Connect with us

Fiqih Hisbah

Singkirkan yang Menghalangimu Khusyu’ !

Published

on

Dari ‘Aisyah-semoga Allah meridhainya-, ia berkata, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah shalat dengan mengenakan Khamishah [1] yang bercorak, maka beliau bersabda : corak-corak ini telah menyibukkan aku. Bawalah ia pergi kepada Abu Jahm [2] dan datangkanlah kepadaku an-bijaniyyah [3]

 

  • Ihtisab di dalam Hadis

 

Dalam hadis di atas terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam  poin berikut ini :

Pertama, Hendaknya seorang muhtasib berusaha melakukan hal-hal yang dapat membantu atau menyebabkan kekhusyu’an dalam shalat dan hendaknya pula ia memotivasi orang lain untuk melakukannya.

Kedua, hendaknya berihtisab (amar ma’ruf nahi munkar) terhadap para pengurus masjid yang seringkali kita jumpai mereka berlebih-lebihan di dalam mendekorasi mihrab-mihrab dan tembok-tembok masjid dengan tulisan dan pahatan.

Ketiga, termasuk sifat seorang muhtasib adalah khusnul khuluq (berakhlak baik)

 

  • Penjelasan :
  • Di dalam hadis ini terdapat dalil yang menunjukkan disyariatkannya khusyu’ ketika shalat dan melakukan sebab-sebab yang dapat mewujudkannya, menjauhkan diri dari segala hal yang akan menyibukkannya dalam shalat, dorongan untuk menghadirkan hati kala shalat, mentadabburi (bacaan yang dibaca), menghalangi pandangan dari tindakan melihat kepada hal-hal yang akan menyibukkannya, menyingkirkan hal-hal yang dikhawatirkan akan menyibukkan hatinya. Kesemuanya ini merupakan upaya agar tidak terjatuh ke dalam perkara yang terlarang. [4]

 

Oleh sebab itu, maka kaum muslimin -pada umumnya- dan seorang muhtasib -secara khusus- hendaknya bersemangat untuk melakukan sebab-sebab yang akan menimbulkan kekhusyu’an ketika shalat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Tidak disangsikan bahwa semakin kecil rasa was-was muncul di dalam shalat maka shalatnya akan semakin sempurna, dan yang dapat membantu untuk mewajudkan hal tersebut adalah dua hal ; kuatnya hal yang mendorongnya dan lemahnya perkara yang akan menyibukkannya.

Adapun yang pertama, yaitu kesungguhan seorang hamba untuk dapat mengerti dan memahami apa yang dikatakan dan dilakukannya, mentadabburi bacaan, dzikir dan doa, dan menghadirkan hati bahwa dirinya tengah bermunajat kepada Allah seakan-akan ia melihatnya. Karena sesungguhnya seorang yang tengah shalat ia bermunajat kepada Rabbnya.

Kedua, adapun hilangnya perkara yang tiba-tiba saja muncul adalah dengan bersungguh-sungguh di dalam upaya menolak perkara yang akan menyibukkan hati berupa lintasan-lintasan pikiran yang tidak ada hubungannya dengan shalat, dan (dengan) memikirkan hal-hal yang akan memalingkan hati dari maksud pelaksanaan shalat. Karena banyak munculnya was-was itu tergantung kepada banyaknya syubhat dan syahwat pada diri seseorang, dan bergelantungannya hati dengan perkara-perkara yang disukai yang memalingkan hati untuk mencarinya …[5]

 

 

  • Sesungguhnya pemberian hiasan dan ornamen pada masjid merupakan hal yang menyelisihi sunnah, karena tindakan tersebut tergolong israf (berlebih-lebihan) dan pemubadziran, dan karena tindakan tersebut sangat berpotensi menjadi pikiran orang tengah shalat akan tersibukkan dari shalat. Dan setiap hal yang akan dapat menghilangkan kekhusyu’an hukumnya terlarang. Hadis di atas merupakan salah satu bukti yang menunjukkan hal tersebut.

 

 

Oleh karena itu, seorang muhtasib hendaknya mengingkari terhadap para pengurus masjid yang berlebih-lebihan di dalam menghiasi dan memberikan ornamen pada masjid, karena sesungguhnya masjid-masjid itu tidaklah dibangun melainkan untuk sebagai tempat beribadah kepada Allah yang tidak akan dapat terwujud dengan baik melainkan dengan kekhusyuan. Karena, bilamana kekhusyu’an itu hilang jadilah ibadahh itu seperti halnya tubuh yang tidak bernyawa.

Imam an-Nawawi [6] berkata, “di dalam hadis tersbut terdapat petunjuk tidak disukainya tindakan menghiasi dan memberikan ornemen pada mihrab-mihrab masjid dan dinding-dindingnya, dan memahatnya dan tidakan yang lainnya yang termasuk ke dalam kategori hal-hal yang akan menyibukkan hati.

 

 

 

  • Sesungguhnya Abu Jahm pernah memberikan hadiah kepada Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- berupa Dan termasuk bentuk akhlak mulia beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah menerima hadiah. Maka, beliau pun menerima hadiah tersebut dan menggunakannya untuk shalat. Hanya saja, khamishah tersebut bercorak yang menyebabkan pandangan mata tertuju kepadanya. Khamishah tersebut telah melalaikan Nabi dalam shalatnya. Maka dari itu, beliau memerintakan agar khamishah tersebut dikembalikan kepada Abu Jahm. Dan agar hati Abu Jahm tidak terselip sesuatu (kekecewaan) karena pengembalian hadiahnya tersebut dan untuk menenangkan hatinya tersebut, maka Nabi-shallallahu ‘alaihi wasalllam- memerintahkan agar mendatangkan pakaian yang lainnya milik Abu Jahm yang tidak bercorak. Ini merupakan bagian dari kebagusan akhlak Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk memberitahukan kepada Abu Jaham bahwa beliau sejatinya tidak menolak hadiah yang diberikan kepadanya. Maka dari itu, seorang muhtasib hendaklah meneladani Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal itu, dan mengambil petunjuknya.

 

 

 

 

 

Wallahu a’lam

Penulis : Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaaemah, Abdul Wahhab bin Muhammad bin Fa-yi’ ‘Usairiy (hal.87-89 dengan gubahan)

 

 

 

[1]  Khamishash adalah pakaian yang berkotak-kotak yang terbuat dari bahan wol/bulu domba. Syarh Muslim, 5/46; dan lihat juga an-Nihaayah  2/81

[2] Beliau adalah Abu Jahm ‘Amir-ada yang mengatakan selain itu- bin Khudzaefah bin Ghanim al-‘Adawi, masuk Islam pada waktu penaklukan kota Makkah. Beliau termasuk orang yang ikut serta membangun Ka’bah di zaman Jahiliyah. Kemudian, beliau diberi panjang umur hingga dapat membangun kembali Ka’bah bersama dengan Abdullah bin Zubair. Rentang waktu antara kedua pembangunan Ka’bah tersebut lebih dari 8 tahun. Beliau termasuk orang yang piwai dalam mengetahui silsilah nasab. Nabi pernah mengutusnya sebagai pembenar. Namun beliau tidak memiliki periwayatan hadis. Lihat, al-Isti’ab, 4/32/33, Siyar A’lam an-Nubala, 2/556-557)

[3] An-bijaniyah, adalah pakaian yang berbahan tebal yang tidak memiliki corak. Syarh Muslim, 5/46. Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, 2/273-274, hadis no. 752, Muslim, 5/46, hadis no. 1238

[4] Lihat, Syarh Muslim, an-Nawawi,5/46, al-Mufhim, al-Qurthubi, 2/163; Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 1/57, Taisiirul ‘Allam, al-Bassam, 1/289

[5] Majmu’ Fataawaa Ibnu Taimiyyah, Abdurrahman bin Qasim, 32/605 dengan penyesuaian

[6] Syarh Muslim, an-Nawawi, 5/46. Dan lihat juga, al-Mufhim, al-Qurthubiy, 2/163

 

About Author

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

baru

Jangan Hanya Menjadi Jembatan Kebaikan

Published

on

Berdakwah adalah kewajiban kedua setelah berilmu, sedangkan kewajiban pertamanya adalah mengamalkan ilmu tersebut.

Sehingga, pihak pertama yang seharusnya mendapatkan manfaat dari ilmu itu adalah diri sendiri sebelum orang lain.

Namun, ketika seseorang mendakwah suatu ilmu kepada orang lain, tentang perintah ibadah atau larangan dari suatu maksiat, namun ternyata orang yang mendakwahi itu melupakan dirinya sehingga melakukan apa yang bertentangan dari yang disampaikannya, maka sungguh dia berada di atas bahaya yang besar.

Allah Ta’ala berfirman:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ  أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Maka tidaklah kamu berpikir? (QS Al Baqarah: 44)



Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَافُلَانُ مَالَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُوْلُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَلاَ آتِيْهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيْهِ

 

Seorang laki-laki didatangkan pada hari kiamat lalu dilemparkan ke dalam neraka, sehingga isi perutnya terurai, lalu ia berputar-putar seperti keledai berputar-putar mengelilingi alat giling (tepung). Para penghuni neraka mengerumuninya seraya bertanya, ‘Wahai Fulan! Ada apa denganmu? Bukankah engkau dahulu menyuruh orang melakukan perbuatan ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar?’ Ia menjawab, ‘Benar. Aku dahulu biasa menyuruh orang melakukan perbuatan ma’ruf tapi aku tidak melakukannya. Aku mencegah kemunkaran, tetapi justru aku melakukannya. (HR Bukhari dan Muslim)



Maka, hendaklah setiap orang yang menyebarkan kebaikan juga melaksanakan kebaikan itu, jangan sampai dia menjadi layaknya lilin yang menyinari sekitarnya namun dirinya sendiri terbakar tak tersisa, atau sekedar menjadi jembatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Fudhail bin Iyadh –Rahimahullah- berikut:

إياك أن تدل الناس على الله ثم تفقد أنت الطريق، واستعذ بالله دائما أن تكون جسرا يعبر عليه إلى الجنة، ثم يرمي في النار

(سير أعلام النبلاء 291/6)

“Jangan sampai engkau menuntun manusia kepada Allah Ta’ala kemudian engkau sendiri malah kehilangan jalan itu.

Maka teruslah meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala agar engkau tidak menjadi layaknya sekedar jembatan yang mengantarkan orang-orang menuju surga, namun engkau sendiri  kemudian terlempar ke neraka”.

(Siyar A’lam Annubalaa’ hlm 291/6)



Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita semua dan menjauhkan kita dari ilmu yang tidak bermanfaat.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Kufur dan Besarnya Dosa Sihir

Published

on

Sihir adalah salah satu alat syaitan yang digunakan oleh pengikutnya untuk menghancurkan kehidupan orang lain,seperti dengan mengirim sihir penyakit, pemisah, pencelaka, dan lain sebagainya.

Maka pertama, mempelajarinya adalah haram karena mengantarkan kepada kekufuran. Sebagaimana di dalam firman Allah Ta’ala:

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ [البقرة: 102

Artinya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” [QS. al-Baqarah (2): 102]
Dan yang dimaksud dari ayat di atas, bahwa kedua malaikat (Harut dan Marut) itu mengajarkan kepada manusia tentang peringatan terhadap sihir dan cara melawan ilmu sihir syaitan bukan mengajarkan untuk mengajak mereka melakukan sihir. (al–Jami’ li Ahkamil–Qur’an, Juz II, hal. 472).



Dan begitu juga, peringatan tersebut juga berlaku kepada mereka yang minta pertolongan dukun untuk menyihir orang lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:


عن عمران بن الحصين رضي الله عنه قال: قال رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ وَمَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  – رواه البزّار بإسناد جيد

Dari Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” bukan dari golongan kami orang yang menentukan nasib sial dan untung berdasarkan burung dan lainnya, yang bertanya dan yang menyampaikannya, atau yang melakukan praktek perdukunan dan yang meminta untuk didukuni atau yang menyihir atau yang meminta dibuatkan sihir, dan barang siapa yang mendatangi dukun dan membenarkan apa yang ia katakan, maka sesungguhnya ia telah kafir pada apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam “. [HR Bazzar dengan sanad Jayyid].
Oleh karenanya, maka sihir adalah salah satu dosa besar dan bahkan urutan kedua setelah kesyirikan,  sehingga termasuk yang paling mencelakakan nasib seorang hamba di  dunia apalagi di akhirat. Maka harus dijauhi sejauh mungkin.

Nabi bersabda:

اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ اَلشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِىْ حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاٰكِلُ الرِّبَا وَاٰكِلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ [رواه البخارى ومسلم]

Artinya: Jauhilah tujuh perkara yang merusak (dosa besar). Para shahabat bertanya, “Apa saja ketujuh perkara itu wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Syirik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, sihir, membunuh seseorang yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kecuali dengan jalan yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh zina terhadap perempuan-perempuan mukmin.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]


Maka, selayaknya dan sepatutnya seorang muslim tidak dekat-dekat meski sejengkalpun dari sihir dan semua yang berkaitan dengannya, karena Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk mengesakannya saja dalam ibadah dan aqidah, bukan meminta pertolongan ke selain-Nya.

 

Dan semoga Allah Ta’ala menjaga kita dan kaum muslimin dari kejahatan sihir dan pelakunya.

Ustadz Muhammad Hadromi, Lc Hafizhahullahu Ta’ala

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

baru

Seorang Da’i Pasti Diuji

Published

on

Berdakwah di jalan Allah Ta’ala adalah jalan para Nabi dan Rasul ‘Alaihimussalaam. Jalan terbaik yang akan mengantarkan seorang hamba kepada surga Allah Ta’ala, karena dengannya seseorang akan mendapatkan pahala berkali lipat.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” )QS Fussilat: 33)

 

Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

 “Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR Muslim)

 

Namun perlu disadari, bahwa jalan para Nabi ini bukan berjalan di atas karpet merah para raja, namun dipenuhi dengan ujian dan cobaan sebab menghadapi manusia yang berpaling dari jalan Allah Ta’ala.

Rasulullah bersabda:

أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنِبْيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلٰى حَسًبِ ( وَفِي رِوَايَةٍ قَدْرِ ) دِيْنُهُ فَإِنْ كَانَ دِيْنُهُ صَلَبًا اِشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِ رِقَةٌ اُبْتُلِيُ عَلٰى حَسَبِ دِيْنُهِ فَمَا يَبْرَحُ اْلبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتىٰ يَتْرُكَهُ يَمْشِيْ عَلَى اْلأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةُ .

 

“Manusia yang paling dashyat cobaannya adalah para anbiya’ kemudian orang-orang serupa lalu orang-orang yang serupa. Seseorang itu diuji menurut ukuran (dalam suatu riwayat ‘kadar’) agamanya. Jika agama kuat, maka cobaannya pun dashyat. Dan jika agamanya lemah, maka ia diuji menurut agamanya. Maka cobaan akan selalu menimpa seseroang sehingga membiarkannya berjalan di muka bumi, tanpa tertimpa kesalahan lagi.”

(HR Tirmidzi)

Dan sebagaimana firman-Nya:

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَىٰ مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّىٰ أَتَاهُمْ نَصْرُنَا  وَلَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ  وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ

Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian dari berita rasul-rasul itu. )QS Al An’am: 34)

 

Maka, dengan menyadari realita ini, seorang dai akan dapat menerima keadaan yang menerpanya, sembari selalu bertawakkal dan mengharapkan balasan yang terbaik dari Allah Ta’ala semata, bukan kepada manusia.

Imam Ibnu Katsir mengatakan:

“كل من قام بحق أو أمر بمعروف أو نهى عن منكر فلا بد أن يؤذى، فما له دواء إلا الصبر في الله والاستعانة بالله والرجوع إلى الله”

-تفسير ابن كثير 2/180

“Siapa saja yang menegakkan kebenaran, atau menyeru kepada yang makruf, atau melarang dari yang munkar, pasti dia akan disakiti. maka tidak ada obat baginya melainkan bersabar karena Allah, meminta tolong kepada Allah dan kembali kepada Allah Ta’ala”. (Tafsir Ibnu Katsir 180/2)

 

Jadi, hanya kesabaranlah yang menjadi penawar dan solusinya.

Sebagaimana para Nabi yang sabar mendakwahi kaum-kaum mereka bertahun-tahun.

Dan yang  terakhir untuk disadari, hidayah dari Allah Ta’ala, tidak bisa dipaksakan orang lain untuk segera menerima dakwah dan berubah. Karena kewajiban da’i hanyalah menyampaikan dakwah dengan sebaik-baiknya. Dan baginya balasan terbaik dari Allah Ta’ala.

 

Semoga Allah Ta’ala menguatkan para da’i di atas jalannya dan memberikan hidayah kepada umat mereka.

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

About Author

Continue Reading

Trending