Connect with us

baru

Shalat Awwabin (Antara Riwayat Lemah Dan Riwayat Shahihah)

Published

on

Kata “Shalat” tentunya tidak asing lagi di telinga para pembaca yang budiman. Namun, kata ‘Awwabin’ boleh jadi ada di antara sebagian kita -Kaum Muslimin- yang belum mengetahui apa maksudnya.

Awwabin adalah orang-orang yang senantiasa kembali kepada Allah ﷻ dengan selalu mentaatinya dan bertaubat dari perbuatan dosa. (Lihat, Syarhu Shahih Muslim, 6/30 dan Bahjatun Nazhirin, 2/310)

Siapa yang membaca sunnah Nabawiyah ia bakal mendapati adanya penyebutan ungkapan, صَلَاةُ اْلأَوَّابِيْنَ (shalat awwabin). Sabagai contohnya adalah tiga contoh riwayat berikut ini.

Contoh pertama, Riwayat Muhammad in Al Munkadir

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ أَنَّهُ يُحَدِّثُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ : مَنْ صَلَّى مَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ إِلَى صَلَاةِ الْعِشَاءِ فَإِنَّهَا صَلَاةُ اْلأَوَّابِيْنَ

Dari Muhammad bin Al Munkadir dia menyampaikan hadis dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau ﷺ bersabda, ‘Barangsiapa shalat (pada waktu) antara shalat Maghrib dan shalat Isya maka sesungguhnya itu adalah shalat awwabin.

Contoh kedua, Riwayat Utsman bin Abi Saudah

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي سَوْدَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ قَالَ : صَلَاةُ اْلأَوَّبِيْنَ أَوْ قَالَ : صَلَاةُ اْلأَبْرَارِ رَكْعَتَيْنِ إِذَا دَخَلْتَ بَيْتَكَ وَرَكْعَتَيْنِ إِذَا خَرَجْتَ.

Dari ‘Utsman bin Abi Saudah bahwa Rasulullah ﷺ “Shalat Awwabin-atau beliau ﷺ bersabda, “Shalat orang-orang yang taat (kepada Allah ﷻ ) adalah (shalat) dua rakaat ketika kamu masuk rumahmu dan dua rakaat ketika kamu keluar.”

Contoh ketiga, Riwayat Zaed bin Arqam

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ قَالَ : صَلَاةُ اْلأَوَّابِيْنَ حِيْنَ تَرْمَضُ الْفِصَالِ

Dari Zaed bin Arqam رَضِيَ اللهُ عَنْهُ bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Shalat awwabin (di waktu dhuha) adalah ketika anak-anak onta mulai kepanasan (karena cahaya matahari).

 

Tentantang Riwayat Muhammad in Al Munkadir

Riwayat Muhammad in Al Munkadir di atas diriwayatkan oleh Imam Ibnu Mubarak dalam kitab Az Zuhd, no. 1259 dari Abu Sharkhr, dari Muhammad bin Al Munkadir, dari Rasulullah.

Riwayat ini Lemah

Hadis ini lemah karena sanadnya mursal (tidak bersambung).

Muhammad bin Al Munkadir adalah seseorang dari generasi Tabi’in, sehingga ia tidak pernah bertemu Rasulullah ﷺ dan tidak pernah mendengar hadis dari beliau. Juga karena ada rawi (orang yang meriwayatkan hadis) yang bernama Abu Shakhr Humaid bin Ziyad. Rawi ini, riwayat hadisnya dinyatakan lemah oleh sebagian ulama ahli hadis, seperti Yahya bin Ma’in dan An Nasai (Lihat, kitab Tahdzibut Tahdzib, 3/36)

Hadis ini dilemahkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albaniy رَحِمَهُ اللهُ dalam kitab Silsilatul Ahadis Adh Dha’ifah, 10/133, no. 4617)

 

Tentang Riwayat Utsman bin Abi Saudah

Riwayat Utsman bin Abi Saudah di atas dikeluarkan juga oleh Imam Ibnul Mubarak رَحِمَهُ اللهُ dalam kitab Az Zuhd, no. 1279 dari Utsman bin Abi Saudara dari Rasulullah ﷺ .

Riwayat ini Lemah

Hadis ini juga lemah karena sanadnya mursal (tidak bersambung).

Utsman bin Abi Saudah adalah seorang dari generasi Tabi’in, sehingga dia tidak pernah bertemu Rasulullah ﷺ dan tidak pernah mendengar hadis dari beliau ﷺ .

Hadis ini juga dinyatakan lemah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam kitab Silsilatul Ahadis Adh Dha’ifah wal Maudhu’ah, 8/263, no. 3789.

 

Tentang Riwayat Zaed bin Arqam

Riwayat Zaed bin Arqam di atas dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam Shahihnya no.1780 dari jalur peiriwayatan Al Qasim Asy Syaibaniy.

Riwayat lengkap hadis ini adalah sebagai berikut :

Imam Muslim berkata :

وَحَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالاَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ – وَهُوَ ابْنُ عُلَيَّةَ – عَنْ أَيُّوبَ عَنِ الْقَاسِمِ الشَّيْبَانِىِّ أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ « صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ ».

Dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair, kedua berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail-dia adalah Ibnu ‘Ulayyah- dari Ayyub dari Al Qasim Asy Syaibaniy bahwa Zaed bin Arqam melihat sekelompok orang yang akan mengerjakan shalat dhuha, maka ia berkata (kepada mereka), ‘Tidakkah kalian telah mengetahui bahwa shalat ini di selain waktu ini lebih utama. Sungguh, Rasulullah ﷺ telah bersabda,

« صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ ».

“Shalat awwabin (di waktu dhuha) adalah ketika anak-anak onta mulai kepanasan (karena cahaya matahari).

Hadis ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Hibban di dalam Shahihnya no. 2539. Ibnu Hibban berkata :

أَخْبَرَنَا أَبُوْ يَعْلَى حَدَّثَنَا أَبُوْ خَيْثَمَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ عَنْ أَيُّوْبَ عَنِ الْقَاسِمِ الشَّيْبَانِي : عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمِ أَنَّهُ رَأى قوما يصلون الضحى في مسجد قباء فقال : لقد علموا أن الصلاة في غير هذه الساعة أفضل إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : ( صلاة الأوابين حين ترمض الفصال )

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ya’la (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah (ia berkata) telah menceritakana kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Ayyub dari Al Qasim Asy Syaibaniy : dari Zaed bin Arqam bahwa ia melihat sekelompok orang mengerjakan shalat Dhuha di masjid Quba, maka ia berkata, Kalian telah mengetahui bahwa shalat ini (yakni, shalat Dhuha) (yang dilakukan) di selain waktu ini adalah lebih utama, sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah bersabda,

« صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ ».

“Shalat awwabin (di waktu dhuha) adalah ketika anak-anak onta mulai kepanasan (karena cahaya matahari).

 

Riwayat ini Shahihah

Baik riwayat yang dikeluarkan imam Muslim di dalam shahihnya maupun yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban di dalam shahihnya merupakan riwayat yang shahihah.

Tentang riwayat yang dikeluarkan oleh imam Muslim, Syaikh Al Albani di dalam Irwaul Ghalil 2/220 (hadis no. 466) mengatakan, hadis : (صلاة الأوابين حين ترمض الفصال) HR. Muslim adalah shahih. Beliau juga menshahihkannya di dalam kitabnya As Silsilah Ash Shahihah 3/153, hadis no. 1164 dan di dalam Shahih Wa Dha’if Al Jami’ Ash Shaghir, hadis no. 7263.

Tentang riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban, Syaikh Syu’aib Al Arnauth di dalam tahqiqnya terhadap shahih Ibnu Hibban (6/280) mengatakan, ‘Sanadnya Shahih sesuai persyaratan keduanya (Bukhari dan Muslim).’

 

Kesimpulan :

Jadi, dari tiga contoh yang disebutkan di atas, kita mengetahui bahwa contoh pertama dan kedua, yaitu riwayat Muhammad bin Al Munkadir dan riwayat ‘Utman bin Abi Saudah yang dikeluarkan oleh Imam Ibnul Mubarak merupakan riwayat yang lemah.

Kelemahan dua hadis (riwayat) ini menjadikannya tidak boleh atau tidak bisa dijadikan sebagai argumenttasi dan sandaran untuk untuk menetapkan dianjurkannya shalat sunnah antara shalat Maghrib dan shalat Isya yang disebut sebagai shalat awwabin atau shalat sunnah dua rakaat ketika masuk rumah dan dua rakaat ketika keluar rumah.

Ditambah lagi bahwa shalat ini tidak ada seorang shahabat Nabi ﷺ pun yang melakukannya, sehingga sebagian dari para ulama menyatakan bahwa shalat ini termasuk bid’ah (yang diada-adakan dalam agama) dan semua bid’ah adalah sesat (Lihat kitab Bahjatun Nazhirin, 2/311 dan Bughyatul Mutathawwi’, hal. 130)

Adapun contoh ketiga, yaitu riwayat Zaed bin Arqam yang dikeluarkan oleh imam Muslim dan Ibnu Hibban merupakan riwayat yang shahihah terkait dengan shalat awwabin.

Cukuplah hadis shahih yang dijadikan sebagai argumentasi kuat untuk menetapkan keberadaan shalat yang disebut sebagai shalat awwabin yang waktunya adalah di waktu shalat dhuha ketika matahari mulai meninggi dan sinarnya mulai panas.

Hadis shahih ini menunjukkan bahwa shalat dhuha semakin di akhirkan dari awal waktunya maka semakin besar keutamaannya, selama tidak dikhawatirkan akan terlewatkan, misalnya karena ada kesibukan. (Lihat kitab Fathu Dzil Jalali Wal Ikram, 2/250)

Shalat pada waktu ini dinamakan shalat para awwabin karena pada waktu ini biasanya manusia sedang disibukkan dengan urusan dan perniagaan dunia, akan tetapi para hamba Allah ﷻ yang shaleh dan selalu kembali kepadanya memanfaatkan waktu ini untuk beribadah dan berdzikir kepada Allah ﷻ (Lihat kitab Taudhihu Al Ahkam, 2/445)

Akhirnya, semoga Allah ﷻ menjadikan kita termasuk golongan awwabin dan diberi taufik oleh Allah untuk melakukan sunnah-sunnah Nabinya ﷺ di antaranya adalah shalat Dhuha yang dilakukan di waktu yang paling utama. Amin

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTV
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Bagaimana Cara Puasa Mewujudkan Takwa?

Published

on

By

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  [البقرة : 183]

 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

(al-Baqarah : 183)

**

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-memerintahkan dan mendorong berpuasa karena puasa menjadikan kita menjaga diri. Pertanyaannya, menjaga diri dari apa ?

 

Sebelum menjawab pertanyaan ini, tentu akan bermanfaat apabila kita merujuk kepada asal-usul kata takwa itu sendiri, karena takwa itu berasal dari kata ittiqa, yang berarti menangkal gangguan dari diri. Kita menemukan, bahwa makna kata ini berporos pada perilaku yang didorong oleh rasa takut. Dan, perilaku ini akan melindungi seseorang dari apa yang ia takuti.

 

Dengan demikian, makna takwa adalah menjadikan pelindung antara diri Anda dan sesuatu yang Anda takutkan. Anda takut kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-karena Anda beriman kepada-Nya, dan beriman kepada keluhuran dan kuasa-Nya. Dan dengan berpuasa, Anda menjadikan suatu perlindungan antara diri Anda dan siksa Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Selain itu, Anda takut kepada neraka, karena neraka itu benar adanya. Dan dengan berpuasa, Anda menjadikan suatu perlindungan antara diri Anda dan adzab neraka.

 

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ سَلَّمَ-bersabda,

 

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

 

“Siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, Allah menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh (perjalanan) tujuh puluh tahun.” (Muttafaqun ‘Alaih)

 

“Takwa adalah asas keselamatan dan penjaga yang tidak pernah tidur, yang meraih tangan seseorang ketika terjatuh.” (Ibnul Jauzi)

 

Bagaimana Cara Puasa Mewujudkan Takwa ?

 

Salah satu tuntutan puasa dalam Islam adalah seorang muslim yang berpuasa menahan diri dari keinginan-keinginan tubuh yang mendesak dan juga kebutuhan-kebutuhan utamanya, serta mencegah jiwa dari apa yang diinginkannya, bukannya demi meraih manfaat materi di baliknya. Akan tetapi, seorang muslim berpuasa karena menjalankan perintah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, dan demi mendekatkan diri kepada-Nya. Ini termasuk salah satu manfaat takwa, yaitu kita mengerjakan apa yang Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-perintahkan kepada kita, baik akal bisa menerimanya atau pun tidak, baik jiwa mengetahui rahasia pemberlakuan syariat puasa atau pun tidak.

 

Betapa banyaknya orang yang terhalang dari kebaikan, mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram disebabkan karena menggunakan akal terlalu berlebihan, dan menyatakan bahwa perintah-perintah ilahi tidak sesuai dengan akal mereka yang tidak laku dan rusak, selain juga mereka tidak bisa membedakan antara alasan dan hikmah pemberlakuan syariat.

 

“Tetaplah bertakwa dalam segala kondisi, karena di dalam kesempitan, yang engkau lihat hanyalah kelapangan ; dan ketika sakit, yang engkau lihat adalah kesehatan.” (Ibnul Jauzi)

 

**

Ibadah adalah Jalan Kita Menuju Takwa

 

Seorang hamba tidaklah meraih takwa, kecuali dengan konsisten menjalankan ketaatan, melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan berbekal diri dengan amalan-amalan nafilah (sunnah), karena keinginan untuk mencapai takwa dan mencapai derajat orang-orang yang bertakwa itu mendorong seorang muslim untuk mencurahkan tenaganya secara lebih dan menjalankan berbagai macam ibadah agar jiwa tidak  bosan dan jemu. Selain juga akan mendorongnya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah-ibadah sesuai dengan aturan-aturan syar’inya.

 

Inilah yang kita temukan di bulan Ramadhan, bulan puasa, karena banyak di antara kaum Muslimin yang mungkin hanya melaksanakan qiyamullail di bulan Ramadhan saja. Dan di bulan Ramadhan pula, ia bersungguh-sungguh mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak sekali atau berkali-kali, mengulurkan tangan untuk bersedekah, dan amalan-amal ibadah lainnya.

 

Seperti itulah ibadah demi ibadah dilakukan secara berturut-turut, di mana seorang muslim bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan waktu dan tenaganya, sesuai dengan tingkat ekonominya ; kaya atau miskinnya, dan sesuai dengan kondisi sehat atau sakitnya, demi mengharap menjadi orang yang bertakwa, karena takwa itu mendorong untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah, serta melaksanakan ragam ibadah.

**

“Ketika jiwamu condong kepada syahwat, maka kekanglah ia dengan tali kekang takwa.” (Ibnul Jauzi)

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.33, 34 dan 36.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Puasa, Agar Kamu Bersyukur

Published

on

“Apabila nikmat-nikmat berdatangan kepadamu, janganlah engkau mengusirnya dengan kurang bersyukur.” (Ats-Tsa’labi)

 

**

Bersyukur kepada Allah ta’ala merupakan salah satu tujuan puasa dan rahasia pemberlakuan syariat puasa yang dituturkan oleh ayat-ayat puasa :

 

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ  [البقرة : 185]

 

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur

(al-Baqarah : 185)

 

Syukur itu dipanjatkan karena adanya nikmat. Orang seringkali terbiasa dengan adanya nikmat. Karena sudah terbiasa, mereka lupa untuk memanjatkan syukur kepada Allah ta’ala, karena orang umumnya hanya merasakan adanya nikmat dan nilainya, ketika nikmat tersebut sudah tidak ada lagi.

 

Karenanya, puasa datang untuk kembali mengingatkan orang akan adanya nikmat-nikmat pada dirinya, dan mengajak bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat-nikmat itu. Firman Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – :

 

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ  [النحل : 18]

 

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (An-Nahl : 18)

 

Puasa datang untuk mengingatkan kembali nikmat suap makan dan tegukan minum kepada seseorang, mengingatkan pentingnya kenyang dan puas minum, sehingga hal itu mendorongnya untuk bersyukur kepada Sang pemberi nikmat, dan tidak berlebihan dalam makan dan minum, juga tidak boros.

 

Di antara perilaku Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-adalah ketika beliau merebah ke tempat tidur, beliau bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat makanan yang beliau makan hingga kenyang, nikmat air minum yang membuatnya puas serta menghilangkan dahaga, nikmat tempat bernaung yang memberikan naungan dan hunian bagi beliau. Karenanya beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-berdoa :

 

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَكَفَانَا وَآوَانَا فَكَمْ مِمَّنْ لاَ كَافِىَ لَهُ وَلاَ مُئْوِىَ

 

“Segala puji bagi Allah yang memberi kami makan, minum, mencukupi kami dan memberi kami tempat berteduh. Berapa banyak orang yang tidak mendapatkan siapa yang memberi kecukupan dan tempat berteduh untuknya.” (HR. Muslim)

 

Pada suatu hari, beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-makan kurma muda bersama Abu Bakar dan Umar –رَضِيَ اللهُ عَنْهُما-, serta minum air. Seusai makan, beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berkata :

هَذَا مِنَ النِّعَمِ الَّذِي تُسْأَلُوْنَ عَنْهُ

 

“Ini termasuk di antara nikmat yang kalian kelak akan ditanya tentangnya.” (HR. Ahmad)

 

Lapar mengingatkan Anda pada nikmat suap makanan, dan dahaga membuat Anda merasakan nikmat air minum. Dengan bersyukur, nikmat-nikmat tersebut akan tetap langgeng bertahan.

 

“Siapa dikaruniai syukur, ia tidak terhalang dari tambahan nikmat.”

 

 

Wallahu A’lam

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.37-38.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Jangan Sampai Puasa Tidak Berpahala Karena Lidah Masih Terus Bermaksiat

Published

on

Ibadah Puasa memiliki pahala yang sangat besar di sisi Allah Ta’ala, terlebih Puasa Ramadhan, karena hukumnya wajib, dan amalan wajib lebih berpahala daripada yang sunnah, dan yang wajib tidak boleh ditinggalkan, jika tertinggal maka harus diganti (qadha).

Namun dalam pelaksanaannya, menunaikan ibadah puasa ramadhan bukan hanya dengan tidak melakukan pembatalnya, seperti makan/minum dan berhubungan badan, dll.

Namun dalam berpuasa, seseorang juga harus menahan dirinya dari maksiat-maksiat lainnya meski itu tidak membatalkan dan puasanya tetap sah.

Dan diantara maksiat-maksiat itu adalah dosa-dosa lisan, seperti berbohong, menghina, menghibah dan lain sebagainya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

 

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan dari mengerjakannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari)

 

Dan beliau bersabda:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

 

“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia  dan perkataan tidak sopan. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau mengganggumu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim)

 

Jadi, tujuan dari puasa itu adalah mendidik seseorang untuk menjadi lebih baik dengan mampu menahan seluruh hawa nafsunya, bukan hanya sekedar kuat tidak makan dan minum seharian.

 

Maka, raihlah di bulan ramadhan ini pahala sebanyak-banyaknya dan raihlah ampunan Allah Ta’ala.

Dan jadikan ramadhan ini momen untuk berubah, karena mungkin berubah menjadi baik pada bulan-bulan sebelumnya sulit, sedangkan pada bulan ini lebih mudah karena kondisi yang mendukung, yaitu ketika semua orang berusaha menahan dirinya dan memperbanyak ibadahnya serentak dalam satu waktu.

 

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menaungi kita semua dengan taufik dan hidayah-Nya.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending