Connect with us

Ramadhan

Shalat Tarawih (3)

Published

on

Pembaca yang budiman …

Pada edisi yang lalu, kita telah membahas seputar masalah jumlah rokaat dalam sholat tarowih. Dan, kita katakan bahwa dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Yang masyhur dari apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah 11 rokaat.  Namun, ada juga yang berpendapat selain 11 roka’at. Dan, kita juga telah menyebutkan beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya perbedaan pendapat tersebut. Maka, masalah berikutnya yang ingin kita sampaikan dalam tulisan ini adalah,

“ Bagaimana kita bersikap terhadap adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama tersebut dalam masalah ini?”

Pembaca yang budiman…

Di antara sikap kita adalah:

Pertama, dalam masalah ini, hendaknya seseorang tidak sampai berpandangan bahwa ulama yang berpendapat 11 rokaat menganggap bid’ah dan sesat terhadap ulama yang menyelisihi pendapatnya tersebut. Ada pelajaran berharga dari kisah perbedaan pendapat para ulama tentang penyempurnaan sholat (tidak mengqasharnya) pada waktu safar (bepergian). Sebagian mereka membolehkannya, namun sebagian yang lain melarangnya bahkan menganggapnya sebagai bid’ah yang menyelisihi sunnah. Namun, meskipun begitu, mereka tidak menganggap orang yang menyelisihi mereka sebagai ahli bid’ah. Perhatikan contoh berikut, Ibnu Umar berpendapat, “shalat orang yang tengah bepergian itu 2 roka’at. Barangsiapa yang menyalahi sunnah berarti dia kafir.” (HR. Ibnu Siraj di dalam Musnadnya). Syaikh al Albani mengatakan, “Dengan dua jalur sanad yang shahih”. Meski demikian, ibnu Umar tidak menganggap kafir atau menganggap sesat orang yang menyelisihi beliau karena ijtihad. Bahkan tatkala beliau shalat di belakang orang yang berpendapat bolehnya menyempurnakan sholat ketika seseorang dalam bepergian itu, beliau pun ikut juga menyempurnakan shalat. Ibnu Siraj meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengqashar shalat ketika di Mina. Kemudian Abu Bakar, Umar dan juga Utsman pada awal pemerintahannya juga mengqashar shalat mereka di Mina. Namun, kemudian Utsman pernah juga menyempurnakan shalat di Mina. Maka ibnu Umar apabila ia shalat di belakang Utsman ia menyempurnakan shalatnya. Namun apabila beliau shalat sendirian, beliau mengqashar shalatnya. (HR. Al-Bukhari dengan lafadz yang mirip) di dalam riwayat itu bahkan disebutkan bahwa beliau tatkala mengetahui bahwa Utsman menyempurnakan shalatnya, beliau meralat pendapatnya. Ya, coba anda renungkan, Ibnu Umar yang berkeyakinan bahwa orang yang menyelisihi sunnah yang jelas dengan menyempurnakan shalat saat bepergian adalah keliru, ternyata beliau tidak terdorong oleh keyakinannya itu untuk menganggap bid’ah atau sesat orang yang menyelisihinya. Bahkan beliau mau shalat bermakmum dengannya; karena beliau tahu bahwa Utsman –semoga Allah meridhainya- menyempurnakan shalatnya bukanlah demi memperturutkan hawa nafsunya, tetapi semata-mata hanyalah karena ijtihad beliau. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunannya dari Zuhri, bahwa Utsman bin Affan menyempurnakan shalatnya di Mina karena adanya banyak orang-orang Arab dusun. Beliau shalat empat raka’at untuk mengajarkan kepada mereka asal shalat tersebut memang empat raka’at. Allahu a’lam.

Kedua, perbedaaan tersebut sebagai ijtihad mereka terhadap dalil-dalil yang ada. Para ulama –semoga Allah merahmati mereka semuanya- telah bersungguh-sungguh di dalam membangun pendapat mereka berdasarkan kepada berita yang sampai kepada mereka yang sangat boleh jadi ada sesuatu yang sampai kepada ulama A sedangkan kepada ulama B hal tersebut tidak sampai kepadanya. Maka, kita berbaik sangka.

Ketiga, jika pendapat mereka tersebut dibangun di atas penakwilan yang keliru yang ditunjukkan oleh adanya indikasi yang kuat akan hal itu, maka kita tolak. Karena, kebenaranlah yang wajib diikuti sementara kekeliruan wajib untuk tidak diikuti. Syaikh Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Alu Fauzan di dalam kitabnya “

الإرشاد إلى صحيح الاعتقاد والرد على أهل الشرك والإلحاد

(al-Irsyaad Ilaa Shohihil ‘itiqod wa ar-roddu ‘Ala Ahli asy-Syirki wa al-Ilhad) mengatakan,

والواجب أن يؤخذ من قول المجتهد ما وافق الدليل ويطرح ما خالفه . قال الأئمة رحمهم الله : “كل يؤخذ من قوله ويترك؛ إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم“.

Yang wajib adalah agar diambil dari pendapat mujtahid  sesuatu yang mencocoki dalil dan dibuang sesuatu yang menyelisihinya. Para imam – semoga Alloh merahmati mereka- berkata, “setiap orang diambil dari perkataannya dan ditinggalkan kecuali Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keempat, memang benar bahwa mereka terkadang juga melakukan kekeliruan menurut syariat. Hal ini seperti tercermin dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wasalam, yang telah kita sebutkan pada tulisan yang lalu (Tarawih (2)) yaitu bahwa beliau bersabda,

إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر

“Apabila seseorang hakim itu menetapkan hukum dengan berijtihad, dan ijtihadnya benar maka dia akan mendapatkan dua ganjaran. Dan apabila dia menetapkan hukum, lalu salah; maka ia akan mendapatkan satu ganjaran”.

Namun, mereka tidak tercela karena kesalahannya itu. Oleh karena itu, sikap kita adalah tidak mencela mereka yang diduga salah atau ternyata salah di dalam ijtihadnya.

Kelima, tentu sikap yang paling selamat adalah dengan mengikuti sunnah karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wallahu a’lam 

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabat beliau.

(Abu Umair)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Nasihat

Saat Idul Fitri Menjelang **

Published

on

Saat Idul Fitri Menjelang

**

Terakhir, inilah perasaan seorang muslim di pagi hari raya Idul Fitri. Ia menuturkan :

“Aku ingat pagi hari Idul Fithri, kutemui anak-anak yang yatim. Tidak ada yang mau mencium mereka. Bahkan sekedar memberikan senyum untuk mereka. Aku ingat di pagi hari Idul Fithri aku bersama para janda, yang tidak bisa lagi merasakan kelembutan, juga kerinduan kepada suami mereka. Aku ingat, di hari raya Idul Fithri kita semua menikmati hidangan makanan enak dan minuman segar yang dapat menghilangkan lapar.

Aku ingat, di hari raya Idul Fithri kita berkumpul bersama dari semua umur, anak-anak, bapak-bapak dan ibu-ibu. Sementara ada saudara kita (semisal di Palestina) yang waktunya terampas oleh peperangan. Tak ada kenyamanan, ketenangan dan rasa aman. Hari raya mereka hanyalah linangan air mata, kesedihan serta kenangan seperti dipenjara.



Pada saat  yang sama aku mengenakan baju baru, mengunjungi sanak-kerabat di sana-sini, menikmati makanan dan minuman…aku tertawa dan bercanda.

Tetapi, perasaan sebagai satu bagian utuh sebuah tubuh dan rasa persaudaraan tumbuh kuat dalam diriku. Aku tak akan melupakan mereka. Kalaupun aku tertawa, ada guratan duka menoreh wajahku. Lisanku bergetar melantunkan doa bagi mereka. Aku pun menceritakan keadaan mereka kepada keluarga dan tetanggaku.

Lisanku selalu berdoa untuk mereka, dimana keluarga dan tetanggaku menggunjingkan mereka…

Dalam Shahih Muslim disebutkan :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

‘Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam kasih sayang dan kecintaan mereka ibarat satu tubuh, jika anggota tubuh mengadu kesakitan maka semua anggota tubuh yang lain akan ikut demam dan terjaga semalaman.’

Barang siapa yang berbuat kebaikan maka kebaikan ini kembali kepada dirinya sendiri ; barang siapa yang tinggi cita-citanya maka kebaikan akan mengikutinya; namun  barang siapa yang rendah cita-citanya maka kehinaan akan selalu mengikutinya…

Kusucikan cita-citaku dari apa-apa yang dilarang Allah

Menuju bulan yang khusyuk dengan berbekal kekhusukan,

bulan yang suci, dengan bekal amal sholeh…

Orang-orang yang berpuasa dengan istiqamah

akan mendapatkan tempat yang kekal dan didampingi bidadari yang menyenangkan

Penuh ampunan dari yang Maha Agung dengan kekuasaan-Nya yang besar

Wahai saudaraku, segeralah bangkit beramal

sebelum Ramadhan pergi

Semoga Allah Yang Maha Pengasih menghapus semua dosa-dosaku

dan mengampuni kesalahanku sebelum di buku kejelekanku…

Amin

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Ruhaniyyatush Shiyam, Dr. Ibrahim ad-Duwaisy, ei, hal. 49-51.

Continue Reading

Nasihat

Puasa Agar Mereka Memperoleh Kebenaran **

Published

on

Puasa Agar Mereka Memperoleh Kebenaran

**

Ar-Rusyd adalah menemukan kebenaran dan mengamalkannya.”

**

Ar-Rusyd adalah tujuan ketiga di antara tujuan-tujuan disyariatkannya puasa, dan salah satu rahasia diwajibkannya puasa. Allah ta’ala berfirman di akhir ayat-ayat puasa :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ  [البقرة : 186]

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (al-Baqarah : 186)

Kebenaran yang merupakan salah satu buah puasa, dinilai sebagai sifat positif dan penting bagi kepribadian seorang muslim, yang memberinya keseimbangan jiwa, pikiran, perasaan, dan emosi, serta membebaskannya dari segala fenomena yang memperburuk kepribadian insan modern yang tidak tumbuh berkembang di sela-sela al-Qur’an dan tidak mengikuti hukum-hukumnya, sehingga kepribadiannya terserang kelemahan, kepolosan, kelalaian, egoisme, atau kesedihan, seperti yang dituturkan oleh Dr. Shalah al-Khalidi.



Ayat ini mengandung penjelasan tentang jalan yang mengantarkan kepada kebenaran, yaitu beriman kepada Allah Ta’ala, berdoa kepada Allah ta’ala, dan memenuhi perintah-Nya, termasuk di antaranya berpuasa Ramadhan.

Ada yang mengatakan, ar-Rusyd adalah istiqamah di dalam agama.

Fenomena-fenomena Kebenaran yang Diwujudkan Puasa

Di antara fenomena-fenomena kebenaran adalah istiqamah di dalam agama dan tetap berada di atas agama. Dan di antara fenomena-fenomena kebenaran yang diwujudkan puasa bagi seorang muslim adalah :

Pertama, kebenaran penglihatan. Kebenaran ini terwujud dengan menundukkan dan menahan penglihatan untuk leluasa memandang segala hal yang tercela atau terlarang, dan juga hal-hal yang dapat menyibukkan dan melenakan hati dari mengingat Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

Kebenaran ini terwujud dengan berlama-lama menatap al-Qur’an dengan membaca dan merenungkannya, serta menahan penglihatan dari memandang apa yang Allah haramkan, agar tidak menciderai puasa.

Seseorang bertanya kepada al-Junaid, “Dengan apakah aku bisa menundukkan pandangan dengan mudah ?’ Al-Junaid menjawab, ‘Dengan kau mengetahui bahwa Allah melihatmu, di mana penglihatan-Nya kepadamu lebih cepat dari penglihatanmu kepada objek yang engkau lihat.”

“Menundukkan penglihatan dari apa yang diharamkan Allah, akan mendatangkan cinta Allah.” (al-Hasan bin Mujahid)

Kedua, kebenaran lisan. Kebenaran ini terwujud dengan menjaga lisan dari kata-kata ngelantur tidak jelas, dusta, adu domba, ghibah, tutur kata kotor, kasar, permusuhan, dan perdebatan, tetap diam, menyibukkannya dengan dzikir menyebut Allah ta’ala dan membaca al-Qur’an. Ini merupakan puasanya lisan.



Kebenaran ini muncul sebagai dampak alami yang didapatkan siapa yang selalu membasahkan lisannya dengan mengingat Allah, membiasakannya jauh dari segala kata dan ucapan-ucapan yang dapat melukai puasanya. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ

Pada hari ketika seseorang di antara kalian berpuasa, janganlah ia berkata kotor, dan janganlah (pula) berteriak-teriak (HR. al-Bukhari)

“Puasa itu tidak hanya menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi juga menahan diri dari dusta, kebatilan, kata-kata sia-sia, dan sumpah.” (Umar bin Khaththab- رًضِيَ اللهُ عَنْهُ)

Ketiga, kebenaran telinga. Kebenaran ini terwujud dengan mencegah telinga dari mendengar apa saja yang dibenci Allah karena apa saja yang diharamkan diucapkan, haram pula didengarkan. Kebenaran ini muncul sebagai buah baik bagi siapa yang terbiasa mendengarkan al-Qur’an dan nasihat-nasihat di bulan Ramadhan, serta mendengarkan segala yang membawa manfaat dari kebaikan, juga menutup telinga dari segala yang diharamkan dan dimakruhkan oleh syariat.

“Apabila engkau berpuasa, maka hendaklah berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu dari berkata dusta dan dosa.” (Jabir bin Abdillah-رًضِيَ اللهُ عَنْهُمَا)

Ketiga, kebenaran otak. Kebenaran ini terwujud dengan meraih ilmu dan pengetahuan, serta menyibukkan otak dengan ibadah merenungkan nikmat-nikmat dan makhluk-makhluk Allah, serta menggunakannya untuk hal-hal yang membawa manfaat bagi seorang mukmin, baik di dunia maupun di akhirat. Kebenaran ini muncul sebagai buah baik mendalami perkara-perkara agama, khususnya puasa, semangat mendengarkan ceramah dan pelajaran. Juga sebagai buah baik menggunakan akal dalam merenungkan ayat-ayat Allah yang dibaca dalam kitab-Nya, dan merenungkan ayat-ayat yang nampak nyata di alam semesta-Nya.

Ummu Darda’ ditanya, ‘Apakah amalan terbaik Abu Ad-Darda’ ?” Ia menjawab, “Berpikir dan memetik pelajaran.”

“Berpikir itu cahaya, lalai itu kegelapan, kebodohan itu kesesatan, dan ilmu itu kehidupan.” (Orang bijak)

Keempat, kebenaran tubuh. Kebenaran ini terwujud dengan tidak memperbanyak makan meski halal sekalipun, dan menahan diri dari segala syubhat yang mubah manakala Allah memerintahkannya, karena tujuan dari puasa adalah mengosongkan perut dan mematahkan syahwat hawa nafsu, sehingga jiwa menjadi kuat untuk bertakwa.

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

حَسْبُ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثُ طَعَامٍ وَثُلُثُ شَرَابٍ وَثُلُثٌ لِنَفْسِهِ

Cukuplah beberapa suap makan bagi anak Adam untuk sekedar menegakkan tulang punggungnya. Jika pun harus menambah, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk  minuman, dan sepertiga untuk bernafas.” (HR. Imam Ahmad)

Wallahu A’lam

Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Asrar Ash-Shiyam Wa Ahkamuhu ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dr. Thariq as-Suwaidan, ei.hal.42-45.

 

 

 

Continue Reading

Nasihat

Wasiat Singkat Penutup Ramadhan 1445 H

Published

on

Wasiat Singkat Penutup Ramadhan 1445 H

Ramadhan 1445 H telah sampai ke penghujungnya, bulan nan mulia penuh ampunan dan rahmat Allah Ta’ala sekali lagi akan pergi meninggalkan kita semua, namun semoga kepergiannya tidak dengan membawa semua ketaatan dan perubahan positif pada diri kita selama sebulan ini, akan tetapi dia pergi dengan membawa kebiasaan buruk kita di bulan-bulan sebelumnya.

Semua ini karena memang manfaat kewajiban puasa ramadhan adalah agar kita menjadi bertakwa, sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS Albaqarah: 183)



Dan Takwa adalah menjalankan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

 

Namun, di sisa hari yang ada, maksimalkanlah kesempatan yang ada, dengan shalat 5 waktu, terawih, tilawah dan itikaf.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena Iman dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari dan Muslim).

Dan haditnya:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: Barangsiapa beribadah (menghidupkan) bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari dan Muslim).

 

Dan perbanyaklah doa berikut ini pada setiap harinya:

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ: أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيَّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ اَلْقَدْرِ, مَا أَقُولُ فِيهَا? قَالَ: “قُولِي: اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اَلْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

(صَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَالْحَاكِمُ)

Artinya, “Dari sayyidah Aisyah ra, ia bercerita, ia pernah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku mengerti sebuah malam itu adalah lailatul qadar. Bagaimana doa yang harus kubaca?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Bacalah, ‘Allāhumma innaka afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annī  (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan menyukai ampunan, maka ampunilah aku),’’” (Hadits ini diakui shahih oleh Imam A-Tirmidzi dan Al-Hakim).

 

Dan terakhir, agar tidak lupa menunaikan zakat fitrah bagi yang mampu, karena hukumnya wajib dan dia merupakan bentuk syukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat materi dan juga sebagai sarana untuk saling berbagi dengan sesama muslim yang membutuhkan.

Allah Ta’ala berfirman:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Artinya : “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”
(QS Attaubah: 60)

Terakhir, semoga Allah Ta’ala menerima amal ibadah kita selama bulan ramadhan ini dan mengampuni dosa-dosa kita semua, serta semoga Allah Ta’ala memanjangkan umur kita agar kembali dapat menemui ramadhan tahun depan, Aamiin.

Continue Reading

Trending