Pada edisi yang lalu, kita telah membahas seputar masalah “Hukum, Berjamaah dalam Pelaksanaan dan Keutamaan Shalat Tarawih”. Telah kita katakan bahwa Shalat tarawih hukumnya adalah sunnah berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan, disyariatkan pelaksanaannya secara berjamaah di bulan ramadhan dengan tiga alasan:
- Adanya legitimasi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
- Tindakan beliau sendiri, dan
- Adanya penjelasan beliau mengenai keutamaan pelaksanaan shalat tersebut secara berjama’ah.
Pembaca yang budiman…
Adapun bahasan kita selanjutnya adalah tentang jumlah rokaat dalam sholat tarowih. Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat dikalang ulama. Yang masyhur dari apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bahwa beliau melakukannya 11 rokaat. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud dan yang lainnya bahwa Abi Salamah bin Abdirrohman pernah bertanya kepada ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anhu– tentang bagaimana sholat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan ramadhan?. beliau menjawab,
مَا كَانَ يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنِّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا
“Baik pada bulan romadhan maupun pada bulan-bulan yang lain, beliau tidak pernah shalat malam melebihi 11 rokaat. Beliau sholat 4 rokaat, jangan tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau sholat lagi empat raka’at; jangan juga tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat (witir) 3 roka’at.
Namun, ada juga yang berpendapat bisa juga jumlah rokaatnya 20 dan ada juga pendapat lainnya. Mengenai hal ini, insyaa Allah akan kita bahas pada edisi mendatang. Pertanyaannya di sini, “Apa sebabnya para ulama -semoga Alloh merahmati mereka semua- berbeda pendapat tentang jumlah bilangannya? maka, ada beberapa faktor tentunya. Di antara factor tersebut, -wallohu a’lam– yaitu:
Yang pertama, karena kurangnya atau bahkan tidak adanya penelitian terhadap dalil-dalil tentang jumlah bilangan rokaat.
Yang kedua, adanya keterbatasan mereka di dalam memahami nash, sehingga dimungkinkan nash dipahami dengan tidak tepat, atau dimungkinkan pula ada penakwilan yang keliru.
Pembaca yang budiman…
Adapun faktor yang pertama, yaitu “kurangnya atau bahkan tidak adanya penelitian terhadap dalil-dalil tentang jumlah bilangan rokaat”. Maka, tentu adalah merupakan uzur bagi ulama yang belum mendapati dalil lainnya yang menunjukkan jumlah yang berbeda dengan jumlah yang dalilnya telah ia ketahui untuk tidak mengamalkannya. Dan, bila ternyata ia salah maka –insyaa Alloh ta’ala- ia tetap mendapatkan ganjaran. Hal ini seperti tercermin dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhori dan lainnya,
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
“Apabila seseorang hakim itu menetapkan hukum dengan berijtihad, dan ijtihadnya benar maka dia akan mendapatkan dua ganjaran. Dan apabila dia menetapkan hukum, lalu salah; maka ia akan mendapatkan satu ganjaran”.
Adapun factor yang kedua, yaitu “adanya keterbatasan mereka di dalam memahami nash, sehingga dimungkinkan nash dipahami dengan tidak tepat, atau dimungkinkan ada penakwilan yang keliru”. Maka, ini merupakan sesuatu yang sangat wajar. Karena, “keterbatasan ilmu” merupakan keniscayaan, bukankah Allah ta’ala berfirman,
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf: 76)
Namun, tidak berarti bahwa seseorang boleh tetap berpegang dengan pendapatnya dalam memahami nash atau penakwilannya terhadap nash meskipun ternyata pemahamannya atau penakwilannya itu lemah atau bahkan salah. Namun, hendaknya ia dengan lapang dada meninggalkan pendapatnya tersebut dan memilih pendapat yang benar. Karena, kebenaran itulah yang berhak untuk diikuti.
Sebagai contoh, sebuah penakwilan atau pemahaman yang keliru adalah bahwa yang dimaksud dengan perkataan ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menambah jumlah raka’at baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan lainnya dari sebelas adalah “sholat witir”. Pendapat ini atau penakwilan ini adalah lemah, tidak benar. Sebab, kalau kita kembali menilik bahwa pernyataan ‘Aisyah tadi merupakan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau, “Bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan?”, sholat yang ditanyakan di sini meliputi seluruh sholat malam. Sehingga, tidaklah tepat bila ditakwilkan hanya dengan sholat witir. Allahu a’lam. Ini sekedar salah satu contoh saja.
Akhirnya, semoga Allah menunjukkan kepada kita bahwa yang benar itu adalah benar, dan mengaruniakan pula kepada kita kemampuan untuk mengikutinya. Dan, semoga Allah menunjukkan kepada kita bahwa yang salah itu adalah salah, dan semoga pula mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk menjauhinya. Allahu a’lam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabat beliau.
(Abu Umair)