Keluarga
(Mengintip Dosa Istri, bag.19)
Lalai dalam Mendidik Anak
Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak, dan rumah adalah sebuah batu bata yang dengan batu bata-batu bata serupa terbentuk bangunan masyarakat. Di dalam rumah yang terbangun di atas pondasi menjaga ketentuan-ketentuan Allah, yang tegak dengan pilar-pilar kecintaan, kasih sayang, sikap itsar (mengutamakan orang lain) dan saling membantu dalam kebajikan dan takwa, di dalam rumah seperti inilah akan lahir laki-laki dan perempuan pilihan ummat, akan bermunculan pemimpin dan pemuka masyarakat.
Sebelum seorang anak terdidik oleh sekolah dan masyarakat, rumah dan keluargalah yang terlebih dahulu mendidiknya. Seorang anak ibarat debitor yang dari kedua orang tuanya ia mendapatkan ‘pinjaman’ perilaku luhur, sebagai mana kedua orang tua bertanggung jawab dengan porsi besar dalam penyimpangan perilaku anak. Betapun besarnya tanggung jawab ini, namun banyak orang yang mengabaikannya, yang menyepelekan urusannya, dan tidak melaksanakan sebagaimana mestinya. Akibatnya, mereka menelantarkan anak-anak dan melalaikan pendidikan mereka.
Kemudian, bila terlihat penyimpangan pada perilaku anak-anak, mereka pun berkeluh kesah. Mereka tidak sadar bahwa merekalah sebab pertama bagi penyimpangan tersebut.
Di antara bentuk kelalaian dalam pendidikan anak adalah :
1. Mendidik mereka untuk bersikap pengecut, lemah dan penakut dalam menghadapi segala sesuatu.
2. Mendidik mereka untuk berpanjang lidah dan mudah mencela orang lain.
3. Mendidik mereka untuk kurang disiplin, dan berperilaku menyimpang.
4. Mendidik mereka untuk bersikap keras dan melampaui batas dari apa yang ditetapkan.
Di antara penyebab menyimpangnya perilaku mereka adalah kedua orang tua menjadi teladan buruk bagi anak-anak. Bagaimana menurut Anda tentang sebuah rumah di mana sang ibu meremehkan pelaksanaan shalat, mendatangkan kemungkaran ke dalam rumah, berdandan secara bertabarruj bila hendak keluar rumah? kemudian, banyaknya problematika di antara kedua orang tua dan menyerahkan urusan pendidikan anak kepada para pembantu juga merupakan penyebab penyimpangan tersebut.
Bentuk kelalaian terhadap pendidikan anak yang lain adalah istri yang bekerja di luar rumah dan menghabiskan sebagian besar waktunya jauh dari anak-anak dan suami dengan tidak menyeimbangkan antara pekerjaannya dan tugasnya di rumah. Ini adalah sikap ceroboh, terlebih bila ia sebenarnya tidak membutuhkan pekerjaan di luar rumah, atau bila dipastikan suami dan anak-anak akan terlantar sama sekali. Ia bekerja hanya untuk menambah penghasilan pribadinya, sehingga ia bisa leluasa menambah berbagai fasilitas.
Berapa banyak keluhan yang disampaikan terkait bekerjanya perempuan di luar rumah dan kesetaraannya dengan laki-laki –seperti yang mereka persepsikan- . mereka lupa atau pura-pura lupa, bahwa bila perempuan bekerja dan berbaur dengan laki-laki, rasa capeknya akan menumpuk dan tentu akan mengorbankan urusan rumah tangga. Karenanya, Islam menyerahkan kepemimpinan itu ke tangan laki-laki, dan menugaskan perempuan untuk menangani urusan rumah tangga. Dan, inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh fithrah.
Banyak intelektual dan peneliti yang dengan apik mengungkapkan hakikat ini, bahkan dari kalangan non muslim. Sebut saja Crytine, seorang pengacara perempuan Prancis, setelah melakukan kunjungan ke sejumlah negara timur muslim, ia berkata, “Tujuh mingggu saya habiskan dalam kunjungan ke Bairut, Damaskus, Oman dan Baghdad. Dan, disinilah aku sekarang, telah kembali ke Paris. Apa yang aku temukan? Aku menemukan laki-laki yang bekerja di pagi hari, bekerja keras, berpayah-payah, membanting tulang. Hingga ketika sore hari menjelang ia pulang kepada istrinya dengan membawa roti. Bersama roti ada cinta dan kasih sayang serta perhatian untuknya dan untuk anak-anak.
Di negera-negara tersebut kaum perempuan tidak memiliki pekerjaan selain membina generasi dan mencurahkan perhatian kepada suami yang ia cintai, atau paling tidak ia hormati. Di timur, seorang pempuan bisa tidur, bermimpi dan mewujudkan apa yang ia inginkan. Suami telah menyediakan untuknya roti, cinta, kenyamanan, dan kemewahan. Sedangkan di negeri kita di mana perempuan berjuang keras untuk menyejajarkan dirinya dengan laki-laki, apa yang bisa ia realisasikan? Lihatlah perempuan di barat eropa, maka yang Anda lihat di depan Anda hanyalah ibarat sebuah barang. Laki-laki berkata kepada si perempuan, “Bangun dan cari rotimu. Kamu telah menuntut kesejajaran, maka selama kami bekerja, kamu pun harus ikut bekerja, agar kita sama-sama mendapatkan roti’. Bersama pertarungan hidup dan pekerjaan untuk mencari roti, seorang wanita sering menjadi lupa akan kewanitaannya dan seorang laki-laki melupakan pendampingnya di dalam hidup. Tinggallah kehidupan berjalan tanpa nilai dan tujuan (Lihat, Min Ajli Tahririn Haqiqiyyin li Al-Mar’ah, hal. 94-95, Muhammad Rasyid al-Uwaid)
Perempuan di dalam Islam adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinan ini. Kepemimpinan ini meliputi pendidikan dan perhatian untuk anak-anak, sehingga ia berkewajiban menanamkan nilai-nilai luhur dan akhlak mulia di dalam diri mereka, disertai upaya menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang bertentangan dengan itu semua.
Wallahu a’lam
Sumber :
Dinukil dari “ Min Akhto-i az Zaujaat”, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, (E.I, hal. 91-94, dengan ringkasan)
Amar Abdullah bin Syakir
Keluarga
Lembutkan Suaramu
Apakah kamu wahai istri, mengangkat suaramu di depan suamimu ?
Di antara kecantikan wanita adalah kelembutan dan kerendahan suaranya. Sesuatu yang telah menghilangkan sifat lembutnya berarti telah menghilangkan kecantikannya, karena itu Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman,
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ [الأحزاب : 32]
Maka janganlah kamu merendahkan suara (dengan lemah lembut yang dibuat-buat) sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya …(al-Ahzab : 32)
Namun sangat disayangkan, tidak sedikit wanita malah berkata lembut kepada orang yang dia tidak boleh berkata lembut kepadanya, dan berkata kasar di hadapan orang yang bila dia melembutkan kata-katanya, maka dia akan meraih kebahagiaan dunia dan keberuntungan akhirat, dengan izin Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Aku berharap suami tidak merasa perlu menyumbat telinganya dengan kapas.
Sebagian suami tidak mengetahui kelembutan kata-kata istrinya, susunannya yang indah, seni berbicara dan dialognya kecuali ketika dia berbicara dengan kerabat atau temannya saja.
Kamu wahai suami, aku berkata kepadamu apa yang aku katakan kepada istrimu, aku mengajakmu untuk berkata yang halus dan lembut kepada semua orang apalagi kepada orang yang paling dekat denganmu.
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Az-Zaujan Fi Khaimah as-Sa’adah Maharat wa Wasa’il, Abdurrahman al-Qar’awi, ei, hal. 134
Keluarga
Hanya Dengan Senyum, Kamu Bisa Menundukkan Hatinya
Ia tidak membutuhkan usaha besar, tidak perlu capek dan bersusah payah, tetapi ia melakukan layaknya sihir terhadap hati, ia masuk ke dalam hati melalui gerbang paling luas, pasangan akan merasakan cinta, kasih sayang, dan perhatian, tidak memerlukan banyak kata-kata cinta, tidak membutuhkan banyak untaian sanjungan. Di samping itu, ia menambah kewibawaan dan keceriaan bagi pemiliknya.
Ia adalah senyuman dan wajah berseri. Betapa indahnya bibir yang tersungging senyuman.
Dari Jarir رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , dia berkata,
مَا حَجَبَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ أَسْلَمْتُ وَلَا رَآنِي إِلَّا تَبَسَّمَ فِي وَجْهِي
“Nabi صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak mencegahku berkunjung padanya sejak aku masuk Islam, dan tidaklah beliau melihat aku melainkan beliau tersenyum kepadaku.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Dari Abu Dzar رَضِيَ اللهُ عَنْهُ dia berkata, Rasulullah صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Jangan sekali-kali kamu meremehkan kebaikan sedikit pun walaupun (hanya berupa) kamu menjumpai saudaramu (yang Muslim) dengan wajah berseri-seri.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Iklan
Dari Abu Dzar رَضِيَ اللهُ عَنْهُ dia berkata, Rasulullah صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah bagimu.” Dariwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan dihasankan oleh al-Albani.
Ini untuk saudaramu yang Muslim walau dia jauh (kekerabatannya), lalu bagaimana bila senyummu di depan suami atau istrimu ?
Rasulullah صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengajak kita demikian karena ia mendekatkan hati dan menyatukannya, serta mengakrabkan pemiliknya. Hendaknya wajah kita selalu tersenyum, tetapi bukan senyum penjilat. Sebagian suami atau istri tersenyum, tetapi kapan ? Saat mereka menginginkan sesuatu !
***
إِذَا كَانَ الْكَرِيْمُ عَبُوْسُ الْوَجْهِ
قَمَا أَحْلَى الْبَشَاشَةَ فِي الْبَخِيْلِ
Bila orang dermawan berwajah masam
Betapa manisnya senyuman pada (wajah) orang kikir.
***
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Az-Zaujan Fi Khaimah as-Sa’adah Maharat wa Wasa’il, Abdurrahman al-Qar’awi, ei, hal. 117-118
Keluarga
Libatkan Orang yang Teguh Beragama dalam Masalah Kalian Berdua
Manakala kita berselisih, kita patut berusaha menyelesaikannya di antara kita, lalu bila memang harus meminta penengah kepada orang ketiga dan meminta sarannya, maka hendaknya kita memilih orang yang beragama, berilmu dan berakal, karena bila suami atau istri meminta pendapat sembarang orang, maka biasanya dia malah membuat benang masalah semakin kusut, persoalannya semakin melebar, orang-orang pun mengetahuinya, keduanya tidak menemukan solusi dari persoalan mereka. Kriteria agama semata tidak cukup bagi seseorang untuk dimintai nasehatnya, dan sangat disayangkan bila sebuah nasehat dimintakan kepada orang-orang di mana mereka hanya sekedar teman, atau kerabat, atau penulis di perkumpulan ini dan itu.
Hari ini, alhamdulillah, sudah banyak pusat-pusat penyuluhan sosial yang bisa dimintai bantuannya setelah Allah.
Ada sisi lain yang patut diperhatikan, bahwa berbicara kepada orang yang tidak bisa diharapkan memberikan solusi, atau nasehat, atau saran yang tepat oleh suami atau istri mengenai pasangannya, bisa masuk ke dalam ghibah yang diharamkan. Hendaknya diwaspadai.
Iklan
Betapa indahnya sebuah rumah yang terjaga aman problemnya di ruang lingkup temboknya. Bila penghuni rumah memang perlu meminta bantuan kepada pihak ketiga sesudah Allah, maka hendaknya orang tersebut adalah orang yang dipercaya akal dan agamanya.
Aku tidak menganjurkan untuk membiarkan masalah di dalam rumah, kecuali bila suami-istri berharap dan berusaha bisa menyelesaikannya di anatara mereka berdua. Adapun bila keduanya atau salah satu dari keduanya melihat bahwa masalah semakin meruncing, maka sangat perlu meminta bantuan pihak lain mendamaikan.
**
Al-A’masy pernah berselisih dengan istrinya, lalu dia meminta temannya untuk membujuk istrinya dan mendamaikan keduanya, maka si teman datang dan berkata kepada istri al-A’masy, “Sesungguhnya Abu Muhammad (al-A’masy) adalah laki-laki tua, jangan membencinya hanya karena kedua matanya rabun, kedua kakinya ringkih, kedua lututnya lemah, kedua ketiaknya bau, kedua tangannya kaku, dan mulutnya yang tidak sedap.” Maka al-A’masy menghardiknya, “Pergilah, semoga Allah memburukkanmu, kamu malah hanya membuka aib-aibku yang tidak dia ketahui sebelumnya.”
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Az-Zaujan Fi Khaimah as-Sa’adah Maharat wa Wasa’il, Abdurrahman al-Qar’awi, ei, hal. 79-80
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Fatwa9 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Khutbah8 tahun ago
Waspadailah Sarana yang Mendekatkan pada Zina
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
Fiqih Hisbah8 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Akhlak7 tahun ago
Riya & Sum’ah: Pamer Ibadah