Ramadhan
Shalat Tarawih (2)
Pada edisi yang lalu, kita telah membahas seputar masalah “Hukum, Berjamaah dalam Pelaksanaan dan Keutamaan Shalat Tarawih”. Telah kita katakan bahwa Shalat tarawih hukumnya adalah sunnah berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan, disyariatkan pelaksanaannya secara berjamaah di bulan ramadhan dengan tiga alasan:
- Adanya legitimasi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
- Tindakan beliau sendiri, dan
- Adanya penjelasan beliau mengenai keutamaan pelaksanaan shalat tersebut secara berjama’ah.
Pembaca yang budiman…
Adapun bahasan kita selanjutnya adalah tentang jumlah rokaat dalam sholat tarowih. Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat dikalang ulama. Yang masyhur dari apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bahwa beliau melakukannya 11 rokaat. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud dan yang lainnya bahwa Abi Salamah bin Abdirrohman pernah bertanya kepada ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anhu– tentang bagaimana sholat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan ramadhan?. beliau menjawab,
مَا كَانَ يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنِّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا
“Baik pada bulan romadhan maupun pada bulan-bulan yang lain, beliau tidak pernah shalat malam melebihi 11 rokaat. Beliau sholat 4 rokaat, jangan tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau sholat lagi empat raka’at; jangan juga tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat (witir) 3 roka’at.
Namun, ada juga yang berpendapat bisa juga jumlah rokaatnya 20 dan ada juga pendapat lainnya. Mengenai hal ini, insyaa Allah akan kita bahas pada edisi mendatang. Pertanyaannya di sini, “Apa sebabnya para ulama -semoga Alloh merahmati mereka semua- berbeda pendapat tentang jumlah bilangannya? maka, ada beberapa faktor tentunya. Di antara factor tersebut, -wallohu a’lam– yaitu:
Yang pertama, karena kurangnya atau bahkan tidak adanya penelitian terhadap dalil-dalil tentang jumlah bilangan rokaat.
Yang kedua, adanya keterbatasan mereka di dalam memahami nash, sehingga dimungkinkan nash dipahami dengan tidak tepat, atau dimungkinkan pula ada penakwilan yang keliru.
Pembaca yang budiman…
Adapun faktor yang pertama, yaitu “kurangnya atau bahkan tidak adanya penelitian terhadap dalil-dalil tentang jumlah bilangan rokaat”. Maka, tentu adalah merupakan uzur bagi ulama yang belum mendapati dalil lainnya yang menunjukkan jumlah yang berbeda dengan jumlah yang dalilnya telah ia ketahui untuk tidak mengamalkannya. Dan, bila ternyata ia salah maka –insyaa Alloh ta’ala- ia tetap mendapatkan ganjaran. Hal ini seperti tercermin dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhori dan lainnya,
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
“Apabila seseorang hakim itu menetapkan hukum dengan berijtihad, dan ijtihadnya benar maka dia akan mendapatkan dua ganjaran. Dan apabila dia menetapkan hukum, lalu salah; maka ia akan mendapatkan satu ganjaran”.
Adapun factor yang kedua, yaitu “adanya keterbatasan mereka di dalam memahami nash, sehingga dimungkinkan nash dipahami dengan tidak tepat, atau dimungkinkan ada penakwilan yang keliru”. Maka, ini merupakan sesuatu yang sangat wajar. Karena, “keterbatasan ilmu” merupakan keniscayaan, bukankah Allah ta’ala berfirman,
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf: 76)
Namun, tidak berarti bahwa seseorang boleh tetap berpegang dengan pendapatnya dalam memahami nash atau penakwilannya terhadap nash meskipun ternyata pemahamannya atau penakwilannya itu lemah atau bahkan salah. Namun, hendaknya ia dengan lapang dada meninggalkan pendapatnya tersebut dan memilih pendapat yang benar. Karena, kebenaran itulah yang berhak untuk diikuti.
Sebagai contoh, sebuah penakwilan atau pemahaman yang keliru adalah bahwa yang dimaksud dengan perkataan ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menambah jumlah raka’at baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan lainnya dari sebelas adalah “sholat witir”. Pendapat ini atau penakwilan ini adalah lemah, tidak benar. Sebab, kalau kita kembali menilik bahwa pernyataan ‘Aisyah tadi merupakan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau, “Bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan?”, sholat yang ditanyakan di sini meliputi seluruh sholat malam. Sehingga, tidaklah tepat bila ditakwilkan hanya dengan sholat witir. Allahu a’lam. Ini sekedar salah satu contoh saja.
Akhirnya, semoga Allah menunjukkan kepada kita bahwa yang benar itu adalah benar, dan mengaruniakan pula kepada kita kemampuan untuk mengikutinya. Dan, semoga Allah menunjukkan kepada kita bahwa yang salah itu adalah salah, dan semoga pula mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk menjauhinya. Allahu a’lam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabat beliau.
(Abu Umair)
Nasihat
Saat Idul Fitri Menjelang **
Saat Idul Fitri Menjelang
**
Terakhir, inilah perasaan seorang muslim di pagi hari raya Idul Fitri. Ia menuturkan :
“Aku ingat pagi hari Idul Fithri, kutemui anak-anak yang yatim. Tidak ada yang mau mencium mereka. Bahkan sekedar memberikan senyum untuk mereka. Aku ingat di pagi hari Idul Fithri aku bersama para janda, yang tidak bisa lagi merasakan kelembutan, juga kerinduan kepada suami mereka. Aku ingat, di hari raya Idul Fithri kita semua menikmati hidangan makanan enak dan minuman segar yang dapat menghilangkan lapar.
Aku ingat, di hari raya Idul Fithri kita berkumpul bersama dari semua umur, anak-anak, bapak-bapak dan ibu-ibu. Sementara ada saudara kita (semisal di Palestina) yang waktunya terampas oleh peperangan. Tak ada kenyamanan, ketenangan dan rasa aman. Hari raya mereka hanyalah linangan air mata, kesedihan serta kenangan seperti dipenjara.
Pada saat yang sama aku mengenakan baju baru, mengunjungi sanak-kerabat di sana-sini, menikmati makanan dan minuman…aku tertawa dan bercanda.
Tetapi, perasaan sebagai satu bagian utuh sebuah tubuh dan rasa persaudaraan tumbuh kuat dalam diriku. Aku tak akan melupakan mereka. Kalaupun aku tertawa, ada guratan duka menoreh wajahku. Lisanku bergetar melantunkan doa bagi mereka. Aku pun menceritakan keadaan mereka kepada keluarga dan tetanggaku.
Lisanku selalu berdoa untuk mereka, dimana keluarga dan tetanggaku menggunjingkan mereka…
Dalam Shahih Muslim disebutkan :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
‘Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam kasih sayang dan kecintaan mereka ibarat satu tubuh, jika anggota tubuh mengadu kesakitan maka semua anggota tubuh yang lain akan ikut demam dan terjaga semalaman.’
Barang siapa yang berbuat kebaikan maka kebaikan ini kembali kepada dirinya sendiri ; barang siapa yang tinggi cita-citanya maka kebaikan akan mengikutinya; namun barang siapa yang rendah cita-citanya maka kehinaan akan selalu mengikutinya…
Kusucikan cita-citaku dari apa-apa yang dilarang Allah
Menuju bulan yang khusyuk dengan berbekal kekhusukan,
bulan yang suci, dengan bekal amal sholeh…
Orang-orang yang berpuasa dengan istiqamah
akan mendapatkan tempat yang kekal dan didampingi bidadari yang menyenangkan
Penuh ampunan dari yang Maha Agung dengan kekuasaan-Nya yang besar
Wahai saudaraku, segeralah bangkit beramal
sebelum Ramadhan pergi
Semoga Allah Yang Maha Pengasih menghapus semua dosa-dosaku
dan mengampuni kesalahanku sebelum di buku kejelekanku…
Amin
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Ruhaniyyatush Shiyam, Dr. Ibrahim ad-Duwaisy, ei, hal. 49-51.
Nasihat
Puasa Agar Mereka Memperoleh Kebenaran **
Puasa Agar Mereka Memperoleh Kebenaran
**
“Ar-Rusyd adalah menemukan kebenaran dan mengamalkannya.”
**
Ar-Rusyd adalah tujuan ketiga di antara tujuan-tujuan disyariatkannya puasa, dan salah satu rahasia diwajibkannya puasa. Allah ta’ala berfirman di akhir ayat-ayat puasa :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ [البقرة : 186]
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (al-Baqarah : 186)
Kebenaran yang merupakan salah satu buah puasa, dinilai sebagai sifat positif dan penting bagi kepribadian seorang muslim, yang memberinya keseimbangan jiwa, pikiran, perasaan, dan emosi, serta membebaskannya dari segala fenomena yang memperburuk kepribadian insan modern yang tidak tumbuh berkembang di sela-sela al-Qur’an dan tidak mengikuti hukum-hukumnya, sehingga kepribadiannya terserang kelemahan, kepolosan, kelalaian, egoisme, atau kesedihan, seperti yang dituturkan oleh Dr. Shalah al-Khalidi.
Ayat ini mengandung penjelasan tentang jalan yang mengantarkan kepada kebenaran, yaitu beriman kepada Allah Ta’ala, berdoa kepada Allah ta’ala, dan memenuhi perintah-Nya, termasuk di antaranya berpuasa Ramadhan.
Ada yang mengatakan, ar-Rusyd adalah istiqamah di dalam agama.
Fenomena-fenomena Kebenaran yang Diwujudkan Puasa
Di antara fenomena-fenomena kebenaran adalah istiqamah di dalam agama dan tetap berada di atas agama. Dan di antara fenomena-fenomena kebenaran yang diwujudkan puasa bagi seorang muslim adalah :
Pertama, kebenaran penglihatan. Kebenaran ini terwujud dengan menundukkan dan menahan penglihatan untuk leluasa memandang segala hal yang tercela atau terlarang, dan juga hal-hal yang dapat menyibukkan dan melenakan hati dari mengingat Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.
Kebenaran ini terwujud dengan berlama-lama menatap al-Qur’an dengan membaca dan merenungkannya, serta menahan penglihatan dari memandang apa yang Allah haramkan, agar tidak menciderai puasa.
Seseorang bertanya kepada al-Junaid, “Dengan apakah aku bisa menundukkan pandangan dengan mudah ?’ Al-Junaid menjawab, ‘Dengan kau mengetahui bahwa Allah melihatmu, di mana penglihatan-Nya kepadamu lebih cepat dari penglihatanmu kepada objek yang engkau lihat.”
“Menundukkan penglihatan dari apa yang diharamkan Allah, akan mendatangkan cinta Allah.” (al-Hasan bin Mujahid)
Kedua, kebenaran lisan. Kebenaran ini terwujud dengan menjaga lisan dari kata-kata ngelantur tidak jelas, dusta, adu domba, ghibah, tutur kata kotor, kasar, permusuhan, dan perdebatan, tetap diam, menyibukkannya dengan dzikir menyebut Allah ta’ala dan membaca al-Qur’an. Ini merupakan puasanya lisan.
Kebenaran ini muncul sebagai dampak alami yang didapatkan siapa yang selalu membasahkan lisannya dengan mengingat Allah, membiasakannya jauh dari segala kata dan ucapan-ucapan yang dapat melukai puasanya. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ
Pada hari ketika seseorang di antara kalian berpuasa, janganlah ia berkata kotor, dan janganlah (pula) berteriak-teriak (HR. al-Bukhari)
“Puasa itu tidak hanya menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi juga menahan diri dari dusta, kebatilan, kata-kata sia-sia, dan sumpah.” (Umar bin Khaththab- رًضِيَ اللهُ عَنْهُ)
Ketiga, kebenaran telinga. Kebenaran ini terwujud dengan mencegah telinga dari mendengar apa saja yang dibenci Allah karena apa saja yang diharamkan diucapkan, haram pula didengarkan. Kebenaran ini muncul sebagai buah baik bagi siapa yang terbiasa mendengarkan al-Qur’an dan nasihat-nasihat di bulan Ramadhan, serta mendengarkan segala yang membawa manfaat dari kebaikan, juga menutup telinga dari segala yang diharamkan dan dimakruhkan oleh syariat.
“Apabila engkau berpuasa, maka hendaklah berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu dari berkata dusta dan dosa.” (Jabir bin Abdillah-رًضِيَ اللهُ عَنْهُمَا)
Ketiga, kebenaran otak. Kebenaran ini terwujud dengan meraih ilmu dan pengetahuan, serta menyibukkan otak dengan ibadah merenungkan nikmat-nikmat dan makhluk-makhluk Allah, serta menggunakannya untuk hal-hal yang membawa manfaat bagi seorang mukmin, baik di dunia maupun di akhirat. Kebenaran ini muncul sebagai buah baik mendalami perkara-perkara agama, khususnya puasa, semangat mendengarkan ceramah dan pelajaran. Juga sebagai buah baik menggunakan akal dalam merenungkan ayat-ayat Allah yang dibaca dalam kitab-Nya, dan merenungkan ayat-ayat yang nampak nyata di alam semesta-Nya.
Ummu Darda’ ditanya, ‘Apakah amalan terbaik Abu Ad-Darda’ ?” Ia menjawab, “Berpikir dan memetik pelajaran.”
“Berpikir itu cahaya, lalai itu kegelapan, kebodohan itu kesesatan, dan ilmu itu kehidupan.” (Orang bijak)
Keempat, kebenaran tubuh. Kebenaran ini terwujud dengan tidak memperbanyak makan meski halal sekalipun, dan menahan diri dari segala syubhat yang mubah manakala Allah memerintahkannya, karena tujuan dari puasa adalah mengosongkan perut dan mematahkan syahwat hawa nafsu, sehingga jiwa menjadi kuat untuk bertakwa.
Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,
حَسْبُ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثُ طَعَامٍ وَثُلُثُ شَرَابٍ وَثُلُثٌ لِنَفْسِهِ
Cukuplah beberapa suap makan bagi anak Adam untuk sekedar menegakkan tulang punggungnya. Jika pun harus menambah, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk bernafas.” (HR. Imam Ahmad)
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.42-45.
Nasihat
Wasiat Singkat Penutup Ramadhan 1445 H
Wasiat Singkat Penutup Ramadhan 1445 H
Ramadhan 1445 H telah sampai ke penghujungnya, bulan nan mulia penuh ampunan dan rahmat Allah Ta’ala sekali lagi akan pergi meninggalkan kita semua, namun semoga kepergiannya tidak dengan membawa semua ketaatan dan perubahan positif pada diri kita selama sebulan ini, akan tetapi dia pergi dengan membawa kebiasaan buruk kita di bulan-bulan sebelumnya.
Semua ini karena memang manfaat kewajiban puasa ramadhan adalah agar kita menjadi bertakwa, sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS Albaqarah: 183)
Dan Takwa adalah menjalankan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Namun, di sisa hari yang ada, maksimalkanlah kesempatan yang ada, dengan shalat 5 waktu, terawih, tilawah dan itikaf.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena Iman dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari dan Muslim).
Dan haditnya:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Barangsiapa beribadah (menghidupkan) bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari dan Muslim).
Dan perbanyaklah doa berikut ini pada setiap harinya:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ: أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيَّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ اَلْقَدْرِ, مَا أَقُولُ فِيهَا? قَالَ: “قُولِي: اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اَلْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي“
(صَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَالْحَاكِمُ)
Artinya, “Dari sayyidah Aisyah ra, ia bercerita, ia pernah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku mengerti sebuah malam itu adalah lailatul qadar. Bagaimana doa yang harus kubaca?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Bacalah, ‘Allāhumma innaka afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annī (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan menyukai ampunan, maka ampunilah aku),’’” (Hadits ini diakui shahih oleh Imam A-Tirmidzi dan Al-Hakim).
Dan terakhir, agar tidak lupa menunaikan zakat fitrah bagi yang mampu, karena hukumnya wajib dan dia merupakan bentuk syukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat materi dan juga sebagai sarana untuk saling berbagi dengan sesama muslim yang membutuhkan.
Allah Ta’ala berfirman:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya : “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”
(QS Attaubah: 60)
Terakhir, semoga Allah Ta’ala menerima amal ibadah kita selama bulan ramadhan ini dan mengampuni dosa-dosa kita semua, serta semoga Allah Ta’ala memanjangkan umur kita agar kembali dapat menemui ramadhan tahun depan, Aamiin.
-
Akhlak4 tahun ago
Pencuri dan Hukumannya di Dunia serta Azabnya di Akhirat
-
Khutbah8 tahun ago
Waspadailah Sarana yang Mendekatkan pada Zina
-
Fatwa9 tahun ago
Serial Soal Jawab Seputar Tauhid (1)
-
Nasihat8 tahun ago
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.”
-
Fiqih Hisbah8 tahun ago
Diantara Do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam
-
safinatun najah6 tahun ago
Manfaat Amar Maruf Nahi Munkar
-
Tarikh9 tahun ago
Kisah Tawakal dan Keberanian Abdullah bin Mas’ud
-
Akhlak7 tahun ago
Riya & Sum’ah: Pamer Ibadah