Connect with us

Lain-lain

Seputar Bulan Sya’ban

Published

on

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu’anha bahwa: Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam banyak berpuasa (pada bulan sya’ban) sehingga kita mengatakan; beliau tidak pernah berbuka, dan aku tidak pernah melihat Rasulullah shalallahu’alaihiwasalam berpuasa sebulan penuh kecuali puasa dibulan ramadhan, dan aku tidak pernah melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam banyak berpuasa melebihi puasa dibulan sya’ban. (Muttafaq ‘alaih).

Ketika Rasulullah shalallahu’alaihiwasalam ditanya oleh Usamah bin Zaid kenapa beliau banyak berpuasa dibulan sya’ban beliau menjawab:

“Karena bulan ini banyak dilalaikan oleh manusia padahal pada bulan tersebut akan diangkat amalan-amalan seorang hamba kepada Allah ta’ala, dan saya ingin amalanku diangkat dan saya sedang berpuasa” (HR. Abu Dawud dan An Nasai, lihat shahih targhib wat tarhib 425 dan shahih abu Dawud 2/461)

Ibnu Rajab berkata: “Puasa dibulan sya’ban lebih utama daripada puasa dibulan-bulan haram, dan sebaik-baik amalan sunnah adalah yang dilakukan ketika dekat dengan bulan suci ramadhan baik sebelum maupun sesudahnya, maka puasa pada bulan ini kedudukannya seperti sunnah-sunnah rawatib sebelum atau sesudah fardhu danberfungsi untuk melengkapi jika ada kekurangan pada amalan fardhu tersebut.Demikian pula puasa sebelum dan sesudah ramadhan memiliki keutamaan lebih dibanding puasa-puasa lain yang bersifat mutlak atau umum. Oleh karena itu, puasa yang dilakukan ketika sudah mendekati ramadhan lebih utama dibanding puasa-puasa yang dilakukan jauh dari bulan suci ini”.

Sabda rasulullah shalallahu’alaihiwasalam yang menyebutkan bahwa bulan sya’ban ini banyak dilalaikan oleh manusia menunjukan akan dianjurkannya kita untuk menggunakan waktu untuk ketaatan disaat manusia banyak melalaikannya, sebagaimana kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dipasar dimana kebanyakan orang ditempat tersebut lalai akan akhirat dan disibukkan dengan urusan duniawi, diantara faidah yang bisa kita petik dari hal ini,diantaranya:

– ibadah pada waktu orang sedang lalai lebih membantu kita untuk berbuat ikhlas karena kita mengamalkan sesuatu yang tidak diketahui oleh banyak orang, apalagi puasa yang merupakan rahasia antara Allah ta’ala dan hamba-Nya.

– demikian juga beramal pada saat manusia lalai terasa lebih berat dibanding jika kita melakukan amalan secara beramai-ramai.

Para ulama berbeda pendapat tentang sebab kenapa Rasulullah shalallahu’alaihiwasalam banyak berpuasa dibulan sya’ban, diantara pendapat mereka antara lain:

1. Beliau terkadang meninggalkan puasa tiga hari disetiap bulannya karena safar atau karena hal lain, oleh karena itu beliau menggumpulkannya dan menggantinya dibulan sya’ban, sebab apabila beliau melakukan suatu amalan beliau akan selalu melakukannya dan jika ada yang tertinggal maka beliau mengqadhanya.

2. Disebutkan bahwa beliau banyak puasa pada bulan sya’ban karena manusia banyak melalaikannya, dan barangkali ini adalah yang paling tepat sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Usamah bin Zaid diatas.

Rasulullah shalallahu’alaihiwasalam terbiasa jika beliau belum sempat mengqadha puasa-puasa sunnah maka meliau menggantinya dibulan sya’ban sebelum datangnya bulan ramadhan. Demikian pula jika ada shalat-shalat sunnah yang pernah terlewatkan maka beliau mengqadhanya pada waktu yang lain. Disamping itu puasa sunnah dibulan sya’ban juga merupaka latihan agar terbiasa melakukan puasa sehingga puasa ramadhan akan terasa ringan karena ia sudah terbiasa berpuasa sebelumnya.

Dikarenakan puasa sya’ban merupakan mukaddimah untuk memasuki puasa ramadhan, maka dianjurkan pula untuk banyak membaca al quran dan bersedekah serta memperbanyak amalan-amalan shalih lainnya. Hanya saja kita dilarang untuk melakukan puasa ketika sudah mendekati akhir sya’ban kecuali jika kita sudah terbiasa berpuasa sebelumnya, karena Rasulullah shalallahu’alaihiwasalam melarang kita untuk mendahului bulan ramadhan dengan puasa sunnah satu atau dua hari sebelumnya hal ini supaya kita tidak menambah ramadhan dengan puasa lain yang bukan termasuk darinya, kita juga dilarang berpuasa pada hari syak (ragu-ragu antara akhir sya’ban atau awal ramadhan), beliau bersabda:

“Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka ia telah berbuat maksiat terhadap Abul Qashim.”

Itu semua dimaksudkan supaya ada pembatas antara puasa sunnah dan puasa wajib karena kita diperintahkan untuk membedakan antara keduanya, sebagaimana kita juga dilarang untuk berpuasa pada hari raya.

Suatu hari Rasulullah shalallahu’alaihiwasalam melihat sesorang yang melakukan shalat sunnah fajar setelah iqamat dikumandangkan lalu beliau menegur:

“Apakah shalat subuh empat rakaat” (HR. Bukhari).

Hadits ini juga dijadikan dalil sebagai larangan untuk melakukan shalat sunnah setelah iqamat dikumandangkan kecuali jika ia sudah terlanjur melakukannya maka ia boleh memilih antara meneruskan atau membatalkannya.

Bid’ah-bid’ah dibulan sya’ban

Allah ta’ala berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Al Maidah:3)

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” (QS. Asy Syura’:21)

Dari ‘Aisyah berkata, dari Nabi shalallahu’alaihi wasalam bersabda: “Barangsiapa yang membuat hal-hal baru dalam perkara kami (agama islam) yang tidak termasuk darinya maka hal itu pasti tertolak” (HR.Bukhari dan Muslim)

Ayat dan hadits diatas menunjukan bahwa syariat islam sudah sempurna dan tidaklah Allah ta’ala mewafatkan nabi-Nya kecuali setelah ia menyampaikan semua syariat agama dengan jelas dan sempurna, maka siapa saja yang menambah sesuatu dalam syari’at islam pasti tertolak dan tidak akan diterima.

Ada beberapa amalan yang sering dilakukan dibulan sya’ban akan tetapi hal itu tidak ada contohnya sama sekali dari Rasulullah shalallahu’alaihiwasalam dan juga para shahabatnya serta para ulama yang mu’tabar, diantara amal-amalan tersebut diantaranya:

1.Shalat alfiyah yaitu shalat yang terdiri dari 100 rakaat yang dilakukan pada pertengahan sya’ban dengan berjamaah, pada setiap rakaatnya imam membaca surat Al-Ikhlas 10 kali, shalat ini didasarkan pada sebuah hadits palsu yang tidak ada asalnya dari Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam.

2.Mengkhususkan malam nisfu sya’ban (pertengahan sya’ban) untuk melakukan shalat dan siangnya untuk berpuasa berdasarkan hadits palsu yang berbunyi:

“shalatlah kalian dimalam harinya dan berpuasalah pada siang harinya”

3. Shalat tolak bala dan supaya panjang umur, yaitu shalat 6 rakaat yang dilakukan pada malam nisfu sya’ban, demikian pula membaca surat yasin pada malam tersebut.

Imam Al Ghazali rahimahullah mengatakan: “shalat-shalat ini sangat masyhur dikalangan mutaakhirin penganut aliran sufi yang saya tidak tahu bahwa shalat maupun doa-doanya berdasarkan dalil yang shahih, akan tetapi itu semua tidak lain adalah bid’ah. Sahabat-sahabat kami telah membenci untuk berkumpul-kumpul pada malam nisfu sya’ban baik dimasjid maupun ditempat lainnya.”

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “shalat rajab (raghaib) dan shalat nisfu sya’ban adalah merupakan dua bid’ah yang mungkar serta sangat buruk.”

Alangkah indahnya ungkapan yang berbunyi:

Sebaik-baik perkara adalah yang berdasarkan petunjuk  dan yang paling nuruk adalah bid’ah yang diada-adakan.

Wajib bagi kita semua supaya beribadah sesuai dengan dalil dan contoh dari Rasululllah shalallahu’alaihiwasalam dan para sahabatnya yang mulia serta menjauhi segala bentuk ibadah yang diada-adakan dalam agama, karena semua hal baru dalam agama ini adalah bid’ah dan semua kebid’ahan adalah tempatnya di neraka wal’iyadzu billah.

Semoga Allah ta’ala selalu membimbing kita semua ke jalan-Nya yang lurus dan dijauhkan dari semua bentuk kesesatan dan dosa, amin ya rabbbal ‘alamin.

Sumber:

– website islam soal jawab.

– Majmu’ fatawa Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (2/882)

Artikel : www.hisbah.net

Gabung Juga Menjadi Fans Kami Di Facebook Hisbah.net

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Jagalah Shalat…Jagalah Shalat (bag.1)

Published

on

Sesungguhnya di antara musibah paling besar, paling berat dan paling agung yang menimpa umat adalah musibah wafatnya Nabi yang mulia-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang Allah telah memberikan nikmat kepada umat manusia dengan adanya pengutusan beliau. Beliau adalah penunjuk jalan umat ke Surga, pembimbing mereka kepada segala kemuliaan, dan imam dalam semua kebaikan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا  [الأحزاب : 21]

Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah dengan banyak.” (al-Ahzab : 21)

Peristiwa besar wafatnya Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ini, mengandung banyak nasehat dan pelajaran yang beraneka ragam, kita patut berhenti padanya untuk merenungkannya. Dan salah satu nasihat dan pelajaran terbesarnya adalah berkenaan dengan ibadah shalat dan kedudukannya yang penting. Sebuah nasehat dan pelajaran yang mendalam, menyentuh hati sanubari yang disarikan dari kejadian besar dan peristiwa yang agung tersebut.

Shalat terakhir yang Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dirikan bersama orang-orang Mukmin adalah shalat Zhuhur pada Hari Kamis, kemudian semakin beratlah sakit yang beliau derita sehingga selama tiga hari beliau tidak mampu pergi ke masjid untuk shalat karena parahnya sakit tersebut, yaitu Hari Jum’at, Sabtu dan Ahad. Yang menggantikan posisi beliau di dalam shalat sebagai imam kaum Muslimin adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Pada Shubuh Hari Senin –yaitu hari di mana beliau wafat, beliau membuka kain kelambu di kamar Aisyah untuk memandang para sahabat, pandangan perpisahan, dan betapa beratnya perpisahan tersebut. al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahih keduanya [1] dari Anas bin Malik-رَضِيَ اللهُ عَنْهٌ-,

“Bahwa Abu Bakar mengimami shalat orang-orang pada masa Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sakit yang akhirnya beliau wafat padanya. Manakala Hari Senin tiba, sementara orang-orang sedang berbaris di dalam shalat, Nabi membuka kain kelambu kamar, beliau memandang kepada kami dalam keadaan  berdiri, wajah beliau seperti kertas mushaf, kemudian beliau tersenyum tertawa, kami hampir batal (di dalam shalat tersebut) karena kami berbahagia melihat Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, lalu Abu Bakar melangkah mundur untuk mencapai shaf (depan), dia menyangka Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- akan keluar untuk shalat, namun beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-memberi isyarat kepada kami agar kami menyempurnakan shalat. Beliau menurunkan kain kelambu lalu pada hari itulah beliau wafat.”

Hendaknya kita merenung untuk mengambil nasihat dan pelajaran. Inilah nabi kita -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang memandang umat beliau di masjid dengan pandangan perpisahan. Beliau memandang dengan pandangan yang  menjadi sumber kebahagiaan beliau, di mana shalat adalah sumber kebahagiaan bagi beliau. Allah membuat beliau berbahagia di pagi hari yang beliau wafat padanya dengan melihat umat beliau berkumpul di masjid untuk mendirikan shalat. Beliau tersenyum tertawa. Sungguh sebuah senyuman kebahagiaan dan ketentraman, tertawa bahagia dan gembira dengan sebab beliau melihat umat beliau yang berkumpul di masjid mendirikan shalat. Nabi menurunkan kain kelambu dengan penuh kebahagiaan karena menyaksikan pemandangan yang  membahagiakan dan potret yang membuat mata beliau berbinar. Umat beliau, umat Islam, berkumpul di masjid mendirikan shalat. Allah membahagiakan beliau dengan pemandangan yang membahagiakan dan potret yang membuat mata beliau berbinar.

Urusan shalat tidak berhenti sampai batas ini pada saat-saat terakhir dari kehidupan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Ali-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –berkata sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam al-Musnad [2] dengan sanad yang shahih,

كَانَ آخِرُ كَلَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ اتَّقُوا اللَّهَ فِيمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Akhir perkataan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- adalah ‘(Jagalah) shalat. (Jagalah) shalat. Bertakwalah kalian kepada Allah berkenaan dengan hamba sahaya kalian’.”

Bahkan ada sabda beliau yang lebih mendalam daripada ini di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya [3] dengan sanad yang shahih dari Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -, dia berkata,

كَانَتْ عَامَّةُ وَصِيَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حِيْنَ حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ وَهُوَ يُغَرْغِرُ بِنَفْسِهِ ( اَلصَّلَاةَ . وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ )

“Kebanyakan wasiat Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pada saat ajal kematian datang kepada beliau sementara nafas beliau tersendat-sendat adalah, ‘(Jagalah) shalat dan (bertakwalah kepada Allah) berkenaan dengan hamba sahaya kalian’.”

Dalam riwayat Ummu Salamah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا –istri  Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-

أَنَّهُ كَانَ عَامَّةُ وَصِيَّةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ مَوْتِهِ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيضُ بِهَا لِسَانُهُ

Kebanyakan wasiat Nabi Allah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjelang wafat, ‘(Jagalah) shalat, (jagalah) shalat, dan (bertakwalah kepada Allah) berkenaan dengan hamba sahaya kalian.’ Sampai-sampai Nabi Allah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-  menggumamkannya di dalam dada beliau, sementara lidah beliau tidak mengungkapkannya secara jelas.” [4]

Ini tanpa disangsikan, menunjukkan kepada kita akan besarnya kedudukan shalat di dalam agama Islam, dan begitu besarnya perhatian Nabi kita -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kepada shalat. Siapa yang membaca hadis-hadis beliau yang mulia dan wasiat-wasiat beliau yang luhur dalam kehidupan beliau seluruhnya, maka dia akan mengetahui nilai shalat dan kedudukannya di dalam Islam.

Di antara bukti atas besar dan pentingnya kedudukan shalat adalah bahwa ia dikhususkan di antara kewajiban-kewajiban Islam dan keumuman ketaatan lainnya, yaitu bahwa Allah memi’rajkan NabiNya ke langit yang ketujuh, di sana, di langit yang ketujuh Allah mewajibkan shalat kepada beliau. Beliau mendengar perintah dan ketetapan Allah secara langsung tanpa ada perantara. Pertama kali diwajibkan sebanyak 50 shalat atas beliau, lalu beliau memohon kepada Allah agar meringankannya, sehingga ia diringankan jadi lima waktu. Maka jumlah shalat Fardhu adalah lima, namun lima puluh dalam pahala, sementara ketaatan-ketaatan yang umum, kewajiban-kewajiban dan ibadah-ibadah yang lain dibawa turun oleh Malaikat Jibril ke bumi, dialah yang mewahyukannya kepada Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan menjelaskannya. Ini membuktikan kepada kita akan agungnya kedudukan shalat.

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Ta’zhimu ash-Shalati, Prof.Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal.14-18.

 

Catatan :

[1] Al-Bukhari, no. 680 dan Muslim, no. 419

[2] Musnad Ahmad, no. 585, diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5155 dan Ibnu Majah, no. 2698, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih al-Jami’, no. 4616.

[3] no. 2697 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 2178.

[4] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 26483, 26684 dan an-Nasai dalam al-Kubra, no. 7060, sanadnya dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’, 7/238.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Aqidah

Sistem Perlindungan yang Sangat Kuat dari Dosa Besar Sihir

Published

on

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ (( الشِّرْكُ باللهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالحَقِّ ، وأكْلُ الرِّبَا ، وأكْلُ مَالِ اليَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ ؛ وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ ))

Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-meriwayatkan dari  Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, beliau bersabda, “ Jauhilah oleh kalian tujuh dosa-dosa besar yang membinasakan.” Mereka (Para sahabat) bertanya, ‘Apa sajakah dosa-dosa  itu, wahai Rasulullah ? “

Beliau menjawab :

Syirik (menyekutukan) Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan cara yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan pertempuran, dan menuduh wanita baik-baik yang telah menikah dengan tuduhan zina. (Muttafaq ‘Alaihi)

**

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin-رَحِمَهُ اللهُ-berkata, “Sihir adalah suatu perbuatan yang dilakukan tukang sihir dengan menggunakan tali-tali, jampi-jampi, dan tiupan untuk menimpakan kecelakaan kepada orang yang disihirnya. Di antaranya ada yang bisa membunuhnya, membuatnya sakit, membuat gila, bisa menimbulkan keterikatan yaitu ketergantungan yang sangat kuat (cinta yang tidak wajar), ada pula yang bisa menimbulkan penolakan yaitu berpalingnya seseorang dari yang lainnya dengan kebencian yang sangat (benci tidak wajar).

Akan tetapi, semua itu hukumnya adalah haram. Sesungguhnya Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – berlepas diri dari orang yang melakukan sihir dan yang meminta bantuan sihir kepada orang lain (tukang sihir).

Di antara bentuk sihir tersebut ada yang bisa sampai kepada kekafiran. Apabila tukang sihir tersebut menjadikan setan sebagai perantara sihirnya, mendekatkan diri, dan menghambakan diri kepada setan sehingga ia sangat menaatinya, maka hal ini tidak akan diragukan lagi kekafirannya. Adapun jika tidak sampai kepada taraf seperti ini (taraf kekufuran), maka sesungguhnya sihir tersebut merupakan sesuatu yang akan merugikan, diharamkan, dan termasuk di antara jajaran dosa-dosa besar. Para penguasa wajib untuk membunuh para tukang sihir tanpa dimintai taubatnya (terlebih dahulu). Maksudnya para tukang sihir harus dibunuh meskipun mereka sudah bertaubat. Karena jika ia telah bertaubat, maka urusannya diserahkan kepada Allah. Demikian pula jika ia tidak bertaubat. Akan tetapi, kita membunuhnya untuk menolak kerugian dan kerusakan yang akan ditimbulkannya (di kemudian hari).

Meskipun (apabila) ia tidak bertaubat, maka ia akan termasuk ke dalam penghuni Neraka apabila sihirnya tersebut adalah jenis sihir yang mengkafirkan. Praktek sihir termasuk di antara penyebab kerusakan di atas muka bumi dan termasuk jajaran kejahatan besar. Karena sihir dilakukan terhadap orang lain ketika seseorang tersebut sedang lengah (tidak dilindungi).

Akan tetapi, terdapat sesuatu yang akan melindungimu dari kejahatannya (dengan izin Allah) yaitu bacaan-bacaan (wirid yang syar’i), seperti membaca ayat Kursi, al-Ikhlash, al-Falaq, An-Naas, dan ayat-ayat al-Qur’an lainnya atau dari hadis-hadis Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. Karena semuanya itu merupakan sistem perlindungan yang sangat kuat, yang bisa melindungi seorang manusia dari kejahatan sihir.

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Syarhu Riyaadhis Shaalihiin, Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, hal. 362. Babut Taghliizhi fii Tahriimis Sihri.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Menasehati Istri dan Merukunkan Antar Istri

Published

on

عَنْ أَنَسٍ قَالَ : بَلَغَ صَفِيَّةَ أَنَّ حَفْصَةَ قَالَت بِنْتُ يَهُوْدِيٍّ فَبَكَتْ فَدَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَهِيَ تَبْكِي فَقَالَ مَا يُبْكِيْكِ ؟ فَقَالَتْ قَالَتْ لِي حَفْصَةُ إِنِّي بِنْتُ يَهُوْدِيٍّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنَّكِ لَابْنَةُ نَبِيٍّ وَإِنَّ عَمَّكَ لَنَبِيٍّ وَإِنَّكِ لَتَحْتَ نَبِيٍّ فَفِيْمَ تَفْخَرُ عَلَيْكِ ؟ ثُمَّ قَالَ اِتَّقِي اللهَ يَا حَفْصَةُ

Dari Anas berkata : Telah sampai kabar kepada Shafiyyah [1] bahwa Hafshah telah mengatakan : “Dia itu anak Yahudi  ,” maka ia pun menangis. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ masuk ke rumahnya saat ia masih menangis. Beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ bersabda (kepadanya), ‘Apakah yang membuatmu menangis ?” Ia menjawab, “Hafshah mengatakan kepadaku bahwa aku anak Yahudi. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-berkata, Sesungguhnya engkau adalah anak nabi dan pamanmu juga nabi dan suamimu adalah Nabi. Lalu dengan apa ia berlaku sombong terhadapmu. Lalu Nabi bersabda : Takutlah kepada Allah wahai Hafshah.” (HR. Imam Ahmad (3/135), Tirmidzi (3894) dishahihkan oleh al-Albani).

Beberapa faedah hadis :

 1-Boleh meminta penyelesaian masalah kepada suami jika terjadi perselisihan antar madu.

2-Bagi seorang wanita hendaknya jangan mudah terpengaruh dengan ucapan yang ditujukan kepada dirinya asalkan ia tetap menjaga agama dan kehormatannya serta tetap percaya diri. Sampai meskipun yang berbicara adalah termasuk orang yang mulia sekalipun. Karena hal itu hanya akan mengeruhkan pikiran dan kehidupannya. Pada saat yang sama seharusnya masyarakat juga perlu mencari kejelasan berita sebelum membenarkannya.

3-Bagi suami hendaknya mengatasi kejadian kejadian semacam ini dengan bijak, penuh wibawa, tenang dan adil. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-telah menjelaskan kepada Shafiyyah tentang keutamaan dan kedudukannya. Tidak berkurang karena  ucapan tadi. Karena kemuliaan itu berdasarkan pada asas teragung dan termulia yaitu keimanan dan ketakwaan yang tergabung dalam rumah tangga kenabian. Kemudian beliau menasehati dan mengingatkan Hafshah dengan nama Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى -.

4-Disyariatkan bagi suami untuk menasehati dan mengingatkan istrinya karena Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى -.

5-Perkataan yang bersumber dari Hafshah boleh jadi terucap pada saat ia sedang marah. Tetapi seorang muslim tetap diperintahkan untuk menjaga lidahnya dari ketergelinciran dalam setiap kondisi. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى –berfirman,

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا  [الإسراء : 53]

“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku,”Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (al-Isra : 53)

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Latha-if Wa Fawaid Min al-Hayati az-Zaujiyah Fii Baiti an-Nubuwwah, Khalid bin Abdurrahman Asy-Syaayi’, ei, hal.  47-49.

Catatan :

[1] Ummul Mukminin Shafiyyah bintu Huyai bin Akhtab bin Sa’yah, keturunan dari La’wa bin Nabiyillah Israil bin Ishaq bin Ibrahim-عَلَيْهِ السَّلَامُ -dari keturunan Rasulullah Harun -عَلَيْهِ السَّلَام-. Sebelum masuk Islam diperistri oleh Sallam bin Abi Haqiq, kemudian berikutnya oleh Kinanah bin Abi Haqiq dan terbunuh pada perang Khaibar. Lalu Shafiyyah tertawan dan berada pada kepemilikan Dihyah al-Kalbi kemudian diserahkan kepada Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-ketika telah suci, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-menikahinya dengan mahar memerdekakannya. Beliau seorang wanita yang mulia dan cerdas, memiliki keturunan mulia, kecantikan dan agama yang baik. (Siyaru A’lami Nubala’ (2/231).

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending