Fiqih
Perbedaan Mathla’ (Tempat Melihat Hilal) Dalam Tinjuan Syari’at
Masalah klasik yang acap kali mencuat setiap menjelang Ramadhan dan akhir Ramadhan, yaitu berkaitan dengan penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan. Sampai sekarang, masalah ini masih terus dibicarakan oleh para ulama. Perbedaan pendapat dalam masalah ini sudah dikenal luas di kalangan ulama maupun para penuntut ilmu. Pada edisi kali ini, kami mencoba mengangkat kembali pembahasan masalah ini. Mudah-mudahan berguna bagi para pembaca, dan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan.
Syari’at telah menjadikan tanda-tanda alam, seperti: hilal, bulan, bintang, matahari dan lainnya sebagai batas waktu penetapan ibadah dan hukum muamalah. Sebagai contoh, misalnya waktu shalat, puasa, haji, masa iddah dan lainnya. Allah ta’ala berfirman dalam kitabNya:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal). Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”. [QS. Al Baqarah:189]
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Allah telah menjadikan bulan sabit (hilal) sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia. Maka berpuasalah karena melihatnya, dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya. Jika terhalang olehmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” [1]
Termasuk di dalamnya, yaitu ibadah puasa pada bulan Ramadhan, Allah mengaitkannya dengan hilal. Allah berfirman, yang artinya:
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka (wajiblah baginya bershiyam)”. [QS Al Baqarah:185].
Hanya saja, kemudian timbul pertanyaan, bila hilal telah terlihat di suatu negeri, apakah wajib bagi negeri yang lain untuk mengikutinya? Ataukah setiap negeri harus melihat hilal di tempatnya sendiri? Cukupkah dengan melihat hilal di satu negeri saja, atau tiap-tiap negeri harus melihat hilal di tempatnya masing-masing? Inilah yang menjadi persoalan. Karena itulah para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini.
Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini, sebagai berikut:
Pendapat Pertama : Jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim negeri lain untuk berpuasa.
Ini merupakan pendapat ulama Malikiyah, pendapat Laits bin Sa’ad, pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah, pendapat Abu Hanifah dan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328) mengatakan: “Apabila hilal telah terlihat oleh penduduk satu negeri, maka seluruh negeri lainnya wajib berpuasa. Ini adalah pendapat Al Laits dan sebagian rekan Asy Syafi’i.”
Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
a. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. [HR. Al Bukhaari dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].
b. Juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban”.
Pendapat Kedua : Setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi’iyyah.
Pendapat Ketiga : Hampir sama dengan pendapat yang kedua, yaitu negeri yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing, tidak untuk negeri yang berdekatan.
Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328) mengatakan: “Sebagian ulama mengatakan, kalau kedua negeri itu jaraknya berdekatan, maka mathla’ hilalnya tidak ada perbedaan (satu mathla’), seperti kota Baghdad dan Bashrah. Penduduk dua kota ini, wajib berpuasa bila hilal telah terlihat di salah satu dari kedua kota tersebut. Jika jarak kedua negeri itu berjauhan, seperti: Iraq, Hijaz dan Syam, maka setiap negeri melihat hilalnya masing-masing. Diriwayatkan dari Ikrimah, bahwa beliau berkata: “Setiap penduduk negeri wajib melihat hilalnya masing-masing.” Ini merupakan Madzhab Al-Qasim, Salim dan Ishaq. Diantara para ulama mutaakhirin yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.[2]
Akan tetapi mereka berselisih pendapat dalam menetapkan jarak jauh dekatnya. Ada yang mengaitkannya dengan jarak bolehnya mengqashar shalat. Ada yang mengatakan apabila berita terlihatnya hilal dapat sampai ke tempat tersebut pada malam itu juga. Dan pendapat lainnya.
Dalil mereka adalah hadits Kuraib yang diutus oleh Ummul Fadhl binti Al Harits untuk menemui Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata: Aku tiba di Syam, dan aku laksanakan perintah Ummul Fadhl. Bertepatan munculnya hilal bulan Ramadhan, ketika aku berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas radhiyallahuanhu bertanya kepadaku, ia menyebut tentang hilal. Dia bertanya,”Bilakah kalian melihat hilal?” Aku menjawab,”Kami melihatnya pada malam Jum’at!” Tanya beliau lagi,”Apakah engkau menyaksikannya?” Jawabku,”Ya. Orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu’awiyah turut berpuasa!” Abdullah bin Abbas berkata,”Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau kami melihat hilal Syawal.” Aku berkata,”Tidak cukupkah kita mengikuti ru’yat hilal Mu’awiyah dan puasanya?” Abdullah bin Abbas menjawab,”Tidak! Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami.” [HR. Muslim, At-Tirmidzi dan Ahmad. At Tirmidzi berkata,”Hadits hasan shahih gharib.”]
Pendapat Keempat : Kaum muslimin wajib mengikuti penetapan dari pemerintah negeri mereka masing-masing. Jika pemerintah telah mengumumkan berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa.
Dalil mereka adalah hadits Abu Hurairah yang kami sebutkan di depan: “Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban”.
Dari keempat pendapat tersebut, yang terpilih adalah pendapat pertama. Yaitu, jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim negeri lain untuk berpuasa. Pendapat inilah yang dipilih oleh mayoritas ulama dahulu dan sekarang, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [3], Asy Syaukani [4], Syaikh Al Albani[5] dan ulama lainnya. Inilah pendapat yang paling selaras dengan dalil-dalil yang ada, sebagaimana yang telah kami sebutkan di depan, diantaranya hadits:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya. Jika terhalang olehmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari.”
Dan hadits:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban”.
Dan pendapat ini, juga selaras dengan kaidah umum syari’at yang menganjurkan kaum muslimin agar bersatu dan tidak berpecah-belah.
Akan tetapi timbul pertanyaan, bagaimanakah caranya menerapkan pendapat yang pertama ini?
Untuk sekarang ini, pendapat pertama sulit diterapkan. Karena realitanya, negeri kaum muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa negara. Tiap-tiap negara memiliki kebijaksanaan dan kewenangan terhadap rakyatnya, dan tidak tunduk kepada kebijaksanaan negara lain. Termasuk dalam menetapkan awal Ramadhan dan dua Hari Raya, yakni ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Kecuali bila ada kesepakatan diantara negara-negara Islam tersebut. Namun kenyataannya, sampai hari ini kesepakatan itu tidak ada.
Realitanya, sampai sekarang masih terjadi perbedaan kebijaksanaan masing-masing negara tentang penetapan awal dan akhir Ramadhan. Jika pendapat ini dipaksakan untuk diterapkan sekarang ini, maka akan terjadi perselisihan kaum muslimin di satu negara. Ada yang berpuasa dan berhari raya bersama pemerintahnya, sedangkan yang lain berpuasa dan berhari raya mengikuti kebijaksanaan negara lain. Tentu saja perselisihan semacam ini tidak dibenarkan.
Jadi, melihat kondisi kaum muslimin dan negara-negara Islam sekarang ini, maka alternatif satu-satunya adalah menerapkan pendapat keempat. Yaitu, kaum muslimin wajib mengikuti penetapan dari pemerintah negeri masing-masing. Sampai nantinya kaum muslimin berada di bawah satu pemerintahan, atau negara-negara Islam saling berkonsolidasi dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan. Sehingga tercapailah kesepakatan dan kesatuan kalimat kaum muslimin dimanapun mereka berada.
Inilah kesimpulan yang dipilih oleh Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam kitab ‘Tamamul Minnah’ (hlm. 398) sebagai berikut:
“Sampai nanti negara-negara Islam mencapai kesepakatan dalam masalah ini. Maka menurutku, setiap orang harus berpuasa mengikuti kebijaksanaan pemerintah negaranya. Janganlah ia terpisah seorang diri. Sebagian orang berpuasa bersama pemerintahnya dan sebagian lain berpuasa bersama negara lain. Baik penetapan dari pemerintahnya itu maju sehari atau mundur sehari. Karena hal itu dapat meluaskan perselisihan dalam satu negara. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara-negara Arab semenjak beberapa tahun belakangan ini. Wallahul musta’an“.
Demikian pula beliau menjelaskan dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah (VI/253-254). Demikian pula kesimpulan yang diambil oleh Syaikh Al Faqih Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam kitab Syarah Mumti’ (VI/322) sebagai berikut:
“Inilah –yaitu berpuasa bersama negara masing-masing- yang dipraktekkan oleh kaum muslimin sekarang ini. Yaitu apabila telah ditetapkan oleh waliyul amri (pemerintah), maka wajib bagi kaum muslimin yang berada di bawah kekuasaannya untuk berpuasa atau berhari raya. Kalau dilihat dari efek sosiologisnya, pendapat ini sangat kuat, meskipun kita memilih pendapat kedua yang kita ambil yaitu perbedaan mathla’, wajib bagi orang yang berpendapat bahwa masalah penetapan puasa didasarkan atas perbedaan mathla’ untuk tidak menampakkan perbedaannya dengan orang banyak.”
Demikian pula Lajnah Daimah Dan Majelis Tinggi Ulama Dan Lembaga Fatwa Dan Riset Saudi Arabia, telah mengeluarkan fatwa yang senada dengan pendapat yang keempat ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya sebagai berikut:
وَسُئِلَ قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ عَنْ رَجُلٍ رَأَى الْهِلَالَ وَحْدَهُ وَتَحَقَّقَ الرُّؤْيَةَ : فَهَلْ لَهُ أَنْ يُفْطِرَ وَحْدَهُ ؟ أَوْ يَصُومَ وَحْدَهُ ؟ أَوْ مَعَ جُمْهُورِ النَّاسِ ؟
Beliau ditanya –semoga Allah menyucikan ruh beliau- tentang seorang lelaki yang melihat hilal seorang diri dan ia benar-benar telah melihatnya. Apakah ia boleh berhari raya sendiri atau berpuasa sendiri? Ataukah ia harus berpuasa bersama orang banyak?
Beliau menjawab:
Alhamdulillah, jika ia melihat hilal Ramadhan seorang diri atau hilal Syawal seorang diri, apakah ia harus berpuasa karena ru’yatnya itu? Atau apakah ia harus berhari raya dengan ru’yatnya itu? Atau ia tidak boleh berpuasa dan berhari raya, kecuali bersama orang banyak?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama, dan merupakan tiga pendapat yang dinukil dari Imam Ahmad.
Pertama : Ia harus berpuasa dan berhari raya sembunyi-sembunyi. Ini adalah madzhab Asy Syafi’i.
Kedua : Ia wajib berpuasa namun tidak wajib berhari raya, kecuali bersama orang banyak. Ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad, Malik dan Abu Hanifah.
Pendapat ketiga : Ia wajib berpuasa dan berhari raya bersama orang banyak. Ini merupakan pendapat yang paling tepat. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban”.
Hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi, dan ia berkata,”Hasan gharib.” Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Dan dalam riwayatnya hanya disebutkan ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha saja. At Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Abdullah bin Ja’far dari Utsman bin Muhammad dari Al Maqburi dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطَرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa kamu adalah hari berpuasa orang banyak. Hari ‘Idul Fithri kamu adalah hari orang banyak ber’idul fithri. Dan hari ‘Idul Adha kamu adalah hari orang banyak ber’idul adha.”
At Tirmidzi berkata,”Hadits ini hasan gharib.” Kemudian ia berkata,”Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini. Mereka mengatakan, maknanya adalah berpuasa dan berhari raya bersama jama’ah dan orang banyak.”
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang lain. Dia berkata: Muhammad bin Ubaid telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Hammad bin Zaid Bin Dirham telah menceritakan kepada kami dari Ayyub dari Muhammad bin Al Munkadiri dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ . وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ . وَكُلُّ عَرَفَةَ مَوْقِفٌ وَكُلُّ مِنًى مَنْحَرٌ وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ مَنْحَرٌ وَكُلُّ جَمْعٍ مَوْقِفٌ
“Hari ‘Idul Fithri kamu adalah hari kamu semua ber’idul fithri. Dan hari ‘Idul Adha kamu adalah hari kamu semua ber’idul adha. Dan seluruh wilayah Arafah adalah tempat wuquf. Seluruh wilayah Mina adalah tempat penyembelihan hewan kurban. Seluruh jalan-jalan di Makkah adalah tempat penyembelihan hewan kurban. Dan seluruh wilayah Muzdalifah adalah tempat bermalam (mabit)”.
Karena kalau ia melihat hilal, pastilah akan diketahui oleh orang banyak. Hilal adalah ungkapan untuk sesuatu yang diketahui orang banyak. Maka dari itu, Allah menjadikan hilal sebagai tanda waktu bagi manusia dan penetapan waktu untuk haji. Dan itu terjadi, bila orang-orang mengetahuinya secara luas.
Penetapan bulan adalah perkara yang jelas. Jika tidak ada hilal tentu tidak ada pula bulan baru. Dasar masalah ini, adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaitkan sejumlah hukum syar’i dengan hilal dan bulan. Misalnya, seperti ibadah puasa, ‘Idul Fithri, ‘Idul Adha. Allah berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal). Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”. [QS. Al Baqarah:189]
Allah Subhanhu wa Ta’ala menjelaskan, hilal adalah tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadat haji. Allah berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ -إلَى قَوْلِهِ – شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ
“Diwajibkan atas kamu berpuasa…. Sampai firman Allah: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia.” [QS. Al Baqarah:183-185].
Allah telah mewajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan. Masalah ini telah disepakati oleh segenap kaum muslimin. Namun yang diperselisihkan oleh mereka adalah tentang hilal, apakah istilah untuk bulan sabit yang muncul di langit? Meskipun manusia tidak mengetahuinya? Dan dengan kemunculannya, sebagai pertanda masuknya bulan baru? Ataukah hilal bermakna nama bagi sesuatu yang diketahui orang banyak, dan bulan adalah sesuatu yang dikenal diantara mereka? Dalam masalah ini ada dua pendapat.
Bagi yang memilih pendapat pertama mengatakan: Barangsiapa melihat hilal seorang diri, maka ia telah masuk waktu berpuasa dan telah masuk bulan Ramadhan bagi dirinya. Malam itu bagi dirinya termasuk bulan Ramadhan, meskipun orang lain tidak mengetahuinya. Bagi yang tidak melihatnya, jika telah nyata baginya bahwa hilal telah muncul, maka ia wajib mengqadha’ puasa. Demikian pula qiyasnya dengan ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Akan tetapi berkaitan dengan bulan haji, setahuku belum ada orang yang mengatakan bahwa barangsiapa melihat hilal, maka ia wuquf sendiri (berdasarkan ru’yatnya sendiri) tidak bersama jama’ah haji lainnya, ia menyembelih hewan kurban di hari berikutnya dan melempar jumrah Aqabah dan bertahallul sendiri tidak bersama jama’ah haji lainnya.
Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang ‘Idul Fithri. Mayoritas ulama menyamakannya dengan Hari Raya Kurban. Mereka mengatakan, ia tidak boleh berhari raya, kecuali bersama kaum muslimin. Sementara yang lain mengatakan, ia harus berhari raya seperti halnya puasa, Allah tidak memerintahkan hambaNya berpuasa tiga puluh satu hari.
Kontroversi pendapat ini menunjukkan bahwa yang benar, adalah masalah puasa Ramadhan dan ‘Idul Fithri sama seperti haji pada bulan Dzulhijjah. Jadi, syarat hilal dan bulan adalah pengenalan orang banyak terhadapnya dan pengetahuan mereka tentangnya. Sehingga, apabila sepuluh orang telah melihat hilal, namun tidak diketahui secara luas oleh mayoritas penduduk negeri, bisa jadi karena persaksian sepuluh orang ini tertolak, atau karena mayoritas penduduk negeri belum menyaksikannya. Maka, hukum sepuluh orang ini, sama seperti hukum mayoritas kaum muslimin lainnya (yakni belum wajib berpuasa meskipun telah melihat hilal dengan mata kepala mereka sendiri –pent). Sebagaimana halnya mereka tidak boleh wuquf, menyembelih kurban dan mengerjakan shalat ‘Id, kecuali bersama kaum muslimin. Demikian pula ia tidak boleh memulai berpuasa Ramadhan, kecuali bersama kaum muslimin. Inilah makna dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban”.
Oleh karena itu, Imam Ahmad menjelaskan dalam sebuah riwayat dari beliau: “Ia harus berpuasa bersama imam (penguasa, pemerintah) dan jama’ah kaum muslimin, baik pada saat cuaca cerah[6] maupun mendung” [7].
Imam Ahmad mengatakan:
يَدُ اللَّه عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Tangan Allah bersama jama’ah.”
Seperti yang kita ketahui, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang berpendapat ittihadul mathla’ (satu mathla’) untuk semua. Akan tetapi, beliau mengambil kesimpulan seperti yang telah kami nukil di atas tadi. Demikian pula Imam Ahmad, seperti yang dinukil oleh Ibnu Taimiyah dari beliau. Terutama pada saat negeri kaum muslimin terpecah menjadi beberapa negeri. Masing-masing negeri memiliki kebijakan yang terpisah dengan negeri lainnya. Kecuali kalau ada koordinasi dan kesepakatan dari masing-masing negeri untuk menetapkan satu kebijaksanaan dalam penetapan hari-hari besar Islam ini.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa seorang muslim tidak boleh memulai puasa Ramadhan dan berhari raya seorang diri atau menyempal dari kaum muslimin yang lainnya. Dia harus mengikuti jama’ah dan imam atau pemimpinnya. Dari situ, barangkali dapat kita tafsirkan hadits Kuraib, bahwa pemerintahan di Syam tidak tunduk kepada kebijaksanaan pemerintahan di Madinah. Sehingga tiap-tiap negeri memiliki kebijaksanaan dan ketetapan masing-masing yang terpisah. Dan bagi tiap-tiap penduduk negeri mengikuti kebijaksanaan pemerintahnya. Sehingga dengan demikian, kalimat kaum muslimin dapat disatukan, khususnya dalam ibadah dan perayaan terbesar bagi kaum muslimin. Tentu saja, yang kita harapkan negeri-negeri Islam dapat bersatu dalam menetapkan hari besar mereka. Itu harapan kita, seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. Silakan lihat kembali uraian beliau di atas.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin, sehingga tidak ada perselisihan tentang penetapan awal dan akhir Ramadhan. Semoga!
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Tafsir Ibnu Katsir (I/281).
[2]. Silakan lihat Syarah Al Mumti’ (VI/322) dan Fiqhun Nawazil, tulisan Dr. Bakar bin Abdillah Abu Zaid (II/222-223).
[3]. Silakan lihat Majmu’ Fatawa (XXV/105).
[4]. Silakan lihat Nailul Authar (IV/203-210).
[5]. Silakan lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah (VI/235) dan Tamamul Minnah (hlm. 397 dan 398).
[6]. Yakni hilal kemungkinan bisa terlihat oleh siapa saja, Pent.
[7]. Yakni hilal kemungkinan tidak bisa terlihat, Pent
Artikel: http://almanhaj.or.id
Artikel : Hisbah.net
Gabung Juga Menjadi Fans Kami Di Facebook Hisbah.net | Dakwah Al-Hisbah | Hisbah.Or.Id
Fiqih
Larangan Menikahi Wanita Pezina
Al-Qur’an melarang seseorang menikahi wanita pezina yang belum berhenti dari kebiasaan berzinanya, demikian juga menikahkan wanita dengan laki-laki yang belum berhenti dari kebiasaan berzinanya.
Pernyataan di atas merupakan salah satu penafsiran dari firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى :
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ [النور : 26]
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula). Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (Surga). (an-Nur : 26)
Beberapa aib menikahi wanita pezina yang belum berhenti dari kebiasaan berzinanya :
Pertama, pelanggaran atas larangan menikah dengan mereka. Berdasarkan firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى :
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ [النور : 3]
Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan yang musyrik ; dan perempuan yang pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman (an-Nuur : 3)
Kedua, anak orang lain akan diikutkan nasabnya kepada Anda. Bisa jadi setelah berzina, wanita tersebut mengalami kehamilan dari laki-laki lain kemudian setelah lahir anak dari laki-laki tersebut dinasabkan kepada suami resminya. Kelak setelah besar anak tersebut akan mewarisi harta suami resminya, padahal ia bukan ahli warisnya. Bebas bergaul dengan mahram suaminya, padahal dia bukan mahram suaminya.
Ketiga, wanita pezina sama sekali tidak butuh dengan suaminya. Dia adalah pelacur, dia senantiasa menggoda setiap laki-laki di mana saja dan kapan pun. Jika sang suami membuatnya marah, dia segera keluar dan berzina dengan laki-laki lain. Dia adalah wanita yang berani dan durhaka kepada suami. Bahkan banyak laki-laki nakal dan bejat yang mengendalikan kehidupannya, karena mereka tergila-gila dengannya.
Keempat, wanita pezina dapat menjadi sebab seorang suami mengerjakan perbuatan haram. Wanita pezina tidak butuh-nafkah batin-suaminya, bahkan dia sering meninggalkan suaminya tidur di kamarnya seorang diri. Kondisi ini akan mendorong suaminya untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya pada wanita lain yang masih haram atas dirinya. Demikian juga dengan laki-laki pezina, dia senantiasa enggan untuk mendekati istrinya yang suci. Tidak butuh padanya karena telah puas dengan wanita lain. Kondisi demikian menjadikan sang istri berpikir untuk selingkuh dengan laki-laki lain.
Kelima, wanita pezina dapat menjadi sebab datangnya teman-teman jelek seperti dirinya ke rumah suaminya. Akibatnya sang suami berzina dengan salah satu dari mereka. Kondisi inilah yang diinginkan oleh wanita pezina, sehingga sang suami tidak berani mencelanya ketika dia berzina. Jika sang suami benar-benar telah berzina, maka dia mencelanya sebagaimana sang suami mencela dirinya ketika dia berzina. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman tentang orang-orang kafir,
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً [النساء : 89]
Mereka ingin supaya kalian menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kalian menjadi sama (dengan mereka) (an-Nisa : 89)
Dalam ayat lain Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman,
وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا [النساء : 27]
Sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). (an-Nisan : 27)
Keenam, wanita pezina dapat menghilangkan sifat cemburu sang suami sedikit demi sedikit, hingga suami terperosok pada sikap diyatsah (jamak dari dayuts : laki-laki yang tidak memiliki rasa cemburu). Dan seorang dayuts tidak akan bisa masuk Surga.
Ketujuh, wanita pezina mengajari putra-putrinya untuk berzina. Mempermudah mereka ataupun setidak-tidaknya membiarkan mereka pada kubangan perzinaan, hingga lahirlah keturunan-keturunan yang rusak. Dia mendidik putera putrinya di rumah yang akrab dengan kefasikan dan kemesuman, hingga keluarganya hancur dan adzab Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى turun kepada mereka yang bermaksiat.
Kedelapan, wanita pezina mengajari suaminya untuk berzina, karena dia sering bercerita kepada suaminya tentang wanita dan laki-laki lain. Yang demikian itu karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan dan seseorang itu berada di atas agama temannya.
Kesembilan, tersebarnya virus dan berbagai penyakit di dalam rumah. Hal ini merupakan hukuman dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang disegerakan di dunia. Salah satu penyakit paling berbahaya adalah AIDS. Zina merupakan salah satu penyebabnya.
Kesepuluh, seorang istri pezina menjadi sebab datangnya adzab di akhirat bagi suaminya. Yang demikian itu karena seorang laki-laki akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى atas apa yang dipimpinnya. Sebagaimana sabda Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya… [HR. al-Bukhari, no. 2554; Muslim, no.1819, dari Abu Hurairah secara mafu’]
Dan firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ [التحريم : 6]
Hai orang-orang yang beriman,peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (at-Tahrim : 6)
Dan firman Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى :
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ (22) مِنْ دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ (23) [الصافات : 22 ، 23]
(Kepada malaikat diperintahkan), “Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman sejawat mereka dan sembhan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah, kemudian tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka (ash-Shaffat : 22-23)
Meskipun wanita pezina tidak termasuk wanita kafir, tapi dia adalah pelaku dosa besar, kejahatan dan perbuatan keji.
Yang dimaksud dengan ‘al-Azwaj; yang diartikan teman-teman sejawat’ dalam ayat di atas adalah orang-orang selevel dalam keyakinan dan pekerjaan.
Kesebelas, jatuhnya harga diri keluarga besar suami di mata masyarakat. Adapun kaum muslimin, jika mereka mengetahui keadaan seorang laki-laki yang tidak mempunyai perasaan cemburu, maka mereka akan meremehkan harga diri laki-laki tersebut di mata mereka, tidak mungkin mereka akan menjalin hubungan perbesanan dengannya dan menjauhkan laki-laki tersebut dari pertemanan. Tidak ada yang menjalin hubungan perbesanan dan pertemanan dengan laki-laki tersebut kecuali orang-orang fasik yang seperti dirinya.
Kedua belas, suami, keluarga besar, dan kerabat akan menjadi bahan ejekan gara-gara menikahi wanita pezina.
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Bahtsu Fi Qaulihi Ta’ala : Wala Taqrabuz Zina, Musthafa al-Adawi, hal. 38-42.
Fiqih
TIMBANGAN SHALAT
Muslim meriwayatkan dalam shahihnya [1] dari Abdullah bin Mas’ud رَضِيَ اللهُ عَنْهُ dia berkata,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ
“Barang siapa ingin berbahagia bertemu dengan Allah besok pada hari Kiamat dalam keadaan Muslim, maka hendaknya dia menjaga shalat-shalat (lima waktu) di mana dikumandangkan adzan padanya (yaitu di masjid), karena sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk, dan shalat berjamaah itu termasuk sunnah-sunnah petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah seperti shalatnya orang yang tertingal (dari shalat berjamaah) ini, niscaya kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Dan jika kalian meninggalkan Sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan tersesat. Tidaklah seorang laki-laki yang bersuci lalu dia melakukannya dengan baik kemudian dia berangkat ke salah satu masjid di antara masjid-masjid yang ada melainkan Allah menulis untuknya satu kebaikan dengan setiap langkah yang dilangkahkannya dan mengangkat satu derajat dengannya serta menghapus satu keburukan dengannya. Aku telah melihat kami –para sahabat Nabi- tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah kecuali pasti dia seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya. Dan sungguh seseorang (dari kami) dipapah dan dihadirkan, sehingga akhirnya diberdirikan di shaf.”
***
Bila keadaan orang yang tidak menghadiri shalat berjma’ah di mata para sahabat adalah demikian, para sahabat menilainya sebagai orang munafik dengan kemunafikan yang nyata, lalu bagaimana dengan orang yang meninggalkan shalat ? Kami memohon keselamatan kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Sesungguhnya timbangan shalat di dalam Islam itu agung dan kedudukannya tinggi, Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mewajibkannya kepada NabiNya tanpa perantara dari atas langit ketujuh mana kala Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memi’rajkan beliau ke langit. Dalil-dalil di selain yang sudah disebutkan di atas, hadir menetapkan keutamaannya, kedudukannya yang tinggi, dan beratnya hukuman bagi siapa yang menyia-nyiakannya, tapi meskipun demikian, timbangan shalat di mata banyak orang masih dianggap sepele. Di antara mereka ada orang yang tidak pernah terlihat di masjid sama sekali di seluruh waktu-waktu shalat, padahal dia tinggal di samping masjid, dia keluar rumah untuk bekerja, namun tidak keluar dari rumahnya untuk mendirikan shalat di masjid, padahal dia mendengar adzan lima kali dalam sehari semalam. Dia berkata, “Kami mendengar dan kami durhaka.” Yang aneh dalam hal tersebut adalah bahwa orang yang tidak shalat itu tinggal bersama keluarganya yang menjaga shalat bersama kaum Muslimin, namun sayangnya mereka tidak mengingatkannya, bahkan membiarkannya di rumah seolah-olah dia tidak melakukan kemunkaran apa pun. Mereka makan bersama, minum bersama dan bergaul bersamanya. Di mana rasa cemburu dalam hal agama ? Di mana syiar amar makruf dan nahi munkar ? Kecuali orang yang menginginkan nasehat dan kebaikan untuk mereka.
Iklan
Di antara mereka ada yang meremehkan syarat-syarat shalat, rukun-rukunnya, dan wajib-wajibnya, dia tidak menunaikannya sebagaimana mestinya.
Di antara mereka ada yang meremehkan shalat bersama jama’ah, ini adalah tanda kemunafikan.
Kewajiban kita adalah menjaga ketaatan dan ibadah yang agung ini, yang merupakan rukun islam paling besar sesudah dua kalimat syahadat. Hendaknya kita mewaspadai dengan cermat jalan para pendosa yang apabila mereka diajak, “Rukuklah”, mereka tidak mau rukuk.
Hendaknya seorang hamba tidak membanggakan dirinya, takjub kepada amal dan keadaannya dan lalai dari mengagungkan Tuhan dan Penolongnya, meremehkan syiar-syiar-Nya, sehingga dia akan masuk ke dalam rombongan orang-orang yang merugi.
Dari Khalid bin Umair al-Adawi, ia berkata, Utbah bin Ghazwan berkhuthbah di depan kami, dia memuji dan menyanjung Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى kemudian berkata,
“Amma ba’du. Sesungguhnya dunia ini telah memberitahukan kefanaannya dan berpaling dengan sangat cepat, tidak tersisa dari umur dunia melainkan sedikit seperti sisa air dalam bejana yang diminum oleh pemiliknya. Sesungguhnya kalian akan pindah dari dunia menuju sebuah perkampungan yang tidak mengenal kebinasaan, maka berpindahlah kalian dengan berbekal kebaikan dari apa yang ada di hadapan kalian. Karena sesungguhnya telah diberitakan kepada kami bahwa sebuah batu dilemparkan dari pinggir Jahannam kemudian jatuh meluncur ke dalamnya selama 70 tahun namun belum sampai ke dasarnya. Demi Allah, neraka itu pasti akan diisi penuh, apakah kalian merasa takjub ? Dan telah diberitahukan kepada kami bahwa jarak antara dua pintu gerbang dari pintu-pintu gerbang surga adalah sejauh perjalanan 40 tahun. Dan suatu hari nanti ia akan penuh sesak oleh orang-orang (yang memasukinya). Sungguh aku telah menyaksikan diriku orang ketujuh dari tujuh orang yang bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, waktu itu kami tidak memiliki makanan sama sekali kecuali hanya daun-daun pohon sampai bibir kami terluka. Kemudian saya menemukan satu potong kain burdah, lalu saya membelahnya menjadi dua antara aku dan Sa’ad bin Malik, saya bersarung dengan separuhnya dan Sa’ad juga bersarung dengan separuhnya. Lalu sekarang, tidaklah masing-masing dari kami kecuali telah menjadi gubernur pada salah satu wilayah. Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى agar jangan sampai dalam pandangan diriku, aku ini besar tetapi kecil di sisi Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Sesungguhnya tidak ada satu kenabian pun kecuali ia berubah keadaannya hingga akhir perkaranya menjadi kerajaan, kalian akan mengetahui dan merasakan para pemimpin sesudah kami.” Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya. [2]
Kami memohon kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dengan nama-nama-Nya yang paling baik dan sifat-sifat-Nya yang paling luhur agar melindungi kita semua dari jalan para pendosa, membimbing kita untuk menjaga ketaatan kepada-Nya, dan menolong kita untuk menjaga shalat.
Ya Allah jadikanlah kami orang-orang yang mendirikan shalat.
Ya Allah bimbinglah kami untuk memperhatikan shalat dan mendirikannya sebagaimana yang Engkau cintai dan ridhai, wahai Dzat Pemilik keagungan dan kemuliaan.
(Amin)
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Ta’zhimu ash-Shalati, Prof.Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal.27-30.
Catatan :
[1] Shahih Muslim, no. 654
[2] Shahih Muslim, no. 2967
Fiqih
Tauhid Pondasi Keluarga
Akidah tauhid merupakan pondasi dan pilar keluarga.
Kita katakan ,iya, akidah tauhid merupakan pondasi dan pilar dalam kehidupan umat seluruhnya, dan juga dalam kehidupan setiap insan. Hal tersebut juga merupakan pondasi kehidupan keluarga.
Akidah tauhid yang jernih yang berdiri di atas pemahaman dan landasan :
لا إله إلا الله محمد رسول الله
(Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah)
jika apa yang ditunjukannya secara ilmiah dan pengamalan telah kokoh tertancap di dalam kehidupan keluarga niscaya keluaga tersebut akan mengalami perubahan keadaan yang sangat berbeda. Karena konsekuensi dari akidah ini adalah menanggalkan seluruh bentuk peribadatan kepada selain Allah, berupa kesyirikan dan berhala-berhala serta tradisi-tradisi jahiliyah, ketaatan terhadap orang-orang yang menyimpang dan orang-orang fasik dan orang-orang yang gemar melakukan dosa. Menanggalkan diri dari hal-hal tersebut dan menjadi taat kepada Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya, dan mentaati rasul-Nya-shallallahu alaihi wasallam-. Karena taat kepada belaiu merupakan ketaatan kepada Allah.
Jadi, pondasi keluarga yang harus di bangun di atasnya adalah akidah tauhid. Akan tetapi kita menyayangkan karena seringkali kita tidak membangun keluarga kita di atas pondasi ini, oleh karenanya kita banyak menjumpai banyak dari keluarga tidak memahami akidah tauhid ini …
Wahai saudaraku sekalian…
Mengapa kita mengosongkan diri dari mendidik keluarga kita di atas pemahaman akidah ini ?
Mengapa kita tidak mendidik keluarga di atas akidah yang berdiri di atas keimanan kepada Allah dan pengingkaran terhadap thaghut-thaghut?
Sesungguhnya ini, mendidik keluarga di atas pondasi ini merupakan hal mendasar. Akan tetapi, mengapa kita kurang perhatian dalam hal ini ?
Sungguh sangat lemah pangaruh akidah ini dalam jiwa kita, dan jiwa keluraga kita serta jiwa pasangan hidup kita dan anak-anak kita.
Wahai saudara-saudaraku sekalian !
Sesungguhnya ketika akidah ini diajarkan dan ditanamkan dalam keluarga dengan benar, niscaya akan menjadikan seorang ayah sebagai sang pendidik banyak mendapatkan hal yang melegakan dirinya dalam banyak hal dalam kehidupan. Misalnya, ketika keluarga dididik di atas aqidah ini, mengesakan rabbnya dengan rasa takut, tawakal dan cinta. Sehingga menjadi sebuah keluarga yang tidak takut kecuali kepada Allah, dan tidak bertawakal dalam seluruh urusannya kecuali kepada Allah. Akan tetapi, cobalah Anda menengok keluarga kita, betapa banyak persoalan yang muncul dalam keluarga, disebabkan karena sang ibu atau sang istri takut terhadap kefakiran, atau takut kepada selain Allah-subhanahu wa ta’ala-.
Ya, jika keluarga terdidik di atas pondasi aqidah tauhid, niscaya akan senantiasa bergantung kepada Allah, sehingga kehidupan akan berjalan dengan lurus. Keluarga akan tidur sementara dia merasa lega, tidak takut akan adanya ‘ain (pandangan mata jahat) kecuali dengan izin Allah. Tidak takut akan adanya gangguan jin melainkan dengan izin Allah. Tidak takut akan adanya gangguan makhluk melainkan hal itu terjadi dengan izin Allah. Maka, bila keluarga telah bergantung dengan hal ini, niscaya keluarga benar-benar menjadi keluarga yang tenang dan lapang dada.
Kemudian, setelah itu, juga akan menjauhkan keluarga dari bergantung dan berhubungan dengan hal-hal yang syirik yang akan banyak menimbulkan kegelisahan dan kerisauan jiwa. Karena, sebagian keluarga itu ketika lemah pemahamannya terhadap akidah tauhid dan konsekuensi-konsekuensinya, dan wajibnya menjauhkan diri dari kesyirikan dan segala macam dan bentuknya, mulailah terjatuh ke dalam hal-hal kesyirikan, terjatuh ke dalam berbagai bentuk ruqyah dan tamimah yang diharamkan. Tamimah-tamimah yang haram ini yang telah valid dari nabi akan terlarangnya, jika terdapat di tengah-tengah keluarga, akan mengubah keluarga menjadi keluarga yang carut marut. Maka Anda akan mendapati sang ibu selalu saja mengkhawatirkan terhadap anaknya, sehingga hal itu mendorongnya untuk mengalungkan jimat-jimat, ia takut anaknya akan terkena ‘Ain, dan boleh jadi ia mengkhayalkan bahwa anaknya sakit, sehingga ia pun dirundung stres, dan ia pun mondar mandir ke beberapa rumah sakit, ia menjadikan suaminya stres dan menjadikan keluarganya stres pula. Padahal anaknya tidak terkena apa-apa. Namun, ibunyalah yang bermasalah karena kelemahan iman dan akidahnya.
Kemudian, setelah itu, juga akan menjauhkan keluarga ini dari terjatuh ke dalam berbagai bentuk kesyirikan yang kecil dan kesyirikan yang besar, yang akan dapat menghapuskan amal, sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), tetapi Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. (An-Nisā’ [4]:48)
Wahai saudaraku sekalian …
Sesungguhnya mendidik keluarga di atas akidah tauhid ini akan menjadikan kecintaan Allah sebagai sebuah prioritas utama yang lebih dikedepankan atas kecintaan kepada selain-Nya, meskipun selain-Nya tersebut adalah suami atau istrinya.
Ketika kecintaan terhadap Allah bertolak belakang dengan kecintaan kepada istri atau suami, atau bertolak belakang dengan kecintaan kepada anak atau orang tua, maka manakah yang akan diprioritaskan oleh orang yang memiliki akidah yang jernih ? Manakah kiranya antara kedua hal ini yang akan diprioritaskan oleh orang yang telah tertanam di dalam dirinya akidah yang selamat ini ?
Namun, sungguh di antara hal yang dapat disaksikan -dan patut disayangkan- adalah bahwa pada galibnya yang terjadi di banyak keluarga adalah kecondongan cinta seorang suami atau istri tidak jarang mengantarkan seseorang kepada keburukan. Maka, boleh jadi Anda mendapatkan seorang wanita yang beriman kepada Allah, namun boleh jadi ia telah menikah dan sedemikian mencintai suaminya-terlebih ketika telah dikaruniai anak-ia lebih memprioritaskan cinta kepada suami dan anak-anak atas kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya. Bisa jadi pula, kadang Anda mendapati suami wanita ini seorang zindik, bisa jadi ia banyak melakukan penyimpangan, bisa jadi dalam bentuk mengolok-olok agama Allah, atau suaminya tersebut tidak melaksanakan shalat, atau hal-hal lainnya yang merupakan perkara yang dapat membatalkan keislaman seseorang Anda mendapati terjadi pada orang tersebut, sedangkan Anda dapati sang istrinya ini telah sedemikian menundukkan kepalanya kepada suaminya tersebut, sedangkan ia tidak menundukkan kepalanya kepada Dzat yang Esa, Dzat yang Maha Perkasa, maka ia tetap bertahan hidup di samping suaminya tersebut.
Demikian pula, seorang suami, boleh jadi di sisinya ada seorang wanita sebagai istrinya yang tidak mengerjakan shalat, namun tetap saja ia mempertahankannya di sisinya. Ia tidak mengedepankan kecintaan kepada Allah atas kecintaan kepada makhluk meskipun ia adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan dirinya.
Wahai saudaraku sekalian…!
Sesungguhnya kecintaan kepada Allah semata dan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam hal tersebut merupakan pondasi aturan keluarga, karena kesempurnaan kecintaan itu akan terwujud dengan beribadah kepada Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِ ۗ
Di antara manusia ada yang menjadikan (sesuatu) selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi-Nya) yang mereka cintai seperti mencintai Allah. (al-Baqarah : 165)
Maka, bila kecintaan kepada selain Allah lebih dikedepankan atas kecintaan kepada Allah sesungguhnya ini termasuk syirik besar. Sementara konsekwensi terbesar dari kecintaan kepada Allah adalah mentaati Allah dan mengikuti rasul-Nya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Āli ‘Imrān : 31)
Maka, kecintaan kepada Allah berkonsekuensi mendahulukan kecintaan kepada Allah dan mentaati Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam-atas ketaatan kepada makhluk meskipun ia adalah manusia yang paling dekat hubungannya dengan Anda, meskipun ia sebagai seorang ayah atau ibu, meskipun ia sebagai seorang suami atau istri, atau pun yang lainnya.
Inilah pondasi akidah tauhid. Maka, ketika akidah ini jernih dan selamat, akan menumbuh kembangkan keluarga dengan baik dan menjadi susunan yang benar.
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Aqidatu at-Tauhid Asasu al-Usrati Wa Qawamuha, Abdurrahman bin Shaleh al-Hamud, 1/6.
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Khutbah8 tahun ago
Waspadailah Sarana yang Mendekatkan pada Zina
-
Fatwa9 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
Fiqih Hisbah8 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Akhlak7 tahun ago
Riya & Sum’ah: Pamer Ibadah