bisa Menundukkan Hatinya
Ia tidak membutuhkan usaha besar, tidak perlu capek dan bersusah payah, tetapi ia melakukan layaknya sihir terhadap hati, ia masuk ke dalam hati melalui gerbang paling luas, pasangan akan merasakan cinta, kasih sayang, dan perhatian, tidak memerlukan banyak kata-kata cinta, tidak membutuhkan banyak untaian sanjungan. Di samping itu, ia menambah kewibawaan dan keceriaan bagi pemiliknya.
Ia adalah senyuman dan wajah berseri. Betapa indahnya bibir yang tersungging senyuman.
Dari Jarir رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , dia berkata,
مَا حَجَبَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ أَسْلَمْتُ وَلَا رَآنِي إِلَّا تَبَسَّمَ فِي وَجْهِي
“Nabi صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak mencegahku berkunjung padanya sejak aku masuk Islam, dan tidaklah beliau melihat aku melainkan beliau tersenyum kepadaku.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Dari Abu Dzar رَضِيَ اللهُ عَنْهُ dia berkata, Rasulullah صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Jangan sekali-kali kamu meremehkan kebaikan sedikit pun walaupun (hanya berupa) kamu menjumpai saudaramu (yang Muslim) dengan wajah berseri-seri.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Iklan
Dari Abu Dzar رَضِيَ اللهُ عَنْهُ dia berkata, Rasulullah صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah bagimu.” Dariwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan dihasankan oleh al-Albani.
Ini untuk saudaramu yang Muslim walau dia jauh (kekerabatannya), lalu bagaimana bila senyummu di depan suami atau istrimu ?
Rasulullah صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengajak kita demikian karena ia mendekatkan hati dan menyatukannya, serta mengakrabkan pemiliknya. Hendaknya wajah kita selalu tersenyum, tetapi bukan senyum penjilat. Sebagian suami atau istri tersenyum, tetapi kapan ? Saat mereka menginginkan sesuatu !
***
إِذَا كَانَ الْكَرِيْمُ عَبُوْسُ الْوَجْهِ
قَمَا أَحْلَى الْبَشَاشَةَ فِي الْبَخِيْلِ
Bila orang dermawan berwajah masam
Betapa manisnya senyuman pada (wajah) orang kikir.
***
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Az-Zaujan Fi Khaimah as-Sa’adah Maharat wa Wasa’il, Abdurrahman al-Qar’awi, ei, hal. 117-118
Keluarga
Libatkan Orang yang Teguh Beragama dalam Masalah Kalian Berdua
Manakala kita berselisih, kita patut berusaha menyelesaikannya di antara kita, lalu bila memang harus meminta penengah kepada orang ketiga dan meminta sarannya, maka hendaknya kita memilih orang yang beragama, berilmu dan berakal, karena bila suami atau istri meminta pendapat sembarang orang, maka biasanya dia malah membuat benang masalah semakin kusut, persoalannya semakin melebar, orang-orang pun mengetahuinya, keduanya tidak menemukan solusi dari persoalan mereka. Kriteria agama semata tidak cukup bagi seseorang untuk dimintai nasehatnya, dan sangat disayangkan bila sebuah nasehat dimintakan kepada orang-orang di mana mereka hanya sekedar teman, atau kerabat, atau penulis di perkumpulan ini dan itu.
Hari ini, alhamdulillah, sudah banyak pusat-pusat penyuluhan sosial yang bisa dimintai bantuannya setelah Allah.
Ada sisi lain yang patut diperhatikan, bahwa berbicara kepada orang yang tidak bisa diharapkan memberikan solusi, atau nasehat, atau saran yang tepat oleh suami atau istri mengenai pasangannya, bisa masuk ke dalam ghibah yang diharamkan. Hendaknya diwaspadai.
Iklan
Betapa indahnya sebuah rumah yang terjaga aman problemnya di ruang lingkup temboknya. Bila penghuni rumah memang perlu meminta bantuan kepada pihak ketiga sesudah Allah, maka hendaknya orang tersebut adalah orang yang dipercaya akal dan agamanya.
Aku tidak menganjurkan untuk membiarkan masalah di dalam rumah, kecuali bila suami-istri berharap dan berusaha bisa menyelesaikannya di anatara mereka berdua. Adapun bila keduanya atau salah satu dari keduanya melihat bahwa masalah semakin meruncing, maka sangat perlu meminta bantuan pihak lain mendamaikan.
**
Al-A’masy pernah berselisih dengan istrinya, lalu dia meminta temannya untuk membujuk istrinya dan mendamaikan keduanya, maka si teman datang dan berkata kepada istri al-A’masy, “Sesungguhnya Abu Muhammad (al-A’masy) adalah laki-laki tua, jangan membencinya hanya karena kedua matanya rabun, kedua kakinya ringkih, kedua lututnya lemah, kedua ketiaknya bau, kedua tangannya kaku, dan mulutnya yang tidak sedap.” Maka al-A’masy menghardiknya, “Pergilah, semoga Allah memburukkanmu, kamu malah hanya membuka aib-aibku yang tidak dia ketahui sebelumnya.”
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Az-Zaujan Fi Khaimah as-Sa’adah Maharat wa Wasa’il, Abdurrahman al-Qar’awi, ei, hal. 79-80
Keluarga
Pengaruh Baik Kedekatan Fisik
Anan bin Malik-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا لَقِيَ الرَّجُلَ فَكَلَّمَهُ لَمْ يَصْرِفْ وَجْهَهُ عَنْهُ حَتَّى يَكُوْنَ هُوَ الَّذِي يَنْصَرِفُ . وَإِذَا صَافَحَهُ لَمْ يَنْزِعْ يَدَهُ ( مِنْ يَدِهِ ) حَتَّى يَكُوْنَ هُوَ الَّذِي يَنْزِعُهَا . وَلَمْ يُرَ مُتَقَدِّمًا بِرُ كْبَتَيْهِ جَلِيْسًا لَهُ قَطُّ
“Apabila Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bertemu seseorang lalu berbicara kepadanya maka beliau tidak memalingkan wajahnya darinya sehingga orang itu sendiri yang berpaling, dan apabila beliau menjabat tangannya, beliau tidak menarik tangan beliau dari tangannya sehingga orang itu yang menarik tangannya lebih dahulu. Dan beliau sama sekali tidak pernah terlihat maju dengan kedua lutut beliau melebihi (lutut) rekan duduknya.” [1]
Rasulullah-صًلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-juga bersabda,
تَصَافَحُوْا يَذْهَبِ الْغِلُّ
“Hendaknya kalian saling berjabat tangan, niscaya kebencian akan sirna.” [2]
Anas bin Malik-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-berkata,
كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- إِذَا تَلَاقَوْا تَصَافَحُوْا وَإِذَا قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ تَعَانَقُوْا
“Para sahabat Nabi apabila bertemu, mereka saling berjabat tangan, dan apabila mereka pulang dari safar, mereka saling merangkul.” [3]
Semua bukti-bukti ini dan bukti-bukti lainnya menunjukkan bahwa kedekatan fisik memiliki pengaruh besar dalam mendekatkan hati dan menyatukannya di antara saudara-saudara. Maka tentu begitu juga di antara suami-istri, karena kebutuhan kepada kedekatan fisik bagi pasangan suami-istri adalah lebih besar.
Agar kedekatan fisik di antara suami-istri ini bisa mengakibatkan pengaruh yang positif, maka hendaknya suami-istri memperhatikan kebersihan tubuhnya, sehingga tidak memunculkan bau tidak sedap yang mengganggu pasangan, juga tidak memakai pakaian kotor, atau lalai memperhatikan penampilannya. Kedekatan fisik menuntut keduanya untuk menjaga kebersihan, aroma tubuh, dan penampilan yang baik.
Para istri Nabi menyampaikan kepada kita tentang keadaan Nabi-صًلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-dalam hal ini. Aiysah-رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- berkata,
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ تَخْتَلِفُ أَيْدِينَا فِيهِ
“Aku pernah mandi bersama Nabi-صًلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-dari satu bejana, tangan kami saling bergantian (menciduk) air.” [4]
(Aisyah-رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-juga berkata),
وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ وَكَانَ يُخْرِجُ رَأْسَهُ إِلَيَّ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فَأَغْسِلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ
“Nabi-صًلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-pernah menyuruhku memakai kain sarung lalu beliau mencumbuku ketika aku sedang haid. Dan beliau-صًلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-juga mengeluarkan kepala beliau kepadaku saat beliau beri’tikaf lalu aku membasuhnya saat aku haid.” [5]
Ummu Salamah-رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-berkata,
حِضْتُ وَأَنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمِيلَةِ فَانْسَلَلْتُ فَخَرَجْتُ مِنْهَا فَأَخَذْتُ ثِيَابَ حِيضَتِي فَلَبِسْتُهَا فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ فَدَعَانِي فَأَدْخَلَنِي مَعَهُ فِي الْخَمِيلَةِ
“Aku pernah dalam keadaan haid saat aku bersama Nabi-صًلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dalam sebuah selimut, maka aku keluar dari selimut lalu aku mengambil pakaian haidku dan mengenakannya, maka Rasulullah-صًلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda kepadaku,’Apakah kamu haid ?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Lalu beliau menarikku masuk kembali ke dalam selimut tersebut.” [6]
Dari Aisyah-رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-, beliau berkata,
تُوُفِّيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي وَفِي يَوْمِي وَبَيْنَ سَحْرِي وَنَحْرِي
“Nabi-صًلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- wafat di rumahku, di hari giliranku, dan di antara dada bawah dan leherku.”
Perhatikanlah wahai suami-istri hadis-hadis ini dan segala kandungan di dalamnya yang menjelaskan betapa pentingnya kedekatan fisik di antara suami-istri di samping jalinan hati mereka.
Nabi-صًلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ اَلْوَدُوْدُ اَلْوَلُوْدُ اَلْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا الَّتِي إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا وَ تَقُوْلُ : لَا أَذُوْقُ غَمْضًا حَتَّى تَرْضَى
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang wanita-wanita kalian dari kalangan penghuni Surga ? : (yaitu) wanita-wanita yang penuh cinta, banyak anak, dan membawa manfaat bagi suaminya, yang bila suaminya marah, maka dia datang kepadanya lalu meletakkan tangannya pada tangan suaminya dan berkata, ‘Aku tidak bisa merasakan tidur sebelum engkau memaafkan (diri-ku).” [7]
Perhatikanlah, “dia datang kepada (suami)nya lalu meletakkan tangannya pada tangan suaminya”, sebuah gerakan indah yang didorong oleh perasaan cinta, yang akan membuat hati semakin saling mendekat dan makin jernih.
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Az-Zaujan Fi Khaimah as-Sa’adah Maharat wa Wasa’il, Abdurrahman al-Qar’awi, ei, hal. 50-53
Catatan :
[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Al-Albani berkata, “Dhaif (lemah), selain ucapan tentang jabat tangan, ia shahih.”
[2] Diriwayatkan oleh Malik, dan didhaifkan oleh al-Albani.
[3] Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dan dihasankan oleh al-Albani.
[4] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim
[5] Diriwayatkan oleh al-Bukhori
[6] Diriwayatkan oleh al-Bukhori
[7] Diriwayatkan oleh an-Nasai dan lainnya dan dishahihkan oleh al-Albani.
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Fatwa9 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
Khutbah8 tahun ago
Waspadailah Sarana yang Mendekatkan pada Zina
-
Fiqih Hisbah8 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Fatwa11 tahun ago
Hukum Membuka Jilbab Untuk Ktp