Connect with us

Keluarga

Mengintip Dosa Dosa Istri ( Bagian.1)

Published

on

Pembaca yang budiman…

Tidak diragukan bahwa istri yang shalehah merupakan bagian dari kenikmatan dunia yang menyenangkan. Menjelaskan tentang beberapa kesalahan dan dosa yang mungkin dilakukan merupakan salah satu faktor yang akan membantu mewujudkan keshalehan seorang istri dan kemampuannya untuk memenuhi tugas-tugas yang diembankan kepadanya.

Menyebutkan kesalahan tidak bermaksud agar suami menjadikan kesalahan-kesalahan tersebut sebagai media untuk menghitung-hitung aib istrinya, sehingga mendorongnya untuk menjaga jarak dengan istri, berpaling darinya, atau menuduhkan kesalahan-kesalahan tersebut kepadanya. Bukan. Bukan itu yang diinginkan dari bahasan ini. Tetapi, bahasan ini merupakan seruan untuk menetapi nilai-nilai luhur, serta menjauhkan diri dari berbagai kesalahan dan kehinaan. Siapa yang mengusahakan kebaikan, dia akan mendapatkannya; dan barangsiapa yang menghindarkan diri dari keburukan, dia akan terhindar darinya.

Berlebihan dalam Menuntut Kesempurnaan

Inilah bagian dari kesalahan seorang istri yang ingin kita bahas dalam tulisan ini.

Pembaca yang budiman…

Ada tipe istri yang tenggelam dalam khayalan dan berlebihan dalam menuntut kesempurnaan. Ia menduga bahwa pernikahan adalah Surga Firdaus; tidak ada kesusahan, beban berat ataupun kesulitan. Ia membayangkan bahwa demikianlah seharusnya pernikahan ; tidak ada tantangan, penghalang ataupun problematika. Ketika ia berbenturan dengan realita berikut berbagai tanggungjawab, pengambilan keputusan, melahirkan anak-anak dan menghadapi problematika, ia tidak bisa menerima itu semua. Ia mengira dirinya telah salah dalam memilih pendamping hidup. Bahkan, bisa jadi ia cenderung kepada perceraian guna membebaskan diri dari berbagai ikatan menurut persepsinya.

Yang demikian itu kerapkali terjadi. Penyebabnya adalah lemahnya pendidikan, berlebihan dalam memanjakan anak gadis, dan kurangnya informasi mengenai realita kehidupan rumah tangga. Di antara faktor penyebab besarnya adalah terinspirasi oleh cerita-cerita fiksi, sinetron televisi atau film-film, di mana kehidupan rumah tangga digambarkan terbebas dari segala macam masalah.

Sebagian yang lain malah sebaliknya, di mana kehidupan rumah tangga digambarkan sebagai Neraka Jahannam yang tak tertanggungkan, sehingga menginspirasikan sikap antipati terhadap pernikahan. Dengan demikian tidak ada pandangan realistis dan adil untuk kehidupan rumah tangga.

Ketika seorang istri memasuki ranah pernikahan, ternyata informasi yang satu mendustakan informasi yang lain. Ia dikejutkan oleh situasi yang sama sekali tidak terlintas di benaknya. Maka, seorang istri yang cerdas mesti bersikap adil dalam mengarahkan pandangannya. Jangan sampai ia terlena di alam mimpi, tersesat di belantara imajinasi atau berlebihan dalam menuntut kesempurnaan. Kehidupan pernikahan bukanlah pertunjukkan yang ditampilkan hanya dalam satu periode waktu, bukan juga cerita di mana penulisnya bebas berkelana di dunia khayal. Namun, kehidupan pernikahan adalah realitas nyata. Di dalamnya ada penderitaan dan cita-cita, ada kegembiraan dan kesusahan. Kondisinya sama persis dengan kehidupan besar secara umum. Tidak ada pilihan lain, kecuali menghadapinya dan memperlakukannya dengan baik.

Satu hari milik kita dan satu hari milik mereka

Satu hari kita bahagia, hari yang lain kita berduka

Yang demikian itu bukan berarti kehidupan pernikahan adalah sangkar penuh kezhaliman, atau neraka jahim dengan siksa tak tertanggungkan. Melainkan pernikahan adalah sikap saling menolong, saling berkasih sayang, dan mengakui kekurangan pihak lain. Permasalahan dan kekurangan yang menghadang di tengah perjalanan pernikahan tidaklah menghapus kegembiraannya. Bahkan, terkadang permasalahan itu menjadi penyedap atau rahasia kebahagiaan pernikahan. Maka, memikul tanggung jawab dan menerima beban berat serta berbagai konsekwensi merupakan faktor terbesar bagi terwujudnya kebahagiaan. Orang yang paling nyaman adalah orang yang paling banyak merasakan payah, dan orang yang paling payah adalah orang yang lebih sering hidup nyaman.

Aku melihat kenyamanan besar, tetapi tak kulihat ia bisa teraih

Kecuali dengan menyeberang jembatan rasa lelah

Bahkan, banyak waktu luang dan sering menganggur merupakan sebab terbesar melemahnya tekad, serta munculnya kegelisahan dan kerisauan.

Wallahu a’lam

 

Penulis : Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Dinukil dari, “Min Akhtha az-Zaujaat”, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, (Edisi Bahasa Indonesia), hal. 17-19

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keluarga

Cinta Adalah Kunci Pembuka Hati

Published

on

Apakah arti cinta di dalam kehidupan berumah tangga ?
Itulah keikhlasan, ketaatan, sikap saling memberi, saling mendahulukan. Cinta berarti mendahulukan hak sebelum hakmu. Ia berarti bahwa engkau harus melepaskan egomu saat pertengkaran agar rasa cinta dan saling memahami dapat kembali hadir menggantikan pertikaian dan perselisihan.
Salah seorang sahabat yang mulia, Abu Darda’, pernah berkata kepada istrinya, “Hai istriku, ambillah maaf dariku agar engkau senantiasa meraih cintaku. Jangan ucapkan sepatah kata yang melawan ketika aku marah. Dan janganlah engkau mematukku sebagaimana memukul tamborin. Karena sesungguhnya engkau tidak tahu bagaimana ia akan sirna. Janganlah engkau banyak mengeluh sehingga mengerus kekuatanmu. Lalu hatiku akan enggan kepadamu karena hati itu senantiasa berbalik. Sungguh aku melihat bila rasa cinta dan sakit hati berkumpul dalam hati. Maka tak lama kemudian cinta itu akan menyingkir.”
Ketahuilah, wahai saudari, sesungguhnya suamimu tidak akan mencintaimu kecuali jika ia juga merasakan cintamu kepadanya. Cinta adalah perasaan yang saling berbalas. Seseorang akan cenderung mencintai orang yang mencintai dan mempedulikannya. Salam yang hangat, saling memberi hadiah, memanggil dengan sebutan yang paling disukainya, dan tersenyum di hadapannya. Semua ini akan membukakan cakrawala cinta yang tulus bagi seorang istri, dan memberinya kebahagiaan yang melimpah. Maka hendaklah seorang suami menjadi orang yang paling dicintai oleh istrinya, sebagaimana sang istri merupakan orang yang paling dicintai oleh suaminya. Suatu ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah ditanya tentang orang yang paling dicintainya, dan beliau menjawab, Aisyah.
Amru bin Ash رَضِيَ اللهُ عَنْهُ bercerita, “Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mengirimku memimpin suatu pasukan yang di dalamnya terdapat Abu Bakar dan Umar رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا . Ketika kembali, aku bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling engkau cintai ? [1] Beliau menjawab, “Aisyah.” Aku berkata, “Yang aku maksud adalah dari kaum laki-laki.” Beliau menjawab, “Ayahnya.” [2]
Jadi cinta merupakan pergaulan yang baik. Cinta adalah rasa kasih sayang, sikap toleran dan memaafkan. Cinta bukanlah sebagaimana yang digambarkan oleh sebagian cerita yang merajutnya dalam rajutan khayalan dan menggambarkannya dalam sosok seorang pemuda yang bagaikan nabi atau pun malaikat. Sehingga ketika sang istri melihat hal yang tidak disukainya dari suaminya, ia mengira bahwa pernikahannya telah gagal dan segala impiannya telah musnah terhempas di batu karang dunia nyata. Bukan demikian wahai istri. Sesungguhnya kesempurnaan tidak akan pernah ada di dalam kehidupan dunia. Setiap orang pasti memiliki aib di dalam kehidupan dunia. Setiap orang pasti memiliki aib dan kekurangan. Dan cukuplah menjadi kebanggaan bagi seseorang jika aib yang dimilikinya masih dapat terhitung. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda,

« لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ »




Janganlah seorang mukmin merasa marah terhadap seorang mukminah (istrinya) jika ia tidak menyukai salah satu perilakunya sementara ia menyukai perilakunya yang lain. [3]
Begitulah dengan dirimu wahai istri. Jika ada perilaku suamimu yang tidak engkau sukai, tentunya engkau menyukai banyak perilakunya yang lain. Ingatlah ucapan seorang yang bijak saat ia berkata, “Apa yang dapat dikatakan oleh seorang istri mengenai suaminya yang telah berpaling dari seluruh wanita lain dan memilih dirinya ? Dan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri terhadap suaminya yang rela meninggalkan kedua orang tuanya, keluarganya, dan teman-temannya, dan tidak menginginkan seorang sahabat karib dan lebih dekat dari dirinya ?”
Engkaulah orang terdekatnya, pendampingnya, dan kekasihnya, dan betapa indah ungkapan al-Qur’an dalam menggambarkan ini :

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ [البقرة : 187]

“…mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka .. “ (al-Baqarah : 187)
Sungguh, itu adalah bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ [الروم : 21]

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-rum : 21)
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :
Kaifa Taksabina Qalba Zaujiki wa Turdhina Rabbaki, Adil Fathi Abdullah, Ei, 17-22.

Catatan :
[1] Saat itu Amru bin Ash baru saja memeluk Islam, dan ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberinya tampuk pimpinan pasukan ia menyangka bahwa ia lebih baik daripada Abu Bakar dan Umar. Dari sinilah muncul pertanyaannya kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengenai orang yang paling dicintai oleh beliau. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberitahunya bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali-sesui dengan pertanyaan Amru bin Ash –adalah orang-orang yang lebih beliau cintai daripada yang lainnya. Sehingga Amru bin Ash berharap ia tidak pernah melontaran pertanyaan itu.
[2] Hadis shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
[3] Hadis shahih, diriwayatkan oleh Muslim

Continue Reading

Keluarga

Jadilah Sepasang Teman !

Published

on

Bila suami menjadikan dirinya sebagai teman bagi istrinya, maka istri akan merasa aman, sebab suami adalah tempat berlindung baginya sesudah Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى saat terjadi sesuatu yang menyedihkan dan memberatkan, ikut bersamanya dalam suka dan duka. Demikian juga bila suami melihat istrinya adalah teman yang baik, maka dia belum merasa tenang kecuali dengan berada di dekatnya, tidak ada sesuatu yang lebih membahagiakannya daripada keridhaannya, tentu sesudah ridha Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan ridha bapak ibu.
Dalam hadis Aisyah رَضِيَ اللهُ عَنْهَا tentang teman-teman Ummu Zar’,

قَالَتِ الْحَادِيَةَ عَشْرَةَ زَوْجِى أَبُو زَرْعٍ فَمَا أَبُو زَرْعٍ أَنَاسَ مِنْ حُلِىٍّ أُذُنَىَّ وَمَلأَ مِنْ شَحْمٍ عَضُدَىَّ وَبَجَّحَنِى فَبَجِحَتْ إِلَىَّ نَفْسِى وَجَدَنِى فِى أَهْلِ غُنَيْمَةٍ بِشَقٍّ فَجَعَلَنِى فِى أَهْلِ صَهِيلٍ وَأَطِيطٍ وَدَائِسٍ وَمُنَقٍّ فَعِنْدَهُ أَقُولُ فَلاَ أُقَبَّحُ وَأَرْقُدُ فَأَتَصَبَّحُ وَأَشْرَبُ فَأَتَقَنَّحُ…
قَالَتْ عَائِشَةُ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كُنْتُ لَكِ كَأَبِى زَرْعٍ لأُمِّ زَرْعٍ ».

“Wanita kesebelas berkata, ‘Suamiku adalah Abu Zar’, siapa itu Abu Zar’ ?’ Dia menggoyang kedua telingaku dengan perhiasan, dia mengisi lenganku dengan daging (sehingga tubuhku subur), dia membahagiakanku, maka dirikupun berbahagia, dia mendapatiku pada keluarga yang memiliki sedikit domba di suatu lereng gunung, lalu dia membawaku ke rumah yang dikelilingi oleh suara unta, kuda, penggilingan dan peternakan, di depannya aku berkata dan aku tidak dicela, aku tidur di pagi hari, aku minum sehingga aku tidak memerlukannya …




Aisyah berkata, ‘Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepadaku, ‘Aku bagimu adalah seperti Abu Zar’ untuk Ummu Zar’.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Para ulama berkata, “Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menenangkan jiwanya, menjelaskan perlakuannya yang baik kepadanya, karena bila tidak demikian, maka beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ lebih baik dari Abu Zar’ dalam hal tersebut’.”
Dari Anas رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ,

أَنَّ جَارًا لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَارِسِيًّا كَانَ طَيِّبَ الْمَرَقِ فَصَنَعَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ جَاءَ يَدْعُوهُ فَقَالَ « وَهَذِهِ ». لِعَائِشَةَ فَقَالَ لاَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ » فَعَادَ يَدْعُوهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَهَذِهِ ». قَالَ لاَ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ ». ثُمَّ عَادَ يَدْعُوهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَهَذِهِ ». قَالَ نَعَمْ. فِى الثَّالِثَةِ. فَقَامَا يَتَدَافَعَانِ حَتَّى أَتَيَا مَنْزِلَهُ.

Bahwa seorang tetangga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkebangsaan Persia mempunyai kuah yang lezat, lalu dia membuat makanan untuk Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , kemudian dia mengundang beliau, maka beliau bertanya, ‘Dan ini juga-maksud beliau Aisyah رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- (juga diundang) ?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, ‘Aku juga tidak.’ Maka laki-laki itu kembali mengundang beliau, maka beliau bertanya, ‘Dan ini juga ?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, ‘Aku juga tidak.’ Kemudian dia kembali mengundang, maka beliau bertanya, ‘Dan ini juga?’ Dia menjawab, ‘Ya-ketiga kalinya-.’ Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan Aisyah bangkit bergegas hingga datang ke rumahnya.” Diriwayatkan oleh Muslim
***
Abu Firas al-Hamadani رَحِمَهُ اللهُ berkata,

وَإِنِّي وَإِيَّاهُ كَعَيْنٍ وَأُخْتِهَا * وَإِنِّي وَإِيَّاهُ كَكَفٍّ وَمِعْصَمٍ

Aku dan dia bagaikan sepasang mata
Aku dan dia seperti telapak tangan dan pergelangan
***
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Az-Zaujan Fi Khaimah as-Sa’adah Maharat wa Wasa’il, Abdurrahman al-Qar’awi, ei, hal. 121-123.

Continue Reading

Aqidah

Bimbinglah keluargamu

Published

on

Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman :

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ  [الذاريات : 55]

Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman (Adz-Dzariyat (51) : 55)

Putra-putri kita mengerjakan shalat, menjaganya dan mengingat Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Mereka-insya Allah- termasuk kaum mukminin yang mau kembali pada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ketika diperingatkan, menetapi perjanjian dan janji mereka ketika diingatkan. Sungguh saya sangat salut pada ayah yang tidak henti-hentinya melafalkan dzikir pada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى .  Bila mendengar kebaikan ia ingat Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan bertasbih. Bila mendengar keburukan atau sesuatu yang tidak disukainya ia ber-istirja’ (mengucapkan kalimat : إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ-ed) dan memuji Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى di setiap kondisi.

Sebagaimana saya juga salut pada seorang ibu yang menyambut anaknya dengan doa dan memohon berkah Allah  سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Demikian pula ketika melepasnya pergi.

Jadi tugas orangtua adalah mengajari anak-anak dengan ucapan-ucapan dzikir harian, agar mereka termasuk orang-orang yang berdzikir di pagi dan sore hari ; ketika masuk dan keluar rumah, saat masuk kamar kecil dan selainnya. Rotasi malam dan siang menjadikan si anak selalu berdzikir kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى . Disamping itu, kedua orang tua wajib mengingatkan anak akan urusan-urusan pribadi mereka berupa janji-janji dan tugas-tugas. Juga jadwal pelajaran dan waktu ujian.



Tidak kalah penting juga jadwal kunjungan keluarga dan berkomunikasi. Demikian pula, waktu-waktu pergi ke dokter, berobat dan melakukan check-up kesehatan. Khususnya waktu-waktu yang rutin.

Dan yang terakhir adalah daftar perilaku positif yang disiapkan orangtua bersama anak-anak. Kemudian ditempelkan di rumah atau kamar anak. Dan peran oragtua di sini adalah secara rutin mengingatkannya dan motivasi-motivasinya agar anak selalu memelihara perilaku baik. Hal ini pasti bisa memperdalam cinta anak kepada  orang tua lantaran telah memantau dan bergadang demi kenyamanan mereka serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.

Dialog Penuh Cinta

Ayah, ingatkan aku !

Insya Allah, semoga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengingatkanmu pada kesyahidan…”

Ibu, ingatkan aku !

Hanya itu, engkau tidak meminta sesuatu ? Mintalah mataku pasti aku berikan…”

Ayah, jangan lupa membangunkanku…

“Aku tidak akan tidur demi dirimu…”  

Ibu, jangan lupa waktuku minum obat…

“Aku bisa lupa pada diriku, tapi tidak pada dirimu…sayangku…”

Ayah jangan lupa, hari ini waktu mendaftarkanku di lembaga …

Insya Allah, setelah aku menyelesaikan beberapa tugas mendesak…”

***

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Kaifa Takuna Abawaini Mahbubain ?, Dr. Muhamad Fahd ats-Tsuwaini, ei, hal. 29-31.

Continue Reading

Trending