Connect with us

Fiqih

Percaya Kata Dukun? Awas Kufur!

Published

on

Pada tulisan sebelumnya, telah kita bahas hukum mendatangi dukun walau sekedar bertanya tanpa mempercayai omongannya, maka pada pembahasan kali ini, Al Hisbah akan memaparkan beberapan dalil akan fatalnya masalah mendatangi dukun, menanyainya dan percaya dengan perkataannya.

Didalam sebuah hadits, dengan tegas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memperingatkan:

(من أتى عرافاً أو كاهناً فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم)

“Barangsiapa yang mendatangi peramal atau dukun, kemudian mempercayai apa yang mereka katakan, maka sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam”. (HR Ahmad dll)

Apa maksud dari kufur dengan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad? Yaitu kufur dengan Al Qur’an, karena didalam Al Qur’an dengan tegas Allah Ta’ala menyatakan bahwa tidak ada satupun yang mengetahui perkara ghaib selain-Nya, maka mempercayai dukun berarti tidak percaya dengan pernyataan Allah Ta’ala.

Namun sebagian masih belum puas, karena mereka melihat keajaiban pada dukun-dukun itu, karena apa yang mereka katakan itu benar-benar terjadi atau tepat, maka permasalahan ini sebenarnya pernah ditanyakan juga secara langsung kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, didalam sebuah hadits disebutkan:

عن عائشة رضي الله عنها قالت : سأل رسولَ الله صلى الله عليه وسلم ناسٌ عن الكهان فقال : ليس بشيء ، فقالوا : يا رسول الله إنهم يحدثونا أحياناً بشيء فيكون حقا ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : تلك الكلمة من الحق يخطفها من الجني فيقرها في أذن وليه فيخلطون معها مائة كذبة . رواه البخاري ( 5429 ) ومسلم ( 2228).

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: Orang-orang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perihal para dukun, maka beliau menjawab: “Jangan percayai mereka”, kemudian mereka berkata: Ya Rasulullah, terkadang mereka mengatakan sesuatu yang benar terjadi, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab: “Predikis mereka yang benar terjadi itu berasal dari jin yang membisikkan ketelinga pembantunya (dukun), yang kemudian ia campur dengan 100 kebohongan”. (HR Muslim)

Cermati hadits diatas, Nabi tidak menampik bahwa prediksi peramal itu bisa saja benar, namun beliau menyebutkan bahwa pengetahuan akan perkara ghaib itu sejatinya bukan berasal dari diri mereka sendiri, bahwasanya mereka adalah manusia yang mengetahui ilmu ghaib, namun mereka mendapatkannya dari para syetan, yang disebutkan didalam ayat dan hadist bahwa ia mencuri berita di langit, dan sudah maklum juga bahwa mereka mendapatkan layanan dari syetan tersebut bukan tanpa tanda jasa, namun mereka memberikan tumbal, sesajen, dan yang paling utama adalah menjadi hamba iblis dengan kufur kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya. Kemudian ditambah pula tidak semua prediksi dukun itu dapat terjadi, karena sedari awalnya telah dibumbui dengan banyak kebohongan pula dari syetan yang membawa kabar dari langit itu.

 

Jadi, meminta pertolongan dukun ini adalah perkara yang sangat berat didalam islam, karena untuk keluar dari masalah bukan berarti mencari jalan pintas, namun seyogyanya menambah kesabaran dan ketakwaan, sebagaimana janji Allah Ta’ala bagi mereka yang kesusahan namun tetap bertakwa:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS At Thalaq 2-3)

Karena pada hakikatnya yang mengujimu adalah Allah Ta’ala, maka hanya Dia lah yang dapat melapangkanmu kembali.

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Instagram @hisbahnet,
Chanel Youtube Hisbah Tv

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fatwa

Bagaimana Manusia Berhadapan dengan Bulan Puasa ? ***

Published

on

Bagaimana Manusia Berhadapan dengan Bulan Puasa ?

***

Alhamdulillah. Kita bersyukur kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-yang telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan puasa. Sungguh, ini bagian dari nikmatnya yang utama, karena di didalamnya terdapat banyak kebaikan yang beraneka ragam bentuknya. Bahkan, puasa pun yang merupakan bagian dari amal yang disyariatkan-Nya untuk mengisi waktu-waktu di siang harinya, mulai sejak terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari adalah merupakan bagian dari nikmat-Nya yang utama, karena ternyata amal ini banyak keutamaan dan keistimewaannya.

 

Namun demikian, bagaimana dengan kita, manusia ketika berhadapan dengan bulan puasa ini ? Apakah semua orang memiliki sikap yang sama ?

 

Mari kita baca tulisan berikut ini, mudah-mudahan Anda akan menemukan jawabannya.

 

Selamat membaca. Semoga Anda mendapatkan sejumlah manfaat darinya. Amin

***

Klasifikasi Manusia

Terkait dengan bulan Ramadhan, manusia terbagi menjadi beberapa macam :

 

Pertama, kelompok yang menunggu kedatangan bulan ini dengan penuh kesabaran. Ia bertambah gembira dengan kedatangannya, hingga ia pun menyingsingkan lengan dan bersungguh-sungguh mengerjakan segala macam bentuk ibadah, seperti ; puasa, shalat, sedekah, dan lain sebagainya. Ini merupakan kelompok yang terbaik.

 

Ibnu Abbas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-menuturkan, “Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ- adalah orang yang paling dermawan. Namun, beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan, ketika beliau ditemui Jibril. Setiap malam pada bulan Ramadhan, Jibril menemui beliau hingga akhir bulan. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ-membacakan al-Qur’an kepadanya. Bila beliau bertemu Jibril, beliau lebih berderma daripada angin yang bertiup.” (HR. al-Bukhari)

 

Kedua, kelompok yang sejak bulan Ramadhan datang sampai berlalu, keadaan mereka tetap sama saja seperti sebelum Ramadhan. Mereka tidak terpengaruh oleh bulan puasa itu serta tidak bertambah senang atau bersegera dalam hal kebaikan. Kelompok ini adalah orang-orang yang menyia-nyiakan keuntungan besar yang nilainya tidak bisa diukur dengan apa pun. Sebab, seorang muslim akan bertambah semangatnya pada waktu-waktu yang banyak terdapat kebaikan dan pahala di dalamnya.

 

Ketiga, kelompok yang tidak mengenal Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, kecuali pada bulan Ramadhan saja. Bila bulan Ramadhan datang, Anda dapat melihat mereka ikut rukuk dan sujud dalam shalat. Tetapi, bila Ramadhan berakhir, mereka kembali berbuat maksiat seperti semula. Mereka adalah kaum yang disebutkan kepada imam Ahmad dan Fudhil bin ‘Iyadh dan keduanya berkata, “Mereka adalah seburuk-buruk kaum lantaran tidak mengenal Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-kecuali pada bulan Ramadhan.”

 

Karena itu, setiap orang yang termasuk dalam kelompok ini semestinya tahu bahwa ia telah menipu dirinya sendiri dengan perbuatannya tersebut. Setan pun juga memperoleh keuntungan besar darinya. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

 

الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ  [محمد : 25]

 

Setan telah menjadikan mereka mudah (burbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (Muhammad : 25)

 

Sebagai bentuk ajakan dan peringatan untuk kelompok seperti mereka, hendaklah mereka bertaubat kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-dengan sebenar-benarnya taubat. Kami menghimbau agar mereka memanfaatkan bulan ini untuk kembali dan tunduk kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-serta meminta ampun dan meninggalkan perbuatan buruk yang telah lalu. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى  [طه : 82]

 

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha : 82)

 

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا  [الفرقان : 70]

 

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Furqan : 70)

 

Bila Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-telah mengetahui ketulusan dan keikhlasan mereka, maka Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-akan memaafkan mereka sebagaimana yang Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-janjikan. Karena, Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak akan mengingkari janji-Nya. Namun, bila mereka tetap saja berbuat maksiat, maka kita harus mengingatkan perbuatan mereka, dan menyampaikan bahwa mereka dalam bahaya besar. Bahaya macam apalagi yang lebih besar daripada meremehkan kewajiban, batasan-batasan, perintah, dan larangan-Nya.

 

Keempat, kelompok yang hanya perutnya saja yang berpuasa dari segala macam makanan, namun tidak manahan diri dari selain itu. Anda akan melihatnya sebagai orang yang paling tidak berselera terhadap makanan dan minuman. Akan tetapi, mereka tidak merasa gerah ketika mendengar kemungkaran, ghibah, adu domba, dan penghinaan. Bahkan, inilah kebiasaannya pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya.

Kepada orang seperti ini, perlu kita sampaikan bahwa kemaksiatan pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya itu diharamkan, tetapi lebih diharamkan lagi pada bulan Ramadhan, menurut pendapat sebagian ulama. Dengan kemaksiatan tersebut berarti mereka telah menodai puasa dan menyia-nyiakan pahala yang banyak.

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ia berkata, Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ-bersabda,

 

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

 

“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka tidak ada kebutuhan bagi Allah terhadap tindakan orang yang meninggalkan makan dan minumnya.”

(HR. al-Bukhari dan Abu Dawud)

 

Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-juga bersabda,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَ الشُّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ

 

“Puasa itu bukan sekedar menahan makan dan minum, tetapi puasa itu adalah meninggalkan perbuatan sia-sia dan perkataan keji” (HR. Ibnu Khuzaimah)

 

Kelima, kelompok yang menjadikan siang hari untuk tidur, sedangkan malam harinya untuk begadang dan main-main belaka. Mereka tidak memanfaatkan siangnya untuk berdzikir dan berbuat kebaikan, tidak pula membersihkan malamnya dari hal-hal yang diharamkan.

Kepada orang-orang seperti ini perlu kita sampaikan agar mereka takut kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berkenaan dengan diri mereka. Janganlah menyia-nyiakan kebaikan yang datang kepada mereka. Mereka telah hidup sejahtera dan makmur. Hendaklah mereka bertaubat kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-dengan taubat nasuha dan bergembira dengan berita dari Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-yang menyenangkan.

 

Keenam, kelompok yang tidak mengenal Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lainnya. Mereka adalah kelompok yang paling buruk dan berbahaya. Anda akan  melihat  mereka tidak memperhatikan shalat atau puasa. Mereka meninggalkan kewajiban itu secara sengaja, padahal kondisinya sehat dan segar bugar. Setelah itu mereka mengaku sebagai orang Islam. Padahal, Islam sangat jauh dari mereka, bagaikan jauhnya Barat dan Timur. Orang-orang Islam pun berlepas diri dari mereka.

 

Kepada orang-orang semacam ini perlu dikatakan, “Segeralah bertaubat dan kembalilah kepada agama kalian. Lipatlah lembaran hitam hidup kalian. Sesungguhnya, Rabb kalian Maha Penyayang kepada siapa saja yang mentaati-Nya, dan sangat keras siksanya kepada orang yang mendurhakai-Nya.”

 

Demikianlah, klasifikasi manusia secara global berkaitan dengan bulan Ramadhan (bulan puasa). Meski mungkin sebagian kelompok masuk pada kelompok lainnya, namun ini perlu dijelaskan.

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Mukhalafat Ramadhan, Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan, ei, hal. 25-29

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: MDH tv (Media Dakwah Hisbah )
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Jagalah Shalat…Jagalah Shalat (bag.2)

Published

on

Artikel Sebelumnya Jagalah Shalat…Jagalah Shalat (bag.1)

Jagalah shalat…Jagalah shalat !

Ini adalah wasiat Nabi kita, ia termasuk ke dalam sabda terakhir yang diisimak dari beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

Wahai orang-orang yang mencintai Nabi, jagalah shalat, jagalah shalat, ini adalah wasiat dan pesan beliau kepada kalian.

 

Dalam Musnad imam Ahmad [1] dengan sanad yang jayyid, bahwa pada suatu hari shalat disebut-sebut di depan Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-maka beliau bersabda,

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا وَبُرْهَانًا وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ وَلَا بُرْهَانٌ وَلَا نَجَاةٌ وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ

 

“Barang siapa menjaga shalat, maka ia menjadi cahaya, bukti, dan keselamatan untuknya pada hari Kiamat. Dan barangsiapa tidak menjaganya, maka dia tidak mempunyai cahaya, bukti, dan keselamatan, dan pada Hari Kiamat dia bersama Qarun, Fir’aun, Haman dan Ubay bin Khalaf.”

 

Maksudnya, orang yang meninggalkan shalat, yang tidak menjaganya akan dikumpulkan pada hari Kiamat bersama para dedengkot kekafiran dan para penopang kebatilan.

 

Dalam shahih Muslim [2], dari Jabir bin Abdullah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا -, bahwa Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

 

“Sesungguhnya (perbedaan) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”

 

Dalam al-Musnad [3] dari Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, bahwa beliau bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

 

“Perjanjian yang (membedakan) antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya, maka sungguh dia telah kafir.”

 

Dalam shahih al-Bukhari [4], dari Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bahwa beliau bersabda,

مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذَلِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِي لَهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ فَلَا تُخْفِرُوا اللَّهَ فِي ذِمَّتِهِ

 

“Barang siapa mendirikan shalat kami, menghadap kiblat kami, dan memakan sembelihan kami, maka dialah Muslim yang mendapatkan jaminan Allah dan jaminan Rasul-Nya, maka janganlah kalian membatalkan jaminan Allah.”

 

Hadis-hadis dalam bab ini berjumlah banyak.

 

Wahai orang-orang yang mengikuti Nabi dan mencintai beliau, bertakwalah kepada Allah. Jagalah wasiat beliau. Ingatlah sabda beliau di saat-saat akhir dalam kehidupan beliau, dan pada saat beliau mengucapkan selamat tinggal kepada umat,

اَلصَّلَاةَ اَلصَّلَاةَ

“Jagalah shalat, jagalah shalat.”

 

Lihatlah kepada sirah orang-orang yang mencintai Nabi dengan benar, generasi pertama umat ini. Betapa suci perjalanan hidup tersebut.

 

Imam Muslim meriwayatkan di dalam shahihnya [5] dari Abdullah bin Mas’ud-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, dia berkata,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ

 

“Barang siapa ingin berbahagia bertemu dengan Allah besok hari dalam keadaan Muslim, maka hendaklah dia menjaga shalat-shalat di mana dikumandangkan adzan padanya, karena sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah seperti shalatnya orang yang tertinggal (dari shalat berjama’ah) ini, niscaya kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Dan jika kalian meninggalkan Sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan tersesat. Tidaklah seorang laki-laki yang bersuci lalu dia melakukannya dengan baik kemudian dia berangkat ke salah satu masjid di antara masjid-masjid yang ada, melainkan Allah menulis untuknya satu kebaikan dengan setiap langkah yang dilangkahkannya dan mengangkat satu derajat dengannya serta menghapus satu keburukan dengannya. Aku telah melihat kami-yakni para sahabat Nabi- tidak ada yang meninggalkan shalat berjama’ah (yaitu shalat berjama’ah di masjid-masjid) kecuali pasti dia seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya. Dan sungguh seseorang (dari kami) dipapah dan dihadirkan, sehingga akhirnya diberdirikan di shaf.”

 

Perhatikanlah sebuah potret yang cemerlang dan keadaan yang membanggakan dari para sahabat Nabi yang mulia. Mereka memahami sunnah beliau, mengerti wasiat beliau, mereka merealisasikan ittiba’ dan keteladanan kepada beliau. Seorang laki-laki dari mereka dihadirkan ke shaf dengan dipapah oleh dua orang, keduanya membantunya dari kedua sisinya sehingga dia bisa diberdirikan di shaf, sementara fakta keadaan mayoritas orang yang kurang menghargai shalat itu sering dilalaikan oleh perkara sepele sehingga mereka berani mengorbankan shalat jamaah.

 

Ingatlah, hendaklah kita semua bertakwa kepada Allah dalam urusan shalat dengan menjaganya, mendirikannya, memelihara rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, dan wajib-wajibnya. Shalat adalah perkara pertama yang akan diminta pertanggungjawabannya dari seorang hamba pada hari Kiamat, bila shalatnya diterima maka diterimalah amal-amalnya yang lain, dan bila shalatnya tertolak, maka tertolaklah amal-amalnya yang lain.

 

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendirikan shalat dan yang mengikuti Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

Ya Allah, bangkitkanlah kami dalam rombongan Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan di bawah panji beliau. Bimbinglah kami untuk mengikuti beliau, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan.

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Ta’zhimu ash-Shalati, Prof.Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal.18-20.

Catatan :

[1] Musnad Ahmad, no. 6576. Syaikh Ibnu Baz berkata, “Sanadnya hasan.” Majmu’ al-Fatawa milik beliau, 10/278.

[2] Shahih Muslim, no. 82

[3] Musnad Ahmad, no. 22937; diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2621 dan Ibnu Majah, no. 1079 : dari hadis Buraidah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-.Dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih at-targhib, no. 564.

[4] Shahih al-Bukhari, no. 391 dari Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-.

[5] Shahih Muslim, no. 654.

About Author

Continue Reading

baru

Jagalah Shalat…Jagalah Shalat (bag.1)

Published

on

Sesungguhnya di antara musibah paling besar, paling berat dan paling agung yang menimpa umat adalah musibah wafatnya Nabi yang mulia-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang Allah telah memberikan nikmat kepada umat manusia dengan adanya pengutusan beliau. Beliau adalah penunjuk jalan umat ke Surga, pembimbing mereka kepada segala kemuliaan, dan imam dalam semua kebaikan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا  [الأحزاب : 21]

Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah dengan banyak.” (al-Ahzab : 21)

Peristiwa besar wafatnya Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ini, mengandung banyak nasehat dan pelajaran yang beraneka ragam, kita patut berhenti padanya untuk merenungkannya. Dan salah satu nasihat dan pelajaran terbesarnya adalah berkenaan dengan ibadah shalat dan kedudukannya yang penting. Sebuah nasehat dan pelajaran yang mendalam, menyentuh hati sanubari yang disarikan dari kejadian besar dan peristiwa yang agung tersebut.

Shalat terakhir yang Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dirikan bersama orang-orang Mukmin adalah shalat Zhuhur pada Hari Kamis, kemudian semakin beratlah sakit yang beliau derita sehingga selama tiga hari beliau tidak mampu pergi ke masjid untuk shalat karena parahnya sakit tersebut, yaitu Hari Jum’at, Sabtu dan Ahad. Yang menggantikan posisi beliau di dalam shalat sebagai imam kaum Muslimin adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Pada Shubuh Hari Senin –yaitu hari di mana beliau wafat, beliau membuka kain kelambu di kamar Aisyah untuk memandang para sahabat, pandangan perpisahan, dan betapa beratnya perpisahan tersebut. al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahih keduanya [1] dari Anas bin Malik-رَضِيَ اللهُ عَنْهٌ-,

“Bahwa Abu Bakar mengimami shalat orang-orang pada masa Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sakit yang akhirnya beliau wafat padanya. Manakala Hari Senin tiba, sementara orang-orang sedang berbaris di dalam shalat, Nabi membuka kain kelambu kamar, beliau memandang kepada kami dalam keadaan  berdiri, wajah beliau seperti kertas mushaf, kemudian beliau tersenyum tertawa, kami hampir batal (di dalam shalat tersebut) karena kami berbahagia melihat Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, lalu Abu Bakar melangkah mundur untuk mencapai shaf (depan), dia menyangka Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- akan keluar untuk shalat, namun beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-memberi isyarat kepada kami agar kami menyempurnakan shalat. Beliau menurunkan kain kelambu lalu pada hari itulah beliau wafat.”

Hendaknya kita merenung untuk mengambil nasihat dan pelajaran. Inilah nabi kita -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang memandang umat beliau di masjid dengan pandangan perpisahan. Beliau memandang dengan pandangan yang  menjadi sumber kebahagiaan beliau, di mana shalat adalah sumber kebahagiaan bagi beliau. Allah membuat beliau berbahagia di pagi hari yang beliau wafat padanya dengan melihat umat beliau berkumpul di masjid untuk mendirikan shalat. Beliau tersenyum tertawa. Sungguh sebuah senyuman kebahagiaan dan ketentraman, tertawa bahagia dan gembira dengan sebab beliau melihat umat beliau yang berkumpul di masjid mendirikan shalat. Nabi menurunkan kain kelambu dengan penuh kebahagiaan karena menyaksikan pemandangan yang  membahagiakan dan potret yang membuat mata beliau berbinar. Umat beliau, umat Islam, berkumpul di masjid mendirikan shalat. Allah membahagiakan beliau dengan pemandangan yang membahagiakan dan potret yang membuat mata beliau berbinar.

Urusan shalat tidak berhenti sampai batas ini pada saat-saat terakhir dari kehidupan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Ali-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –berkata sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam al-Musnad [2] dengan sanad yang shahih,

كَانَ آخِرُ كَلَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ اتَّقُوا اللَّهَ فِيمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Akhir perkataan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- adalah ‘(Jagalah) shalat. (Jagalah) shalat. Bertakwalah kalian kepada Allah berkenaan dengan hamba sahaya kalian’.”

Bahkan ada sabda beliau yang lebih mendalam daripada ini di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya [3] dengan sanad yang shahih dari Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -, dia berkata,

كَانَتْ عَامَّةُ وَصِيَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حِيْنَ حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ وَهُوَ يُغَرْغِرُ بِنَفْسِهِ ( اَلصَّلَاةَ . وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ )

“Kebanyakan wasiat Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pada saat ajal kematian datang kepada beliau sementara nafas beliau tersendat-sendat adalah, ‘(Jagalah) shalat dan (bertakwalah kepada Allah) berkenaan dengan hamba sahaya kalian’.”

Dalam riwayat Ummu Salamah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا –istri  Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-

أَنَّهُ كَانَ عَامَّةُ وَصِيَّةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ مَوْتِهِ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيضُ بِهَا لِسَانُهُ

Kebanyakan wasiat Nabi Allah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjelang wafat, ‘(Jagalah) shalat, (jagalah) shalat, dan (bertakwalah kepada Allah) berkenaan dengan hamba sahaya kalian.’ Sampai-sampai Nabi Allah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-  menggumamkannya di dalam dada beliau, sementara lidah beliau tidak mengungkapkannya secara jelas.” [4]

Ini tanpa disangsikan, menunjukkan kepada kita akan besarnya kedudukan shalat di dalam agama Islam, dan begitu besarnya perhatian Nabi kita -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kepada shalat. Siapa yang membaca hadis-hadis beliau yang mulia dan wasiat-wasiat beliau yang luhur dalam kehidupan beliau seluruhnya, maka dia akan mengetahui nilai shalat dan kedudukannya di dalam Islam.

Di antara bukti atas besar dan pentingnya kedudukan shalat adalah bahwa ia dikhususkan di antara kewajiban-kewajiban Islam dan keumuman ketaatan lainnya, yaitu bahwa Allah memi’rajkan NabiNya ke langit yang ketujuh, di sana, di langit yang ketujuh Allah mewajibkan shalat kepada beliau. Beliau mendengar perintah dan ketetapan Allah secara langsung tanpa ada perantara. Pertama kali diwajibkan sebanyak 50 shalat atas beliau, lalu beliau memohon kepada Allah agar meringankannya, sehingga ia diringankan jadi lima waktu. Maka jumlah shalat Fardhu adalah lima, namun lima puluh dalam pahala, sementara ketaatan-ketaatan yang umum, kewajiban-kewajiban dan ibadah-ibadah yang lain dibawa turun oleh Malaikat Jibril ke bumi, dialah yang mewahyukannya kepada Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan menjelaskannya. Ini membuktikan kepada kita akan agungnya kedudukan shalat.

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Ta’zhimu ash-Shalati, Prof.Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal.14-18.

 

Catatan :

[1] Al-Bukhari, no. 680 dan Muslim, no. 419

[2] Musnad Ahmad, no. 585, diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5155 dan Ibnu Majah, no. 2698, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih al-Jami’, no. 4616.

[3] no. 2697 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 2178.

[4] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 26483, 26684 dan an-Nasai dalam al-Kubra, no. 7060, sanadnya dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’, 7/238.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending