Connect with us

Ramadhan

Nikmatnya Ibadah Puasa

Published

on

Puasa, merupakan bentuk ibadah yang mulia. Allah dan RasulNya menyariatkannya. Bahkan, puasa di bulan Ramadhan merupakan syariat Allah yang wajib ditunaikan oleh hamba-hambanya yang beriman. Dia subhanahu wata’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 183)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan dalam sabdanya,

أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ

“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan bulan yang berkah, Allah ‘azza wajalla mewajibkan puasa (di siang harinya) kepada kalian.” (HR. Ahmad 9/225, 226 Al-fath ar–Rabbaniy, an-Nasai, 4/129, lihat : Tahqiq Ahmad Syakir terhadap Musnad, no. 7148, Shahih at-Targhiib karya Al-Albaniy, 1/490, Tamamu al-Minnah hal. 395)

Maka, tidak boleh hukumnya seorang yang beriman meninggalkan kewajiban yang satu ini kecuali bila ia mendapatkan keringanan untuk tidak melakukannya, seperti bila ia sakit, atau dalam bepergian jauh atau tidak mampu untuk melakukannya. Namun, ia berkewajiban untuk mengganti puasa yang ditinggalkannya tersebut pada hari lainnya. Ini merupakan kemudahan dari Allah ta’ala dan sekaligus merupakan bentuk dari nikmatNya. Bahkan, puasa dan diwajibkannya puasa itu sendiri merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri.

Setelah Allah menjelaskan kewajiban puasa bagi orang-orang yang beriman, menjelaskan pula maksud dan tujuan dari puasa, menjelaskan pula waktunya yang tidak lama hanya sebulan saja, menjelaskan pula keringanan bagi orang yang dalam kondisi tertentu untuk tidak berpuasa dan seterusnya, Allah menutup ayatnya dengan ungkapan, وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (dan agar kamu bersyukur). Ini merupakan isyarat bahwa apa yang telah disebutkan sebelumnya seperti puasa merupakan nikmat dariNya yang mengharuskan seorang hamba mensyukurinya.

Pembaca yang budiman, barang kali di antara Anda ada yang bertanya, “Bagaimana puasa merupakan kenikmatan, sementara orang yang berpuasa lapar dan dahaga sepanjang siang harinya karena tidak boleh makan dan tidak boleh juga minum, dan lain sebagainya. Bahkan, ia dianjurkan untuk bangun di waktu sahur untuk bersahur, ia harus berjuang memerangi rasa kantuk yang menggelayuti kedua kelopak matanya? dan seterusnya…

Begini -wahai pembaca yang budiman- kita, Anda dan saya, hendaklah memahami dua hal berikut ini,

>> Pertama, bahwa apa pun yang Allah dan RasulNya syariatkan kepada kita termasuk puasa sesungguhnya hal tersebut merupakan kemaslahatan bagi kita selaku hambaNya. Jadi, dalam syariatnya terdapat kemaslahatan dan kebaikan yang akan berpulang kepada kita sendiri. Dari sisi ini, maka bisa kita fahami bahwa syariat puasa merupakan nikmat dari Allah ta’ala.

>> Kedua, bahwa niknat itu tidak selalu sesuatu yang bersifat fisik, dapat diindra, dirasakan oleh jasmani. Namun juga nikmat itu bisa berupa sesuatu yang bersifat maknawi, tidak dapat diindra, tidak dirasakan oleh jasmani namun dirasakan oleh jiwa dan ruh.

Setelah Anda memahami dua hal ini, maka Anda akan sampai -dengan izin Allah- pada pemahaman bahwa puasa merupakan bagian nikmat Allah ta’ala. Bahkan, merupakan nikmat yang sangat agung. Penghayatan Anda terhadap informasi nabawi yang menyebutkan atau mengisyaratkan keutamaan aktivitas ibadah puasa, akan semakin meyakinkan Anda bahwa puasa adalah benar merupakan nikmat. Di antaranya adalah sabda beliau,

الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنْ الْقِتَالِ

Puasa adalah perisai dari Azab Allah, seperti perisai salah seorang di antara kalian (yang dapat melindungi diri kalian dari serangan musuh) ketika berperang.” (HR. Ahmad, no. 17909)

Tidak diragukan -dan saya rasa Anda sepakat dengan saya- bahwa terlindunginya seseorang dari adzab Allah -di mana sifat adzab Allah itu sebagaimana dijelaskanNya dalam firmanNya, وَلَكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ

(akan tetapi adzab Allah itu sangat keras)- merupakan nikmat bahkan nikmat yang sangat besar. Dengan puasa yang dilakukan dengan baik, seorang terselamatkan dari adzabNya yang sangat pedih itu, maka ini menunjukkan bahwa puasa merupakan nikmat yang besar.

Sabda Nabi yang lainnya, Nabi bersabda kepada para pemuda yang telah mampu untuk menikah agar mereka menikah karena hal tersebut dapat lebih menundukkan pandangan, lebih menjaga kemaluan. Kemudia, beliau mengatakan kepada mereka yang belum mampu hendaklah ia berpuasa beliau menyebutkan manfaatnya, فإنه له وجاء

(karena sesungguhnya puasa itu merupakan الحماية

, pengendali hawa nafsu. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Terkendalinya nafsu merupakan bagian dari kunci keselamatan. Anda bisa saksikan dampak negatif dari tidak terkendalinya hawa nafsu. Betapa banyak kasus pelampiasan nafsu yang tidak benar, hal itu terjadi salah satu faktornya adalah karena hawa nafsu yang tidak terkendali. Cukuplah hal ini menunjukkan bahwa sejatinya puasa itu merupakan nikmat karena dengannya menjadi sarana terkendalikannya hawa nafsu sehingga selamat dari penyimpangan hawa nafsu.

Sabda Nabi yang lainnya,

فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وِوَلَدِهِ وَجَارِهِ، تُكَفِّرُهَا الصِّيَامُ وَالصَّلاَةُ وَالصَّدَقَةُ وَالأَمْرُ وَالنَّهْيُ

“Fitnah (perbuatan dosa) seseorang terhadap keluarganya, hartanya, anaknya, tetangganya, bisa dihapus dengan shalat, puasa, sedekah, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar.” (HR. Al-Bukhari, no. 502)

Berlaku dosa terhadap orang-orang yang disebutkan oleh Nabi dalam sabda beliau ini hampir bisa dipastikan terjadi atau sangat besar pelung hal tersebut terjadi. Anda yang telah berkeluarga -saya yakin- mengetahui hal ini. Betapa masalah dalam kehidupan rumah tangga seringkali memicu anggota keluarga terjerumus ke dalam lembah dosa, entahlah itu bentuknya tidak bergaul dengan baik dengan pasangan hidup, mengurangi sebagian hak pasangan hidup, bersikap kasar kepada anak-anak dan seterusnya. Bahkan bisa jadi hal ini merembet kepada berlaku tidak baik kepada tetangga. Begitu pula persoalan harta, seringkali seseorang terjerembab kepada perbuatan dosa, baik dalam hal cara mendapatkannya maupun dalam hal mendayagunakannya, dalam hal bersikap terhadap hak-haknya. Tak jarang dalih kebutuhan rumah tangga seorang tak peduli dirinya mengambil harta dengan jalan yang diharamkan Allah ta’ala, entahlah dengan jalan mencuri, merampas, merampok, korupsi dan lain sebagainya.

Tak jarang pula setelah seseorang mendapatkan harta yang cukup atau bahkan berlebih ia mendayagunakannya secara berlebihan seperti berfoya-foya dan mendayagunakannya secara mubadzir, digunakan untuk perkara yang tidak diridhai Allah ta’ala.

Tak jarang pula karena ketamakan dan rasa cintanya yang sedemikian besar seseorang terhadap harta, menjadikannya enggan untuk menunaikan hak harta, baik berupa zakat, infaq atau pun sedekah. Kesemuanya ini, merupakan bentuk dosa. Maka, dengan sebab puasa beberapa dosa-dosa kecil yang dilakukannya dalam kaitannya dengan keluarga dan tentangga serta harta mendapatkan ampunan dari Allah ta’ala.

Tidak diragukan bahwa diampuninya dosa merupakan nikmat yang agung. Maka, puasa yang menjadi sarana terampuninya dosa pun merupakan nikmat yang agung pula.

Sabda Nabi yang lainnya,

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

Bagi orang yang berpuasa mempunyai dua kegembiraan yang ia gembira dengan keduanya; bila berbuka ia gembira dan ketika berjumpa dengan rabbnya gembira dengan puasanya.” (HR. Al-Bukhari, no. 1904)

Pembaca yang budiman, perhatikan dan renungkanlah sabda Nabi ini, puasa menjadi sebab kegembiraan baik di dunia maupun diakhirat. Jika demikian, sungguh puasa sesungguhnya merupakan nikmat.

Beberapa hadits di atas mudah mudahan sudah mencukupi untuk menunjukkan kepada kita bahwa puasa merupakan nikmat Allah yang agung. Maka, sekali lagi, berhubung puasa itu merupakan nikmat, hal ini mengharuskan kita untuk mensyukurinya. Adapun bentuk kesyukuran kita akan nikmat yang satu ini adalah dengan melaksankannya dengan sebaik-baiknya.

Akhirnya, semoga Allah mengaruniakan taufiq kepada kita untuk dapat melaksanakan puasa dengan sebaik-baiknya dengan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak sekedar menahan lapar dan dahaga sejak terbitnya fajar hingga tenggelamnya mata hari. Namun juga menahan diri dari segala macam dan bentuk perkara yang dilarang Allah dan Rasulnya untuk dilakukan.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.

Penulis : Amar Abdullah bin Syakir


Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel Hisbah.net di Fans Page Hisbah
Twitter @hisbahnet, Google+ Hisbahnet

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Nasihat

Saat Idul Fitri Menjelang **

Published

on

Saat Idul Fitri Menjelang

**

Terakhir, inilah perasaan seorang muslim di pagi hari raya Idul Fitri. Ia menuturkan :

“Aku ingat pagi hari Idul Fithri, kutemui anak-anak yang yatim. Tidak ada yang mau mencium mereka. Bahkan sekedar memberikan senyum untuk mereka. Aku ingat di pagi hari Idul Fithri aku bersama para janda, yang tidak bisa lagi merasakan kelembutan, juga kerinduan kepada suami mereka. Aku ingat, di hari raya Idul Fithri kita semua menikmati hidangan makanan enak dan minuman segar yang dapat menghilangkan lapar.

Aku ingat, di hari raya Idul Fithri kita berkumpul bersama dari semua umur, anak-anak, bapak-bapak dan ibu-ibu. Sementara ada saudara kita (semisal di Palestina) yang waktunya terampas oleh peperangan. Tak ada kenyamanan, ketenangan dan rasa aman. Hari raya mereka hanyalah linangan air mata, kesedihan serta kenangan seperti dipenjara.



Pada saat  yang sama aku mengenakan baju baru, mengunjungi sanak-kerabat di sana-sini, menikmati makanan dan minuman…aku tertawa dan bercanda.

Tetapi, perasaan sebagai satu bagian utuh sebuah tubuh dan rasa persaudaraan tumbuh kuat dalam diriku. Aku tak akan melupakan mereka. Kalaupun aku tertawa, ada guratan duka menoreh wajahku. Lisanku bergetar melantunkan doa bagi mereka. Aku pun menceritakan keadaan mereka kepada keluarga dan tetanggaku.

Lisanku selalu berdoa untuk mereka, dimana keluarga dan tetanggaku menggunjingkan mereka…

Dalam Shahih Muslim disebutkan :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

‘Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam kasih sayang dan kecintaan mereka ibarat satu tubuh, jika anggota tubuh mengadu kesakitan maka semua anggota tubuh yang lain akan ikut demam dan terjaga semalaman.’

Barang siapa yang berbuat kebaikan maka kebaikan ini kembali kepada dirinya sendiri ; barang siapa yang tinggi cita-citanya maka kebaikan akan mengikutinya; namun  barang siapa yang rendah cita-citanya maka kehinaan akan selalu mengikutinya…

Kusucikan cita-citaku dari apa-apa yang dilarang Allah

Menuju bulan yang khusyuk dengan berbekal kekhusukan,

bulan yang suci, dengan bekal amal sholeh…

Orang-orang yang berpuasa dengan istiqamah

akan mendapatkan tempat yang kekal dan didampingi bidadari yang menyenangkan

Penuh ampunan dari yang Maha Agung dengan kekuasaan-Nya yang besar

Wahai saudaraku, segeralah bangkit beramal

sebelum Ramadhan pergi

Semoga Allah Yang Maha Pengasih menghapus semua dosa-dosaku

dan mengampuni kesalahanku sebelum di buku kejelekanku…

Amin

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Ruhaniyyatush Shiyam, Dr. Ibrahim ad-Duwaisy, ei, hal. 49-51.

Continue Reading

Nasihat

Puasa Agar Mereka Memperoleh Kebenaran **

Published

on

Puasa Agar Mereka Memperoleh Kebenaran

**

Ar-Rusyd adalah menemukan kebenaran dan mengamalkannya.”

**

Ar-Rusyd adalah tujuan ketiga di antara tujuan-tujuan disyariatkannya puasa, dan salah satu rahasia diwajibkannya puasa. Allah ta’ala berfirman di akhir ayat-ayat puasa :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ  [البقرة : 186]

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (al-Baqarah : 186)

Kebenaran yang merupakan salah satu buah puasa, dinilai sebagai sifat positif dan penting bagi kepribadian seorang muslim, yang memberinya keseimbangan jiwa, pikiran, perasaan, dan emosi, serta membebaskannya dari segala fenomena yang memperburuk kepribadian insan modern yang tidak tumbuh berkembang di sela-sela al-Qur’an dan tidak mengikuti hukum-hukumnya, sehingga kepribadiannya terserang kelemahan, kepolosan, kelalaian, egoisme, atau kesedihan, seperti yang dituturkan oleh Dr. Shalah al-Khalidi.



Ayat ini mengandung penjelasan tentang jalan yang mengantarkan kepada kebenaran, yaitu beriman kepada Allah Ta’ala, berdoa kepada Allah ta’ala, dan memenuhi perintah-Nya, termasuk di antaranya berpuasa Ramadhan.

Ada yang mengatakan, ar-Rusyd adalah istiqamah di dalam agama.

Fenomena-fenomena Kebenaran yang Diwujudkan Puasa

Di antara fenomena-fenomena kebenaran adalah istiqamah di dalam agama dan tetap berada di atas agama. Dan di antara fenomena-fenomena kebenaran yang diwujudkan puasa bagi seorang muslim adalah :

Pertama, kebenaran penglihatan. Kebenaran ini terwujud dengan menundukkan dan menahan penglihatan untuk leluasa memandang segala hal yang tercela atau terlarang, dan juga hal-hal yang dapat menyibukkan dan melenakan hati dari mengingat Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

Kebenaran ini terwujud dengan berlama-lama menatap al-Qur’an dengan membaca dan merenungkannya, serta menahan penglihatan dari memandang apa yang Allah haramkan, agar tidak menciderai puasa.

Seseorang bertanya kepada al-Junaid, “Dengan apakah aku bisa menundukkan pandangan dengan mudah ?’ Al-Junaid menjawab, ‘Dengan kau mengetahui bahwa Allah melihatmu, di mana penglihatan-Nya kepadamu lebih cepat dari penglihatanmu kepada objek yang engkau lihat.”

“Menundukkan penglihatan dari apa yang diharamkan Allah, akan mendatangkan cinta Allah.” (al-Hasan bin Mujahid)

Kedua, kebenaran lisan. Kebenaran ini terwujud dengan menjaga lisan dari kata-kata ngelantur tidak jelas, dusta, adu domba, ghibah, tutur kata kotor, kasar, permusuhan, dan perdebatan, tetap diam, menyibukkannya dengan dzikir menyebut Allah ta’ala dan membaca al-Qur’an. Ini merupakan puasanya lisan.



Kebenaran ini muncul sebagai dampak alami yang didapatkan siapa yang selalu membasahkan lisannya dengan mengingat Allah, membiasakannya jauh dari segala kata dan ucapan-ucapan yang dapat melukai puasanya. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ

Pada hari ketika seseorang di antara kalian berpuasa, janganlah ia berkata kotor, dan janganlah (pula) berteriak-teriak (HR. al-Bukhari)

“Puasa itu tidak hanya menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi juga menahan diri dari dusta, kebatilan, kata-kata sia-sia, dan sumpah.” (Umar bin Khaththab- رًضِيَ اللهُ عَنْهُ)

Ketiga, kebenaran telinga. Kebenaran ini terwujud dengan mencegah telinga dari mendengar apa saja yang dibenci Allah karena apa saja yang diharamkan diucapkan, haram pula didengarkan. Kebenaran ini muncul sebagai buah baik bagi siapa yang terbiasa mendengarkan al-Qur’an dan nasihat-nasihat di bulan Ramadhan, serta mendengarkan segala yang membawa manfaat dari kebaikan, juga menutup telinga dari segala yang diharamkan dan dimakruhkan oleh syariat.

“Apabila engkau berpuasa, maka hendaklah berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu dari berkata dusta dan dosa.” (Jabir bin Abdillah-رًضِيَ اللهُ عَنْهُمَا)

Ketiga, kebenaran otak. Kebenaran ini terwujud dengan meraih ilmu dan pengetahuan, serta menyibukkan otak dengan ibadah merenungkan nikmat-nikmat dan makhluk-makhluk Allah, serta menggunakannya untuk hal-hal yang membawa manfaat bagi seorang mukmin, baik di dunia maupun di akhirat. Kebenaran ini muncul sebagai buah baik mendalami perkara-perkara agama, khususnya puasa, semangat mendengarkan ceramah dan pelajaran. Juga sebagai buah baik menggunakan akal dalam merenungkan ayat-ayat Allah yang dibaca dalam kitab-Nya, dan merenungkan ayat-ayat yang nampak nyata di alam semesta-Nya.

Ummu Darda’ ditanya, ‘Apakah amalan terbaik Abu Ad-Darda’ ?” Ia menjawab, “Berpikir dan memetik pelajaran.”

“Berpikir itu cahaya, lalai itu kegelapan, kebodohan itu kesesatan, dan ilmu itu kehidupan.” (Orang bijak)

Keempat, kebenaran tubuh. Kebenaran ini terwujud dengan tidak memperbanyak makan meski halal sekalipun, dan menahan diri dari segala syubhat yang mubah manakala Allah memerintahkannya, karena tujuan dari puasa adalah mengosongkan perut dan mematahkan syahwat hawa nafsu, sehingga jiwa menjadi kuat untuk bertakwa.

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

حَسْبُ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثُ طَعَامٍ وَثُلُثُ شَرَابٍ وَثُلُثٌ لِنَفْسِهِ

Cukuplah beberapa suap makan bagi anak Adam untuk sekedar menegakkan tulang punggungnya. Jika pun harus menambah, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk  minuman, dan sepertiga untuk bernafas.” (HR. Imam Ahmad)

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.42-45.

 

 

 

Continue Reading

Nasihat

Wasiat Singkat Penutup Ramadhan 1445 H

Published

on

Wasiat Singkat Penutup Ramadhan 1445 H

Ramadhan 1445 H telah sampai ke penghujungnya, bulan nan mulia penuh ampunan dan rahmat Allah Ta’ala sekali lagi akan pergi meninggalkan kita semua, namun semoga kepergiannya tidak dengan membawa semua ketaatan dan perubahan positif pada diri kita selama sebulan ini, akan tetapi dia pergi dengan membawa kebiasaan buruk kita di bulan-bulan sebelumnya.

Semua ini karena memang manfaat kewajiban puasa ramadhan adalah agar kita menjadi bertakwa, sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS Albaqarah: 183)



Dan Takwa adalah menjalankan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

 

Namun, di sisa hari yang ada, maksimalkanlah kesempatan yang ada, dengan shalat 5 waktu, terawih, tilawah dan itikaf.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena Iman dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari dan Muslim).

Dan haditnya:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: Barangsiapa beribadah (menghidupkan) bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari dan Muslim).

 

Dan perbanyaklah doa berikut ini pada setiap harinya:

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ: أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيَّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ اَلْقَدْرِ, مَا أَقُولُ فِيهَا? قَالَ: “قُولِي: اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اَلْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

(صَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَالْحَاكِمُ)

Artinya, “Dari sayyidah Aisyah ra, ia bercerita, ia pernah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku mengerti sebuah malam itu adalah lailatul qadar. Bagaimana doa yang harus kubaca?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Bacalah, ‘Allāhumma innaka afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annī  (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan menyukai ampunan, maka ampunilah aku),’’” (Hadits ini diakui shahih oleh Imam A-Tirmidzi dan Al-Hakim).

 

Dan terakhir, agar tidak lupa menunaikan zakat fitrah bagi yang mampu, karena hukumnya wajib dan dia merupakan bentuk syukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat materi dan juga sebagai sarana untuk saling berbagi dengan sesama muslim yang membutuhkan.

Allah Ta’ala berfirman:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Artinya : “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”
(QS Attaubah: 60)

Terakhir, semoga Allah Ta’ala menerima amal ibadah kita selama bulan ramadhan ini dan mengampuni dosa-dosa kita semua, serta semoga Allah Ta’ala memanjangkan umur kita agar kembali dapat menemui ramadhan tahun depan, Aamiin.

Continue Reading

Trending