Puasa Wanita Hamil dan Menyusu

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ اَلْكَعْبِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُوْلَ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ: “إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ. وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوْ الصِّيَامَ” [أَخْرَجَهُ أَصْحَابُ السُّنَنِ، وَهَذَا لَفْظُ ابْنِ مَاَجَةَ، وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِي].

Dari Anas bin Malik al-Ka’biy –semoga Allah meridhainya- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “sesungguhnya Allah azza wajalla menggugurkan (kewajiban) separuh shalat. Dan Dia menggugurkan (kewajiban) puasa dari orang-orang yang tengah bepergian, wanita hamil, dan wanita yang tengah menyusui.   (HR. Para pengarang kitab sunan, dan ini adalah redaksi milik Ibnu Majah, dan dihasankan oleh at-Tirmidzi) [1]

*                      *                      *

Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa wanita yang tengah hamil dan menyusui mendapatkan rukhshah (keringanan/dispensasi) untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dan bahwa Allah menanggalkan kewajiban puasa pada keduanya. Ini termasuk bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNya. Karena boleh jadi seorang wanita yang tengah dalam keadaan hamil merasa khawatir atas dirinya karena beratnya berpuasa. Atau, ia mengkhawatirkan terhadap janin yang tengah dikandungnya yang telah menjadi bagian dari dirinya. Dimana asupan makannya adalah melalui dirinya sementara ia terus bersama dengannya. Atau, boleh jadi ia mengkhawatirkan terhadap dirinya dan juga terhadap janin yang tengah dikandungnya.

Demikian pula halnya keadaan seorang wanita yang tengah menyusui, boleh jadi seorang wanita mengkhawatirkan dirinya atau menghawatirkan bayi yang tengah disusuinya atau mengkhawatirkan dirinya dan juga menghawatirkan bayi yang tengah disusuinya tersebut.

Mayoritas ulama perpendapat bahwa wanita yang hamil dan menyusui jika tidak berpuasa karena menghawatirkan atas dirinya atau mengkhawatirkan diri dan anaknya, maka ia berkewajiban untuk mengqodha sejumlah puasa yang ditinggalkannya kapan ia mendapati kemudahan untuk itu dan telah hilang darinya rasa khawatirnya. (Hukumnya) seperti halnya orang yang sakit jika telah sembuh. Tidak ada kewajiban membayar fidyah atasnya dalam kondisi demikian ini. Karena keduanya seperti halnya orang yang tengah sakit. Allah ta’ala berfirman,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka barangsiapa di antara kalian sakit atau tengah bepergian (kemudian tidak berpuasa) maka hendaknya ia menggantinya pada hari-hari lainnya [2]

Berkata (Ibnu Qudamah al-Maqdisi) di dalam al-Mughniy,’ kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama, karena wanita hamil dan menysui posisinya seperti orang yang tengah sakit yang mengkhawatrikan dirinya. Dan demikian juga imam an-Nawawi berkata. [3] Dengan demikian yang dimaksudkan dalam hadis ini adalah menanggalkan (kewajiban) pelaksanaan bukan menanggalkan kewajiban untuk mengqadha ; karena beliau menyebut orang yang tengah bepergian, di mana Allah menanggalkan darinya pelaksanaannya saja.

Dan jika wanita yang tengah hamil dan menyusui mengkhawatirkan anaknya, tidak menghawatirkan terhadap dirinya maka keduanya boleh untuk tidak berpuasa namun keduanya berkewajiban untuk mengqodha berdasarkan pendapat Jumhur ; karena keduanya mampu untuk melakukan qadha. Tidak diketahui di dalam syariat gugurnya kewajiban mengqadha dari orang yang mampu melakukannya. Sedangkan Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Sa’id bin Jubair, Qatadah, Sa’id bin Musayyib memfatwakan bahwa wanita yang tengah hamil dan menyusui tidak berkewajiban untuk mengqadha. Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, (wanita yang hamil dan menyusui) berkewajiban melakukan qodha pada waktu mampu melakukannya. Pendapat ini selaras dengan pendapat Jumhur [4]

Adapun fidyah, mengenai kewajiban untuk mengeluarkannya terdapat perbedaan pedapat di antara para ulama. Sebagian ulama mewajibkannya karena masuk dalam cakupan firmanNya,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin [5]

Karena makna ayat ini adalah “dan atas orang yang mampu untuk berpuasa (sementara ia tidak melakukannya) maka ia berkewajiban untuk membayar fidyah berupa memberi makan orang miskin untuk setiap hari dari hari-hari puasa yang diwajibkan atas mereka.” Sedangkan wanita hamil dan menyusui sejatinya mampu untuk berpuasa hanya saja keduanya menghawatirkan anaknya. Di antara sahabat yang berpendapat demikian adalah Abdullah bin Abbas dan Ibnu Umar.  Ibnu Qudamah mengatakan, ‘dan tidak diketahui adanya sahabat lainnya yang menyelesihi (pendapat) keduanya.[6] Dan, ini adalah mazhab Hanabilah dan Syafi’iyyah yang masyhur, Malikiyah di dalam salah satu riwayat. Sa’id bin Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas (mengenai penafsiran firmanNya)

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Ia mengatakan, “ayat ini merupakan rukhshah (keringanan/dispensasi) yang diberikan kepada seorang lelaki dan wanita yang telah lanjut usia di mana mereka mampu untuk berpuasa untuk tidak berpuasa dan memberikan makan kepada orang miskin sebagai ganti atas puasa yang ditinggalkannya setiap harinya, dimikian juga bagi wanita yang tengah hamil dan menyusui bila keduanya khawatir.  Abu Dawud mengatakan,’ (jika mengkhawatirkan terhadap) anaknya maka keduanya tidak berpuasa dan memberikan makan.[7]

Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang wanita yang tengah hamil bila menghawatirkan anaknya, maka beliau mengatakan, “ia boleh untuk tidak berpuasa dan memberi makan (orang miskin) sebagai ganti setiap puasa yang ditinggalkan setiap harinya sebanyak satu mud berupa gandum [8]

Sebagian ulama yang lainnya berpendapat, “keduanya (yakni, wanita yang tengah hamil dan menyusui) tidak terkena kewajiban membayar fidyah (memberi makan). Dan ini merupakan pendapat sebagian kalangan tabi’in dan merupakan madzhab Abu Hanifah, Malikiyah dalam salah satu riwayat ; (Alasannya) karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak menyebutkan bahwa keduanya wajib membayar fidyah ketika beliau menghabarkan bahwasanya Allah menanggalkan kewajiban puasa atas keduanya, disamping itu oleh karena hal tersebut merupakan tindakan berbuka (tidak berpuasa) yang diperbolehkan karena adanya suatu uzur. Oleh karennya, tidak ada kewajiban atasnya untuk membayar fidyah seperti berbukanya orang yang tengah sakit.

Sedangkan mengambil pendapat Jumhur, yaitu, “qadha “ lebih barhati-hati dan lebih membebaskan seseorang dari kewajiban ibadah yang agung ini.[9]

Wallahu a’lam

 

Sumber :

Diterjemahkan dari Ahaadiitsu ash-Shiyam; Ahkaamun Wa Aadaabun, Abdullah bin Sholeh al-Fauzan.

Amar Abdullah bin Syakir

 

[1] HR. Abu Dawud 7/45, at-Tirmidzi 3/401, an-Nasai 4/190, Ibnu Majah 1/533. At-Tirmidzi berkata : hadis hasan. al-Hafizh telah menukilnya di dalam at-Tahzhib 1/33 bahwa at-Tirmidzi telah menshahihkannya. Dengan demikian, maka diambil faedah tambahan akan keshahihan hadis ini dari apa yang dinukil oleh al-Hafizh (lihat, Tafsir ath-Thabariy / tahqiq : Ahmad Syakir 3/4387. Dan al-Albani berkata di dalam takhrij al-Misykah 2025 : sanadnya jayyid

[2] Qs. Al-Baqarah : 184

[3]Al-Mughniy 4/394, Syarh al-Muhadzab 6/267

[4] Lihat, Sunan al-Kubra karya imam al-Baihaqiy 4/230 dan Mushannaf Abdurrazzaq 4/218

[5]Qs. Al-Baqarah : 184

[6]Al-Mughniy, 4/394

[7]HR. Abu Dawud 6/431 dan isnadnya shahih.

[8] HR. Al-Baihaqiy di dalam Sunan al-Kubra 4/230 dari jalur imam Asy-Syafi’i dan sanadnya shahih.

[9] Lihat, Asy-Syarh al-Mumti’, 6/362

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *