Connect with us

Muslimah Muhtasibah

Saya Ingin Menegur, Tapi

Published

on

Banyak saudari-saudari kita yang merasa keberatan untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar ditengah-tengah perkumpulan perempuan dengan alasan takut, malu dan sebagainya. Terkadang mereka mereka merasa berat untuk sekedar menasehati atau setidaknya memberi masukan kepada orang yang memerlukannya. Ketika ditanya mengapa demikian? Ia menjawab, “saya tidak berani mengajak mereka…” atau “Saya ingin menegur tetapi…” Atau sebagian lagi berkata, “Saya perempuan pemalu sehingga kurang percaya untuk menasehatinya”.

Demikianlah keluhan dan alasan sebagian saudari-saudari kita yang lebih memilih untuk berdiam diri dihadapan kemungkaran yang dilakukan oleh saudara, atau teman sepergaulannya. Bahkan sebagian berdalil dengan hadits Nabi yang berbunyi:

إِنَّ اللهَ لَيَسْأَلُ الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقُوْلَ : مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ الْـمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ اللهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ قَالَ : يَا رَبِّ، رَجَوْتُكَ، وَفَرِقْتُ مِنَ النَّاسِ.

Sesungguhnya Allah pasti bertanya kepada seorang hamba pada hari Kiamat hingga Dia bertanya, ‘Apa yang menghalangimu dari mengingkari sebuah kemungkaran jika engkau melihatnya?’ Jika Allah telah mengajarkan hujjah kepada hamba-Nya tersebut, hamba tersebut berkata, ‘Rabb-ku, aku berharap kepada-MU, dan aku tinggalkan manusia.” (HR. Ahmad)

Padahal sebagian mereka yang melakukan kemungkaran tidak semuanya akan menolak jika ditegur atau diberi tahu, sebagian mereka melakukan kemungkaran karena memang tidak tahu, bahkan sebagian mereka ketika tahu bahwa mereka berada dalam prebuatan maksiat atau mungkar mereka akan bertanya, “Mengapa saya baru diberitahu sekarang?” Sebagian mereka akan senang jika dinasehati, sehingga tidak boleh berprasangkan negatif sebelum mencoba.

Rasa malu adalah fitrah yang Allah ciptakan pada diri manusia.

Malu akan berefek positif jika pada tempatnya, namun jika tidak pada tempatnya ia akan memberikan efek negatif. Bahkan ada pepatah mengatakan tentang malu yang negatif, “malu bertanya sesat dijalan.”

Jika kita mempelajari kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau adalah orang yang paling pemalu, bahkan sahabat mensifatkan bahwa beliau lebih pemalu daripada gadis pingitan. Walapun begitu, beliau tidak pernah membiarkan suatu kemungkaran yang beliau ketahui tanpa mengingkarinya, karena beliau ma’shum (terjaga) dari membiarkan suatu kemungkaran lalu mendiamkannya. Seandainya beliau mengetahui suatu kemungkaran lalu beliau mendiamkannya niscaya kemungkaran tersebut akan menjadi mubah karena itu menunjukkan kalau beliau setuju, dan itu tidak mungkin bagi Nabi untuk membiarkan agama Allah dilanggar lalu berdiam diri.

Rasa malu juga tidak menjadi penghalang bagi para shahabiah Nabi untuk bertanya hukum kepada beliau, misalnya Ummu Sulaim ketika bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran, apakah wanita wajib mandi jika bermimpi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Iya, apabila ia melihat air (mani)”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itulah sayyidah Aisyah memuji perempuan Anshor, beliau berkata:

نعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ

“Sebaik-baik wanita adalah wanita anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk belajar agama.” (HR. Bukhari & Ibnu Majah)

Jika rasa malu tidak sepantasnya menjadi penghalang bagi wanita muslimah untuk bertanya tentang hukum agama, maka begitu juga halnya dengan menegur saudara atau teman yang melakukan perbuatan mungkar tidak sepantasnya untuk menjadi penghalang.

Imam Nawawi berkata, “Sedangkan pernyataan ‘seluruh rasa malu itu terpuji dan rasa itu tidak akan membawa kecuali kebaikan’, terkadang disalah pahami oleh sebagian orang, ia menyebabkan seseorang malu untuk mengatakan yang haq dihadapan orang yang ia hormati, sehingga ia tidak menganjurkannya kepada yang ma’ruf dan tidak melarangnya dari yang mungkar, bahkan terkadang rasa malu tersebut menyebabkannya lalai terhadap sebagian hak orang lain, dan berbagai hal yang biasanya adalah perkara yang ma’ruf.

Jawaban terhadap fenomena ini adalah sebagaimana yang telah dijawab oleh sekolompok ulama diantaranya Syeikh Amr bin Shalah rahimahullah bahwasanya penghalang yang kami sebutkan ini bukanlah rasa malu yang sebenarnya, melainkan kelemahan dan kehinaan. Sedangkan sebagian orang yang menyebutnya dengan rasa malu adalah dengan maksud majaz, karena ia mirip dengan malu.” (Syarh Shahih Muslim, 2/5)

Dari sini kita ketahui bahwa rasa malu tidak menjadika amar ma’ruf nahi munkar boleh ditinggalkan. Dan jika malu menjadi alasan untuk meninggalkannya, maka ia termasuk malu yang dicela.

Para ulama telah menyebutkan beberapa bentuk malu yang tercela, diantaranya:

  • Malu bertanya walaupun ia sangat membutuhkan kepada jawaban, sehingga kesempatan untuk mendapatkan ilmu akan terlewatkan hanya karena rasa malu. Mujahid berkata, “Tidak akan dapat menuntut ilmu orang yang malu dan juga orang yang sombong.”
  • Malu menampakkan syiar agama islam dihadapan orang-orang ahli maksiat. Misalnya malu melakukan sunnah atau menampakkannya karena takut orang sekitar merasa heran melihatnya atau takut dicela.
  • Malu untuk menegur orang yang melakukan kemungkaran, yang pada hakikatnya malu semacamnya ini bukanlah malu, melainkan kelemahan iman dan kelemahan pribadi. Dan disini terlihat sesuatu yang menakjubkan, orang pelaku kemungkaran merasa percaya diri bahkan bangga dengan kemungkarannya sedangkan orang yang berada dijalan yang benar malu untuk menegurnya.

Rujukan : http://islamselect.net

Penyusun : Arinal Haq

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel Hisbah.net di Fans Page Hisbah

Twitter @hisbahnet, Google+ Hisbahnet

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Pacaran yang Dilarang

Published

on

Pacaran yang dilarang ialah apabila hubungan khusus cinta dan kasih sayang tidak terikat oleh akad pernikahan.
Hal ini dikarenakan banyaknya unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Misalnya memandang pasangan yang bukan mahrom, ikhtilat (bercampur baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom),
khalwat (menyendiri dengan pasangannya di tempat yang sepi), mencium atau berciuman, bergandengan tangan, meraba atau memegang lawan jenisnya, dan perkara-perkara lain yang dilarang oleh syariat Islam.


Mengapa Islam melarang pacaran semacam ini ? Tidak lain kecuali untuk menjaga kemaslahatan ummat manusia itu sendiri. Karena islam adalah agama fithrah yang senantiasa menjaga dan memellihara kemaslahatan manusia sesuai dengan aturan Allah. Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ


Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (Qs. al-Anbiya : 107)


Demikianlah bahwa Islam hendak menjaga manusia tetap di atas kebaikan dan lurus di atas fithrahnya serta melindungi mereka dari kehinaan dan kehancuran. Islam pun telah menyediakan model dan bentuk jalinan asmara yang jauh lebih indah dan menyenangkan dibandingkan jenis pacaran yang hina.


Maka barang siapa yang mengindahkan nilai-nilai Islam dan batasan-batasan syariat yang telah dijelaskan oleh Rasulullah, niscaya ia akan mendapatkan keindahan dan kebahagiaan yang diidamkannya.
Rasulullah-صلى الله عليه وسلم- bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ


“Ada tiga perkara yang apabila dilakukan oleh seseorang ia akan merasakan lezatnya iman ; seseorang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan seorang yang mencintai orang lain karena Allah, dan seseorang yang benci untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah darinya sebagaimana ia benci untuk dilempar ke dalam api neraka”. (HR. al-Bukhari (21), an-Nasai (4988), Ahmad (13617), dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya (237)


Wallahu A’lam

Sumber:

Dosa-dosa Pacaran yang Dianggap Biasa, Saed As-Saedy, hal.15-16

Amar Abdullah bin Syakir

Untuk Pacaran yang Dibolehkan, baca disini :

Pacaran yang Dibolehkan

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Youtube HisbahTv,
Follow Instagram Kami Hisbahnet dan alhisbahbogor

About Author

Continue Reading

Akhlak

Pacaran yang Dibolehkan

Published

on

Adapun pacaran yang dibolehkan yaitu apabila hubungan khusus dua insan berlainan jenis yang bukan mahram yang terjalin atas dasar cinta dan kasih sayang telah diikat dengan akad pernikahan. Inilah hakekat pacaran dalam Islam. Jadi pacaran islami, atau pacaran ala islam ialah hubungan setelah terjadinya akad ijab qabul.

Dalam arti kemesraan dan keterikatan batin terhadap pasangannya berjalan di atas rel yang lurus dan jalur yang dibenarkan oleh syariat serta telah dihalalkan oleh syariat lewat akad suci pernikahan.

Dengan ikatan inilah perkara-perkara yang sebelumnya haram menjadi halal. Bahkan keduanya lebih leluasa dan bebas untuk melakukan apa saja dari apa yang sekedar dilakukan oleh mereka yang tenggelam dalam kubangan pacaran terlarang.

Namun, apabila istilah ‘pacaran islami’ sebagaimana yang dipahami oleh sebagian pemuda pemudi yang katanya hendak tampil beda dengan pacaran orang-orang awam bahwa pacaran yang islami adalah pacaran sebelum pernikahan yang tidak disertai bersentuhan, tidak berciuman dan yang lainnya. Intinya tidak ada kontak fisik antara dua pasangan. Masing-masing saling menjaga diri. Kalaupun harus bertemu dan berbincang, yang menjadi pembicaraan hanyalah tentang tema-tema Islami, tentang dakwah, saling mengingatkan untuk beramal, dan berdzikir kepada Allah serta saling mengingatkan tentang akhirat, Surga dan Neraka.

Pacaran yang diembel-embeli Islam ala mereka tak ubahnya omong kosong belaka. Itu hanyalah makar tipuan setan untuk menjebak agar mangsanya jatuh ke dalam dosa.
Adakah mereka dapat menjaga pandangan mata dari melihat yang haram, yakni memandang wanita atau laki-laki yang bukan mahramnya ? Siapakah yang bisa menjamin bahwa mereka akan selamat dari godaan setan ketika menjalin komunikasi dengan sang pacar yang notabene adalah lawan jenis yang tidak halal baginya ?

Jika mereka mengatakan hal itu adalah pacaran Islami, namun intensitas hubungan mereka dengan lawan jenisnya sangat sering baik melalui telepon, sms, chatting, twitter, facebook, line, whatsapp, email dan lain sebagainya yang demikian itu sama saja dengan pacaran orang-orang awam. Hanya saja dikemas dalam bentuk yang berbeda, lebih halus, dan sepintas lebih Islami.

Secara pribadi penulis tidaklah setuju mengenai kesimpulan penggunaan istilah pacaran yang halal atau dibolehkan, meskipun ia dimaksudkan untuk mereka yang telah mengikat cinta kasihnya dengan tali suci pernikahan.
Atau pacaran yang halal ialah hakekat dari pernikahan itu sendiri. Demikian juga penggunaan istilah pacaran islami yang dimaksudkan sebagai model pacaran yang tidak mengandung unsur-unsur keharaman di dalamnya, seperti khalwat, bergandengan tangan, atau yang semisalnya.
Penggunaan kata pacaran itu sendiri sudah identik dengan aktivitas yang mengandung perkara-perkara haram dan terlarang dalam Islam. Pacaran juga merupakan istilah yang sedari awalnya terbentuk untuk menggambarkan hubungan cinta kasih antara dua lawan jenis sebelum pernikahan. Lihatlah definisi kata pacaran dalam beberapa Kamus Besar Bahasa Indonesia, semuanya dimaksudkan sebagai hubungan cinta kasih antara dua lawan jenis sebelum pernikahan.

Jadi, dari mana kesimpulan bahwa pacaran ialah hakikat dari pernikahan itu sendiri. Ini adalah kesimpulan yang tidak berdasar sama sekali, baik secara bahasa maupun syariat. Demikian juga, Islam tidak pernah mengatakan bahwa pacaran adalah hakikat dari sebuah pernikahan. Bahkan, kalau kita telisik lebih mendalam, dalam Islam tidaklah pernah mengenal istilah kata pacaran. Padahal syariat Islam telah sempurna semenjak wafatnya Rasulullah yang tidak butuh tambahan maupun pengurangan di dalamnya. Oleh karena itu, istilah pacaran bukanlah bersumber dari Islam.

Demikian pula istilah pacaran Islami, dari mana mereka bisa menyimpulkan istilah ini dan menisbatkannya sebagai bagian dari Islam. Membuat konsep tersendiri yang sejatinya masih banyak hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Bahkan menghukumi sebagai sesuatu yang halal. Kalau demikian berarti mereka telah membuat syariat baru dalam Islam, padahal Allah telah berfirman,

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung (Qs. An-Nahl : 116)

Itulah posisi ‘pacaran islami’ dalam Islam. Semua itu dimaksudkan agar tidak tercampur antara kebaikan dan keburukan, atau yang hak dan yang batil akibat penggunaan istilah yang kurang tepat. Juga agar tidak menjadi hujjah maupun tameng bagi sebagian orang untuk menghalalkan pacaran atau berlindung dibalik istilah ‘pacaran islami’ agar tetap bisa melakukan pacaran dengan lawan jenis yang disukainya.

Demikian juga, dikhawatirkan akan bermunculan istilah-istilah yang kurang tepat yang semula istilah-istilah itu identik dengan keburukan maupun perbuatan haram, seperti munculnya istilah musik islami, joged islami, nasyid islami, khamr islami, lagu islami, atau istilah-istilah lain yang sejenisnya yang dinisbatkan pada Islam yang akhirnya akan membuat kerancuan di tengah-tengah umat islam dan menjadi sebab tercampurnya antara yang hak dengan yang batil.

Kalau diperhatikan lebih mendalam, mereka yang terjerumus dalam apa yang disebut ‘pacaran islami’ belum sepenuhnya mengindahkan batasan-batasan syar’i yang telah ditetapkan syariat Islam. Seperti hubungan yang akrab dan dekat di antara mereka yang sejatinya bukanlah mahramnya, kerap melakukan komunikasi walaupun tanpa adanya kontak fisik di dalamnya. Kasus ini tetap tidak dibenarkan dalam syariat karena mereka belum terikat oleh tali suci pernikahan dan mereka masih berstatus orang asing antara yang satu dengan yang lainnya.

Islam juga tidak pernah mengakui pacaran sebagai tahapan yang sah/halal untuk menuju jenjang pernikahan. Karena Islam telah memiliki konsep sendiri yang suci untuk memandu dan mengantarkan asmara mereka ke jenjang tali suci pernikahan. Di mana konsep itu adalah aturan yang selaras dengan fithrah manusia itu sendiri.

Islam tidaklah pernah melegalkan semua jenis hubungan cinta kasih antara dua insan berlainan jenis yang bukan mahramnya yang dikemas dalam kata pacaran ataupun istilah lain yang substansinya sama dengan pacaran, kecuali sekedar mencintai mereka atas dasar saudara seiman dan seislam yang terikat oleh kecintaan karena Allah dengan tetap mengindahkan pilar-pilar syariat yang mulia tersebut.
Rasulullah-صلى الله عليه وسلم- bersabda,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ …وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ

Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah pada hari di mana tidak ada naungan melainkan naungan dari-Nya…dua orang yang saling mencintai karena Allah. Keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah … (HR. Al-Bukhari (660), Muslim, (2427), at-Tirmidzi, (2391), an-Nasai (5380) dan Ahmad (9663).

Adapun dilarangnya pacaran sebelum pernikahan, dikarenakan pacaran yang bertentangan dengan syariat Islam, dan banyaknya mudharat yang bisa merusak kehidupan dan masa depan remaja, keluarga, lingkungan, umat, bangsa dan agama. Semua ini tidak sejalan dengan prinsip dasar islam di mana ia datang demi mewujudkan kemaslahatan umat manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Oleh karena itu, ajaran Islam bersifat universal (menyeluruh) dan konprehensip (utuh) agar pilar-pilar kehidupan tetap tegak dan kokoh demi terwujudnya kebaikan yang semuanya kembali kepada kepentingan umat manusia itu sendiri, baik di dunia maupun akhirat.

Wallahu A’lam

Sumber :
Dosa-dosa Pacaran yang Dianggap Biasa, Saed As-Saedy, hal.17-21

Amar Abdullah bin Syakir

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Youtube HisbahTv,
Follow Instagram Kami Hisbahnet dan alhisbahbogor

About Author

Continue Reading

baru

Hukuman Pezina Di Awal Islam

Published

on

Hukuman Pezina Di Awal Islam

Allah azza wa jalla berfirman,

وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا

“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah member persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah member jalan lain kepadanya”. (Qs. an-Nisa : 15).

Firman-Nya, الْفَاحِشَةَ perbuatan keji.

Menurut jumhur mufassirin (mayoritas kalangan ahli tafsir) yang dimaksud perbuatan keji ialah perbuatan zina, sedang menurut pendapat yang lain ialah segala perbuatan mesum seperti : zina, homoseks dan sejenisnya.

Maka, menurut pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud perbuatan keji dalam ayat ini adalah ‘perbuatan zina’, maka makna ayat ini, yakni,

“Wanita-wanita yang berzina dari istri-istri kalian, tetapkanlah wahai para hakim dan pemimpin dengan empat orang saksi laki-laki yang adil dari kaum muslimin. Bila para saksi menetapkannya atas mereka, maka tahanlah mereka di dalam rumah sampai kehidupan mereka selesai dengan kematian, atau Allah akan meletakkan jalan keluar dalam hal ini.” (at-Tafsir al-Muyassar,2/15)

Kemudian, Allah –سبحانه وتعالى- berfirman,

وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا

“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Qs. an-Nisa : 16)

Yakni, dua orang yang terjatuh ke dalam perbuatan buruk zina, hukumlah mereka berdua dengan pukulan dan pengucilan. Bila keduanya bertaubat dari perbuatan tersebut dan melakukan perbaikan dengan amal-amal shaleh maka hentikanlah hukuman dari mereka.

Dari ayat ini dan sebelumnya bisa disimpulkan bahwa bila kaum laki-laki berzina, maka mereka dihukum yang berakhir dengan taubat dan perbaikan pelaku. Sedangkan kaum wanita dihukum dan dipenjara yang berakhir sampai dengan kematian.

Hal ini berlaku di awal Islam kemudian dinasakh (dihapus) dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya syariatkan, yaitu rajam bagi pezina Muhshon baik laki-laki maupun wanita.

Muhshon adalah laki-laki atau wanita dewasa, merdeka, berakal dan pernah melakukan hubungan suami istri dalam pernikahan yang sah. Dan dicambuk seratus kali plus pengasingan selama satu tahun bagi yang belum muhshon. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dari hamba-hamba-Nya dan Maha Penyayang kepada mereka. (at-Tafsir al-Muyassar, 2/16)

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Youtube HisbahTv,
Follow Instagram Kami Hisbahnet dan alhisbahbogor

Klik iklan yang ada di website.
Dengan mengklik iklan yang ada diwebsite, berarti anda telah membantu oprasional dakwah kami. Jazakallahukhoiron.

About Author

Continue Reading

Trending