Connect with us

baru

Puasa Wanita Hamil dan Menyusu

Published

on

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ اَلْكَعْبِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُوْلَ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ: “إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ. وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوْ الصِّيَامَ” [أَخْرَجَهُ أَصْحَابُ السُّنَنِ، وَهَذَا لَفْظُ ابْنِ مَاَجَةَ، وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِي].

Dari Anas bin Malik al-Ka’biy –semoga Allah meridhainya- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “sesungguhnya Allah azza wajalla menggugurkan (kewajiban) separuh shalat. Dan Dia menggugurkan (kewajiban) puasa dari orang-orang yang tengah bepergian, wanita hamil, dan wanita yang tengah menyusui.   (HR. Para pengarang kitab sunan, dan ini adalah redaksi milik Ibnu Majah, dan dihasankan oleh at-Tirmidzi) [1]

*                      *                      *

Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa wanita yang tengah hamil dan menyusui mendapatkan rukhshah (keringanan/dispensasi) untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dan bahwa Allah menanggalkan kewajiban puasa pada keduanya. Ini termasuk bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNya. Karena boleh jadi seorang wanita yang tengah dalam keadaan hamil merasa khawatir atas dirinya karena beratnya berpuasa. Atau, ia mengkhawatirkan terhadap janin yang tengah dikandungnya yang telah menjadi bagian dari dirinya. Dimana asupan makannya adalah melalui dirinya sementara ia terus bersama dengannya. Atau, boleh jadi ia mengkhawatirkan terhadap dirinya dan juga terhadap janin yang tengah dikandungnya.

Demikian pula halnya keadaan seorang wanita yang tengah menyusui, boleh jadi seorang wanita mengkhawatirkan dirinya atau menghawatirkan bayi yang tengah disusuinya atau mengkhawatirkan dirinya dan juga menghawatirkan bayi yang tengah disusuinya tersebut.

Mayoritas ulama perpendapat bahwa wanita yang hamil dan menyusui jika tidak berpuasa karena menghawatirkan atas dirinya atau mengkhawatirkan diri dan anaknya, maka ia berkewajiban untuk mengqodha sejumlah puasa yang ditinggalkannya kapan ia mendapati kemudahan untuk itu dan telah hilang darinya rasa khawatirnya. (Hukumnya) seperti halnya orang yang sakit jika telah sembuh. Tidak ada kewajiban membayar fidyah atasnya dalam kondisi demikian ini. Karena keduanya seperti halnya orang yang tengah sakit. Allah ta’ala berfirman,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka barangsiapa di antara kalian sakit atau tengah bepergian (kemudian tidak berpuasa) maka hendaknya ia menggantinya pada hari-hari lainnya [2]

Berkata (Ibnu Qudamah al-Maqdisi) di dalam al-Mughniy,’ kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama, karena wanita hamil dan menysui posisinya seperti orang yang tengah sakit yang mengkhawatrikan dirinya. Dan demikian juga imam an-Nawawi berkata. [3] Dengan demikian yang dimaksudkan dalam hadis ini adalah menanggalkan (kewajiban) pelaksanaan bukan menanggalkan kewajiban untuk mengqadha ; karena beliau menyebut orang yang tengah bepergian, di mana Allah menanggalkan darinya pelaksanaannya saja.

Dan jika wanita yang tengah hamil dan menyusui mengkhawatirkan anaknya, tidak menghawatirkan terhadap dirinya maka keduanya boleh untuk tidak berpuasa namun keduanya berkewajiban untuk mengqodha berdasarkan pendapat Jumhur ; karena keduanya mampu untuk melakukan qadha. Tidak diketahui di dalam syariat gugurnya kewajiban mengqadha dari orang yang mampu melakukannya. Sedangkan Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Sa’id bin Jubair, Qatadah, Sa’id bin Musayyib memfatwakan bahwa wanita yang tengah hamil dan menyusui tidak berkewajiban untuk mengqadha. Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, (wanita yang hamil dan menyusui) berkewajiban melakukan qodha pada waktu mampu melakukannya. Pendapat ini selaras dengan pendapat Jumhur [4]

Adapun fidyah, mengenai kewajiban untuk mengeluarkannya terdapat perbedaan pedapat di antara para ulama. Sebagian ulama mewajibkannya karena masuk dalam cakupan firmanNya,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin [5]

Karena makna ayat ini adalah “dan atas orang yang mampu untuk berpuasa (sementara ia tidak melakukannya) maka ia berkewajiban untuk membayar fidyah berupa memberi makan orang miskin untuk setiap hari dari hari-hari puasa yang diwajibkan atas mereka.” Sedangkan wanita hamil dan menyusui sejatinya mampu untuk berpuasa hanya saja keduanya menghawatirkan anaknya. Di antara sahabat yang berpendapat demikian adalah Abdullah bin Abbas dan Ibnu Umar.  Ibnu Qudamah mengatakan, ‘dan tidak diketahui adanya sahabat lainnya yang menyelesihi (pendapat) keduanya.[6] Dan, ini adalah mazhab Hanabilah dan Syafi’iyyah yang masyhur, Malikiyah di dalam salah satu riwayat. Sa’id bin Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas (mengenai penafsiran firmanNya)

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Ia mengatakan, “ayat ini merupakan rukhshah (keringanan/dispensasi) yang diberikan kepada seorang lelaki dan wanita yang telah lanjut usia di mana mereka mampu untuk berpuasa untuk tidak berpuasa dan memberikan makan kepada orang miskin sebagai ganti atas puasa yang ditinggalkannya setiap harinya, dimikian juga bagi wanita yang tengah hamil dan menyusui bila keduanya khawatir.  Abu Dawud mengatakan,’ (jika mengkhawatirkan terhadap) anaknya maka keduanya tidak berpuasa dan memberikan makan.[7]

Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang wanita yang tengah hamil bila menghawatirkan anaknya, maka beliau mengatakan, “ia boleh untuk tidak berpuasa dan memberi makan (orang miskin) sebagai ganti setiap puasa yang ditinggalkan setiap harinya sebanyak satu mud berupa gandum [8]

Sebagian ulama yang lainnya berpendapat, “keduanya (yakni, wanita yang tengah hamil dan menyusui) tidak terkena kewajiban membayar fidyah (memberi makan). Dan ini merupakan pendapat sebagian kalangan tabi’in dan merupakan madzhab Abu Hanifah, Malikiyah dalam salah satu riwayat ; (Alasannya) karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak menyebutkan bahwa keduanya wajib membayar fidyah ketika beliau menghabarkan bahwasanya Allah menanggalkan kewajiban puasa atas keduanya, disamping itu oleh karena hal tersebut merupakan tindakan berbuka (tidak berpuasa) yang diperbolehkan karena adanya suatu uzur. Oleh karennya, tidak ada kewajiban atasnya untuk membayar fidyah seperti berbukanya orang yang tengah sakit.

Sedangkan mengambil pendapat Jumhur, yaitu, “qadha “ lebih barhati-hati dan lebih membebaskan seseorang dari kewajiban ibadah yang agung ini.[9]

Wallahu a’lam

 

Sumber :

Diterjemahkan dari Ahaadiitsu ash-Shiyam; Ahkaamun Wa Aadaabun, Abdullah bin Sholeh al-Fauzan.

Amar Abdullah bin Syakir

 

[1] HR. Abu Dawud 7/45, at-Tirmidzi 3/401, an-Nasai 4/190, Ibnu Majah 1/533. At-Tirmidzi berkata : hadis hasan. al-Hafizh telah menukilnya di dalam at-Tahzhib 1/33 bahwa at-Tirmidzi telah menshahihkannya. Dengan demikian, maka diambil faedah tambahan akan keshahihan hadis ini dari apa yang dinukil oleh al-Hafizh (lihat, Tafsir ath-Thabariy / tahqiq : Ahmad Syakir 3/4387. Dan al-Albani berkata di dalam takhrij al-Misykah 2025 : sanadnya jayyid

[2] Qs. Al-Baqarah : 184

[3]Al-Mughniy 4/394, Syarh al-Muhadzab 6/267

[4] Lihat, Sunan al-Kubra karya imam al-Baihaqiy 4/230 dan Mushannaf Abdurrazzaq 4/218

[5]Qs. Al-Baqarah : 184

[6]Al-Mughniy, 4/394

[7]HR. Abu Dawud 6/431 dan isnadnya shahih.

[8] HR. Al-Baihaqiy di dalam Sunan al-Kubra 4/230 dari jalur imam Asy-Syafi’i dan sanadnya shahih.

[9] Lihat, Asy-Syarh al-Mumti’, 6/362

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Jangan Sampai Puasa Tidak Berpahala Karena Lidah Masih Terus Bermaksiat

Published

on

By

Ibadah Puasa memiliki pahala yang sangat besar di sisi Allah Ta’ala, terlebih Puasa Ramadhan, karena hukumnya wajib, dan amalan wajib lebih berpahala daripada yang sunnah, dan yang wajib tidak boleh ditinggalkan, jika tertinggal maka harus diganti (qadha).

Namun dalam pelaksanaannya, menunaikan ibadah puasa ramadhan bukan hanya dengan tidak melakukan pembatalnya, seperti makan/minum dan berhubungan badan, dll.

Namun dalam berpuasa, seseorang juga harus menahan dirinya dari maksiat-maksiat lainnya meski itu tidak membatalkan dan puasanya tetap sah.

Dan diantara maksiat-maksiat itu adalah dosa-dosa lisan, seperti berbohong, menghina, menghibah dan lain sebagainya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

 

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan dari mengerjakannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari)

 

Dan beliau bersabda:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

 

“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia  dan perkataan tidak sopan. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau mengganggumu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim)

 

Jadi, tujuan dari puasa itu adalah mendidik seseorang untuk menjadi lebih baik dengan mampu menahan seluruh hawa nafsunya, bukan hanya sekedar kuat tidak makan dan minum seharian.

 

Maka, raihlah di bulan ramadhan ini pahala sebanyak-banyaknya dan raihlah ampunan Allah Ta’ala.

Dan jadikan ramadhan ini momen untuk berubah, karena mungkin berubah menjadi baik pada bulan-bulan sebelumnya sulit, sedangkan pada bulan ini lebih mudah karena kondisi yang mendukung, yaitu ketika semua orang berusaha menahan dirinya dan memperbanyak ibadahnya serentak dalam satu waktu.

 

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menaungi kita semua dengan taufik dan hidayah-Nya.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Puasa, Agar Kamu Bertakwa

Published

on

“Allah memiliki banyak rahasia di dalam hukum-hukum ibadah, yang tak diketahui oleh akal secara rinci, meski akal mengetahuinya secara global.”

(Ibnul Qayyim)

***

Kenapa Kita Berpuasa ?

 

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-mewajibkan puasa kepada kita, dan mewajibkannya di dalam kitab-Nya yang mulia. Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  [البقرة : 183]

 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Al-Baqarah : 183)

 

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-juga menegaskan kewajiban puasa melaui lisan Nabi-Nya-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-:

 

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

 

“Islam didirikan di atas lima (rukun) ; yakni, bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan sebenarnya) melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan puasa Ramadhan.” (Muttafaq ‘Alaih)

 

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-mewajibkan puasa Ramadhan, memberikan pahala bagi orang yang berpuasa, dan mengancam orang yang dengan sengaja tidak berpuasa, karena orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat nanti masuk Surga melalui pintu yang khusus hanya untuk mereka saja, namanya pintu Ar-Rayyan :

 

أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

 

“Dikatakan, ‘Manakah orang-orang yang berpuasa ?’ Mereka kemudian berdiri (lalu masuk Surga), tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu itu selain mereka. Ketika mereka sudah masuk, pintu itu ditutup, tidak ada seorang pun yang masuk melaluinya.” (Muttafaqun ‘Alaih)

 

Inilah pahala orang yang berpuasa…

 

Lalu, kenapa kita harus berpuasa ?

Apakah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-menginginkan kita lapar dan dahaga, melelahkan tubuh kita dengan dahaga dan tidak makan ?

Apakah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-menginginkan kita menahan diri dari semua hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari saja ?

Atau, apakah di balik syariat puasa ini terdapat banyak rahasia, tujuan, hikmah dan faedah ?

 

Mengingat yang mewajibkan kita berpuasa adalah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, karena itulah Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-tidak mensyariatkan suatu perintah pun kepada seorang mukmin, melainkan di baliknya pasti terdapat banyak rahasia besar dan faedah-faedah besar yang diketahui oleh orang yang mengetahuinya, dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya.

 

Agar Kamu Bertakwa

Al-Qur’anul Karim secara nash menyebutkan bahwa di antara tujuan utama puasa dan di antara maksudnya yang luhur adalah mewujudkan takwa. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  [البقرة : 183]

 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (al-Baqarah : 183)

 

Seakan, Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman, “Berpuasalah kamu, niscaya kamu bertakwa.”

Ayat ini menyelipkan sebuah isyarat dan petunjuk yang jelas, bahwa hanya sekedar beriman kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-sebagai Rabb saja tidaklah mendatangkan ketakwaan bagi seorang mukmin. Akan tetapi selain dengan iman, harus dibarengi penerapan, baik dalam bentuk ucapan atau pun perbuatan, dan menjalankan ibadah-ibadah yang dapat mewujudkan takwa. Dan di antara ibadah-ibadah paling mulia yang dapat mewujudkan takwa adalah ibadah menahan diri dari segala syahwat (puasa), dan mendekatkan diri kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dengan meninggalkan makan, minum dan syahwat.

 

Bulan puasa adalah kempatan yang tepat sekali untuk merealisasikan tujuan itu, karena orang yang berpuasa itu menjalani kondisi spiritual yang transparan dan kebahagiaan iman yang sempurna, karena ia dekat dengan Allah ta’ala, dan jiwanya siap untuk berinteraksi dengan takwa.

 

Apakah Takwa Itu ?

Pertanyaannya, apakah takwa yang ingin dicapai dari pelaksanaan ibadah puasa ?

 

Takwa adalah menjaga diri dengan menjalankan ketaatan kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, agar terhindar dari hukuman-Nya.

 

Ketika kita merujuk sejarah kita yang penuh dengan ilmu, kita akan menemukan ragam redaksi orang-orang shalih dalam menyebutkan dan mendefinisikan takwa.

 

Menurut Umar bin Abdul Aziz-رَحِمَهُ اللهُ-, takwa adalah menjalankan perintah dan meninggalkan larangan. Takwa bukanlah banyaknya puasa atau pun lamanya berdiri shalat malam.

 

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia medefinisikan takwa lalu berkata, “Takwa adalah takut kepada Tuhan Yang Maha Luhur, mengamalkan al-Qur’an, menerima rizki yang sedikit, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian.”

 

Ubay bin Ka’ab-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-menjelaskan takwa agar lebih mudah dipahami. Suatu ketika, al-Faruq-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bertanya kepadanya tentang takwa, ‘Apakah takwa itu ?’ Lalu Ubay menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin ! Apakah engkau pernah berjalan di suatu jalan yang ada durinya pada suatu hari ?’ Ya, pernah’, jawab Umar. Ubay kembali berkata, ‘Lalu apa yang engkau lakukan ?’ Umar menjawab, ‘Aku mengangkat bajuku, agar aku bisa melihat letakan pijakan kakiku’. Ubay kemudian berkata, ‘Itulah takwa.’

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.30-32.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Kewajiban Puasa Ramadhan Bagi Anak yang Sudah Baligh

Published

on

Bulan suci ramadhan tinggal beberapa hari saja, dan adalah sebuah nikmat yang besar ketika seseorang dipanjangkan umurnya oleh Allah Ta’ala sehingga dapat menjalankan ibadah puasa.
Demikian karena pada bulan puasa pahala akan dilipatgandakan dan dosa-dosa akan mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu Alaihi waSallam:

إذَا كَانَ أوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِيْنُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أبْوَابُ الجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِيْ مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

Artinya: Jika awal Ramadhan tiba, maka setan-­setan dan jin dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Sedangkan pintu-pintu surga dibuka, dan tidak satu pintu pun yang ditutup. Lalu ada seruan (pada bulan Ramadhan): Wahai orang yang menginginkan kebaikan, datanglah. Wahai orang yang ingin kejahatan, tahanlah dirimu. Pada setiap malam Allah ta’ala memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka (HR Tirmidzi).

Dan sabda-Nya:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena Iman dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari dan Muslim).

Puasa Ramadan salah satu syarat wajibnya adalah baligh, maka bagi para orangtua agar betul memperhatikan perkembangan anak, sudah wajib puasa atau belum.
Untuk mengetahuinya, ada 3 tanda baligh, salah satunya saja sudah ada, maka sudah baligh, yaitu:
1- Mimpi Basah
2- Tumbuhnya bulu kemaluan
3- Jika satu atau kedua tanda tidak kunjung muncul, maka batas akhir seorang anak pasti sudah baligh adalah umurnya sudah mencapai 15 tahun hijriyah.

Perhatikan, hitungannya adalah dengan tahun hijriyah bukan masehi, maka artinya seorang anak berusia 15 tahun lebih cepat dari hitungan masehi yang mana kita terbiasa dengannya itu perhitungan ulang tahun.

Jadi, ini menjadi salah satu tugas orangtua dalam mendidik anaknya dengan Islam.

Maka, menjelang kedatangan bulan ramadan pastikan status anak, apakah sudah wajib puasa atau belum.
Karena jika ternyata sudah baligh namun tidak puasa, maka sudah akan menanggung dosa karena sudah mukallaf.
Dan bukan hanya sebelum, di pertengahan bulan ramadan seorang anak juga bisa jadi baligh di saat itu.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.[QS at-Tahrîm:6]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Para ahli fiqih berkata: ‘Demikian juga (anak-anak dilatih) tentang puasa, agar hal itu menjadi latihan baginya untuk melaksanakan ibadah, supaya dia mencapai dewasa dengan selalu melaksanakan ibadah dan ketaatan, serta menjauhi kemaksiatan dan meninggalkan kemungkaran, dan Allâh Yang Memberikan taufiq”. (Tafsir Ibnu Katsîr, surat at-Tahrîm ayat ke-6)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menuntun kita ke amal salih dan menerima pahalanya.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending